Ana POV
Ini pagi yang amat sangat dingin di kota Istanbul, sinar matahari dari arah timur terbit seperti malu malu. Membawa rasa hangat untuk mencairkan salju yang sangat tipis itu. Panas sudah mulai memudar memang dari beberapa minggu lalu. Lihatlah pohon-pohon didepan sana sudah mulai basah dan berwarna putih meskipun tipis, musim panas akan segera berlalu.
Aku berlari cepat setelah turun dari angkutan umum tua ini. Suara decitanya yang khas membuat ia berhenti tepat didepan halte tujuan. 'ini kasus pertamaku dimagangku kali ini, kenapa aku begitu ceroboh?' Rutukku pada diriku sendiri.
Aku berlari agar cepat sampai pada tujuan. Aku berharap jam sedikit mundur agar aku tidak terlambat. Tapi sayang waktu akan terus berlari bukan dan tidak akan kembali. Aku terengah-engah begitu sampai didepan gedung besar bergaya Roma klasik ini. Warna catnya kuning pastel terang.
"Günaydın, hakim Serge müsait mi?" (selamat pagi, apakah hakim Serge ada?) Kataku pada bagian informasi umum. dia wanita, dia tersenyum memandangiku.
"bir söz var özledim?" (ada janji Nona)
Aku menarik nafas dan membuangnya sejenak. Untuk membuat sedikit rileks suara dan intonasiku. Dengan segera aku mengaduk aduk tasku. Aku mengeluarkan kartu tanda pengenalku dan surat pengantar dari kampus.
"Saya sedang magang dan beliau ada janji untuk memberikan data untuk saya" Wanita cantik itu manggut-manggut mendengarkan penjelasanku. Kemudian ia melihat tanda pengenal dan membuka surat pengantar sekilas. Ia mengembalikanya kepadaku lagi. lalu kemudian dia mengangkat gagang telepone dan memencet beberapa tombolnya. Dia mulai berbicara agak berbisik. Tak lama ia meletakkanya dan menatapku tersenyum.
"Anda sudah ditunggu nona, anda jalan saja ke arah sana, kemudian belok kiri, ada plamfet nya ruang Hakim". Dia menunjukkan arah detailnya sedangkan mataku mengikutin arahanya seksama.
"Tamam (mengerti/baiklah)" ucapku kemudian memandangnya sekilas dengan senyuman. Lalu melangkahkan kaki bergegas ke arah seperti yang dia itu tunjukkan. Ini sudah terlambat lebih dari lima menit. Kau mungkin akan heran dengan Negara ini. Menurut struktur budaya dan agama mayoritas penduduk muslim, tapi kebanyakan dari mereka berpakaian yang terbuka dan kebarat baratan. Turki adalah Negara separo Eropa dan separo Asia. budaya tentu sudah bisa ditebak separo Eropa dan sebagian masih menganut Asia. Sedangkan Turki sendiri adalah negara Liberal. Semanjak kepemerintahan khalifah Utsmaiyah tergulingkan, sistem agama didalam pemerintahan Turki dilenyapkan tanpa bekas. Artinya tidak ada satupun warga membawa nama agama didepan umum. Sejarah agama dalam pemerintahan mereka begitu berliku dan panjang secara kebersamaan.
Aku melihat sekilas plamfet nama diatas pintu "Ruang Hakim". Kemudian aku menbuang nafas pelan dan mengetuknya perlahan, yang didalam dengan suara besar dan berat menjawab.
"Masuk"
Aku memberanikan membuka pintu pelan.
"Günaydın sir" sapaku mencoba sedikit tersenyum manis. Kesan pertama harus baik itulah dalam pikiranku sekarang. Tapi bagaimana bisa baik? padahal kenyataanya aku sudah telat lebih dari lima menit, yang punya ruangan berdiri dengan sigap dan tersenyum ramah.
"Günaydın"
"Maaf pak saya terlambat, (aku menunduk sekilas)" kataku agak sedikit takut. Aku berjalan mendekat ke Hakim Serge. Pak Serge ini tingginya semampai. agak sedikit gemuk memang.
"Saya Liana pak, panggil saja Ana"
"Akh tidak apa-apa, saya hakim Serge, silahkan duduk" aku langsung lega mendapatkan jawaban itu. Kami berjabat tangan sebentar, ternyata tidak semengerikan yang ku pikirkan. Lalu aku mengambil tempat duduknya setelah hakim itu duduk terlebih dulu.
"saya membawa surat pengantar dari kampus saya dan dokumen-dokumen pengantar dari tempat magang saya pak Serge" saya menyodorkan berkas-berkas yang telah ku lengkapi dengan baik ke hadapan hakim Serge. Orang ini terlihat baik, mukanya agak bulat tapi tidak menghilangkan hidungnya yang mancung tatapanya tajam mengitimidasi. Alisnya tebal seperti kebanyakan orang Turki asli. Dia meneliti berkas yang aku berikan kepadanya membaca bagian-bagian yang penting. Beberapa saat dia manggut-manggut. Kemudian menatapku dengan sendu.
"Boleh saya tau?, Kenapa anda tertarik dengan dunia hukum" hakim Serge memandangiku tajam.
"Saya pernah membaca buku saat masih disekolah menangah atas pak, ada satu kata yang sangat saya ingat saat itu Tidak ada perdamaian tampa keadilan, tidak ada keadilan tampa kebenaran, dan tidak ada kebenaran kecuali seorang bangkit untuk mengatakan sebenarnya-Louis farakkan" saya mengatakanya mantap dia manggut-manggut.
"Belajarlah yang banyak" katanya dengan wajah tersenyumnya.
"Kamu dari Indonesia?"
"Iya pak saya orang Indonesia" senyumku sumringah, ternyata dia juga membaca perjalanan pendidikanku.
"Istri saya orang indonesia, istri saya dari pulau Jawa, kamu dari pulau mana" Secercah harapan akhirnya tersemat dalam hatiku. bagaimana bisa sekebetulan ini?.
"Berarti sama dengan saya pak Serge,ibu saya Jawa timur" aku tersenyum penuh harapan.
**
Liana POV "Akh Jawa, perempuan terlembut dan paling cantik yang ku temui, dalam artian mereka cantik secara hati maupun tata kramanya". pak Serge menekankan dengan wajah berbinar binar. Sungguh ia ingin menampakkan ia sangat jatuh cinta dengan istrinya. Aku tersenyum."istri bapak pasti orang yang sangat spesial" aku tersenyum antusias mendengarkan. Pak Sergetersenyum sumringah. "Istriku adalah wanita tercantik dan terbaik yang ku temui, tapi yang saya pelajari semua wanita Jawa adalah sosok yang sangat luar bi
Liana POV Jaket- jaket tebal itu menghiasi setiap pandangan, warna-warna gelap menjadi dominan. Di musim dingin suhu udara bisa minus beberapa derajat meskipun tidak seekstrim di Turki bagian Eropa. dibagian istanbul lain mungkin tidak begini. Langkah kakiku pagi ini membawaku pada tempat yang sama seperti kemarin. Apa lagi kalau bukan mengunjungi hakim Serge. Jaket tebalku membuatku terbantu, kalau tidak aku akan membeku ditengah-tengah kota ini. Aku berharap beliau tidak akan bosan bertemu dengan mukaku. "Günaydın..." Aku mengucapkanya pada orang yang berpapasan denganku, orang ini yang kemarin secara tak sengaja ku lihat. Dia disamping pak Serge saat aku ik
Liana POV Didepan memang disekat dengan pintu pagar besi, hanya orang orang tertentu yang dapat masuk untuk kepentingan tertentu. Disebelah kanan pintu masuk ini adalah ruangan besar terdapat penjaga disana. Azfer dengan lihainya berbicara. Bernegosiasi dengan sipir penjara itu. Aku hanya diam melihat cara dia bicara. secara keseluruhan cara bicara Azfer ini tegas, tidak banyak lelucon, lugas dan langsung pada intinya. Sorot matanya yang tajam kadang membuat lawan bicara seolah diintimidasi yang sangat dalam. Dia manggut-manggut setelah mendengarkan penjelasan sifir penjara, beberapa negoisasi dilakukanya dengan sang sipir, termasuk memberikanku ijin bertemu dengan tahanan saat Azfer tidak ada, jadi mereka membuat kartu akses khusus yang bisa digunakan untuk kepentingan lawyer, itulah tadi intinya negoisasi Azfer.
Liana POV "Aku akan kembali saja pak Azfer..." Katanya kemudian setelah tidak menyambut tanganku. Dia bangkit tapi Azfer lebih cepat mencegahnya. "Tunggu pak, kita akan berusaha mengeluarkan anda" Azfer mencoba mencegah Emir. "Biarlah saya disini saja pak, percuma hasilnya akan tetap sama" yang punya diri terlihat sekali putus asa. Aku berdiri mematung melihat mereka berdebat. "Kita harus berusaha setidaknya" Azfer menyemangati dengan tegas. Sepertinya karena Azfer sering membawa lawyer untuk dia, dua orang ini jadi akrab.
"Kamu lihatkan, beginilah kejadianya sehingga kita tidak bisa menolongnya bertahun tahun." "Ada trauma mendalam di hatinya" aku mengatakan kemudian. "Kamu pintar menginterogasi, bagaimana jika kamu masuk kepolisian saja" Azfer tersenyum setelah memujiku. Jenis senyuman yang membuatku membeku beberapa detik. Tuhan tolong jauhkan orang tampan ini dari hidupku, bagaimana aku bisa bertahan jika setiap hari diberikan senyuman begini, sadar ana sadar, kamu ini orang Indonesia dia turki, batinku meronta. "Sekarang kamu tau sendiri pengakuanya, berarti memang Emir tidak ada salah, opsi kedua kita harus mencari pembunuh itu siapa" kataku kemudian. "Tunggu sebentar"
Liana POV Hari sudah mulai sore pukul 18.00. Aku berjalan menuju tempat pakir taxi, Sebuah kedai pinggir jalan membuatku ingin mampir, perutku sedikit begegejolak. Sekarang, aku harus mengisinya. Sedikit teh dan seporsi kebab lumayan untuk menganjal perutku. "Pak kebab satu porsi" pesanku lalu membayar dan duduk di meja yang disediakan. Hanya ada beberapa orang sekarang dikedai ini. Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya melewatiku dan dompetnya terjatuh persis disebelahku. Dengan segera aku mengambilnya dan berteriak memangil. "Nyonya tunggu!" Seruku. Aku berjalan cepat karena wanita paruh baya itu berjalan cepat. "Nyonya tunggu..." Aku akhirnya sedikit berlari ke arah orang tersebut, akhirnya yang ku panggil berhenti dan menoleh. "Nyonya..." Aku sampai didepan orang itu. "Anda memangil saya?" "Iya,,, dom..pet anda terjatuh" kataku akhirnya sambil mengambil nafas. "Oh... Terima kasih banyak anak muda, sun
Azver Pov Aku melihat Mantanku di instagramnya, kekasihku yang tiba tiba saja menghilang dariku dua tahun yang lalu, dan kabar terakhir yang ku dengar dia menikah dengan pengusaha asal Yunani. Beberapa foto ipek membuatku sedikit nyeri, aku masih sedikit mencintainya, alasan tidak jelas kami berpisah membuat aku sulit untuk menerima kenyataan. Ku hembuskan nafas kasar lalu menutup istagramku. "Aku harus cepat move on" kataku pada diri sendiri, aku mengelap mukaku dengan tangan kananku, ku harap rasa gundahku segera hilang, aku pria yang sulit untuk jatuh cinta memang tapi bukan berarti aku pria yang tidak bisa move on. Aku langsung pergi meninggalkan apartemen ** ku rasa aku perlu menghubungi hakim serge, aku berjalan menuju ruang hakim, semoga beliau ti
Author POV Wajah tampan Azfer terlihat sudah menunggu tidak sabar didepan sebuah flat. Dia sudah berdiri dari lima belas menit yang lalu dengan memainkan kunci mobilnya. Ana terlihat berlari dengan tergesa gesa. "Aduh!" Lenguhnya ketika ia tidak sengaja menabrak pot bunga didepan pagar, tapi itu tidak menyurutkan niatnya berlari. "Hahhh hahhhh hahhh" nafasnya memburu akibat lari maraton. Wajah Azfer yang melihat Ana, sedikit mengernyit tidak sabar. "Sorry sorry aku telat" lirihnya "Dasar orang Indonesia"Kata Azfer malas lalu berputar dan masuk ke kemudi mobil. "Hhhhh hahhh" Ana membuang nafas terakhir dia memandangi Azfer yang barusan menghinanya itu dengan wajah sebal, jantungnya sudah normal sekarang. "Sabar Ana, sabar ini ujian" katanya pada diri sendiri, lalu membuka pintu mobil dan masuk disamping Azfer. "Kamu biasa bangun dan lari lari seperti ini?" "Hmmm" dia malas menangga
Author POV Azfer telah bersiap untuk pulang hari ini, dia tersenyum lembut ke Istrinya-Liana, wanita yang sedang membereskan semua barang itu terlihat sangat sibuk, beberapa kali dia mondar mandir untuk mengecek barang-barangnya. "sayang..." Azfer memangil dengan suara yang lembut sekali. Liana menoleh dalam mode pelan, matanya mengerjap beberapa kali ketika bertemu dengan manik mata suaminya. "ada apa sayang?" tanyanya, dia sedang serius dan berkonsentrasi penuh. Azfer tersenyum sekilas lalu mengeleng pelan. "kamu jangan terlalu capek" ucapnya, Liana kemudian tersenyum dan menghampiri suaminya itu. Liana tentu saja tidak memperbolehkan Azfer untuk ikut serta membereskan semua barang-barang, kesehatanya belum sepenuhnya pulih. "aku kayak De-javu ya, kayak adengannya kebalik gitu" Liana lalu tertawa berderai, Azfer ikut tersenyum lebar mendapati tawa istrinya yang renyah itu. "dulu kamu yang kayak gini di Ista
Liana POVaku tidak pernah menyangka akan melibatkan diriku pada urusan yang sangat pelik ini, ku pikir semuanya akan terkendali. nyatanya tidak satupun yang dapat ku kendalikan.Suamiku terbujur dengan peralatan medis di sekujur tubuhnya, bahkan tadi aku bergetar hebat ketika menelephone ibuku dan mama Dilara, entahlah apa yang akan mereka katakan padaku nanti, Mama bahkan menangis hebat dan langsung memesan penerbangan ke Indonesia malam ini juga, tapi jarak istanbul-Indonesia yang mencapai hampir delapan jam perjalanan udara.dokter sudah memeriksa Azfer tadi dan melakukan tindakan operasi cepat, kalau Azfer dapat melewati masa kritisnya dalam waktu kurang dari 24 jam kemungkinan dia akan sembuh lebih besar, tapi lain lagi jika ia tidak dapat melewati masa kritis, mungkin aku harus bersiap dengan kemungkinan terparah.aku menekan-nekan ponselku sebentar aku menghubungi Ismet, mukanya langsung muncul dalam layar ponselku ketika panggilanku dijawab
Author Pov Mobil metalik hitam jenis sedan keluaran terbaru itu, memasuki area istana gubernur Jawa barat, lebih tepatnya di kota kembang Bandung. Seorang dengan pakaian formal berwarna merah berkelas menuruni mobil tersebut, lalu mobil dibelakangnya juga mengikuti, seorang berwajah sangat rupawan di ikuti seorang pria paruh baya keluar dari mobilnya. "Ibu Liana" panggil Sancar "Iya pak" wanita itu menjawab dengan santai, siapa lagi kalau bukan Liana. "Bagaimana persiapan untuk presentasinya?" "Sudah saya siapkan pak" katanya mantap, kedua laki-laki itu saling pandang dan mangut-mangut sekilas, kemudian mereka berjalan memasuki gedung besar itu di ikuti Liana dibelakang mereka. -- Pertemuan itu berjalan dengan sangat baik, bahkan tidak ada kendala yang berarti bagi pihak AHA, sumber daya manusia indonesia yang mengelola pertanian sangat besar apalagi dijawa barat, gubernur sangat senang atas inve
Author POV Lampu merah itu terjadi sangat lama dipertengahan jalan, kini mobil sudah sampai pada jalan palgura mobil mengerem mendadak, membuat Xavi hampir tersungkur kedepan. "Akhh.... " ucapan Xavi terputus setelah beberapa orang berkaos hitam mengendor pintu mereka. Ada empat orang sekarang yang mengerumuni mobil mereka. "Buka pintunya!!!" teriaknya lantang, sebuah pistol sudah ditodongkan tepat disamping kaca, memaksa ujang langsung tiarap. "Buka sebelum semua orang berkerumun Nona!!!" Teriak yang disamping Xavi, dengan cepat Ujang membuka kunci pintu mobil, dan dengan cepat orang-orang itu membuka mobil dan memaksa Xavi keluar. "Ikut kami baik baik nona" kata mereka dengan halus Xavi yang tidak mengerti bahasa
Author POV Dipulau Bali, Xavi terlihat berjalan santai didekat pantai Kuta, ia sering menikmati matahari dipantai cantik itu, tidak sulit untuk menginjakkan kaki setiap hari dipantai itu, karena jarak rumah yang dibangun Liana dikuta tidak jauh dari pusat gemerlap pantai kuta. Langkah kakinya berjalan telanjang menyusuri pantai yang penuh dengan turis dari berbagai negara itu, dia senang karena tidak perlu bersapa atau ramah pada orang-orang itu karena toh orang-orang itu juga tidak mengenalnya, dia juga tidak ingin mengenalkan dirinya ke semua orang, anggap saja, dia ingin melarikan diri dari kenyataaan bahwa orang yang telah mengisi hatinya bukan orang yang pantas untuk dia temani. Lalu Xavi duduk pada pasir putih, setelah matahari terbit dari arah barat dia beranjak dari tempat duduknya, dia berniat ingin kembali ke rumah, mungki n asisten rumahnya yang di
Author POV Welcome Soekarno-Hatta Akhirnya Arslan, Azfer dan Liana tiba dibandara Soekarno-Hatta, ibu Liana-Sumarni terlihat menunggu di penjemputan bandara bersama Sari, wajah mereka terlihat berbinar binar, Liana dan Azfer menggeret koper mereka, sedangkan Assisten mereka dan Arslan sedang berjalan kedepan. "Itu mereka Sari" kata Sumarni pada Sari, mata Sari langsung memandang ke arah kedatangan dan benar saja Azfer dan Liana terlihat tersenyum manis dari kejauhan, dengan cepat Sumarni menghampiri ke empatnya. "Sayang" Liana langsung memeluk ibunya begitu dekat, Azfer memeluk sari sekilas, merek bergantian berpelukan. "Ibu kangen nak" katanya disertai lelehan air mata dari sudut matanya.
Liana POV Deru mobil Azfer terdengar memasuki lobi, kantor ini tidak besar dan pegawaiku juga tidak banyak, jadi ada tamu yang masuk hanya mampir saja kami akan langsung tau, Azfer seperti biasa dengan ramahnya dia menyapa pegawai lalu gagang pintu terbuka lebar "Tünaydın sweety" "Tünaydın sweet heart" aku langsung memeluknya, senyumanya merekah dan indah "Bagaimana tadi pertemuanya" "Duduklah dulu, teh kopi?" Tawarku "Kopi saja" lalu duduk disofa tamu Aku beranjak ke mesin coffe untuk membuatkaanya moccacino, setelah selesai aku segera menghampirinya dan meletakkan moccacino nya d
Liana PoV Bagaimana dia bisa mengenalku? Tanyaku pada diri sendiri, aku mencoba tersenyum untuk orang satu ini. "Iya saya, ada yang bisa saya bantu Sancar bey?" Tanyaku pada orang yang baru saja memangil namaku. "Anda lawyer AHA?" Dia tersenyum ramah padaku, jelas dia bukan orang yang bisa ramah kepada siapapun, cenderung wajah yang dingin, tapi kenapa dia bisa sangat ramah dan tau namaku?. "Iya benar pak" kataku, Oemar didisampingku hanya diam memperhatikam kami, sekilas dia melirikku dari sudut matanya, Sancar mendekat. "Saya permisi dulu ibu Liana" kata Oemar dia memang agak gelisah sejak Sancar memangilku baru saja. "Oh, iya pak Oemar terima kasih, nanti s
Liana POV "Selamat siang... " aku berdiri didepan seorang resepsionist. "Selamat siang ibu Liana, rapatnya sudah dimulai, ada di lantai Lima" sebegitu seringnya aku kesini sampai-sampai resepsionist itu mengenal wajahku. "Terima kasih" jawabku tersenyum "Ibu Liana..." seseorang memanggilku dari belakang, aku menoleh rasanya tidak asing dengan suara itu, seorang laki laki tampan bertubuh tegap tersenyum padaku. "Oemar" kataku lalu mengulurkan tangan, dia tersenyum manis. "Bagaimana kabarmu?" lanjutku "Baik baik" jawabnya tersenyum lalu pintu lift membuka, kami langsung masuk