"Kalian pengantin baru?" sela Veera menambahi, adik Evelyn yang baru duduk di bangku kelas tiga SMA.
Giliran Fidella yang kini menoleh ke arah Veera. Gadis remaja itu menatap penuh tanya pada Fidella yang duduk tepat di hadapannya.
"Ya, bisa dibilang begitu. Kami menikah dua hari lalu," jawab Sagara menggantikan Fidella yang terus bergeming.
Merasa tidak enak jika dia mengabaikan pertanyaan Veera begitu saja. Terlebih di depan orang tuanya, Sagara adalah pria berpendidikan. Ia tahu betul apa itu etika dan sopan santun, serta cara menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Seketika perut Sagara terisi penuh walau hanya sedikit makanan yang baru masuk ke sana. Kini ia hanya memerlukan beberapa alasan untuk menarik diri dari acara makan malam ini. Namun, sepertinya hal itu tidaklah mudah.
Sagara tetap mendiamkan pisau dan garpu di tangannya, pot
Di balik pintu itu, tampak Sagara berdiri dengan tangan bersidekap di atas perut. Senyum miring ia sunggingkan saat telinganya menangkap gumaman Fidella dari dalam sana. Tidak terlihat kecewa, hanya ada sesuatu yang membuatnya kesal saat mendengar kalimat itu."Wanita itu mengesalkan," tukas Sagara lalu ia berjalan menyusuri lorong kamar yang akan membawanya ke arah, di mana tangga rumah itu berada.Langkah demi langkah Sagara terus membawanya menuju pintu keluar dari rumah itu. Ini sudah pukul sebelas malam, wajar jika rumah sudah nampak sepi.Daniel Liam sudah tidur sejak satu jam lalu di kamar tamu sebelah kamar Sagara. Barusan ia pun sempat mengintip sejenak ke kamar Daniel, hanya untuk memastikan.Ternyata benar saja, bocah itu sudah tidur nyenyak dengan dengkuran halus yang mengembalikan senyum Sagara. Setelah beberapa menit sebelumnya pudar karena perlakuan Fidella.&nbs
"Dr. Sagara, aku benar-benar menyukaimu. Kau tahu, ini adalah kali pertama aku menyatakan cinta pada seorang pria. Sebelumnya merekalah yang selalu mengejarku."Sagara tetap tak bergerak atau sekadar memberi respon akan pengakuan Evelyn. Pria itu terlihat tidak terkejut sama sekali. Tanpa perlu diberi tahu pun, Sagara memang sudah menyadarinya sejak awal.Saat Evelyn dan Veera terus menatapnya dengan binar takjub di pertemuan mereka tadi. Lebih dari itu, sikap Veera dan Evelyn saat makan malam membuat dugaan Sagara makin meyakinkan dan benar adanya."Mungkin aku terlihat seperti wanita penggoda sekarang. Tapi aku tidak peduli, inilah perasaanku dan aku ingin kau tahu itu," aku Evelyn makin tidak tahu diri."Aku sudah beristri, Evelyn," tolak Sagara masih berusaha mempertahankan sikap sopan santun yang telah melekat telak di dalam dirinya."Tentu saja aku tahu. Fidella, gadis itu sepertinya tidak mencintaimu. Dia terlihat ka
"Fidella, bisakah aku minta tolong padamu sekali saja?" Pertanyaan Sagara itu membuyarkan pikiran aneh Fidella."Apa?" jawabnya singkat dengan suara sedikit bergetar."Aku ....""Bicara yang jelas, Sagara.""Tolong siapkan tempat tidur untukku. Di bawah lantai saja, cukup beri aku bed cover dan satu bantal," ucap Sagara tidak menoleh ke arah Fidella. Ia hampir memasuki kamar mandi, sampai Fidella mengatakan sesuatu yang membuat Sagara mengurungkan niatnya."Tidak mau!" tolak Fidella cukup lantang.Sagara menghela napas berat. Ia berbalik dengan telunjuk yang sudah mengarah pada wajah Fidella dari jarak jauh."Kau ini benar-benar! Aku hanya memintamu untuk—""Kau tidur bersamaku," pungkas Fidella cepat."Apa?" tanya Sagara menggumam terkejut. Mungkinkah ia salah dengar?"Kau akan tidur di ranjang ini, di sampingku. Apa kau tuli?" balas Fidella ketus. Namun, dibuat-buat.
Ini hari kedua di Santa Monica, yang juga direncanakan menjadi hari terakhir liburan singkat Sagara, Fidella, dan juga Daniel. Matahari sudah menampakan diri sejak tiga jam lalu.Pantai yang terletak di bagian barat Amerika ini memang selalu ramai dikunjungi. Terutama di akhir pekan seperti ini, orang-orang berlomba untuk menikmati sensasi unik yang kerap mereka dapat saat mengunjungi pantai.Menggelar tikar di sepanjang pesisir, membuat istana pasir, dan berselancar ria di sela ombak besar yang datang. Semua kegiatan itu terlihat sangat menyenangkan dan terbukti membuat semua pengunjung di sana ingin tinggal lebih lama lagi.Fidella mengedarkan pandangannya ke semua penjuru, banyak pria dan wanita dalam keadaan mengenaskan, menurutnya. Terhitung sudah sepuluh tahun keluarganya menetap di New York, seharusnya Fidella sudah terbiasa dengan hal seperti itu.Mata sipit yang dilin
"Kau sendirian saja, Nona?" tanya seorang pria berkulit hitam yang baru saja menghampiri Fidella. Saat ini, Fidella sedang duduk di pasir pantai yang cukup sepi.Ini adalah bagian ujung pantai yang jarang dikunjungi orang- orang. Entah apa perbedaannya yang jelas banyak pengunjung yang mengatakan, bahwa tempat ini kurang menarik. Padahal menurut Fidella tidak ada perbedaan antara tempat sepi ini dengan tempat sebelumnya.Fidella mendongak dan menyunggingkan senyum enggan. Ia sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun, apalagi oleh asing yang tak dikenalnya. Pria itu duduk di samping Fidella, menekuk kakinya persis seperti apa yang Fidella lakukan."Aku temani saja agar kau tidak kesepian," ungkap si pria sekali lagi, Fidella kian risih dibuatnya."Tidak, terima kasih," tolak Fidella sebaik mungkin."Rupanya gadis Asia sangat suka jual mahal, ya?" cet
-Fidella Agri Mathewson-Tangan kekarnya masih menggenggam erat tangan mungilku. Ruas jari kami menyatu tanpa jarak, mengisi kekosongan satu sama lain dan saling melengkapi.Gelenyar hangat di tengah suhu tinggi Santa Monica membuat sekujur tubuhku dibanjiri peluh kegugupan. Setelah kejadian tadi yang membuatku menangis tersedu dalam pelukannya, kami masih betah menyisihkan diri dari orang- orang.Berjalan di tepi pantai selatan berdua. Ya, hanya berdua, aku dan dia. Meninggalkan keramaian yang memang tidak begitu aku sukai, mungkin dia juga.Setengah jam sudah kami seperti ini, terus menyusuri pantai tanpa ujung. Membawaku menuju ketenangan, itulah tujuannya.Pria ini memang sangat penuh kejutan. Sejak aku menyukainya saat jumpa pertama di rumah sakit, kemudian membencinya dengan sangat, hingga kini hatiku kembali luluh karenanya. Selalu ada hal-hal yang membuatku tercengang dan memutar otak begitu keras.
"Kenapa takut bermain air? Fobia?" tanyanya dengan tangan yang masih sibuk menautkan tali-tali untuk menyatukan pelampung itu."Terlalu berlebihan jika disebut fobia. Aku hanya tidak suka bermain air di tempat umum seperti seperti pantai dan sejenisnya. Aku suka berenang, tapi di kolam renang indoor.""Kalau begitu lain kali kita harus mengunjungi kolam renang.""Untuk apa?" tanyaku polos, Sagara meyentil keningku pelan, tetapi cukup untuk membuatku meringis dan melayangkan delikan runcing."Bodoh, tentu untuk berenang. Memangnya orang pergi ke kolam renang untuk apa? Bermain bola?" Dia mencibirku, menyebalkan!"Di kolam renang juga ada yang suka bermain bola, Bodoh!" balasku mulai berani, syukurlah kini suasananya tidak sekaku tadi.Sagara tidak menjawab, ia hanya menatapku. Kenapa dia menatapku begitu? Bukankah yang kukatakan a
"Aku akan pelan-pelan. Jadi, bukalah matamu, Fidella!" perintahnya yang terdengar mengalun lembut. Lihat, dia bahkan tahu aku sedang memejamkan mata erat."Jangan banyak bicara, bawa saja speed boat- nya dengan benar. Aku tidak mau mati muda!" bentakku asal. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku begitu paranoid seperti ini, aku hanya panik.Kekehan kecil menyusup ke indera pendengaranku di antara berisiknya deru mesin dan suara gelombang air. "Katanya tidak fobia, tapi ketakutanmu menjelaskan hal yang sebaliknya," ledeknya membuatku ingin menangis kesal.Dia jahat. Di saat aku ketakutan seperti ini dia masih saja menggodaku.Benar, dia memang tidak bisa dibodohi. Aku fobia bermain di laut. Ini menyeramkan dan dadaku terasa sesak jika berada di dalamnya.Aku mulai takut air laut sejak kejadian itu. Di mana aku tenggelam dan tubuhku teromban
"Siapa bintang tamunya?" tanya Fidella penasaran. Jenny menggulum senyum, sepertinya rencananya mengajak Fidella akan berjalan lancar."Michael Bubble," sebut Jenny sambil menjentikkan jarinya."Really?" pekik Fidella senang."Yups, benar sekali," jawab Jenny yakin.Michael Bubble adalah salah satu penyanyi jazz yang sangat diidolakan Fidella. Beberapa album dari penyanyi berbakat yang sekarang sudah berusia sekitar empat puluh tahunan itu sudah Fidella koleksi sejak lama.Salah satu album yang paling gadis itu suka adalah "It's Time" dan "Call Me Irresponsible". Dengan kedua album itu karir Michael Bubble semakin melejit hingga lagu-lagunya di album itu sukses merajai tangga lagu di Kanada, Us Billboard 200, dan Australia Album Chart.Bisa kalian bayangkan bagaimana perasaan Fidella sekarang ini? Bertemu dengan sang idola, sungguh hal yang
"Jika seperti itu yang terjadi, maka lanjutkan saja. Jangan biarkan kebencian itu luntur sedikit pun hatimu. Jika dengan membenciku hatimu akan lebih tenang, maka benci aku selamanya. Lupakan kata-kataku yang pernah memintamu untuk tidak melepasku. Buang aku sejauh yang kau mau!" balas Sagara yang meneriaki Fidella.Merasa hatinya kian panas memikirkan hal tersebut, Sagara mencoba menarik napas dalam. Sagara berdiri, ia tidak kuat berlama-lama berseteru dengan Fidella."Apa ada yang bisa menghentikan laju angin untuk tidak berembus? Apa ada yang mampu menahan dentang waktu barang sedetik saja?" ketus Fidella menyoal sambil menyeka air matanya kasar.Gadis itu ikut berdiri. Menatap Sagara tajam dan menumpahkan kekecewaannya tanpa ragu dan malu. "Tidak satu pun insan yang mampu menghentikan tumbuh kembang perasaan seseorang. Tidak satu pun orang bisa menghentikan hati untuk men
"Berterima kasihlah padaku!" sungut Fidella kesal."Hah?" pekik Sagara merasa aneh."Aku yang membuatnya bukan ibu!" sentak Fidella sekali lagi. Ia menjelaskan dengan nada tinggi.Sagara terpaku. "Benarkah itu istrinya?" pikir Sagara konyol.Menyadari ini memalukan, Sagara menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Ia dibuat tak menyangka oleh tindakan Fidella, istri keras kepalanya."Maaf, kupikir itu—""Oke, aku paham," potong Fidella memaklumi.Gadis itu ikut berjongkok di sebelah suaminya. Dia meletakan nampan dan gelas jus tadi di atas tanah berlapis rumput."Setiap pagi kerjaanmu memberi makan ikan. Apa kau tidak bosan?" tanya Fidella membuka pembicaraan atau kalau tidak, kecanggungan ini akan mencekiknya lagi."Tidak sama sekali. Jika aku bosan, mungkin ikan-ikan cantik ini
"Hoamm ...."Fidella menguap lepas saat terbangun dari lelapnya. Ia mengerjapkan mata dan merasakan sesuatu yang aneh di daerah kening.Gadis itu mengambil handuk yang ternyata masih menyampir di sana. Fidella mengangkat sebelah alisnya, merasa heran."Siapa yang mengompresku? Apa itu ibu atau Lolly?" Fidella mencoba menerka-nerka."Wajahku terasa ringan dan tidak lengket. Apa ibu juga yang membersihkannya?" Kembali Fidella menerka dan menduga kalau itu adalah perbuatan ibunya, tanpa tahu hal tersebut adalah hasil kerja keras Sagara.Gadis itu menoleh ke arah meja. Matanya berbinar saat melihat sebuah mangkuk yang tertutup lengkap d
-Sagara Affandra Ramirez-Aku masuk sedikit mengendap-endap. Gadis itu sudah tertidur tanpa mengganti baju dan menghapus riasan natural di wajahnya. Mungkin karena kelelahan, hingga Fidella tak sempat membersihkan wajahnya.Kuletakan tas kerjaku di bawah ranjang, tepatnya di samping. Aku duduk di tepian tempat tidur Fidella.Walau terpejam, aku tahu mata Fidella sedikit membengkak. Apa dia banyak menangis diam-diam lagi hari ini?Gadis ini pasti tertekan dengan berita yang tersebar. Aku juga heran mengapa dia bisa serapuh ini saat menghadapi masalah yang menurutku tidak terlalu berat, dibandingkan dengan permasalahan tiga tahun lalu.Saat dia baru ke luar dari penjara, banyak orang-orang yang menggunjin
-Sagara Affandra Ramirez-Kulihat Fidella begitu tergesa ke luar dari mobil, berjalan lurus menuju rumah tanpa mengucap satu patah kata pun. Sepertinya dia masih marah padaku, terlihat jelas dari ekspresi juga caranya mendiamiku selama perjalanan pulang tadi.Bahkan, sejak kami berdua keluar dari rumah sakit dia sudah mendiamiku. Hah, wanita memang benar-benar rumit dan memusingkan.Selalu marah tanpa alasan yang jelas. Meminta suatu penjelasan dan ketika aku memberinya, dia malah tersinggung hingga menimbulkan permasalahan baru.Aku membuka seatbelt lebih dulu sebelum menyusul Fidella. Sebuah pesan masuk menghentikan niatku yang semula ingin segera membuka pintu.[Min Woo Hyung]-⟨ Hyena sakit. ⟩-Cobaan apa lagi ini? Tidak cukupkah hanya dengan kemarahan Fidella saja?Kenapa mesti ada hal lain yang membuat kepalaku pusing?
"Sejak kapan kau mendengarkan kata orang?""Tolong jawablah aku sedang tidak ingin membentakmu hari ini, Sagara," pinta Fidella sekali lagi. Ia benar-benar menantikan jawaban itu.Dia ingin memastikan, apakah memang benar ucapan para penggosip itu. Jujur saja, jika ia sakit mengingat ialah penyebab sakitnya Sagara, seperti yang mereka bilang."Aku lebih senang dibentak daripada menjawab pertanyaan tidak penting," balas Sagara penuh ketegasan. Raut wajahnya tak bisa diterka, seperti biasa raut tenang itulah yang ditampilkannya. Meski ada sedikit guratan amarah terlihat, hal tersebut bukan masalah besar, karena mimik tenanglah yang lebih dominan.Sagara langsung beranjak meninggalkan Fidella. Pria itu hampir memasuki ruangannya dan tiba-tiba saja ada sesuatu yang menahannya untuk masuk.Memaksa
Dr. Harold tahu Sagara bukan tipikal orang yang bisa mengungkapkan kegelisahannya. Pria muda itu pandai menyembunyikan perasaan dalam ketenangan yang selalu ia perlihatkan setiap hari.Bahkan, meski Dr. Harold sudah mengenal Sagara hampir enam tahun lamanya. Ia masih belum bisa memahami diri Sagara sepenuhnya. Menurutnya, Sagara itu terlalu misterius.Bukan karena ia tidak ingin memahami bocah itu lebih dalam, hanya saja Sagaralah yang tidak mengizinkan siapa pun memahami dirinya. Sagara tercenung, topik pembicaraan ini mulai terasa tidak nyaman untuknya."Terima kasih atas perhatian Anda, Ketua, tapi untuk urusan ini, biar aku dan Fidella saja yang menyelesaikannya," jelas Sagara dengan tenang dan sopan. Ia ingin menuntas perbincangannya dengan Dr. Harold, tetapi sepertinya itu tidak akan mudah."Alasan apa yang membuatmu bersedia menikahi Fidella, Sagara? Apa kau mencintainya?" tanya Dr. Ha
Yang membuat kubangan emosi Fidella terkuras bukan karena mereka memanggilnya dengan sebutan jalang. Meski itu terdengar menyakitkan juga, tetapi bukan itu yang membuat emosionalnya memuncak, melainkan karena kata demi kata yang menjelaskan bahwa Sagara sangat menderita karenanya.Kata yang seakan menegaskan jika Fidella memang gadis murahan, yang mengemis belas kasih pada musuhnya sendiri. Tiap kata yang mengikrarkan jika Fidella adalah gadis terkejam di muka bumi, dengan menjadikan Sagara sebagai budak pelampiasannya.Benar, Fidella membenarkan hal itu. Semula ia meminta Sagara menikahinya hanya untuk menghindari aib yang akan melukai harga diri keluarganya.Fidella sama sekali tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Sagara mengenai kejadian ini. Karena sejak awal nalar gadis itu memiliki keyakinan tinggi, jika hatinya tidak akan terusik atau melemah untuk sekadar memikirkan perasaan pria yang menjadi su