“Kenapa melamun?” sentak Bian yang memandang Ziya sejak beberapa menit yang lalu.
Ziya terlihat binggung harus mengatakan apa, yang bisa dilakukan adalah diam tanpa menjawab dengan pandangan ke jalanan di depannya.
“Ah, belanjaanku bagaimana? Apa aku tanyakan saja ya?” batin Ziya.
“Pak Bian, Di mana menolong saya pingsan tadi?”
“Kenapa?”
“Ah, saya cuman penasaran saja kenapa bisa ketemu Bapak?” ucap Ziya berbohong sebenarnya dia ingin tahu keberadaan barang belanjaannya saja. Kalau dia belanja lagi pasti butuh uang lagi, sedangkan dia harus menghemat pengeluaran.
“Saya tidak sengaja melihatmu di toko sembako pinggir jalan. Lalu saya ikuti kamu dari jauh dan tiba-tiba kamu pingsan,” jelas Bian.
“Lalu barang belanjaan saya, bagaimana?” seru Ziya keceplosan.
“Oh, jadi kamu mau bertanya barang belanjaan tadi itu?”
“Ah, bukan begitu tapi ....”
“Apa?”
“Sa-saya perlu belanjaan saya itu,” ucap Ziya jujur meski terbata.
“Memang itu belanja apa? Biar saya antar kamu, ke tempat tadi?”
“Gak usah, nanti saya belanja sendiri saja,” tolak Ziya pelan dengan sopan.
Tanpa banyak bicara Bian langsung berhenti pada toko swalayan.
“Ayo?”
Kalau sudah seperti ini Ziya sudah tidak bisa berbohong lagi. Bian sudah bersiap mau keluar tapi Ziya masih belum mau menggerakkan tubuhnya untuk keluar.
“Itu tadi bahan untuk jualan kue donat,” seru Ziya menghentikan langkah Bian yang akan keluar dari mobilnya.
Bian memutar badannya untuk menghadap Ziya dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Apa kamu bilang? Jualan? Terus Tegar bagaimana? Ternyata kamu masih keraskepala juga ya?”
“Pak Bian, bukan siapa-siapa saya. Jadi jangan pengaruhi pikiran saya, biarkan saya menentukan hidup saya sendiri tanpa campur tangan orang lain,” bantah Ziya kali ini dengan emosi.
Bian kembali memasukkan kakinya yang sempat keluar tadi, tidak jadi masuk toko swalayan sebelum melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju rumah Ziya. Setelahnya tidak ada obrolan lagi hingga sampai di rumah kontrakan tersebut
“Tegar!” panggil Ziya kemudian berhambur mencium pipinya. Keponakannya itu sekarang dalam gendongan Bu Dewi, sedang tertidur.
“Bagaimana keadaan kamu, Ziya?” tanya Bu Dewi yang terlihat khawatir.
Ziya mengelengkan kepalanya, “Aku baik-baik saja, Bu.”
Bian berjalan mendekat ke arah Ziya dan Bu Dewi sekalian akan berpamitan.
“Pak Bian, terimakasih ya, sudah menolong Ziya dan membawanya ke rumah sakit,” tutur Bu Dewi ketika melihat Bian berjalan menuju ke arahnya.
“Tidak masalah, Bu. Bagaimanapun Ziya pernah jadi karyawan saya,” ungkap Bian jujur dengan senyuman tipis. Padahal dalam hati Bian menginginkan lebih, tidak hanya sebagai karyawan saja.
“Iya, tapi tetap saja kalau tidak ada Pak Bian saya tidak tahu bagaimana keadaan Ziya sekarang,” sahut Bu Dewi lagi.
Bu Dewi layaknya Ibu kandung Ziya yang sangat menyayanginya dan takut kehilangan Ziya.
“Iya, Bu sama-sama. Kalau begitu saya pamit dulu ya,” ucap Bian meraih tangan Bu Dewi untuk bersalaman.
“Tidak masuk dulu, Pak.”
“Pak Bian ada urusan di kantornya, Bu.” Ziya mengucapkan dengan suara pelan pada Bu Dewi sambil melirik ke arah Bian yang ternyata juga menatapnya. Ziya cuman tidak mau terlalu lama kebersamaan dengan mantan Bos nya itu.
“Wah, kalau begitu maaf Ziya sudah merepotkan.”
“Tidak apa-apa, Bu. Saya yang memang ingin mengantar Ziya sampai rumah dan memastikan dia baik-baik saja,” ucap Bian seraya tersenyum.
Bian berjalan menuju mobilnya tapi Ziya mengikutinya dari belakang. Ziya sadar pria ini sudah baik padanya, setidaknya ia harus membalasnya.
“Pak Bian, terimakasih!” ucap Ziya menjajari Bian yang akan membuka pintu mobil.
Bian memutar badannya untuk bisa menghadap Ziya, matanya menatap tajam. “Kalau mau berterimakasih datang ke restoran, dan kita bicara baik-baik di sana.”
Tanpa menunggu jawaban Bian langsung masuk ke dalam mobilnya. Entah kenapa dia bisa marah pada Ziya yang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengannya. Mungkin hatinya sakit menerima penolakan dari Ziya.
Ziya hanya terdiam memandang mantan Bos nya sampai menghilang dari pandangannya meski mempunyai pertanyaan atas ucapannya tadi.
“Ada apa dengannya?” desisnya.
“Maaf ya, Bu. Sudah merepotkan dan harus menjaga Tegar?” ucap Ziya saat sudah berada di samping Bu Dewi. Ziya berniat mengambil Tegar dalam gendongan untuk dia bawa ke kamar. Beberapa jam tidak bertemu membuat rasa kangennya sudah mengunung.
“Tidak apa, Ibu juga sayang sama Tegar dan sudah menganggap cucu sendiri,” balas Bu Dewi. Lalu keduanya menuju pintu masuk untuk masuk ke rumah.
“Ziya?”
Merasa namanya dipanggil dia menoleh ke sumber suara.
“Anda!”
Ibu masuk, Bu!” sentak Ziya mendorong Bu Dewi untuk masuk ke dalam dan hendak menutup pintu.
“Tunggu, Ziya!” pekiknya menahan pintu dengan kakinya sementara tangannya menyentuh lengan Ziya.
“Lepaskan tangan Anda,” teriak Ziya dengan sorot mata yang tajam.
Perlahan dia melepaskan tangan Ziya tapi kakinya masih belum berpindah sehingga Ziya belum bisa menutup pintunya.
“Apa perlu saya teriak maling biar orang satu kampung menghajar Anda?” tanya Ziya ketus.
“Terserah kamu mau lakukan apa saja, yang penting saya bisa bicara denganmu!”
“Kienan Moreno,” sentak Ziya kesal karena pria di depannya ini begitu keras kepala.
Ya, Kienan sengaja mengikuti Ziya. Secara tidak sengaja Kienan melihat Ziya di rumah sakit tadi, tentunya pria itu masih mengingat siapa Ziya, mantan Adik iparnya. Tujuan Kienan adalah ingin meminta maaf pada mantan istrinya. Sekarang dia sadar bahwa hanya Zoya yang bisa sangat mengerti akan dirinya.
Kesalahannya yang dulu, sempat tidak percaya dan mengikuti kemauan orang tuanya untuk bercerai tidak membuatnya bahagia. Dia berpikir seiring berjalannya waktu dia bisa melupakan Zoya, tapi ternyata pikirannya salah. Sampai sekarangpun dia masih mencintai Zoya. Namun dia sadar Zoya pasti tidak akan mau memaafkannya.
“Bagaimana, bisa kita bicara sebentar?” tanya Kienan berharap Ziya menyetujui keinginannya.
Ziya masih menatap tajam seolah semua kebencian ada pada Kienan yang berdiri di depannya saat ini.
“Tidak!”
Setelahnya Ziya langsung menendang lutut Kienan hingga terlepas dari pintu, bahkan dia hampir tersungkur di lantai. Langsung saja Ziya tutup pintunya. Meski teriakan pria itu masih bisa Ziya dengar, namun Ziya tidak peduli. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak melibatkan rasa kasihan pada pria itu. Bahkan kalau bisa dia akan musnahkan dia dari rumah ini, kalau perlu dari muka bumi ini sekalian.
Gedoran pintu dan panggilan namanya masih terdengar di luar rumah, Ziya mengambil langkah menjauh dan menuju kamar untuk melihat Tegar.
“Siapa dia, Ziya?” tanya Bu Dewi yang sempat ketakutan tapi karena Ziya yang pemberani sedikit melegakan hatinya.
“Pria brengsek!”
Bu Dewi sedikit paham maksud Ziya, untuk sekarang hanya satu pria yang bisa membuat Ziya benci dia adalah mantan Kakak iparnya.
“Kamu yang sabar ya?” ujar Bu Dewi mengusap punggung Ziya untuk menenangkannya.
Ziya mengalihkan pandangan pada Tegar yang sudah berada di ranjang. Setelah sampai di dalam kamar, Bu Dewi langsung merebahkan bayi itu takut tubuhnya terlalu capek dalam gendongan.
“Tante akan selalu menjagamu, apapun yang terjadi. Bahkan sekalipun Kienan ayah kandungmu dia tidak berhak memilikimu!”
Bersambung.........
Penolakan Ziya, membuat Kienan meradang. Sekarang ia semakin penasaran tentang kehidupan mantan istri dan adik iparnya itu. Masih di tempat yang sama, secara tegas Kienan memerintah pada asistennya yang bernama, Bram untuk menyelidiki semua yang berkaitan dengan mantan istrinya itu.“Secepatnya cari informasinya. Dan besok pagi informasi itu harus sudah saya terima,” ucap Kienan pada sang asisten. Setelah itu dia bergerak meninggalkan rumah yang menurutnya berukuran seperti kamar pribadinya.Tentunya bukan sesuatu yang sulit bagi Kienan untuk menyelidiki seseorang, karena kuasa dan uang ada ditanggannya.Sosok Kienan Moreno adalah, pria tampan, mapan dan berwatak dingin. Setelah menikah dengan Zoya sifatnya tidak berubah bahkan terkadang menyebalkan juga. Tak jarang Zoya selalu mengeluhkan sikap suami yang sering mengacuhkannya seolah dia menikah dengan Zoya adalah keterpaksaan, padahal Ziya tahu kalau Kienan sendiri yang meminta langsung pada sang P
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan membaur dengan mobil-mobil lain yang kondisinya sedikit macet. Di belakang mobil Ziya ada 2 mobil lagi yang sedang mengawalnya. Tidak mau terjadi sesuatu dengan Ziya, sang Tuan memberikan pengaman ekstra. Sedangkan Ziya patuh saja dengan mobil yang membawanya meski tidak paham dengan arah jalanan yang dilaluinya dan tidak menaruh curiga sedikitpun pada mobil di belakangnya yang selalu mengikuti. Semua dia serahkan pada seseorang di balik kemudinya.Ziya sempat bertanya dalam hati, sang pengemudi mengenakan seragam seperti seorang driver. Namun dia tidak ambil pusing. Bisa jadi ini adalah suami dari teman pengajian Bu Dewi.“Terimakasih ya, Pak. Atas bantuannya meski saya tidak mengenal Bapak ataupun istri Bapak, tapi saya yakin istri Bapak pasti sebaik Bu Dewi,” ucap Ziya tersenyum seraya membenarnya posisi tidur Tegar.Sang driver hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan karena dia sudah dibe
Entah bagaimana Kienan menyiapkan semuanya ini. Ketika Ziya masuk ke dalam kamar sesuai arahan asisten rumah tangga yang tadi membawa barang-barang Ziya, matanya takjub melihat isi dalam kamar tersebut. Dia bukan tidak pernah melihat semua barang-barang mewah ini bahkan dulu dia pernah memilikinya. Namun sekarang kemewahan itu sudah tidak penting lagi, mengingat toh dia juga tidak akan memilikinya lagi. Kamar yang luas, ada box bayi, ada lemari bayi dan beberapa peralatan mandi bayi.“Non Ziya bisa saya bantu saja buatkan susunya?” tawar asisten rumah tangga tersebut, yang diperkirakan umurnya di bawahnya. Sementara Ziya sedang menenangkan Tegar dalam gendongan.Sang asisten itu dengan cekatan langsung membuatkan susu sesuai dengan arahan Ziya. Tak lama susu sudah siap dan langsung diberikan pada Tegar. Bayi itu dengan sangat cepat menghabiskan satu botol susu itu, mungkin karena rasa hausnya yang sudah tidak bisa ditahan. Setelah itu, perlahan matany
Ziya kembali ke kamar yang sempat ia tinggali beberapa jam yang lalu. Harapannya untuk bisa keluar dari rumah itu musnah sudah setelah Kienan mengerakkan beberapa orang untuk melakukan penjagaan ketat. Sedangkan Ziya untuk sekarang tidak mempunyai pilihan selain bertahan di rumah itu.“Oke, karena sekarang aku sudah ada di sini maka akan aku manfaatkan untuk mencari kelemahanmu. Dengan begitu akan lebih mudah aku membalas dendam atas nama Kak Zoya,” lirih Ziya tersenyum sinis.“Aku sungguh tidak sabar menunggu kehancuranmu, Kienan Moreno,” batin Ziya.“Jangan kamu pikir bisa melarikan diri dari rumah ini, Ziya!”Ziya tahu suara siapa orang yang berada di belakangnya saat ini, bahkan Ziya tidak ingin hanya untuk menoleh saja.“Jangan urusi saya, lebih baik urusi saja masalah, Anda!” balas Ziya sedang malas berdebat dengan Kienan.Dari ucapa
Setelah berkeliling di jalanan tadi, Bian kembali ke Restoran karena masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Langkahnya yang gontai mengundang beberapa pasang mata untuk melihatnya termasuk beberapa karyawan yang sengaja berpapasan. “Bian ...!” panggil seseorang yang sudah menunggunya sejak 2 jam yang lalu. Ya, seseorang itu adalah Maya Ariana gadis yang pernah mengisi hari-hari Bian dengan kebahagiaan tapi karena dia memilih perjodohan makanya Maya memutuskan hubungan dengan Bian. Bian menoleh ke sumber suara dengan malas karena semua otak dan pikirannya sekarang hanya dipenuhi oleh Ziya. “Ngapain kamu di sini?” “Mau bicara sebentar sama kamu,” ucap Maya seraya mengulas senyum. “Bicara apa? Saya gak mau lho, ada gosip yang tidak-tidak karena kehadiran kamu di sini!” Maya mendekat seraya menunjuk salah satu bangku di tempat itu. “Duduk situ, yuk!” “Ay ...!” Maya yang awalnya sudah berjalan di depan
Sungguh, tidak pernah terlintas dibenak Ziya kepergiannya ke kamar Kienan akan membawanya pada kesialannya. Tidak pernah terpikir juga kalau itu hanya akal-akalan Kienan saja untuk menjebaknya.“Jadi, apa yang akan kalian jelaskan sekarang?” tanya seorang wanita paruh baya dengan alis yang terangkat. Dia adalah Kiara Moreno, Mommy dari Kienan.Kiara yang akan pergi ke salah satu pusat perbelanjaan, berniat untuk mengajak Ziya. Sebenarnya wanita yang sudah berumur di kepala 5 itu lebih menyukai Ziya daripada Zoya. Terlepas dari kejadian masa lalu, tapi Ziya orangnya apa adanya tidak dibuat-buat meski terlihat ketus. Berbeda dengan Zoya yang lebih lembut tapi dia punya hati yang jahat walaupun sama adiknya sendiri.Kienan belum juga menjawab pertanyaan Kiara, tapi dia balas bertanya pada Mommy yang sudah geram itu. “Memang Mommy ada perlu apa ke sini?”“Eh, Kien ... apa Mommy kalau mau ke sini harus punya tujuan dulu hah?
Apa yang dirasa Kienan saat ini tidak terbayangkan sebelumnya. Padahal dia jelas tahu bahwa Ziya sangat-sangat membencinya tapi kenapa gadis itu menyetujuinya. Kienan seakan menutup mata dan telinganya hanya karena mempercayai ucapan Ziya.Beberapa kali menghembuskan napas untuk bisa menghalau pikirannya, pikiran buruk yang mendadak datang. Memikirkan kalau saja Ziya merencanakan sesuatu yang buruk dengan pernikahannya nanti.“Ah, harusnya akau tidak boleh berpikiran buruk, siapa tahu itu hanya kekhawatiran menjelang hari pernikahan saja,” gumam Kienan. Memang Allah yang bisa membolak balik hati manusia, buktinya Kienan yang beberapa menit yang lalu cemas sekarang sudah bisa tersenyum lagi.Arman, sang asisten hanya mengulum senyum saja. Melihat atasannya itu hanya menopang wajah dengan kedua tangan dan menundukkan wajahnya ke bawah. Dia tahu bahwa seseorang yang selama ini dicari telah dia temukan kemungkinan hal itulah alasan kenapa a
Entah bagaimana caranya hingga Kienan bisa mendatangkan, seorang designer terkenal di rumah ini. Hanya untuk mengukur dan memberikan masukan baju kebaya yang terbaik untuk dikenakan Ziya.Buat sebagian orang mungkin tersanjung dengan tindakan itu, namun tidak bukan Ziya. Karena gadis itu hanya menganggap, kalau Kienan tidak mau memberikan Ziya kebebasan di luar rumahnya. Seorang Kienan tidak mau mencari masalah dengan mengajak Ziya keluar rumah, karena posisi Ziya sekarang ini layaknya sebagai seorang tawanan.“Kien ... dapat darimana sih, calon kamu ini cantik banget lho!”Larasati Gunawan, seorang designer yang sudah terkenal dan mempunyai beberapa butik yang tersebar di beberapa kota serta ada juga di beberapa luar negeri.Hubungan Larasati dengan Kienan cukup dekat, mengingat sang Mommy adalah pelangan tetap butik Larasati. Dari seringnya Kienan mengantar sang Mommy di butik tersebut mereka berkenalan. Larasati adalah wanita cantik dan suk
“Ini surat wasiat yang saya bilang sama kamu, Ziya,” Pak Dirman memberikan map berwarna coklat di hadapan Ziya.“Isinya apa, Pak?”“Bukalah dulu, nanti kalau ada yang tidak jelas saya jelaskan!” perintah Pak Dirman.Ziya menoleh ke arah Kienan dan mendapatkan anggukan pelan dari suaminya tersebut. Gadis itu mulai membuka dan membaca dengan detail lalu tiba-tiba menutup mulutnya karena kaget. Kienan yang mulai binggung mengambil alih map tersebut. Setelahnya tersenyum tipis.“Kamu, koq gak kaget, Mas?”“Saya dan Pak Kienan sudah tahu penyebab Pak Zain melakukan itu,” sindir Pak Dirman dengan tersenyum.Ziya menatap aneh pada suaminya itu seakan meminta penjelasan.“Ziya, biar saya jelaskan saja!” ucap Pak Dirman yang langsung mengalihkan atensi Ziya.Lalu Pak Dirman mulai menjelaskan yang seperti dijelaskan suami tadi malam. Ziya mengangguk-anggukan kepalany
Sesuai pembicaraan dengan Kienan, Ziya akan mendatangi tempat mantan pengacara sang Papa. Sekedar ingin mengetahui apa yang belum dia tahu. Kienan sebenarnya akan ikut mengantarkan istrinya itu, namun karena ada meeting yang tidak bisa ditunda akhirnya Ziya batal pergi.“Mas, aku berangkat sendiri bisa koq!” rengek Ziya pada sambungan telepon pada Kienan. Rasa penasaran sudah membuncah begitu tahu suaminya membatalkannya dia sangat kecewa.“Mas, bilang jangan ya jangan. Kamu bandel amat sih!” jawab Kienan dengan sedikit teriak karena Ziya membantah ucapannya.“Mas, ih ... jahat banget sampai bentak-bentak aku. Ya sudah nanti kamu tidur di kamar tamu saja, aku lagi males ketemu kamu!” putus Ziya hendak menutup ponselnya.“Iya, iya deh!” sela Kienan cepat yang membuat Ziya menyungingkan senyum.“Kenapa? Takut ya, tidur sendiri,” cibir Ziya sembari tertawa terbahak.Kienan tidak menjaw
Ternyata tanpa disadari, waktu sudah menjelang Subuh mereka baru menyelesaikan acara mandinya. Yang pada akhirnya tidak tidur karena menunggu sholat Subuh sekalian. Kedua pasangan suami istri itu memanfaatkan waktu yang ada itu untuk mengobrol, duduk di atas ranjang sembari menyandarkan punggungnya.“Mas ...”“Hm.”“Memang sejak kapan kamu tahu kalau Kak Zoya selingkuh?” tanya Ziya tiba-tiba karena dia penasaran akan hal itu.Kienan menghela napas panjang, sebenarnya dia telah menutup masalah itu tapi kalau melihat Ziya seperti itu pasti dia tidak akan berhenti bertanya. Masih bertahan dengan diam membuat Ziya menoleh untuk melihat wajahnya.“Mas, koq gak dijawab sih?” tutur Ziya ketus sambil memalingkan wajahnya menjauh dari Kienan.Kienan memiringkan posisi duduknya agar bisa melihat wajah Ziya yang kesal itu. Sambil tersenyum pria itu berkata. “ Sebenarnya, sudah Mas tutup masalah itu,
Ziya beranjak turun dari atas meja tapi Kienan menahannya. “Hey, mau ke mana?” tanyanya dengan alis mengerut.“Mau bersihin beling itu, Mas.”“Udah, gak usah. Mas saja kamu makan saja,” ucap Kienan seraya menekan bahu Ziya untuk duduk kembali di bangku yang sudah dia siapkan.“Ta-”“Duduk atau kita lanjutan yang tadi di sini sekarang?” ancam Kienan tidak memberi kesempatan Ziya untuk menyelesaikan ucapannya.Ziya menghela napas lalu menuruti ucapan suaminya itu. Mulai menyendokkan nasi dan lauk sedangkan Kienan mulai mencari keberadaan alat kebersihan untuk membersihkan pecahan gelas itu.Kienan pasti tidak akan membiarkan Ziya melakukan pekerjaan itu karena sebentar lagi istrinya itu akan memberi kepuasan padanya. Lelaki itu sampai tersenyum sendiri mengingat kejadian yang sudah berlalu beberapa menit yang lalu. Terlalu bersemangat ketika mendapatkan lampu hijau dari Ziya.Z
“Masuk, yuk!” ajak Kienan setelah mengurai pelukannya. Ziya memluk lengan suaminya itu mengikuti langkah Kienan untuk masuk dan berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Namun di sela-sela perjalananya Ziya masih belum puas karena belum mendapatkan jawaban dari suaminya.“Mas ....”“Hmm.”“Maaf,” ucap Ziya dan menghentikan langkahnya ketika di depan pintu kamar.Kienan terlihat acuh dan tidak membahas permintaan maaf istrinya. “Mas, mandi dulu ya. Nanti bicara lagi,” sahut Kienan sambil menutup mulutnya setelah menguap. Rupanya rasa ngantuknya kembali datang.Sampai di dalam kamar, Kienan langsung masuk ke dalam kamar mandi sedangkan Ziya menuju lemari untuk mengambilkan baju tidur Kienan. Dia sengaja mengambil piyama yang sama dengan dirinya. Senyum mengembang dari bibirnya tidak sabar melihat Kienan mengenakan piyama couple dengannya.Setelah hampir sepuluh menit, pintu kamar mandi
Saat ini Ziya hanya menemani Tegar saja hingga kebosanan menderanya. Namun karena ada Mbak Lastri juga menemaninya, jadi tidak terasa sekali.Sambil menunggui Tegar yang sedang rebahan di lantai beralaskan karpet, Ziya dan Mbak Lastri saling bercerita. Tentang banyak hal. Dari masa kecil Mbak Lastri, kehidupannya di kampung dan sejak bekerja di rumah ini.Sedangkan Kiara sedang ada di luar rumah karena ada pertemuan dengan teman-temannya. Teman yang bagaimana juga Ziya tidak paham.Mbak Lastri mulai bercerita saat Ziya meninggalkan akad nikah waktu itu. Bagaimana perasaan dan semua kesedihan Kiara karena Lastri juga ikut menunggui di rumah sakit, apalagi saat Dokter berkata kalau detak jantung Kienan sempat menghilang. Kiara seperti orang gila yang tidak ingin kehilangan putranya.Seminggu setelah Kienan dinyatakan sehat dan keluar rumah sakit, masalah datang lagi di perusahaannya yang mengakibatkan Kienan harus masuk di ruang ICU lagi. Setahu Lastri masa
Sejak keluar dari rumah pagi-pagi dan memilih kantor untuk sekedar menenangkan dirinya yang sedang berkecambuk dalam kekesalan, Kienan belum juga melakukan apa-apa.Ya, Kienan sengaja berangkat ke kantor di pagi butanya, bahkan belum ada karyawan yang datang. Ketika di depan pintu masuk, seorang security juga terkesiap dengan kedatangan Bos nya yang tidak seperti biasanya. Setelah menyapa dan tersenyum, Arifin-security bersikap sewajarnya padahal dalam hatinya bertanya-tanya apa yang membuat sang Bos datang sepagi ini, jam menunjukkan masih pukul 06.00 dan jam kerja dimulai pukul 08.00.Kienan berjalan menuju ruangannya dengan tersenyum getir. Harusnya dia menikmati malam pengantinnya tapi belum-belum sudah ditolak oleh Ziya. “Mengenaskan!” batinnya sambil terus berjalan melewati pantry.Mendadak lelaki itu berhenti, memandang sebentar ruangan dengan pintu terbuka tersebut. Belum ada orang untuk di mintai tolong tapi dia ingin meminum yang hangat-han
“Nih, buat kamu!”Kienan menyodorkan amplop persegi panjang yang tadi ada di atas kasur, di sebelah taburan bunga.“Ini, apa, Mas?” tanyanya heran dengan alis terangkat.“Mau tahu? Buka dong!”Dengan ragu, Ziya membukanya dan saat matanya melihat isinya. Gadis itu terperangah sambil menutup mulutnya sendiri. Sungguh, ini adalah keinginannya sejak lama tapi belum bisa terwujud. Ini adalah kebahagiaan yang tidak ada tandingannya.“Gimana, kamu suka?”“Mas, bagaimana aku harus membalas kebaikanmu ... aku tidak bisa membayar semua kebaikanmu!”Kienan tersenyum melihat Ziya bahagia membuatnya juga merasakan lebih kebahagiaannya. Kedua tangannya teralih untuk mengusap wajah Ziya. Menyapu sekilas bibir istrinya itu lalu mulai mendekatkan bibir keduanya sebelum berucap “Tetaplah di sampingku, apapun yang terjadi.”***Ziya terbangun oleh suara alarm di ponse
Ziya termenung, pandangannya hanya lurus ke depan. Memandang jalanan yang semakin ramai karena kondisi jam pulang kerja. Sementara Kienan yang sedang berada di sampingnya, hanya bisa sesekali melirik untuk melihat apa yang dilakukan istrinya itu tanpa mau menegur atau mengajaknya berbicara. Memberikan waktu sejenak untuk Ziya.Setelah drama tangis-tangisan itu, Kienan langsung membawa Ziya keluar, meninggalkan rumah sakit. Mengabaikan semua yang terjadi dan menganggapnya tidak terjadi apa-apa, itulah yang dilakukan suami dari Ziya dan menempatkan itu sebagai mimpi buruk saja.Kienan terhenyak, saat mendapati air mata istrinya itu jatuh di pipinya sedang Ziya sendiri seperti tidak peduli dengan hal itu. “Sayang, sudah ya, Mas jadi khawatir kalau kamu seperti ini.”Ziya menoleh pada Kienan dan menatapnya dengan sendu. Ada banyak yang dia rasa saat ini dan dia sendiri tidak tahu harus melakukan apa. “Mas, aku binggung ... bahkan kalau bisa aku min