Seorang tentara medis mulai terlihat, ruang perawatan yang dituju semakin dekat. Bangunan itu terletak di tengah-tengah benteng, sebenarnya bangunan itu merupakan aula tempat jamuan makanan. Sejak tentara Erdan menduduki Benteng Esthaz, aula itu dialih fungsikan sebagai tempat korban terluka.
Tak ada prajurit yang berjaga di sana. Rintihan orang-orang sakit mula terdengar samar-samar. Peter berharap Dokter Leniski tidak sendang mengoperasi pasien. Ia tak ingin menunggu lebih lama dengan perempuan Agelan itu. Ia masih sedikit bersalah telah menjepit jari perempuan itu hingga terluka. Karena itu, ia akan memberikan obat yang perempuan itu minta, sebagai permintaan maaf dan sebagai sedikit bayaran untuk ciuman manis tadi.
Peter akui dia sempat tergoda ingin menciumnya lagi. Andai situasi bukan dalam keadaan perang, ia ingin memasukkan perempuan itu ke dalam bagian hatinya.
Sayangnya Peter sadar, bukan karena perempuan itu seorang pelacur— si muncikari mengatakan perempuan itu masih gadis. Akan tetapi perang masih berkecamuk, mungkin ia tak akan lama tinggal di benteng itu. Kurang dari seminggu mungkin ia akan bergerak maju ke ibukota Kerajaan Agelan. Mungkin juga, perempuan itu tak kembali ke sini, jadi sampai jumpa cinta sesaat mereka.
‘Maaf aku belum bisa memasukkanmu ke dalam hatiku,’ batin Peter dengan bayangan buruk seperti tempat yang ia tuju.
Pintu aula terbuka, puluhan korban terluka terbaring di lantai. Bau amis darah dan hawa kematian melekat di ruangan itu. Beberapa orang menatap Peter dengan tatapan kosong dan semangat yang hancur, mereka adalah orang-orang yang terluka parah hingga cacat. Sedangkan orang-orang yang terluka ringan, mereka masih sempat memberikan salam kepada Peter, itulah orang-orang Erdan sejatinya.
Seorang perawat wanita datang menghampiri, dia tersenyum sama seperti semua wanita yang bertemu dengan Peter. “Ada yang saya bisa bantu, Jenderal Zhukov?”
“Di mana Dokter Leniski?” tanya Peter.
“Dokter sedang melakukan operasi,” jawab perawat itu.
Sial. Peter tidak punya pilihan lain selain menunggu. Ia bukan tipe pejabat tinggi militer yang suka diagung-agungkan. Ia sadar para prajuritnya lebih membutuhkan peran dokter itu.
“Aku akan menunggu di ruangannya, katakan bahwa aku datang tapi aku ingin dia menyelesaikan pekerjaannya,” ucap Peter pada perawat itu. Ia cukup mengenal Dokter Leniski dan sebaliknya, dokter itu tahu bahwa Peter akan sabar menunggu.
“Baik, Jenderal. Aku akan mengantar Anda ke ruangan Dokter Leniski.” Perawat itu kembali tersenyum dan kemudian berbalik mengantar ke sebuah ruangan di lantai dua. Dia membuka sebuah ruangan yang tak terkunci.
“Maafkan aku, Jenderal. Aku tidak bisa menyuguhkan minuman atau anggur di sini. Aku izin kembali, Jenderal.” ucap perawat itu.
“Ya, tak apa-apa,” ucap Peter singkat dan perawat itu pergi.
Peter duduk di sofa ruangan itu, sedangkan si perempuan itu masih berdiri. Tubuh perempuan itu sepenuhnya tertutup oleh mantel hitam, menyisakan wajah mungilnya yang putih dan cantik. Sedikit rona merah di pipinya terlihat manis seperti rona merah apel. Tatapan perempuan itu terus merunduk. Peter lebih suka melihat perempuan itu menegakkan wajahnya seperti tadi, saat mereka saling menatap dari dekat.
“Duduklah,” ucap Peter. Perempuan itu menurut.
Peter tak berniat berbasa-basi toh perempuan itu akan pergi malam ini. Ia rasa perempuan itu seorang yang penurut, hampir setiap kata-katanya dituruti oleh perempuan itu. Mungkin dia memiliki tekad yang kuat, dia melacurkan diri untuk mendapatkan obat untuk Ayahnya, sungguh perempuan yang kuat. Peter menyukai sifat-sifat perempuan itu.
Empat puluh lima menit berlalu, tak satu pun kata-kata terucap dari mereka. Bagi Peter menunggu seperti ini tidak masalah. Ia pernah berdiri dua jam penuh, di sebuah parit pertahanan saat menghadapi tank-tank Kerajaan Agelan. Ia pernah menunggu berjam-jam di sebuah bangunan yang terkepung musuh hingga bantuan pasukan tiba. Jadi hanya duduk menunggu dan menghabiskan waktu dengan memandang gadis manis itu, Peter malah menikmatinya.
Perempuan itu pun hanya diam dan menundukkan kepalanya. Sesekali ia melirikkan matanya tapi saat perempuan itu tahu bahwa Peter tak mengalihkan pandangannya, perempuan itu kembali merunduk. Dia terlihat semakin manis ketika salah tingkah.
Tok! Tok! Tok! Pintu diketuk dan langsung terbuka, Dokter Leniski datang dengan jas putihnya. Dia mengenakan kaca mata sepeti biasanya, wajahnya keriput karena umurnya sekitar 50 tahun, dan kini dia tampak kelelahan.
“Jenderal Zhukov. Maaf membuatmu menunggu,” ucap Dokter Leniski dengan senyum seperti biasanya.
“Duduklah. Bagaimana operasimu,” basa-basi Peter.
“Tidak begitu melelahkan. Kita dapat tempat yang bagus untuk merawat tentara-tentara yang terluka.” Dokter Leniski mula memandang ke arah perempuan itu.
“Aku datang kemari untuk perempuan ini, dia perlu obat,” ucap Peter langsung ke tujuannya.
“Dia sakit atau terluka?” tanya dokter itu yang langsung merogoh stetoskopnya di saku jas.
“Ayahnya sakit,” jawab Peter.
“Ah... begitu,” nada dan lirikkan Dokter Leniski terasa menyindir. Peter merasa dokter itu sedang menganggap dirinya sedang memanfaatkan alasan perempuan itu.
“Beri dia obat.” Peter berdiri dan melangkah ke dekat jendela. Ia memberi kesempatan pada perempuan itu untuk berkonsultasi pada Dokter Leniski.
Perempuan itu menceritakan bahwa ayahnya kemungkinan terkena tifus atau gejala yang mirip tifus. Ayah perempuan itu telah demam lebih dari satu minggu, mengeluhkan sakit kepala dan perut, mual, dan tak nafsu makan.
“Tunggu sebentar,” ucap Dokter Leniski yang berdiri dan mendekat ke Peter.
“Seberapa buruk,” bisik Peter.
“Tifus sering menjangkit saat perang. Aku bisa memberinya beberapa obat, tapi mungkin perlu beberapa suntikan,” jawab Dokter Leniski dengan berbisik.
Peter paham maksud dokter itu, dia bersedia memberi tablet obat tapi lebih baik menggunakan suntikkan. Artinya pula, dokter itu harus memberikan suntikkan langsung, tapi Peter tidak setuju jika dokter itu pergi karena tugasnya adalah merawat dan berjaga di sini.
“Beri dia beberapa obat saja,” ucap Peter sebagai keputusannya.
“Baiklah, aku akan ambilkan beberapa obat. Mungkin Jenderal bisa memberinya beberapa makanan, itu bagus untuk perempuan itu dan Ayahnya,” ucap Dokter Leniski yang kemudian pergi.
Saat dokter itu telah pergi, Peter menghampiri perempuan itu dan berdiri tempat di hadapannya. Perempuan itu mulai mendongakkan kepalanya, rambutnya terbelah memperlihatkan dahinya yang putih mulus, dan rona merah di pipi perempuan itu semakin memerah. Perasaan Peter mulai bergejolak, tapi ia tetap mencoba menguatkan hatinya.
“Kamu harus pergi malam ini,” ucap Peter saat menatap manik mata perempuan itu. Pandangannya mengarah sedikit turun ke bibir tipis perempuan itu. Ia kembali mencium semerbak bau apel ketika perempuan itu tersenyum dan menganggukkan kepalnya.
‘Sial,’ kutuk Peter pada dirinya. Peter tak tahan lagi, tangannya mulai bergerak untuk menyentuh wajah perempuan itu. Pipi perempuan itu terasa dingin seperti kulit apel yang segar, tapi lembut seperti roti yang sering ia makan. Jari jempolnya tak sengaja menyentuh bibir perempuan itu, terasa sedikit kering tapi tetap kenyal. Peter kembali terbayang rasa bibir mereka ketika saling berciuman tadi.
Peter menjatuhkan tubuhnya dan menerjunkan kepalanya, bibirnya mendarat tepat di hembusan nafas perempuan itu. Nafas mereka saling berhenti beberapa detik dalam ciuman itu. Peter sedikit menarik wajahnya, ia memberi kesempatan agar mereka saling bernafas.
Semerbak wangi apel kembal tercium. Tatapan perempuan itu hanya pasrah, kali ini beruntung tak ada satu pun air mata yang menetes dari perempuan itu. Jadi Peter tak begitu merasa bersalah, ia ingin lagi. Ia ingin lebih.
Peter beranjak duduk di samping perempuan itu, tatapan mereka tak putus, tapi perempuan itu terlihat sedikit canggung atau mungkin gugup. Peter juga sama, perasaannya tidak karuan. Di sisi lain hatinya, ia ingin ciuman itu atau bahkan lebih. Di sisi lain hatinya juga, ia ingin perempuan itu segera pergi agar dirinya tidak bersikap lebih buruk. Bibir bawah perempuan tiba-tiba menekuk ke dalam. Perempuan itu seperti sedang menggigit bibirnya sendiri, mungkin sedang mencicipi rasa dari bekas ciuman tadi. Peter merasa ingin tertawa saat melihat tingkat polos perempuan itu. “Beri aku sekali lagi,” minta Peter. Perempuan itu tiba-tiba merapatkan bibirnya, tapi dia langsung menganggukkan kepalanya sekali. Peter anggap perempuan itu telah setuju. Ia langsung menggeser posisi duduknya agar semakin mendekat. Tatapan mereka masih belum putus. Rona di pipi perempuan itu semakin memerah seperti ingin meledak. Wajah Peter semakin menjulurkan ke depan, perempuan itu
Navila mengenakan kembali mantel itu. Ia merasa bahwa jenderal itu sangat baik pada dirinya. Meski beberapa kali jenderal itu menciumnya tanpa permintaan sepatah kata pun. Ia merasa bahwa ciuman itu sangat tulus dari hati sang jenderal. Andai sang jenderal meminta lebih, Navila tak keberatan karena ia telah mendapatkan obat untuk ayahnya. Lagi pula jenderal itu sedikit tampan. ‘Hihihi,’ tawa Navila dalam hatinya. “Ayo, mengapa diam?” Sang jenderal menoleh ke belakang. Navila menganggukkan kepalanya tanpa menjawab alasan dia melamun. Saat mulai melangkah, pijakkannya seperti kosong. Ia melangkah melewati dua anak tangga sekaligus, tubuhnya terhuyung ke depan akan jatuh. Navila membayangkan tangan dan tubuhnya yang akan jatuh ke tanah. Tak diduga-duga ia malah mendarat ke tubuh sang jenderal. “Berhati-hatilah,” ucap sang jenderal. Navila bisa merasakan tubuh sang jenderal itu sangat kokoh, lengan dan dadanya memiliki otot seorang kesatri
Jenderal itu menjawab, “Aku takut kamu tersesat.”“Aku tak mungkin tersesat, Jenderal,” ucap balik Navila.Sang jenderal membuka genggaman tangannya, tapi Navila malah semakin menggenggam erat tanpa sedikit pun niat melepaskannya.“Aku tak ingin melihatmu disentuh oleh mereka,” ucap sang jenderal dengan menggenggam kembali tangan Navila.“Mengapa?” Navila merasa jenderal itu sedikit kikuk. Sang jenderal tak menjawab tapi malah semakin berjalan dengan cepat. Navila mencoba mengimbangi kecepatan langkahnya sesuai tarikan tangan sang jenderal, tapi pijakannya terlalu cepat di setiap anak tangga.“Argh!” Navila terpeleset, ia jatuh tersungkur ke depan. Beruntung sang jenderal tak tertarik ke belakang, dia hanya tertarik sampai berjongkok saja.“Kamu tidak apa-apa?”“Sakit.”“Maaf berjalan terlalu cepat. Kamu bisa berdiri atau aku perlu mengend
Perempuan itu bertingkah lucu sekali, dia memakan rotinya dengan mengayun-ayunkan kakinya di tepi ranjang. Dia terlihat bahagia dengan tingkah mengemaskan. Peter menebak kaki perempuan itu akan diam ketika memakan bubur gandum itu. Ia tahu bubur itu sangat buruk rasanya: hambar, biji gandumnya terasa setengah matang, dan rasanya sangat mirip dengan lem.Tebakan Peter benar. Ayunan kaki yang bahagia itu berhenti. Perempuan itu memakan bubur gandum itu dengan wajah terpaksa.“Apa yang lucu?” ucap perempuan itu dengan nada yang kesal.“Bubur itu rasanya aneh, bukan? Tidak enak dan hambar.”“Aku menyukainya, Jenderal. Aku bersyukur bisa memakannya, makanan sangat sulit, aku tidak ingin mencelanya.” Ucapan itu terbalik dengan sikapnya, wajahnya sedikit cemberut dan tak ada ayunan kaki bahagianya.Peter sedikit senang mendengar ucapan itu, ia sendiri juga tak suka mencela makanan dalam situasi perang ini. Ia pun kembal
Peter melangkah mengambil mantelnya, kemudian membentangkannya di lantai sebagai alas tidur. Ia juga menarik ranselnya sebagai bantal. Sejujurnya hasratnya masih bergejolak, tapi ia tak ingin mengganggu tidurnya si gadis apel. Ya, Peter memiliki julukan baru untuk perempuan itu yaitu si gadis apel.Ia mulai berbaring. Semerbak wangi apel kembali tercium sama-samar, wangi si gadis apel masih membekas di mantel itu. Peter menyukainya dan matanya mulai terpejam.Boom! Suara ledakan roket terdengar meledak di tempat yang cukup jauh, tapi getarannya merambat hingga tempatnya tidur. Peter terbangun di sebuah ruangan bekas gedung. Suara roda besi mulai terdengar bergerak mendekat, semua orang kenal suara mesin yang berat itu, itu adalah suara tank.Peter bangkit dengan kepala pening sama seperti di setiap bangun tidurnya. Ia berjalan mendekat ke jendela dengan dinding sebagai rambatannya. Jendela itu menghadap tepat di persimpangan jalan, ia berada di lantai tingkat ti
Navila terbangun oleh suara nafas pria yang terengah-engah, ia merasa tubuhnya diselimuti sesuatu yang hangat. Ia spontan terperanjat bangun dan terbayang sesuatu hal yang buruk terjadi padanya. Ia begitu bodoh menerima tawaran tidur di kamar seorang pria yang tak dikenal. Akan tetapi, ternyata tak ada seorang pun yang menyentuhnya. Ia duduk dengan selimut hangat yang melorot. Sedangkan suara nafas terengah-engah itu berasal dari sang jenderal.Jenderal itu sedang duduk beralaskan mantelnya di lantai. Tangan kanannya menjulur ke depan seperti sedang mengacungkan pistol. Kening, kepala, baju, dan tubuhnya basah oleh keringat. Jenderal itu seperti baru saja berlari berkilo-kilo meter.“Kamu baik-baik saja, Jenderal?” tanya Navila.Lengan kanannya yang mengacung ke depan tiba-tiba berputar ke arah Navila. Meski dengan tangan kosong, Jenderal itu seolah-olah sedang mengacungkan pistol ke hadapan Navila. Mata jenderal itu terbuka lebar, tapi pandang
Navila kembali ke posisinya seperti tadi, ia duduk di samping jenderal itu dengan mengelus-elus lengan sang jenderal. Ia tak merasa keberatan, mungkin cara itulah bagi Navila untuk membayar harga obat yang dia minta. Lagi pula, ia senang bisa lebih lama memandang wajah tampan itu sebelum pergi. Mungkin, esok ia tak akan kembali ke kamar sang jenderal. Ia sudah mendapatkan obat dan tak memiliki niat kembali ke benteng Esthaz. Sebenarnya, ada sedikit harapannya ingin bertemu kembali pada sang jenderal.Lima menit berlalu, ia sedikit merasa bosan. Karena itu, ia mencoba bersenandung, berharap sang jenderal itu lekas tidur seperti ibunya yang meninabobokan Navila ketika kecil.Tidur, tidurlah burung kecilDi bawah pohon rindangBerselimut angin sejukDisenandungkan padang rumputTidur, tidurlah burung kecilLangit biru terbentang luasPertualangan esok akan hebatTerbang, terbanglah dengan bebas
Peter mulai terbangun. Hidungnya terasa geli karena sebuah helai rambut dan wangi parfum apel yang kembali tercium. Ia sadar sedang tidur dengan si gadis apel. Gejolak hasratnya seperti ingin meledak tadi malam dan bahkan masih belum turun hingga ia bangun. Bahkan hasrat kejantanannya terus terangsang. Ia pria normal tapi tetap mencoba menjaga sikap.Ada yang berbeda dari bangun tidurnya kali ini, kepalanya tidak terasa pening. Ia merasakan tidur nyenyak untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan. Meskipun ia sempat bermimpi buruk tadi malam, tapi ia tidak lagi bermimpi buruk setelah si gadis apel menemaninya tidur. Sungguh aneh pikirnya.Peter membuka matanya, wajah perempuan itu sangat dekat. Si gadis apel juga tertidur nyenyak, matanya terpejam dengan indah dan bibirnya tak merapat sepenuhnya. Semakin lama ia memandang wajah cantik dan bibir manis itu, gejolak hasrat Peter semakin sulit tertahankan.Tangannya masih merangkul pinggang perempuan itu. Ia
Mata Adeline melotot, “Navila kamu tidak serius bukan?”Ia menganggukkan kepala.“Aku tidak melarangmu jatuh cinta, tapi coba pikirkan suasana saat ini,” ucap Adeline dengan khawatir.Ada salah paham dalam percakapannya, ia tak bermaksud mengiyakan soal jenderal itu. Tapi membulatkan tekadnya lagi untuk mendapatkan obat. Bahkan, meski nanti malam tak ada truk yang mengantar para pelacur dari kota, ia tetap akan berusaha untuk mendapatkannya segera.“Bukan itu maksudku,” jawab Navila. Ia diam sebentar, menimbang harus mengatakan rencananya pada Adeline atau tidak, “Aku akan melakukannya lagi, aku harus kembali ke sana untuk mendapatkan obat.”“Kita pikirkan besok.” Ekspresi wajah Adeline sedikit berubah, kekhawatirannya mengendur. Besok barulah para pelacur dikirim kembali, biasanya dua hari sekali dan sudah berlangsung selama hampir 3 minggu ini.Navila menganggukkan kepalanya, lima
Di dalam bak truk yang mengangkut para pelacur pulang, Navila hanya diam dan menggenggam erat kantong obatnya. Adeline sayup-sayup tertidur bersandar di bahunya, beberapa perempuan juga kelelahan dengan tertidur dalam mantelnya yang hangat, dan beberapa yang lain tampak tertawa atau menikmati rokok mereka.Di seberang tempat duduknya, Alisa tampak sedang berbisik serius dengan Gia, Navila merasakan hal buruk dari bisikan yang tak terdengar itu. Tiba-tiba mata Gia melotot, seperti terkejut dan kesal, ia melirik ke arah Navila dengan tatapan tajam kemudian berbisik pada Illona. Perasaan buruk Navila semakin menjadi-jadi karena tiga perempuan itu jika disatukan biasanya akan merundung dirinya.“Dia melakukannya dengan seorang jenderal?” ucap Illona kaget saat mendapat bisikan dari Gia.“Sialan, meskipun jenderal itu bandot tua, dia hanya anak baru, bisa-bisanya dia langsung mendapatkan posisi dengan seorang jenderal,” gerutu Illona lagi. Mes
“Bagaimana dengan Batalion 805?” tanya Peter. Batalion itu merupakan salah satu kunci dari operasi ini karena mereka berisikan beberapa kendaraan lapis baja. Jika beruntung, harusnya ada 12 tank dalam batalion itu.Wajah mayor itu tampak pucat, setelah mendengar pertanyaan itu. Dari pengalaman Peter, mungkin mayor itu tahu atau memiliki informasi.“Dari informan kami di lapangan, Batalion 805 tidak menemui titik temu seharusnya,” ucapnya semakin pucat.“Maksudmu?” Itu benar-benar kabar yang sangat buruk, seharusnya Batalion 804 dan 805 bertemu bersama dalam sebuah kota.“Para prajurit dari batalion 804 mengalami pertempuran yang sangat berat,” ucap prajurit tersebut. Peter sedikit tak mengagasnya, ia berbalik dan kembali ke tempat ranselnya. Sambil berjongkok ia merogok-rogoh ke dalam tasnya, perasaannya di penuh campur aduk. Kekhawatiran, rasa penasaran, dan tanggung jawab menjadi tak karuan karena batalion
Peter membasuh tubuhnya dengan kain yang dicelupkan dalam ember. Itulah cara mandinya selama ini, hanya dengan membasuh keringatnya tanpa mengguyur dengan air. Ia mulai mengelap tubuhnya dengan handuk bersih yang sebenarnya tidak ia duga bahwa Andrey bisa mendapatkannya.Ia mengelap wajahnya, ketika handuk itu menyentuh bibirnya, tercium pula bau apek bekas badanya. Ia teringat kejadian malam tadi, si gadis apel dengan wangi parfumnya, tapi bagaimana dengan bau dirinya sendiri? Rasanya dia telah menjadi laki-laki yang buruk, semoga si gadis apel tidak merasa kecewa dengan bau dirinya.Agendanya hari ini, ia berniat untuk mengecek kondisi dari Batalion 803 yang baru saja tiba. Lima ratus prajurit yang selamat artinya cukup banyak yang masih hidup sejak Operasi Tsunami dimulai. Sebuah serangan besar-besaran dan terpusat dilakukan menuju Kota Kostrov— Ibukota Kerajaan Agelan.Jam di tangannya menujukan pukul 07.05, artinya pula sepuluh menit lagi apel p
“Aku baik-baik saja,” jawab Adeline dengan senyum palsu dan manik mata yang berkaca-kaca. Navila kini sedikit paham bahwa sesungguhnya Adeline tak ingin menceritakannya, lagi pula ia tak ingin memaksa.Navila menggenggam tangan Adeline dengan dua tangannya, sama seperti Adeline ketika menguatkan dirinya saat turun dari truk.“Aku harap perang ini segera berakhir,” ucap Navila. Tiba-tiba Adeline menatap Navila dengan mata berkaca-kaca yang rapuh. Air mata Adeline mulai mengalir, Navila tak begitu mengerti mengapa sahabatnya itu tiba-tiba menangis. Bukankah harapan yang ia ucapkan tadi adalah baik?Navila makin menggenggam erat Adeline. “Ayo, kita segera pulang.”Mereka terus berjalan di jalan yang sedikit bersalju. Dinginnya udara menerpa wajah mereka dan hampir membekukan kaki Navila yang tak tertutup roknya. Para tentara Erdan yang tidur di pinggir-pinggir koridor dan halaman mulai terbangun. Matahari di ufuk timur mas
“Apa yang dia katakan?” tanya ulang sang jenderal itu. Navila mencoba berpikir sejenak, ia tak mungkin mengatakan perkataan Adeline yang menebak seolah tahu perasaannya.‘Jangan sampai kamu jatuh cinta,’ bisik Adeline tadi dengan bercanda.Bagaimana bisa Adeline tahu? Apa dia hanya bercanda? Apa dia juga berpikir bahwa jenderal itu tampan juga? Entah mengapa pikirannya berkecamuk sendiri. Sang jenderal itu masih menanti jawaban, sedangkan Navila masih memikirkannya.“D-dia bertanya, apakah aku akan kemari lagi?” bohong Navila.“Seperti itu? Baguslah, tempat ini sangat buruk itu perempuan sepertimu,” ucap sang jenderal dengan nada kecewa.Mereka diam sejenak di pintu yang setengah terbuka. Udara dingin sedikit menerpa lengan Navila, tapi ia mencoba tetap kuat. Ia tak ingin terlihat sedikit lemah atau kedinginan, ia tak ingin merepotkan lagi jenderal itu.Suara Adeline yang sedikit lantang bahkan
‘Aku juga menyukaimu,’ batin Peter. Ia terdiam beberapa saat di anak tangga.Si gadis apel tampak semakin penasaran, “Ya, Jenderal?”“Kamu juga orang baik, aku harap kamu tak kemari lagi,” ucap Peter datar.“Baik,” ucap si gadis apel yang terlihat sedikit tidak senang.Apa salahnya? Peter tidak ingin melihat perempuan itu melacurkan dirinya seperti lainnya. Ia kembali menarik genggaman tangan itu dan melanjutkan langkah mereka. Di lantai satu, ruang itu terasa hangat meski api perapian hanya menyisakan sedikit bara. Tak ada seorang pun di sana.Peter pun membuka pintu, angin dingin langsung menerpa wajahnya, dan si gadis apel itu tiba-tiba melepas genggaman tangan mereka. Ia menoleh, tampak si gadis apel langsung melipat tangannya karena hawa dingin yang datang. Ia pun kembali menutup pintu tapi tak begitu rapat.“Aku akan mengambilkan mantel untukmu,” ucap Peter.“Tida
Peter mulai terbangun. Hidungnya terasa geli karena sebuah helai rambut dan wangi parfum apel yang kembali tercium. Ia sadar sedang tidur dengan si gadis apel. Gejolak hasratnya seperti ingin meledak tadi malam dan bahkan masih belum turun hingga ia bangun. Bahkan hasrat kejantanannya terus terangsang. Ia pria normal tapi tetap mencoba menjaga sikap.Ada yang berbeda dari bangun tidurnya kali ini, kepalanya tidak terasa pening. Ia merasakan tidur nyenyak untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan. Meskipun ia sempat bermimpi buruk tadi malam, tapi ia tidak lagi bermimpi buruk setelah si gadis apel menemaninya tidur. Sungguh aneh pikirnya.Peter membuka matanya, wajah perempuan itu sangat dekat. Si gadis apel juga tertidur nyenyak, matanya terpejam dengan indah dan bibirnya tak merapat sepenuhnya. Semakin lama ia memandang wajah cantik dan bibir manis itu, gejolak hasrat Peter semakin sulit tertahankan.Tangannya masih merangkul pinggang perempuan itu. Ia
Navila kembali ke posisinya seperti tadi, ia duduk di samping jenderal itu dengan mengelus-elus lengan sang jenderal. Ia tak merasa keberatan, mungkin cara itulah bagi Navila untuk membayar harga obat yang dia minta. Lagi pula, ia senang bisa lebih lama memandang wajah tampan itu sebelum pergi. Mungkin, esok ia tak akan kembali ke kamar sang jenderal. Ia sudah mendapatkan obat dan tak memiliki niat kembali ke benteng Esthaz. Sebenarnya, ada sedikit harapannya ingin bertemu kembali pada sang jenderal.Lima menit berlalu, ia sedikit merasa bosan. Karena itu, ia mencoba bersenandung, berharap sang jenderal itu lekas tidur seperti ibunya yang meninabobokan Navila ketika kecil.Tidur, tidurlah burung kecilDi bawah pohon rindangBerselimut angin sejukDisenandungkan padang rumputTidur, tidurlah burung kecilLangit biru terbentang luasPertualangan esok akan hebatTerbang, terbanglah dengan bebas