Musim Panas, Cordoba 1009 Masehi.
"Ayo kita pergi dari tempat ini nak, keadaan sangat buruk!" cetus seorang ayah kepada anak laki-laki disebelahnya.
Anak laki-laki itu hanya mematung, kedua sorot matanya menatap pada segerombolan pasukan militer yang menghancurkan tiang-tiang kokoh bangunan Istana Madinah Al Zahra.
Keringat dingin bercucuran, jantungnya terus berdegup dengan keras, usianya tujuh tahun, ia tak mengerti mengapa para pasukan militer itu begitu beringas menghancurkan istana yang sudah susah payang dibangun sang khalifah.
Angin bertalu, menghembuskan hawa panas ke permukaan bumi, menyapu debu, meniup pohon – pohon palem, lalu pergi ke utara, menghilang tanpa jejak.
Matahari menyala diatas petala langit, menyambarkan sinarnya bak lidah api berkilat-kilat membuat gedung di sepanjang jalan itu seolah meleleh,
Segerombolan pasukan militer berpakaian tempur membawa senjata, menaiki kuda-kuda bertubuh gagah, lewat di hadapannya. Tujuan mereka satu, menangkap sang Khalifah boneka yang tidak dapat bertanggung jawab atas tanah kekuasaanya, keadaan kacau balau, kerumunan orang yang penuh dengan kekecewaan, amarah, dan ambisi kuat berpencar membentuk dua kelompok besar.
Kelompok pertama pergi menuju tempat pemerintahan untuk menangkap sang khalifah yang menjadi penyebab utama hancurnya kota ini, sementara kelompok lain pergi ke arah istana madinah Al Zahra. Langkah kaki kuda terdengar kompak, bukan kekaguman yang tersirat pada benak warga yang melihat, melainkan kengerian yang mereka takuti.
Anak kecil itu berdiri mematung di depan rumah, menyaksikan para pasukan militer melintas di depannya, tangannya mengepal kuat-kuat, hatinya berdesir, sang ayah di sebelahnya menggenggam kuat jemarinya, dan tak lama kemudian, suara keras terdengar.
BRUK
PRANG
BRAK
Tombak-tombak pasukan militer menghantam dinding bangunan istana Al Zahra, anak kecil itu semakin ketakutan, ia mengumpat di belakang tubuh sang ayah.
"Ayah, kenapa mereka menghancurkan istana yang sudah susah payah di bangun khalifah? bukankah tempat itu menjadi saksi bisu betapa hebatnya pemimpin di masa ini?" tanya anak laki-laki itu dengan getir.
Sang ayah tak bisa menjawab apapun. Sesungguhnya, hatinya pun pilu, namun apa yang terjadi di depan matanya adalah sebuah suratan takdir, hukuman akan keserakahan para pemimpin yang berebut kekuasaan.
"Kita tak punya waktu nak! Sebelum pasukan militer bertambah banyak, dan keadaan semakin parah, kita harus pergi, kemasi barang-barangmu!" pintanya lagi.
GLEK
Anak laki-laki itu menelan liurnya, ia tak ingin pergi namun keadaan memaksanya untuk menurut. Segera ia berpaling dari hadapan sang ayah, berlari masuk ke rumah, berkemas. Sementara di luar sana.
Para warga yang berada diluar rumah menyaksikan sendiri pasukan militer menyerang membabi buta bangunan istana Madinah Al-zahra, membenturkan tombak ke dinding-dinding menara, menghancurkan taman-taman bunga yang tengah mekar sempurna. Anak kecil itu kembali menghampiri sang ayah di depan rumah, kedua matanya melihat kembali betapa dahsyatnya tombak - tombak pasukan militer menghancurkan istana yang begitu megah, ia menangis, di peluknya sang ayah. Betapa sedih hatinya melihat penghancur leburan kota super megah yang sering orang-orang ceritakan.
Kini semua yang pernah didengar dari cerita sang ayah, dari buku-buku yang pernah dibacanya hanyalah tertinggal kenangan. Anak kecil itu semakin menangis tersedu-sedu, usianya bahkan masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang tengah terjadi di depannya. Dibenamkan wajahnya pada sang ayah dengan begitu erat, ia tak ingin melihat lagi betapa bengis mereka menghancurkan tempat yang menjadi dongeng indah pengantar tidur.
"Hey, Detener!"Teriak gerombolan pria berjaket kulit hitam dalam bahasa Spanyol sambil mengejar seorang gadis bermantel merah di depannya. Langkah kaki mereka serempak diayunkan, membuat langkah kaki gadis itu semakin kencang berlari. Elisa Noura tak pernah menyangka dirinya akan terlibat dalam situasi ini, ia pun tak mengenal para pria yang mengejarnya di belakang. "Ya Tuhan, kali ini apa salahku!" gumamnya sambil terus berlari. Cordoba tengah memasuki puncak musim dingin, buntalan tipis seputih kapas itu turun dari langit, jatuh ke atap gedung, rumah, pepohonan hingga menyepuh Cordoba bagai berselimut putih nan menawan. Pohon maple di tepi jalan bergoyang saat harmoni dari musisi jalanan di sepanjang sungai Guadalquivir mengalun, membentuk simponi yang indah.Elisa terus berlari,deru nafasnya terengah dan wajahnya memerah lantaran suhu udara mencapai minus lima belas derajat celcius, kepul asap putih keluar dari hidungnya seiring dengan semakin kencang ia berlari. "Ayo cepat, s
"Ini Apartemenku! Kau salah masuk Apartemen!" tegas Afsheen lagi dengan menurunkan sedikit nada bicaranya.Elisa terdiam, ia nyaris tak berkedip saat melihat mata biru Afsheen seakan bersinar, indah sekali, berpadu dengan bentuk wajah oval yang memesona, sudah barang tentu Elisa yakin pria didepannya ini adalah keturunan asli warga Eropa bercampur darah Timur Tengah. Merasa diacuhkan, Afsheen mengibaskan tangan didepan wajah Elisa, "Hei, kau dengar aku?" lanjutnya lagi. Elisa terksesiap, ia berkedip dan tersadar bahwa dia memang salah masuk apartemen. Di garuk kepalanya yang tidak gatal seraya berkata,"Maafkan aku, tapi bolehkah aku menumpang disini sebentar? Aku janji tidak akan merepotkan." pinta Elisa setengah memohon. Afsheen langsung mengerutkan dahinya, "Menumpang? Kau? Oh tidak, tidak! Aku tidak akan membiarkan orang asing menumpang di kediaman ku." balas Afsheen sambil menggeleng. Elisa berpaling lagi dari sisi Afsheen menuju interkom di samping pintu masuk. Tiga orang
'Kau tidak boleh menyentuh apapun di apartemen ini!' kira-kira begitulah kalimat yang diucapkan Afsheen sesaat sebelum pergi dari hadapannya. Elisa hanya menggerutu kesal sambil berlalu dari depan intercom. Kedua matanya memandang seisi apartemen Afsheen yang indah, tak ada barang-barang mewah yang mengisi apartemen seindah ini, hanya ada guci kuno, keramik, piring porselen yang tersusun di atas lemari samping tempatnya berjalan. Elisa mengamati satu persatu benda-benda itu, menyentuhnya dan seketika tersenyum. Guci kuno di depannya ternyata jauh lebih indah saat dilihat dari dekat. "Hoam… " Elisa menguap. Ia mulai merasa bosan. Dihampirinya lemari buku yang terletak di ruang tengah. Sudah hampir satu jam ia menunggu, Afsheen tak kunjung kekuar dari kamar. Ia menaruh biola kecil di punggungnya ke atas meja, lalu beralih ke depan rak buku, mencari beberapa buku yang mungkin bisa di bacanya. Elisa membaca satu persatu buku yang tersusun di rak itu, sayangnya, tidak hanya ada dereta
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Elisa saat menyadari Afsheen tiba-tiba diam.“Tidak,aku tidak apa-apa,” Jawab Afsheen pelan sambil menggeleng pelan kepalanya. Ia juga merasa heran mengapa bayangan buram itu tiba-tiba mengganggu pikirannya. "Alku mengizinkanmu tinggal, namun peraturanku masih berlaku, kau tidak boleh menyentuh apapun, entender? ”“Etender, sir” Jawab Elisa sumringah. Tanpa menghiraukan, Afsheen berbalik, melanjutkan langkahnya keluar dari Apartemen.Saat tiba di luar Apartemen dan melihat langsung ketiga orang yang sebelumnya hanya terlihat dari layar Intercom, ia kemudian berlalu. Bisa saja ia menyuruh mereka pergi dan mengancam akan melaporkan kepihak berwenang dengan dalih mengganggu kenyamanan penghuni Apartemen jika ketiganya menolak. Namun lagi-lagi itu bukan urusannya. Ia tidak ingin terlibat satu masalah apapun dengan orang asing. Sekitar dua puluh menit lalu ketika Ia masih berdiam di kamar, seorang editor dari kantor penerbitan Espiel Press menghubungi, memi
"Whoa… lengkap sekali… " gumam Elisa ketika membuka kulkas di dalam apartemen Afsheen. Beberapa saat lalu, begitu Afsheen pergi, tenggorokan Elisa terasa kering, ia harus meminun beberapa teguk air untuk membasahi tenggorokannya. Jadilah, ia berjalan menuju dapur, membuka kulkas yang ada disana, Lagi-lagi kedua matanya melebar saat melihat begitu banyak sayuran, buah, lauk pauk yang disimpan didalam lemari es oleh pria itu. "Ada jamur champion, wortel, sawi, dan bakso." gumamnya sambil mengambil semua sayuran itu satu persatu. Elisa tersenyum, ia rasa, jika ia masakkan sesuatu untuk Afsheen, pria itu akan memaafkan atas kesalahannya hari ini. "Aku akan buatkan masakan yang lezat untukmu." gumam Elisa lagi. Bergegas ia mengambil semua bahan yang diperlukan untuk memasak, bumbu dan berbagai lauk pauknya, hingga semua bahan itu ludes dari dalam kulkas. Alunan musik Pop dari ponselnya berbunyi nyaring, tanpa sadar Elisa sudah memasak begitu banyak menu makanan. Didalam fikirannya,
Sekitar jam 14.30, Afsheen tiba di Apartemennya, sepanjang perjalanan tadi, tak henti otaknya berpikir tentang alur cerita yang diminta Erick. Kisah yang tak ada sad ending di dalamnya. Ia menghela nafas, hingga kepul asap putih keluar dari bibir dan hidungnya yang kedinginan. "Aku penasaran, mengapa mereka masih berada di tempat ini." gumam Afsheen ketika melihat tiga orang yang sebelumnya hanya ia lihat dari intercom Apartemen berdiri di lorong tidak jauh dari apartemennya. Tanpa ragu, ia pun mendekat, “Disculpe ada yang bisa saya bantu?, saya lihat kalian terus di sini sejak beberapa jam lalu,” ucap Afsheen pada seorang pria berkepala botak. Pria berkepala botak itu merespon keberadaan Afsheen. “Kami mencari seorang wanita, terakhir kami lihat dia masuk ke gedung ini dan kami yakin dia ada di salah satu Apartemen,” jawabnya.“Wanita?, Apa kalian yakin dia masuk ke gedung Apartemen ini?” tanya Afsheen lagi. Sebenarnya ia juga penasaran alasan ketiga pria ini mengejar gadis itu
Elisa menarik nafas saat kakinya menginjak masuk Apartemen. "Kenapa mesti teriak-teriak, dia kan bisa bilang baik-baik!" gerutunya begitu menutup pintu apartemennya sendiri. Ia beruntung, sebab tiga orang yang berjaga di Koridor depan sudah tidak ada, hingga dirinya bisa kembali dengan selamat. Elisa mendesau kesal sambil menyandarkan tubuhnya ke balik pintu yang tertutup, ia teringat tatapan pria tadi dan beberapa perkataannya sungguh berbekas di hati. Elisa baru tinggal di Apartemen ini sekitar satu minggu sejak pindah dari perkampungan kecil di pelosok kota Cordoba. Ia sempat tinggal selama setengah tahun disana namun belakangan kedua orang tuanya meminta ia pindah ke Apartemen ini demi kenyamanan, transportasi umum dari tempat tinggal Elisa sebelumnya terbilang sulit. Elisa beranjak dari depan pintu menuju kamar. Kring... Kring.. Belum sempat ia merebahkan diri, ponsel yang ia diletakkan diatas meja berdering. Panggilan dari sang ibu, buru-buru Elisa menjawab.“Halo mam,
Pagi masih buta, awan kusam bergelayutan dilangit. Namun penduduk kota itu berhamburan kesana kemari, wajah mereka panik, berlari memasuki rumah satu persatu, berteriak teriak histeris...“Prajurit datang.....!” teriakan itu memperingatkan penduduk lain agar segera bersembunyi. Hentakan kaki kuda di atas tanah semakin riuh terdengar, dari arah barat, pasukan berkuda prajurit lain datang menyerbu pasukan prajurit yang berdiam di kota itu. Dalam beberapa menit saja keduanya bertemu, peperangan tidak bisa dihindarkan. Pedang pedang laras panjang mereka menyerang musuh-musuh yang ingin merebut daerah kekuasaan, darah segar muncrat dari tubuh-tubuh lunglai yang terhunus pedang, bau darah langsung tercium dan pedang-pedang mereka terlapisi cairan merah berbau anyir.Seorang anak laki-laki mengintip dari balik tirai rumah, melihat peperangan yang sering terjadi akhir-akhir ini, tubuhnya gemetar hebat, air matanya tak kuasa mengalir, bibirnya mengatup kuat-kuat. “Athif, cauteloso” Ucap Seor
Semua diam. Tidak ada satu orang pun di antara begitu banyak penonton membuka suara, mata mereka tidak kunjung lepas dari seorang gadis di atas panggung. Gadis itu pun sama, menunjukkan Ekspresi tegang luar biasa, jantungnya berdegup amat kencang, dalam hati ia terus tak tenang. Benarkah ia sudah gagal? Benarkah penampilannya kali ini mengecewakan? Namun, belum sempat Argumen – Argumen itu terjawab, seluruh penonton yang duduk di kursi seketika berdiri, kompak, seperti sudah terencana, mereka bertepuk tangan amat keras, menggema seantero gedung pementasan, suasana yang hening beberapa saat lalu menjadi riuh, gadis itu tersenyum lebar, berbeda sekali dengan ekspresi pertama, tangannya gemetar hebat sambil memegang bow. Ia langsung membungkuk memberikan tanda hormat pada semua penonton dan mengucapkan terima kasih. “Elisa ... Elisaaa ....” teriak salah seorang penonton di antara riuh tepuk tangan. Elisa mendengar namun hanya menjawab dengan senyuman, ia beruntung, sangat Beruntung kar
Sudah seharian Andrian tidak pulang , Elisapun sudah berangkat sejak jam 7 pagi tadi, Rheina semakin gelisah, sudah setengah jam ia mondar mandir di ruang tengah melihat jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore, ia harus secepatnya bilang pada Andrian agar mengembalikan uang milik Elisa, atau rasa bersalah di hatinya akan terus menghantui.Tiba-tiba Engsel pintu apartemennya bergerak, Rheina terdiam beberapa saat sampai seseorang muncul dari balik pintu yang terbuka. Andrian pulang dengan mata sayu dan tubuhnya yang tinggi besar lunglai hampir terjerembab jatuh ke lantai, jelas sekali dia terpengaruh minuman keras. Rheina buru-buru mendekat, namun tangan Andrian mendorongnya.Sempoyongan Andrian menuju sofa, dan membanting tubuhnya disana.“Mana uang Elisa yang kau pakai!” geram Rheina.Andrian masih diam, namun matanya tajam menyorot Rheina.“Uang itu sangat penting untuk Elisa, mengapa kau gunakan untuk mabuk-mabukan begini!” lanjut Rheina makin kesal.“Diamlah aku lelah!” jawab
“Buenas tardes Mustafa Afsheen.” Seseorang tiba-tiba menepuk bahu Afsheen membuatnya menoleh, Eric dan seorang wanita yang tidak asing berdiri di depannya.“Aku mencarimu di halaman tapi tidak ada, ternyata dugaan ku benar, kau memang masuk disini.” Ucap Eric lagi. Afsheen masih berdiri di bawah mihrab masjid yang melengkung bak tapal kaki kuda, “Matamu merah, kau baik baik saja?” Eric bertanya dengan heran.Afsheen langsung tersenyum. “Ah tidak apa-apa, ayo kita ke halaman saja Eric, udaranya lebih segar disana,” “Baiklah.”Wanita yang tadi bersama Eric masih terus mengikuti mereka sampai ke halaman Katedral Mezquita, Afsheen diam sambil terus mengingat-ingat, di mana ia pernah bertemu wanita itu, sampai ketika mereka tiba dan duduk dibawah pohon jeruk. “Aku sudah baca naskah yang kau kirim pagi ini, dan aku benar-benar terpesona Afsheen... setiap kata yang kau untaikan, melukiskan betapa indahnya tulisanmu,” puji Eric. “Ah bisa saja, aku juga tidak tahu, tiba-tiba saja kata-kat
Elisa sudah tak bisa berpikir lagi, ia serasa buntu. Sudah dua hari sejak orang tuanya mengatakan kalau uang pementasan sudah di transfer dan diambil paksa oleh Andrian, sampai detik ini Elisa tidak bisa mendapatkan uang sebanyak 200 Euro sebagai pengganti. Setelah dihitung-hitung, uang didalam tabungan dari jerih payah mengamen hanya mencapai 86 euro. Ia menghela nafas dengan berat, "Apakah ini saatnya bagiku untuk menyerah?" gumamnya dengan murung. Elisa membuka pintu kamar, ia keluar lalu berdiri di Balkon, di tatapnya langit yang sudah berganti gelap, Aangin membabi buta bertiup, Ia menguap, matanya mengantuk namun tidak bisa tidur, hingga percakapannya dengan Afsheen siang itu tiba-tiba terngiang kembali di kepalanya.‘Seorang musisi tidak akan pernah meninggalkan panggung dan penontonnya begitu saja.'Tanpa berfikir panjang, Elisa bergegas, ia beranjak mengambil biola di atas meja dan beralih ke depan jendela. Semangat Elisa tiba-tiba membuncah setelah mengingat ucapan Afshe
Begitu melintas di Gang kecil itu, Afsheen terkesima, ternyata gang kecil itu adalah penghubung antara jalan dengan pemukiman, ia mematung di ujung gang, melihat barisan rumah-rumah, tiang-tiang lampu jalan, pohon-pohon besar menjulang dan tentunya air mancur di pertengahan jalan, airnya membeku membentuk tetesan-tetesan indah ibarat kristal bening berkilauan, tanah berlapis salju seperti sengaja dihamparkan tanpa satu sudut pun terlupa.Ia melangkah pelan-pelan, mengamati dengan seksama, hatinya takjub luar biasa, keindahan yang tidak pernah ia lihat di semenanjung kota Cordoba, sejenak ia merasa seperti berada di negeri dongeng, tempat itu sederhana, tidak ada apartemen, gedung bertingkat, ruko-ruko tapi sangat indah dan rapi, ditambah lagi tetesan salju yang turun membuat suasana menjadi lebih dingin dan lebih menakjubkan, tiba-tiba Afsheen berhenti melangkah ketika melihat masjid di tengah tengah rumah warga, pemisahnya hanya jalan kecil untuk masuk ke bagian belakang pemukiman,
Sejak runtuhnya masa kekhalifahan Umayyah di Cordoba pada 1031, Andalusia terpecah menjadi taifah-taifah yang setengah merdeka maupun merdeka penuh dengan dibawah pimpinan raja-raja golongan, Cordoba, Granada, Sevilla, Toledo dan berbagai kota lainnya. Puncaknya dibawah kepemimpinan Al-Ma’mun, Toledo berhasil menjadi kota yang berkilau dan cemerlang, Al-Ma’mun selalu berusaha mengarahkan Toledo menjadi pengganti pusat kepemimpinan islam diwilayah semenanjung Andalusia setelah runtuhnya Pemerintahan di Cordoba. Dan Sevilla muncul sebagai saingan utama Toledo dibawah kepemimpinan orang-orang kuat dari Disanti Abaddiyah, Sevilla menjadi surga baru bagi perkembangan Syair dan Puisi di Andalusia. Dalam beberapa tahun berikutnya, Al-Ma’mun berhasil mendapatkan Cordoba meski pada akhirnya kembali jatuh ketangan pesaingnya di Sevilla yakni Dinasti Abaddiyah. Memasuki pertengahan abad ke – 11, konflik saudara di antara kaum muslim semakin parah. Ditahun 1065, Kota Barbastro berhasil di rebut
Hatinya mendung, sama persis seperti keadaan langit bertumpuk awan gelap diatas sana. Butir-butir salju berjatuhan, membuat udara semakin dingin, Elisa menghela nafas begitu berdiri dan bergabung dengan sesama musisi jalan didepan jembatan Puente Romano, sekitar setengah jam yang lalu ia datang ke tempat madam Ceillane untuk melanjutkan latihan biola, namun ia tidak bisa berkata apa-apa ketika madam menanyakan perihal pendaftaran pementasan yang hanya tinggal menghitung hari. Pementasan biola itu biasanya diadakan sekitar dua tahun sekali untuk menguji kemampuan para siswa madam Ceillane, tak tanggung-tanggung, karena pentas itupula, banyak musisi handal spanyol yang pasti akan mengajak sang Violinis untuk bergabung dengan grup musik mereka dan membuat album bersama, Elisa mengidamkan hal itu, mengadakan konser tunggal sendiri, membuat album musik sendiri dan tentunya ia tidak akan mengamen di tempat ini lagi. Namun, sepertinya ia yang terlalu mengawang awang tinggi, hal seperti itu m
Salju turun tipis-tipis, Rheina masih berdiri di balkon apartemen sambil melihat kilauan butir es itu yang jatuh ke permukaan bumi, tepat disaat yang bersamaan Afsheen membuka pintu dan keluar dari Apartemennya. Rheina menoleh, senyumnya mengembang tatkala melihat pria tampan berdiri tak jauh dari posisinya, ia langsung mendekat, matanya berbinar-binar menatap wajah Afsheen yang telah berhasil menggetarkan hatinya, “Good Morning sir." ucap Rheina menyapa Afsheen, dalam sekejap ia sudah berdiri di samping Afsheen Afsheen hanya menoleh sebentar pada Rheina, dan berlalu begitu saja tanpa menghiraukan. Rheina tak menyerah, ia langsung menyusul Afsheen dan berdiri di depannya.“Hai, My name is Rheina and you?” Ucap Rheina sambil mengulurkan tangan. Afsheen masih diam memperhatikan uluran tangan Rheina."Maaf, apa saya mengenal anda?" Jawab Afsheen nampak acuh, Ia mengabaikan Rheina dan melintas begitu saja dari hadapannya.Rheina kesal, selama di Australia, tidak seorang pria pun mampu
Berita di televisi sudah ramai sejak pukul 05.00, hampir seluruh channel menyiarkan berita yang sama, Afsheen duduk santai sambil menenggak teh hangat di depan televisi, dugaanya memang tepat semalam sekitar jam 02.00 dini hari badai salju terjadi, angin berhembus amat dahsyat, salju turun lebat tanpa henti, beberapa rumah di berbagai kota di Spanyol rusak ringan sampai rusak parah, pohon-pohon banyak yang tumbang dan dari berita tadi juga ia melihat mobil yang parkir di pinggir jalan penuh tertutup salju, nyaris tidak terlihat lagi. Ruas-ruas jalan lumpuh, kendaraan terjebak, ia sudah bisa membayangkan betapa kacau keadaan di luar, untung ia sudah antisipasi lebih dulu.Afsheen menghela nafas sambil menyeruput secangkir coklat panas hingga tiba-tiba ia mendengar suara seseorang berkata,“Apa kau yang membawaku semalam?” Afsheen langsung menoleh, dilihatnya Elisa tengah berdiri tak jauh darinya."Kau sudah sadar rupanya," balas Afsheen datar. Elisa terdiam, seketika matanya tak senga