"Mas." Delia menatap mata Barra yang begitu dekat dengannya. "Jika suruh memilih. Mas lebih memilih memiliki cinta seorang perempuan atau tubuhnya semata." Pertanyaan yang diajukan Delia beberapa menit usai Barra memekikkan gelora kemenangannya. Setelah pria itu mulai stabil mengatur napas."Dua-duanya.""Aku hanya memberikan option untuk satu pilihan saja.""Nggak bisa. Harus dua-duanya." Barra tetap menyangkal. Ia tahu kalau sedang dijebak istrinya. Lagipula secara logika, pasti semua orang akan memilih paket lengkap. Cinta dan raganya."Kenapa kamu memberikan pilihan itu?" tanya Barra penasaran."Banyak pernikahan yang memilih bertahan hanya karena mementingkan status. Demi menjaga perasaan anak dari korban broken home. Pernikahan seperti ini sudah kehilangan cinta di dalamnya. Mereka hanya butuh raga jika sewaktu-waktu hasrat minta dituntaskan. Namun perasaan sudah hambar entah ke mana."Delia berhenti sejenak. "Waktu SMP aku punya teman dari sebuah keluarga yang sangat berantakan
"Aku ingin naik kuda, Mas!" Delia melepaskan tangan Barra dari pinggangnya. Kemudian melangkah menuju kuda-kuda yang disewakan di tepi pantai.Barra sebenarnya keberatan. Dengan alasan siapa tahu hubungan mereka semalam bisa menumbuhkan benih di rahim Delia. Jika mengalami guncangan, bukankah itu sangat riskan."Kita bisa naik satu kuda untuk berdua," kata Barra. Jika bersamanya, Barra tak akan membiarkan kuda itu berlari.Tampak Delia berpikir sejenak, kemudian mengiyakan karena malas untuk berdebat. Akhirnya Barra duduk di belakang istrinya. Berkuda berdua menyusuri tepian pantai sambil menikmati hangatnya sinar mentari pagi. Kemudian menyusuri jalanan yang kanan dan kirinya persawahan. Menghirup udara segar dan bebas. Kebersamaan yang membuat beberapa pasang mata menatap iri.Setelah perut terasa lapar karena tadi hanya minum teh dan makan roti tawar sebelum ke luar kamar, mereka menuju sebuah rumah makan. Sarapan sambil menikmati pemandangan hijaunya persawahan di sebelah kiri d
"Mas, kamu tau kan kenapa aku belum siap punya anak?" tanya Delia sambil menyusun lagi pakaian bersihnya yang berantakan ke dalam koper.Mereka saling berpandangan."Maafkan aku. Aku butuh beberapa waktu lagi untuk meyakinkan diriku sendiri. Bahwa aku layak untuk kamu pertahanan. Aku layak menjadi ibu dari anakmu. Jangan sampai Mas menyesal karena anakmu dilahirkan oleh perempuan yang pernah depresi."Barra berdecak lirih. Ucapan Delia yang menyalahkan dirinya sendiri membuatnya merasa tersudut. Sebab dulu selalu memojokkan Delia karena kondisinya kala itu. Dipikir Barra, Delia sudah lupa. Nyatanya tidak.Delia duduk di dekat suaminya. "Waktu Mas mandi tadi, Tiara meneleponmu.""Biarkan saja.""Dia akan terus mengejarmu, sampai Mas menikahinya. Karena Mas pernah menjanjikan itu.""Ya, itu salahku. Sejak dulu aku memang bilang ingin menikahinya jika telah mendapatkan restu keluarga. Tapi sebenarnya aku sudah mengajaknya bicara dan aku bilang ingin mempertahankan pernikahan kita.""Aku
"Siapa yang menelepon?" tanya Barra yang telah terbangun. "Kekasihmu."Barra duduk di sebelah istrinya."Aku bilang nggak usah diangkat kan?""Sejak tadi dia menerorku. Aku capek, Mas." Pria itu mengambil ponsel Delia. Kemudian menghapus semua foto dan memblokir nomer Cintiara."Kita akan hidup dalam bayangan masa lalumu. Entah sampai kapan? Sekarang Mas bisa saja bertahan denganku, tapi nggak tahu nanti. Khilaf bisa saja terjadi saat Mas tergoda lagi dengan cinta lamamu. Mas bisa saja bilang telah jatuh cinta padaku, tapi mungkin masih menyimpan perasaan padanya. Sekian lama bersama, nggak akan mudah melupakannya begitu saja. Tolong Mas memahamiku sebagai perempuan biasa, bukan malaikat atau bidadari. Suatu saat mungkin aku akan lelah dan menyerah dengan semua ini." Delia berdiri dan kembali masuk kamar. Mengemas semua pakaian dan oleh-oleh untuk keluarga."Kita berkemas dan langsung ke bandara saja," ucap Delia saat Barra menghampiri."Penerbangan masih jam empat nanti.""Nggak a
Setelah Samudra pergi, Diva baru menyadari sesuatu. Dia merasa tak asing dengan dokter tadi. Tatapan teduh matanya seperti pernah ia lihat."Ada apa, Mbak?" tanya Nunik, salah seorang karyawan butik mamanya."Aku sepertinya pernah lihat dokter tadi.""O, dokter Samudra namanya, Mbak. Ramah dan sopan dia."Sekalipun merasa mengenali, tapi benak Diva menyangkal. Tak mungkin dia pria yang ditabrak mobilnya tempo hari. Pria yang dinantikan teleponnya karena ia harus bertanggungjawab atas kerusakan lampu sein. Namun sampai hari ini, pria itu tak menghubunginya. Diva yang waktu itu buru-buru, tidak sempat mengingat plat nomer mobilnya."Nanti kalau ibu sudah boleh pulang, telpon saja aku ya. Aku yang akan jemput ke sini daripada kamu ajak naik taksi." Diva berpesan pada Nunik. Dan gadis itu mengiyakan.Sementara Samudra yang sudah selesai visit pasien, kembali ke ruangannya dan melepaskan masker. Tidak mengira kalau hari ini dia bertemu dengan gadis itu lagi. Walaupun dia tidak menyadari ba
Keduanya berpandangan. "Bagaimana aku meyakinkanmu tentang rasa aneh yang kurasakan saat melihatmu ketakutan di sudut kamar, saat kamu sujud dan berdoa dengan air mata membanjiri pipimu, ketika kamu terluka saat mengatakan ketidakwarasan untuk dirimu sendiri, tentang rasaku yang membenci semua lelaki yang menatapmu dengan pandangan memuja. Bagaimana caraku menjelaskan itu agar kamu percaya?"Barra diam sejenak sambil terus menatap wajah istrinya. "Aku nggak pernah melakukan hubungan di luar batas dengan Tiara. Kalau soal uang, mungkin sudah melebihi batas kewajaran orang yang sedang pacaran. Hanya saja aku nggak pernah menyentuhnya seperti yang kulakukan denganmu. Aku berani bersumpah. Apa suami sepertiku nggak layak diberikan kesempatan, Delia? Aku nggak sedang menjalin hubungan baru dengan wanita lain. Tapi kita memang masih terganggu dengan masa laluku."Hening. Delia mengalihkan pandangan dari lelaki yang selalu menatapnya tajam. Suami yang ia kenal tak pandai berkata-kata panjang
Delia menatap serius suaminya. Memandang mata awas yang menciutkan nyali lawan yang dipandangnya. Tapi bisa menggetarkan hati wanita yang tatapnya. "Karena alasan buket bunga ini Mas mau mencarikan gantiku ke seminar? Padahal aku mau berangkat satu jam lagi, lho.""Kenapa memangnya kalau batal?" tanya Barra dingin."Ini nggak profesional, Mas. Urusan pribadi jangan dicampurkan dalam pekerjaan. Aku tahu Mas juga profesional dalam bekerja. Jadi biarkan aku mengerjakan tugasku. Aku nggak akan semurah itu berkencan dengan lelaki yang bukan suamiku. Aku nggak semudah itu mempercayai laki-laki. Bahkan dengan suamiku pun aku masih berusaha untuk bisa percaya!" Delia tersenyum sambil mencondongkan tubuh pada suaminya. Senyum yang menggoda mental Barra."Jangan bercanda, Delia.""Aku serius, Mas. Buatlah aku bisa mempercayaimu dengan cara Mas menyelesaikan permasalahanmu dengan Tiara. Soal setia, jangan meragukanku. Makanya jika aku punya pasangan nggak setia, aku nggak akan rugi kehilanganny
Samudra mengangkat wajah. Gadis yang berpakaian kantoran itu tersenyum ke arahnya sambil mengulurkan tangan untuk menyalami. "Akhirnya kita bertemu juga. Boleh saya duduk di sini?" pintanya ramah."Boleh. Silakan.""Kenapa nggak menghubungi saya. Saya bertanggungjawab atas kerusakan lampu sein yang saya tabrak kemarin.""Nggak apa-apa. Saya sudah membereskannya sendiri," jawab Samudra sambil tersenyum.Diva jadi canggung dan tidak sanggup menatap mata teduh pria di hadapannya. Ada debar di dada yang getarannya terlalu kuat dan membuatnya jadi serba salah. Mata itu seolah menghipnotisnya.Dia terbiasa berhadapan dengan banyak orang. Di kantor, di butik, tapi ini sungguh berbeda. Ada kharisma tak biasa dari sosok pria di depannya."Nama Mas siapa?" tanya Diva pelan."Samudra."Samudra. Dahi Diva langsung mengernyit. Nama yang mengingatkannya pada seseorang. Mata, alis, dan tatapan itu ...."Apa Mas ini dokter yang saya temui di rumah sakit tempo hari?"Senyum menghiasi bibir Samudra. "I
Tangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu
"Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya
Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau
Tiga bulan kemudian ....Rumah megah itu terlihat semarak di pagi yang cerah. Beberapa mobil terparkir di halaman depan rumah. Para kerabat dengan sabar duduk menunggu acara di mulai. Mereka berpakaian laiknya menghadiri sebuah acara resepsi.Hari itu memang acara lamarannya Xavier dan Nira. Di salah satu sudut dinding ada backdrop dengan nuansa putih berkombinasi kuning keemasan. Hiasan bunga hidup semerbak wangi memenuhi penjuru ruangan. Bunga yang terdiri dari mawar putih, mawar merah muda, melati, dan bunga peony kesukaan Nira. Warnanya beraneka macam di sana. Ada putih, merah, kuning, dan merah muda. Bunga yang melambangkan bentuk cinta, romansa, dan keindahan.Nira yang memakai kebaya warna tosca tampak duduk anggun di dampingi Delia dan Diva. Dua kakaknya itu kini berhijab rapi sudah dua bulan ini. Sepulang dari umroh, Bu Hesti mengajak dua anak perempuannya dan sang menantu untuk berhijab. Ajakan yang disambut baik oleh mereka. Tepat jam sembilan pagi beberapa mobil memasuki
Di tempat lain, Cintiara tidak bisa tidur karena harus menggendong keponakannya yang sejak tadi menangis. Bayi perempuan yang baru dilahirkan dua minggu yang lalu itu tidak mau di tidurkan di kasur.Sementara Siska tidak mau menyusui. Wanita itu memilih meringkuk memeluk guling. Tidak peduli."Tidurkan saja, nanti kamu capek dan besok kamu harus kerja," seloroh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Cintiara."Kasihan, Ma. Sebenarnya dia kehausan dan mau minum ASI.""Kasihkan saja susu yang kamu buat tadi.""Dia nggak mau," jawab Cintiara sambil terus menimang-nimang bayi tak berdosa itu.Kegagalan usaha Siska untuk menggugurkan kandungannya telah berakibat fatal pada bayinya. Kelopak matanya yang indah hanya bisa berkedip-kedip menatap lurus ke atas, tapi telinganya tidak bisa merespon suara apapun yang ada di sekitarnya. Tidak ada reflek kaget saat ada suara keras di dekatnya. Bahkan matanya tidak berkedip atau mengerutkan wajah seperti pada umumnya bayi yang terkejut.Cintia
Setiap pilihan pasti akan ada konsekuensinya. Dampak dari lingkungan, circle pertemanan, dan pekerjaan. Mahika juga harus siap jika muncul banyak pertanyaan saat anaknya masuk sekolah nanti. Sebelumnya semua itu sudah ia pikirkan secara detail. Perjalanannya pun tentu tidak akan mudah setelah ini. Namun ia yakin Ubaidillah akan tumbuh menjadi anak yang kuat.Mahika menyusut air mata kemudian melipat lagi kertas istimewa itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dipandanginya bayi mungil yang terlelap di dalam kelambu. Lalu beralih melihat ke arah ponselnya yang berpendar. Ada pesan masuk dari Aisyah yang mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, juga mengabari bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk menengok Mahika dan anaknya.[Besok kami akan datang, Mbak. Anak-anak aku izinkan nggak masuk sekolah sehari, aku dan Mas Yuda juga akan libur. Ibu, Nur, dan anaknya juga akan ikut. Tapi suaminya nggak bisa ikut karena lagi tugas.]Buru-buru Mahika membalas pesan itu. Dia bahagia menun
Di dalam mobil, Barra menunggu Delia yang masih diam. Mereka sekarang sudah berada di parkiran rumah sakit. Parcel buah dan kado telah siap di bangku tengah. Tapi seandainya Delia berubah pikiran, Barra langsung mengajaknya pergi. "Ayo, kita turun, Mas!" ajak Delia pada akhirnya. Barra mengangguk dan langsung membuka pintu. Kemudian mengambilkan parcel dan kado yang tadi mereka beli dalam perjalanan. Pria itu tersenyum pada wanita cantik yang mengaitkan tangan di lengannya. Dengan senyuman, ia ingin menguatkan wanita hebat yang amat dicintainya.Mereka menaiki lift untuk ke lantai dua, di mana Mahika di rawat. Sayangnya tadi Delia tidak sempat mengabari Samudra kalau mau menjenguk Mahika. Kalau hari aktif kerja, pasti kakaknya itu ada di rumah sakit. Tapi hari Minggu begini, biasanya dia mengajak istri dan anaknya ke rumah mertua atau ke rumah orang tua mereka sendiri.Sekarang Barra dan Delia berdiri di depan kamar perawatan Mahika. Tampak di depan pintu ada beberapa pasang sandal.
Kebahagiaan menyelimuti Mahika dan Johan. Pria itu tidak sedetikpun beralih beralih dari anak dan istrinya. Baik keluarga Johan maupun Mahika memberikan ruang untuk pasangan suami istri itu menikmati kebersamaan yang tak lebih dari sehari semalam.Mereka juga tidak peduli dengan kasak kusuk di luar kamar karena status Johan yang masih menjadi narapidana. Tentu saja perbincangan itu bermula dari beberapa orang yang melihat Johan di antar oleh petugas rutan, kemudian diceritakan kepada pengunjung lainnya. Namun pihak rumah sakit juga sudah diberitahu sebelumnya. Samudra termasuk mengambil peran, memberikan masukan bahwa Johan tidaklah berbahaya.Johan sendiri hanya ingin memanfaatkan waktu bersama putranya tanpa peduli telah menjadi bahan pergunjingan."Mas, masih ingat dokter Samudra 'kan?" tanya Mahika saat keduanya makan buah apel. Mahika sudah bisa berjalan dan kini mereka duduk berhadapan. Johan duduk di kursi menghadap Mahika yang duduk di tempat tidurnya.Sementara Bu Hanum dan m
Matahari pagi terbit dari balik gunung di sebelah timur sana. Cuaca lumayan cerah setelah kemarin sore hujan deras mengguyur mayapada. Mahika berdiri di balkon apartemen sambil mencari sinar mentari pagi. Pertemuannya dengan Delia, Barra, dan Samudra beberapa minggu yang lalu masih ia pikirkan hingga sepagi ini. Sebenarnya apapun penerimaan dan pendapat mereka tentang dirinya dan Johan, tak menjadi masalah baginya. Mahika juga paham bagaimana perasaan keluarga Delia setelah terjadi kasus itu. Dirinya tidak bisa memaksa mereka untuk benar-benar tulus memaafkan. Namun Mahika berdoa supaya kelak, pintu maaf dengan keikhlasan dari keluarga besar Pak Irawan akan diberikan untuk Johan. Semoga mereka juga mengerti dan percaya bahwa kejadian itu ada andil besar teman-teman Johan.Mahika juga tidak bisa mengontrol pemikiran orang sesuai keinginannya. Tidak bisa. Apalagi untuk menyetir pemahaman orang lain tentang semua penjelasannya. Namun ia bisa mengontrol diri supaya menerima apapun pandan