Debi memijat keningnya yang terasa pusing. Debi bingung dengan cara apa dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Mungkin jika dengan meminjam, Debi bisa mendapatkannya, tapi sayangnya Debi bingung harus meminjam pada siapa. "Ya Tuhan, aku benar-benar bingung sekarang. Tidak ada orang yang bisa aku mintai bantuan kecuali........"Debi menghentikan ucapannya. Debi merenung. Memang tidak ada lagi yang bisa menolongnya kecuali Rafa, tapi Debi tidak mungkin meminta bantuan padanya."Aku tidak mungkin minta bantuan sama Rafa. Mau ditaruh mana wajahku ini. Tapi kalau aku gak minta bantuan sama Rafa. Terus aku bisa dapat uang 50 juta dari mana?"Di tengah kebingungan Debi. Debi pun memutuskan untuk menekan egonya. "Aku minta nomornya Rafa sama Kak Renata deh. Pasti dia punya."Debi mengambil ponselnya. Tidak ingin mengulur waktu. Debi langsung menghubungi seniornya."Halo, Kak Renata.""Halo Debi. Tumben telpon. Ada apa?""Itu Kak Renata. Aku mau minta nomor.""Mau minta nomor? Nomornya siap
Baru saja sampai di depan pintu masuk rumah sakit. Debi langsung disambut istri dari laki-laki tua yang ia tabrak."Syukurlah, akhirnya kamu datang juga Mbak Debi.""Iya Bu, maaf saya agak telat.""Iya Mbak Debi, tidak apa-apa. Ayo Mbak Debi, kita lunasi sekarang biaya rumah sakit suami saya.""Iya Bu."Debi melangkahkan kakinya, sementara Rafa berjalan di belakangnya. Di depan petugas administrasi. Debi menghentikan langkahnya. Debi melihat Rafa yang berdiri di sampingnya. "Ada yang bisa saya bantu Mbak?""Saya mau membayar biaya rumah sakit pasien yang ada di ruang Mawar nomor 18.""Oh iya, sebentar ya Mbak saya cek dulu.""Iya."Setelah menunggu cukup lama. Petugas itu pun melihat Debi."Jadi semua totalnya 70 juta Mbak.""Apa? 70 juta?" balas Debi terkejut. Pasalnya baru saja beberapa hari yang lalu Debi menanyakan biaya rumah sakit, dan hari ini sudah naik sebanyak itu. "Bukannya kemarin katanya 50 juta ya?""Iya, itu belum ditotal sama biaya pasien tiga hari ini. Bagaimana Mb
Seperti yang Debi lakukan setiap harinya. Debi berjalan dari satu meja ke meja lainnya. Ada banyak sekali pengunjung yang datang hari ini, membuat Debi merasa kelelahan. Untungnya meja yang Debi datangi adalah meja terakhir. Huh, setelah Debi selesai menaruh pesanan. Debi melangkahkan kakinya berjalan menuju bartender."Capeknya," kata Debi sembari duduk."Yang namanya bekerja ya capek.""Iya Mas Doni, hari ini benar-benar sangat melelahkan.""Kamu pikir kamu saja yang lelah. Aku juga sama.""Hari ini tidak seperti biasanya ya Mas. Ada banyak sekali pelanggan yang berdatangan.""Iya, mungkin karena pelayanan yang kita berikan baik. Selain itu, management Pak Juna juga sangat bagus." "Oh iya."Mendengar nama Rafa disebutkan. Seketika itu Debi terdiam. Huh, entahlah kenapa itu bisa terjadi. Debi merasa ada yang aneh dengan dirinya. Apalagi saat Debi tahu bagaimana perasaan bosnya itu kepadanya.Doni yang ada di depan Debi pun menyadari perubahan sikap Debi. Yah, Doni tahu apa yang ter
BrakkkkRafa membanting pintu mobil. Seperti Debi yang tengah menghempaskan harapannya. Setelah Rafa menghidupkan mesin mobilnya. Rafa melajukannya pergi meninggalkan tempat itu. Mobil Rafa melaju di tengah jalan raya yang tengah ramai. Meski jam sudah hampir menunjukkan pukul tengah malam, namun Rafa melihat masih ada banyak sekali kendaraan yang lewat di sampingnya. Rafa tak peduli akan hal itu. Rafa terus melajukan mobilnya tanpa peduli akan keselamatannya. Mungkin itu karena pikiran Rafa tengah kacau saat ini. "Semua wanita yang aku cintai. Tidak ada yang membalas cintaku. Apa mungkin aku ditakdirkan untuk sendirian?"Rasa kesal menemani perjalanan Rafa, membuat pikiran Rafa kacau. Rafa terus menambah kecepatan mobilnya. Rafa seolah tak peduli jika mau tengah menyambutnya. Di tengah mobil Rafa yang melaju kencang. Tiba-tiba Rafa dikagetkan saat sebuah truk melaju di depannya dengan kecepatan yang juga tak kalah kencangnya. Rafa pun panik dan membanting stir mobilnya. Brakkkk
Di tengah kesibukan karyawan. Tiba-tiba mereka dikejutkan saat salah satu karyawan meminta mereka untuk berkerumun. "Ada apa kamu meminta kamu berkerumun?""Kalian sudah denger belum, kalau Pak Juna kecelakaan.""Apa? Pak Juna kecelakaan?" balas mereka terkejut dan kompak."Iya, Pak Juna kecelakaan.""Jangan menyebarkan berita yang tidak-tidak kamu.""Eh, aku tidak menyebarkan berita hoak. Apa yang aku katakan ini benar. Pak Juna memang kecelakaan, dan sekarang Pak Juna dibawa ke rumah sakit. Kalau kalian tidak percaya, baca saja di berita."Mereka pun berbisik, dan mengikuti ucapannya. Dan benar saja, saat mereka membuka berita. Mereka mendapati kabar jika bos mereka kecelakaan dan keadaan mobilnya sangat mengenaskan."Ya Tuhan, mobil Pak Juna sampai terbakar seperti ini. Lalu bagaimana kabar Pak Juna saat ini?" ucap yang lainnya."Katanya keadaan Pak Juna sangat parah.""Benarkah?""Iya, aku tidak bohong."Mereka pun masih sibuk membicarakan bos mereka sembari melihat berita yang t
Marko mengambaikan panggilan Maya. Marko kembali sibuk menyandarkan kepalanya untuk mengistirahatkan badannya yang sedang lelah. "Bagaimana Maya? Apa kamu berhasil menghubungi Marko?" tanya Lidya."Panggilanku tidak diangkat.""Yah, kalau begini kita gak bisa pulang deh," balas Lidya sembari melihat mobilnya yang mogok dipinggir jalan. "Tenang, aku akan menghubungi Marko lagi.""Gak usah Maya. Percuma.""Iya, percuma. Kamu punya pacar gak guna Maya. Gak bisa dimintai pertolongan," sahut Mita."Iya, betul.""Mungkin saja Marko sedang sibuk sekarang. Makanya dia gak tahu kalau aku menelponnya.""Terus saja dibelain. Nanti kalau sudah bosen gak bakalan dibelain."Maya tidak menyanggah ucapan mereka seperti biasanya. Maya hanya diam dengan perasaan kesalnya. Jam berdetak meninggalkan putarannya. Sepanjang malam. Debi terus terjaga dari tidurnya. Debi tidak bisa tidur sampai pagi menyambut. Debi tidak tenang memikirkan keadaan Rafa saat ini. Dretttt dretttt drettttDebi terkejut saat m
"Selamat pagi Pak Juna," sapa Doni dengan tersenyum."Selamat pagi Doni.""Bagaimana keadaan Pak Juna? Apakah Pak Juna baik-baik saja?""Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja." "Kenapa Pak Juna bisa seperti ini?" sahut Renata yang terlihat cemas. "Mungkin karena saya kurang berhati-hati dalam berkendara." "Lain kali Pak Juna harus berhati-hati agar tidak seperti ini lagi."Perhatian yang diberikan Renata mengundang ketidak nyamanan pada Rafa. Apalagi saat ini ada Debi, membuat Rafa sangat berhati-hati. Rafa tidak mau perhatian Renata mengundang kesalahpahaman antara dia dan Debi. Rafa melihat Debi yang masih diam di tempatnya. Debi hanya melihat kearah Rafa tanpa berucap. "Sepertinya Kak Renata memang suka sama Pak Juna. Tapi Pak Juna suka sama aku. Aku harus bagaimana ini? Aku tidak mau ada masalah antara aku dan Kak Renata," bisik Debi.Pandangan Debi terus tertuju pada mereka. Debi tidak berani mendekat. Ia lebih memilih diam dengan pemikirannya saat ini. Mereka yang di
"Terima kasih Mas Doni," kata Debi yang turun dari motor. Tidak lupa, Debi memberikan helm yang ia pakai pada pemiliknya. "Iya, sama-sama." "Mas Doni mau mampir dulu?""Enggak deh, aku langsung pulang aja." "Ya sudah kalau gitu. Aku masuk dulu ya," balas Debi yang membalikkan badannya. Debi melangkahkan kakinya masuk ke dalam kos-kosannya. "Eh, Debi. Tunggu.""Iya Mas Doni, ada apa?" balas Debi yang menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya. "Pak Juna itu orang yang baik. Sama baiknya kayak kamu. Kenapa sesama orang baik gak bersama aja?" "Maksudnya Mas Doni apa?" "Enggak apa-apa. Aku hanya bisa mendo'akan yang terbaik untuk kalian. Ya sudah, aku pulang dulu." Doni melajukan motornya meninggalkan Debi yang masih termenung di tempatnya. "Apa Mas Doni tahu yang sebenarnya?" Cklek"Sudah selesai telponnya?" "Sudah Om," balas Marko yang berjalan mendekati omnya. "Ada apa? Kenapa wajah kamu sampai ditekuk kayak gitu? Kak Carina bikin ulah lagi?""Enggak kok Om, bukan kar
"Dia apa Renata? Jawab!!!!!" Deg Renata terkejut saat Rafa membentaknya. Renata melihat Rafa tak percaya. Ini pertama kalinya Renata melihat Rafa membentaknya, dan itu dia lakukan karena Debi. Renata sedih. Renata semakin membenci Debi saat itu. "Malah diam. Ayo jawab." "Pak Rafa, sudah Pak. Semua ini salah saya." "Mana bisa aku membiarkan orang yang hampir saja melukai kamu, Debi." "Tapi ini salah saya, Pak. Kak Renata tidak salah. Tidak sepantasnya Kak Renata dimarahi seperti ini." "Tidak. Dia memang pantas dimarahi seperti ini."Hati Renata semakin dibalut luka. Mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut Rafa, laki-laki yang sangat ia cintai. Begitu sakit rasanya. Bahkan, Renata sangat mencemburui itu. Renata sampai tidak sanggup melihat pemandangan di hadapannya. "Kenapa diam? Jawab alasannya apa tadi?""Maaf Pak Rafa, saya salah." "Nah, gitu dong. Kalau salah ya minta maaf. Sekarang minta maaf sama Debi." "Baik Pak Rafa," balas Renata yang mengalihkan pandangannya.
"Ini Sapu tangan Om, Marko." DegMarko terkejut mendengar ucapan omnya. Saking terkejutnya Marko sampai bengong. "Terima kasih ya sudah menemukan sapu tangan Om," sambung Rafa. Rafa tersenyum, namun tak mendapatkan respon dari keponakannya. Rafa tak memperdulikan itu, dia memilih kembali melangkahkan kakinya. Marko tertegun di tempatnya. Ucapan omnya terus terngiang-ngiang di telinganya. Rasanya Marko tak percaya dengan yang didengarnya tadi. "Jika yang aku temukan tadi sapu tangan Om Rafa. Berarti yang menolong Debi?"Perasaan Marko tak karuan. Marko cemas dan juga khawatir. Yah, Marko tidak mau yang ditakutkannya akan benar terjadi. "Enggak, enggak mungkin. Pasti hanya kebetulan saja. Siapa tahu Om Rafa ke kampusku hanya untuk jalan-jalan. Om Rafa kan memang suka kayak gitu. Iya, pasti benar seperti itu." BrukkkkRafa menghempaskan badannya di tempat tidur. Hemzzztttt, nyaman sekali. Tangan Rafa meraih benda pipih yang ada di dalam saku bajunya. "Kira-kira Debi lagi ngapain y
"Debi."DegDebi terkejut saat tiba-tiba mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata itu Rafa yang saat ini berdiri di depannya."Kamu sedang mikirin apa Debi?""Tidak sedang mikirin apa-apa kok Pak.""Enggak sedang mikirin apa-apa kok sampai enggak denger aku panggil dari tadi.""Iya, itu karena kurang konsentrasi aja Pak," balas Debi tersenyum malu. "Kalau ada masalah cerita ya. Jangan dipendam sendiri. Gak baik buat kesehatan mental." "Iya Pak, tapi aku tidak sedang ada masalah kok Pak." "Alhamdulillah kalau begitu " "Iya Pak.""Ya sudah, aku antar pulang kamu sekarang ya." "Iya Pak Rafa." Dengan jalan berdampingan. Debi dan Rafa berjalan keluar dari dalam rumah makan. Hari ini jalanan beraspal tak seramai biasanya. Mobil yang Debi tumpangi bebas hambatan tanpa macet sedikitpun. Meski ada pemandangan yang bisa menyejukkan mata Debi di sepanjang jalan. Namun hal itu tak mengalihkan Debi dari lamunannya. "Ya Tuhan, bagaimana ini? Apakah aku bilang saja sama Rafa ya. Kalau aku
"Debi, kamu tidak usah khawatir. Semua sudah.......""Tolong." Deg Jantung Rafa berdegup kencang saat Debi memeluknya. Tangan Rafa bergetar membalas pelukan Debi padanya. "Jangan takut. Ada aku yang akan menolongmu." Debi semakin mengeratkan pelukannya, begitu pun Rafa sebaliknya.Debi mulai tenang. Seiring itu Debi mulai melepaskan pelukannya. Debi melihat Rafa yang tersenyum kepadanya. "Maaf.""Tidak apa-apa, jika kamu butuh sandaran. Bahuku siap untuk kamu buat sandaran.""Kenapa kamu begitu baik padaku. Padahal aku jahat. Aku sudah menolak cintamu." "Kamu tidak jahat. Kamu punya hak untuk menolak cinta laki-laki yang tidak kamu cintai." "Tapi bukankah seharusnya kamu membenciku? Menjauhiku? Seperti mereka yang melakukan itu padaku." "Tidak ada alasan bagiku untuk menjauhimu. Aku mencintaimu, tapi bukan berarti kamu harus menerima cintaku juga. Inilah yang dinamakan dewasa." Debi melihat Rafa takjub. Dia laki-laki yang sangat baik padanya. Bahkan pemikirannya pun juga sang
"Pak Rafa." Rafa menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badannya dan melihat Debi dan Doni berjalan mendekatinya. "Terima kasih ya Pak sudah menolong saya." ."Iya Debi, sama-sama. Tapi kamu tidak kenapa-kenapa kan?" "Iya Pak, saya tidak kenapa-kenapa kok.""Syukurlah kalau begitu," balas Rafa lega. Entah perasaan apa yang tiba-tiba menyelimuti hati Debi. Rasanya Debi begitu nyaman. Bahkan Debi merasa aman saat berada di dekat Rafa. Mungkinkah ini cinta? Entahlah, hati Debi tak berhenti bertanya.Tanpa Debi dan yang lainnya sadari. Renata yang sedari tadi berdiri di depan pintu bar. Tak berhenti mengepalkan tangannya. Renata tidak suka melihat pemandangan di depannya. Apalagi melihat perhatian Rafa yang terlihat jelas untuk Debi. Renata pun cemburu dibuatnya. "Dasar enggak tahu terima kasih," ucapnya yang langsung pergi dari sana. Malam pun semakin larut. Bar pun juga mulai sepi, saat jam tutup telah tiba. Semua karyawan menuju loker untuk mengambil barang-barang milik mereka.
Deg Debi terkejut saat Doni memanggilnya. Ya Tuhan, tubuh Debi bergetar hebat. Pasti Maya mendengarnya. Debi semakin tak berkutik di tempatnya. "Oh, ternyata kamu."Tubuh Debi langsung gemetaran. Perasaan takut pun memenuhi hatinya. Debi seperti trauma akan kejadian penusukan waktu itu. "Masih hidup kamu. Aku kira udah mati," sambung Maya yang diikuti gelak tawa. Debi tetap diam tanpa ingin merespon mereka. "Tuli ya kamu!!!!!" bentak Maya membuat mereka yang ada di sekitar sana pun menjadi mereka pusat perhatian. Tak terkejut Doni yang terlihat terkejut dan juga penasaran. "Maaf Maya, aku mau bekerja," balas Debi yang langsung turun dari tempat duduknya. BrukkkkDebi yang hendak berjalan pun terjatuh saat Maya menjagal kakinya. "Mau kemana kamu? Takut ya kalau pekerjaan kamu ini sampai terbongkar sama kita." "Aku enggak ada urusan sama kalian," balas Debi sembari berdiri. Debi kembali melangkahkan kakinya, namun lagi-lagi Maya menjagal kakinya, dan Debi pun terjatuh kembali.
"Aku dapat." Deg Debi dan Rafa sampai terkejut mendengar suara Lisa. "Mas ganteng, ini sosmed nya nenek sihir itu," kata Lisa yang menunjukkan ponselnya pada Rafa. "Oh, jadi ini yang namanya Maya." "Iya Mas ganteng. Jadi gimana? Apakah dia bisa dimasukkan ke dalam penjara?" "Iya, bisa. Aku akan memprosesnya.""Tolong secepatnya masukkan dia ke penjara ya Mas ganteng. Dia kalau berkeliaran akan semakin membuat korban lagi." "Iya, kamu tidak usah khawatir." "Wah, terima kasih banyak Mas ganteng," balas Lisa tersenyum senang. "Iya, sama-sama." Hari itu, Rafa banyak bercerita. Bukan bersama Debi ia melakukannya. Melainkan bersama Lisa yang terlihat excited mendengarkannya. Bahkan Lisa juga sangat penasaran dengan kehidupan Rafa. "Wah, hebat ya Mas ganteng. Sejak kecil udah jadi yatim pintu dan hanya tinggal bersama kakaknya saja.""Iya mau bagaimana lagi. Yang namanya kehidupan harus terus berjalan. Mau bagaimana pun keadaannya.""Iya Mas ganteng, ceritanya Mas ganteng benar-be
Deg Mata Debi yang terpejam seketika membelalak. Debi melihat Lisa tak percaya. Bisa-bisanya dia mengatakan itu di depan Rafa. Debi melirik Rafa. Dia terlihat tenang tanpa menoleh sedikitpun. Tapi Debi yakin pasti dia mendengarnya. "Apa? Kenapa kamu ngelihatin aku sampai kayak gitu? Yang aku katakan benar kan?" "Kamu ini enggak capek Lisa. Dari tadi ngomong terus.""Enggak, aku malah seneng bisa naik mobil sebagus ini.""Kamu jadian gih sama Mas ganteng." "Lisa, tolong dikondisikan ucapan kamu," bisik Debi tepat di telinga Lisa. "Apa sih Debi, yang aku katakan emang benar kan?" balasnya lantang, sampai Debi merasa malu dan juga canggung. "Mas ganteng, tadi kok bisa ke rumah sakit? Bukannya Mas ganteng udah pulang dua hari yang lalu ya?" tanya Lisa pada Rafa yang sedari tadi diam."Oh, itu karena aku mau jenguk Debi. Eh, enggak tahunya dia malah udah pulang." "Wah, ternyata Mas ganteng sengaja ke rumah sakit mau jenguk Debi ya.""Iya." "Mas ganteng baik banget sih, tapi sayang
Hari berganti minggu, dan selama itu pula keadaan Debi mulai membaik. Bahkan dokter juga sudah mengizinkannya untuk pulang. Huh, Debi senang sekali mendengarnya. Akhirnya hari yang ditunggunya tiba. "Sudah kamu pastikan tidak ada barang yang ketinggalan Lisa?" "Sudah tidak ada yang ketinggalan Debi." "Ya sudah, ayo kita pulang," balasnya tersenyum senang. Cklek"Selamat pagi." "Pagi suster." "Nona Debi pulang hari ini?" "Iya suster." "Jangan lupa sebelum pulang nona Debi untuk melunasi biaya rumah sakit dulu." Debi dibuat diam seketika itu. Senyumnya pun hilang. Debi baru sadar jika masih ada biaya rumah sakit yang belum ia bayar. Dan Debi tidak punya uang untuk membayarnya. "Nona Debi." "Eh, iya suster?" balas Debi yang tersadar dari lamunannya. "Jangan lupa ya dilunasi dulu biaya rumah sakitnya." "Iya suster." "Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu." "Iya suster." Pintu ruangan tertutup. Debi pun langsung duduk di tempatnya. Wajahnya murung. Debi benar-benar bingun