"Pak Rafa." Rafa menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badannya dan melihat Debi dan Doni berjalan mendekatinya. "Terima kasih ya Pak sudah menolong saya." ."Iya Debi, sama-sama. Tapi kamu tidak kenapa-kenapa kan?" "Iya Pak, saya tidak kenapa-kenapa kok.""Syukurlah kalau begitu," balas Rafa lega. Entah perasaan apa yang tiba-tiba menyelimuti hati Debi. Rasanya Debi begitu nyaman. Bahkan Debi merasa aman saat berada di dekat Rafa. Mungkinkah ini cinta? Entahlah, hati Debi tak berhenti bertanya.Tanpa Debi dan yang lainnya sadari. Renata yang sedari tadi berdiri di depan pintu bar. Tak berhenti mengepalkan tangannya. Renata tidak suka melihat pemandangan di depannya. Apalagi melihat perhatian Rafa yang terlihat jelas untuk Debi. Renata pun cemburu dibuatnya. "Dasar enggak tahu terima kasih," ucapnya yang langsung pergi dari sana. Malam pun semakin larut. Bar pun juga mulai sepi, saat jam tutup telah tiba. Semua karyawan menuju loker untuk mengambil barang-barang milik mereka.
"Debi, kamu tidak usah khawatir. Semua sudah.......""Tolong." Deg Jantung Rafa berdegup kencang saat Debi memeluknya. Tangan Rafa bergetar membalas pelukan Debi padanya. "Jangan takut. Ada aku yang akan menolongmu." Debi semakin mengeratkan pelukannya, begitu pun Rafa sebaliknya.Debi mulai tenang. Seiring itu Debi mulai melepaskan pelukannya. Debi melihat Rafa yang tersenyum kepadanya. "Maaf.""Tidak apa-apa, jika kamu butuh sandaran. Bahuku siap untuk kamu buat sandaran.""Kenapa kamu begitu baik padaku. Padahal aku jahat. Aku sudah menolak cintamu." "Kamu tidak jahat. Kamu punya hak untuk menolak cinta laki-laki yang tidak kamu cintai." "Tapi bukankah seharusnya kamu membenciku? Menjauhiku? Seperti mereka yang melakukan itu padaku." "Tidak ada alasan bagiku untuk menjauhimu. Aku mencintaimu, tapi bukan berarti kamu harus menerima cintaku juga. Inilah yang dinamakan dewasa." Debi melihat Rafa takjub. Dia laki-laki yang sangat baik padanya. Bahkan pemikirannya pun juga sang
"Debi."DegDebi terkejut saat tiba-tiba mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata itu Rafa yang saat ini berdiri di depannya."Kamu sedang mikirin apa Debi?""Tidak sedang mikirin apa-apa kok Pak.""Enggak sedang mikirin apa-apa kok sampai enggak denger aku panggil dari tadi.""Iya, itu karena kurang konsentrasi aja Pak," balas Debi tersenyum malu. "Kalau ada masalah cerita ya. Jangan dipendam sendiri. Gak baik buat kesehatan mental." "Iya Pak, tapi aku tidak sedang ada masalah kok Pak." "Alhamdulillah kalau begitu " "Iya Pak.""Ya sudah, aku antar pulang kamu sekarang ya." "Iya Pak Rafa." Dengan jalan berdampingan. Debi dan Rafa berjalan keluar dari dalam rumah makan. Hari ini jalanan beraspal tak seramai biasanya. Mobil yang Debi tumpangi bebas hambatan tanpa macet sedikitpun. Meski ada pemandangan yang bisa menyejukkan mata Debi di sepanjang jalan. Namun hal itu tak mengalihkan Debi dari lamunannya. "Ya Tuhan, bagaimana ini? Apakah aku bilang saja sama Rafa ya. Kalau aku
"Ini Sapu tangan Om, Marko." DegMarko terkejut mendengar ucapan omnya. Saking terkejutnya Marko sampai bengong. "Terima kasih ya sudah menemukan sapu tangan Om," sambung Rafa. Rafa tersenyum, namun tak mendapatkan respon dari keponakannya. Rafa tak memperdulikan itu, dia memilih kembali melangkahkan kakinya. Marko tertegun di tempatnya. Ucapan omnya terus terngiang-ngiang di telinganya. Rasanya Marko tak percaya dengan yang didengarnya tadi. "Jika yang aku temukan tadi sapu tangan Om Rafa. Berarti yang menolong Debi?"Perasaan Marko tak karuan. Marko cemas dan juga khawatir. Yah, Marko tidak mau yang ditakutkannya akan benar terjadi. "Enggak, enggak mungkin. Pasti hanya kebetulan saja. Siapa tahu Om Rafa ke kampusku hanya untuk jalan-jalan. Om Rafa kan memang suka kayak gitu. Iya, pasti benar seperti itu." BrukkkkRafa menghempaskan badannya di tempat tidur. Hemzzztttt, nyaman sekali. Tangan Rafa meraih benda pipih yang ada di dalam saku bajunya. "Kira-kira Debi lagi ngapain y
"Dia apa Renata? Jawab!!!!!" Deg Renata terkejut saat Rafa membentaknya. Renata melihat Rafa tak percaya. Ini pertama kalinya Renata melihat Rafa membentaknya, dan itu dia lakukan karena Debi. Renata sedih. Renata semakin membenci Debi saat itu. "Malah diam. Ayo jawab." "Pak Rafa, sudah Pak. Semua ini salah saya." "Mana bisa aku membiarkan orang yang hampir saja melukai kamu, Debi." "Tapi ini salah saya, Pak. Kak Renata tidak salah. Tidak sepantasnya Kak Renata dimarahi seperti ini." "Tidak. Dia memang pantas dimarahi seperti ini."Hati Renata semakin dibalut luka. Mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut Rafa, laki-laki yang sangat ia cintai. Begitu sakit rasanya. Bahkan, Renata sangat mencemburui itu. Renata sampai tidak sanggup melihat pemandangan di hadapannya. "Kenapa diam? Jawab alasannya apa tadi?""Maaf Pak Rafa, saya salah." "Nah, gitu dong. Kalau salah ya minta maaf. Sekarang minta maaf sama Debi." "Baik Pak Rafa," balas Renata yang mengalihkan pandangannya.
Sang surya masih malu-malu di ufuk timur. Mungkin karena mega mendung menutupinya. Sinarnya tak dapat mengiringi aktivitas Debi di pagi hari. Jam menunjukkan pukul 07.30. Debi terkejut dan langsung beranjak dari tempat tidurnya.Pagi ini Debi telat bangun lagi tidak seperti saat masih di panti dulu. Setiap pagi selalu ada yang membangunkannya.Satu tahun yang lalu. Debi memutuskan untuk keluar dari panti dan hidup mandiri. Meski awalnya Debi tidak mendapatkan izin, namun Debi terus meyakinkan Ibu panti hingga Debi berada di kos-kosan ini.Debi berjalan keluar dari kamar mandi dengan baju kerja yang sudah ia kenakan."Ini kan mau hujan. Apakah tidak sebaiknya kamu izin dulu?"Debi terkejut saat mendengar suara laki-laki di dalam kosnya. Debi mencari sumber suara itu. Ternyata itu suara Marko yang tengah menyiapkan makanan di atas meja. Marko adalah sahabat dekat
Semua yang ada di dalam ruangan terkejut saat melihat Debi menampar Maya. Ini pertama kalinya mereka melihat Debi yang sangat pendiam dan tertutup berani menampar Maya."Beraninya kamu menamparku," kata Maya dengan amarahnya."Iya, kamu memang pantas untuk di tampar.""Kamu," kata Maya yang sudah siap melayangkan tangannya dan hendak menampar Debi, namun dengan cepat Debi menahannya."Jangan panggil aku seperti tadi," kata Debi penuh penekanan."Lalu, aku harus memanggilmu apa? Bukankah benar, jika anak yang tidak tahu asal usulnya dinamakan anak haram?""Kenapa kamu selalu menggangguku? Apa salahku kepada kamu?""Kamu salah karena kamu anak haram yang tidak diinginkan kehadirannya oleh kedua orang tua kamu."DegCairan bening mulai menggantung di sudut mata Debi. Uca
"Sa...... sayang? Maksud kamu apa Marko?" tanya Debi terbata-bata. "Mungkin sudah waktunya aku mengungkapkan perasaanku kepada kamu, Debi. Semua perhatian yang aku berikan kepada kamu selama ini, itu karena aku mencintai kamu. Aku ingin hubungan kita lebih dari sahabat. Apakah kamu mau Debi?" Deg Debi benar-benar terkejut mendengar pernyataan cinta dari Marko. Hal seperti inilah yang Debi takutkan selama ini. Tumbuh rasa cinta yang akan membuat persahabatan mereka menjadi berantakan. Sementara Debi belum siap dengan kata cinta yang datang di kehidupannya. "Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" bisik Debi dalam hati. Marko menggenggam kedua tangan Debi. Marko menatap Debi penuh harap. Tergambar jelas di wajah Marko jika dia tulis mencintai Debi. "Ya Tuhan, aku harus menjawab apa? Aku tidak mungkin menerima cinta Marko, karena aku
"Dia apa Renata? Jawab!!!!!" Deg Renata terkejut saat Rafa membentaknya. Renata melihat Rafa tak percaya. Ini pertama kalinya Renata melihat Rafa membentaknya, dan itu dia lakukan karena Debi. Renata sedih. Renata semakin membenci Debi saat itu. "Malah diam. Ayo jawab." "Pak Rafa, sudah Pak. Semua ini salah saya." "Mana bisa aku membiarkan orang yang hampir saja melukai kamu, Debi." "Tapi ini salah saya, Pak. Kak Renata tidak salah. Tidak sepantasnya Kak Renata dimarahi seperti ini." "Tidak. Dia memang pantas dimarahi seperti ini."Hati Renata semakin dibalut luka. Mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut Rafa, laki-laki yang sangat ia cintai. Begitu sakit rasanya. Bahkan, Renata sangat mencemburui itu. Renata sampai tidak sanggup melihat pemandangan di hadapannya. "Kenapa diam? Jawab alasannya apa tadi?""Maaf Pak Rafa, saya salah." "Nah, gitu dong. Kalau salah ya minta maaf. Sekarang minta maaf sama Debi." "Baik Pak Rafa," balas Renata yang mengalihkan pandangannya.
"Ini Sapu tangan Om, Marko." DegMarko terkejut mendengar ucapan omnya. Saking terkejutnya Marko sampai bengong. "Terima kasih ya sudah menemukan sapu tangan Om," sambung Rafa. Rafa tersenyum, namun tak mendapatkan respon dari keponakannya. Rafa tak memperdulikan itu, dia memilih kembali melangkahkan kakinya. Marko tertegun di tempatnya. Ucapan omnya terus terngiang-ngiang di telinganya. Rasanya Marko tak percaya dengan yang didengarnya tadi. "Jika yang aku temukan tadi sapu tangan Om Rafa. Berarti yang menolong Debi?"Perasaan Marko tak karuan. Marko cemas dan juga khawatir. Yah, Marko tidak mau yang ditakutkannya akan benar terjadi. "Enggak, enggak mungkin. Pasti hanya kebetulan saja. Siapa tahu Om Rafa ke kampusku hanya untuk jalan-jalan. Om Rafa kan memang suka kayak gitu. Iya, pasti benar seperti itu." BrukkkkRafa menghempaskan badannya di tempat tidur. Hemzzztttt, nyaman sekali. Tangan Rafa meraih benda pipih yang ada di dalam saku bajunya. "Kira-kira Debi lagi ngapain y
"Debi."DegDebi terkejut saat tiba-tiba mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata itu Rafa yang saat ini berdiri di depannya."Kamu sedang mikirin apa Debi?""Tidak sedang mikirin apa-apa kok Pak.""Enggak sedang mikirin apa-apa kok sampai enggak denger aku panggil dari tadi.""Iya, itu karena kurang konsentrasi aja Pak," balas Debi tersenyum malu. "Kalau ada masalah cerita ya. Jangan dipendam sendiri. Gak baik buat kesehatan mental." "Iya Pak, tapi aku tidak sedang ada masalah kok Pak." "Alhamdulillah kalau begitu " "Iya Pak.""Ya sudah, aku antar pulang kamu sekarang ya." "Iya Pak Rafa." Dengan jalan berdampingan. Debi dan Rafa berjalan keluar dari dalam rumah makan. Hari ini jalanan beraspal tak seramai biasanya. Mobil yang Debi tumpangi bebas hambatan tanpa macet sedikitpun. Meski ada pemandangan yang bisa menyejukkan mata Debi di sepanjang jalan. Namun hal itu tak mengalihkan Debi dari lamunannya. "Ya Tuhan, bagaimana ini? Apakah aku bilang saja sama Rafa ya. Kalau aku
"Debi, kamu tidak usah khawatir. Semua sudah.......""Tolong." Deg Jantung Rafa berdegup kencang saat Debi memeluknya. Tangan Rafa bergetar membalas pelukan Debi padanya. "Jangan takut. Ada aku yang akan menolongmu." Debi semakin mengeratkan pelukannya, begitu pun Rafa sebaliknya.Debi mulai tenang. Seiring itu Debi mulai melepaskan pelukannya. Debi melihat Rafa yang tersenyum kepadanya. "Maaf.""Tidak apa-apa, jika kamu butuh sandaran. Bahuku siap untuk kamu buat sandaran.""Kenapa kamu begitu baik padaku. Padahal aku jahat. Aku sudah menolak cintamu." "Kamu tidak jahat. Kamu punya hak untuk menolak cinta laki-laki yang tidak kamu cintai." "Tapi bukankah seharusnya kamu membenciku? Menjauhiku? Seperti mereka yang melakukan itu padaku." "Tidak ada alasan bagiku untuk menjauhimu. Aku mencintaimu, tapi bukan berarti kamu harus menerima cintaku juga. Inilah yang dinamakan dewasa." Debi melihat Rafa takjub. Dia laki-laki yang sangat baik padanya. Bahkan pemikirannya pun juga sang
"Pak Rafa." Rafa menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badannya dan melihat Debi dan Doni berjalan mendekatinya. "Terima kasih ya Pak sudah menolong saya." ."Iya Debi, sama-sama. Tapi kamu tidak kenapa-kenapa kan?" "Iya Pak, saya tidak kenapa-kenapa kok.""Syukurlah kalau begitu," balas Rafa lega. Entah perasaan apa yang tiba-tiba menyelimuti hati Debi. Rasanya Debi begitu nyaman. Bahkan Debi merasa aman saat berada di dekat Rafa. Mungkinkah ini cinta? Entahlah, hati Debi tak berhenti bertanya.Tanpa Debi dan yang lainnya sadari. Renata yang sedari tadi berdiri di depan pintu bar. Tak berhenti mengepalkan tangannya. Renata tidak suka melihat pemandangan di depannya. Apalagi melihat perhatian Rafa yang terlihat jelas untuk Debi. Renata pun cemburu dibuatnya. "Dasar enggak tahu terima kasih," ucapnya yang langsung pergi dari sana. Malam pun semakin larut. Bar pun juga mulai sepi, saat jam tutup telah tiba. Semua karyawan menuju loker untuk mengambil barang-barang milik mereka.
Deg Debi terkejut saat Doni memanggilnya. Ya Tuhan, tubuh Debi bergetar hebat. Pasti Maya mendengarnya. Debi semakin tak berkutik di tempatnya. "Oh, ternyata kamu."Tubuh Debi langsung gemetaran. Perasaan takut pun memenuhi hatinya. Debi seperti trauma akan kejadian penusukan waktu itu. "Masih hidup kamu. Aku kira udah mati," sambung Maya yang diikuti gelak tawa. Debi tetap diam tanpa ingin merespon mereka. "Tuli ya kamu!!!!!" bentak Maya membuat mereka yang ada di sekitar sana pun menjadi mereka pusat perhatian. Tak terkejut Doni yang terlihat terkejut dan juga penasaran. "Maaf Maya, aku mau bekerja," balas Debi yang langsung turun dari tempat duduknya. BrukkkkDebi yang hendak berjalan pun terjatuh saat Maya menjagal kakinya. "Mau kemana kamu? Takut ya kalau pekerjaan kamu ini sampai terbongkar sama kita." "Aku enggak ada urusan sama kalian," balas Debi sembari berdiri. Debi kembali melangkahkan kakinya, namun lagi-lagi Maya menjagal kakinya, dan Debi pun terjatuh kembali.
"Aku dapat." Deg Debi dan Rafa sampai terkejut mendengar suara Lisa. "Mas ganteng, ini sosmed nya nenek sihir itu," kata Lisa yang menunjukkan ponselnya pada Rafa. "Oh, jadi ini yang namanya Maya." "Iya Mas ganteng. Jadi gimana? Apakah dia bisa dimasukkan ke dalam penjara?" "Iya, bisa. Aku akan memprosesnya.""Tolong secepatnya masukkan dia ke penjara ya Mas ganteng. Dia kalau berkeliaran akan semakin membuat korban lagi." "Iya, kamu tidak usah khawatir." "Wah, terima kasih banyak Mas ganteng," balas Lisa tersenyum senang. "Iya, sama-sama." Hari itu, Rafa banyak bercerita. Bukan bersama Debi ia melakukannya. Melainkan bersama Lisa yang terlihat excited mendengarkannya. Bahkan Lisa juga sangat penasaran dengan kehidupan Rafa. "Wah, hebat ya Mas ganteng. Sejak kecil udah jadi yatim pintu dan hanya tinggal bersama kakaknya saja.""Iya mau bagaimana lagi. Yang namanya kehidupan harus terus berjalan. Mau bagaimana pun keadaannya.""Iya Mas ganteng, ceritanya Mas ganteng benar-be
Deg Mata Debi yang terpejam seketika membelalak. Debi melihat Lisa tak percaya. Bisa-bisanya dia mengatakan itu di depan Rafa. Debi melirik Rafa. Dia terlihat tenang tanpa menoleh sedikitpun. Tapi Debi yakin pasti dia mendengarnya. "Apa? Kenapa kamu ngelihatin aku sampai kayak gitu? Yang aku katakan benar kan?" "Kamu ini enggak capek Lisa. Dari tadi ngomong terus.""Enggak, aku malah seneng bisa naik mobil sebagus ini.""Kamu jadian gih sama Mas ganteng." "Lisa, tolong dikondisikan ucapan kamu," bisik Debi tepat di telinga Lisa. "Apa sih Debi, yang aku katakan emang benar kan?" balasnya lantang, sampai Debi merasa malu dan juga canggung. "Mas ganteng, tadi kok bisa ke rumah sakit? Bukannya Mas ganteng udah pulang dua hari yang lalu ya?" tanya Lisa pada Rafa yang sedari tadi diam."Oh, itu karena aku mau jenguk Debi. Eh, enggak tahunya dia malah udah pulang." "Wah, ternyata Mas ganteng sengaja ke rumah sakit mau jenguk Debi ya.""Iya." "Mas ganteng baik banget sih, tapi sayang
Hari berganti minggu, dan selama itu pula keadaan Debi mulai membaik. Bahkan dokter juga sudah mengizinkannya untuk pulang. Huh, Debi senang sekali mendengarnya. Akhirnya hari yang ditunggunya tiba. "Sudah kamu pastikan tidak ada barang yang ketinggalan Lisa?" "Sudah tidak ada yang ketinggalan Debi." "Ya sudah, ayo kita pulang," balasnya tersenyum senang. Cklek"Selamat pagi." "Pagi suster." "Nona Debi pulang hari ini?" "Iya suster." "Jangan lupa sebelum pulang nona Debi untuk melunasi biaya rumah sakit dulu." Debi dibuat diam seketika itu. Senyumnya pun hilang. Debi baru sadar jika masih ada biaya rumah sakit yang belum ia bayar. Dan Debi tidak punya uang untuk membayarnya. "Nona Debi." "Eh, iya suster?" balas Debi yang tersadar dari lamunannya. "Jangan lupa ya dilunasi dulu biaya rumah sakitnya." "Iya suster." "Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu." "Iya suster." Pintu ruangan tertutup. Debi pun langsung duduk di tempatnya. Wajahnya murung. Debi benar-benar bingun