"Selamat pagi Pak Juna," sapa Doni dengan tersenyum."Selamat pagi Doni.""Bagaimana keadaan Pak Juna? Apakah Pak Juna baik-baik saja?""Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja." "Kenapa Pak Juna bisa seperti ini?" sahut Renata yang terlihat cemas. "Mungkin karena saya kurang berhati-hati dalam berkendara." "Lain kali Pak Juna harus berhati-hati agar tidak seperti ini lagi."Perhatian yang diberikan Renata mengundang ketidak nyamanan pada Rafa. Apalagi saat ini ada Debi, membuat Rafa sangat berhati-hati. Rafa tidak mau perhatian Renata mengundang kesalahpahaman antara dia dan Debi. Rafa melihat Debi yang masih diam di tempatnya. Debi hanya melihat kearah Rafa tanpa berucap. "Sepertinya Kak Renata memang suka sama Pak Juna. Tapi Pak Juna suka sama aku. Aku harus bagaimana ini? Aku tidak mau ada masalah antara aku dan Kak Renata," bisik Debi.Pandangan Debi terus tertuju pada mereka. Debi tidak berani mendekat. Ia lebih memilih diam dengan pemikirannya saat ini. Mereka yang di
"Terima kasih Mas Doni," kata Debi yang turun dari motor. Tidak lupa, Debi memberikan helm yang ia pakai pada pemiliknya. "Iya, sama-sama." "Mas Doni mau mampir dulu?""Enggak deh, aku langsung pulang aja." "Ya sudah kalau gitu. Aku masuk dulu ya," balas Debi yang membalikkan badannya. Debi melangkahkan kakinya masuk ke dalam kos-kosannya. "Eh, Debi. Tunggu.""Iya Mas Doni, ada apa?" balas Debi yang menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya. "Pak Juna itu orang yang baik. Sama baiknya kayak kamu. Kenapa sesama orang baik gak bersama aja?" "Maksudnya Mas Doni apa?" "Enggak apa-apa. Aku hanya bisa mendo'akan yang terbaik untuk kalian. Ya sudah, aku pulang dulu." Doni melajukan motornya meninggalkan Debi yang masih termenung di tempatnya. "Apa Mas Doni tahu yang sebenarnya?" Cklek"Sudah selesai telponnya?" "Sudah Om," balas Marko yang berjalan mendekati omnya. "Ada apa? Kenapa wajah kamu sampai ditekuk kayak gitu? Kak Carina bikin ulah lagi?""Enggak kok Om, bukan kar
"Debi!!!!!" teriak Lisa yang terkejut, saat melihat darah segar keluar dari perut Debi. "Tolong......"BrukkkkSeketika itu Debi ambruk dan tak sadarkan diri. Mereka yang ada di sana pun panik. "Angkat Debi. Kita bawa dia ke rumah sakit sekarang juga," kata karyawan lainnya. Mereka yang ada di sana bergegas mengangkat Debi, dan membawa Debi keluar dari dalam ruangan.Semua orang panik. Bahkan pengunjung yang datang pun tak kalah panik. Mereka yang membawa Debi keluar dari dalam cafe dan menuju mobil manager mereka. "Cepat Pak, aku tidak mau Debi kenapa-kenapa," kata Lisa yang tak berhenti menangis. Mobil itu pun langsung melaju pergi meninggalkan parkiran cafe. Krukkk krukkk krukkkMarko memegang perutnya yang tak berhenti berbunyi. Marko lapar, karena memang pagi ini Marko belum makan apapun. Marko terlalu sibuk mengurus omnya sampai melupakan sarapannya. "Kamu lapar Marko?" "Iya Om," balas Marko sembari meringis. "Kalau kamu lapar. Cari makan dulu sana." "Tapi bagaimana den
Deg"Ya Tuhan, Debi," ucap Rafa terkejut. Spontan Rafa mengulurkan tangannya. Saat Rafa hendak menyentuh wajah Debi. Tiba-tiba Rafa merasa pusing dan hampir saja terjatuh. Dengan cepat suster langsung menolongnya. "Sebaiknya Mas istirahat.""Tapi teman saya.......""Keadaan Mas masih belum stabil. Selain bisa membahayakan Masnya sendiri, juga orang lain.""Iya dok." Rafa pun pasrah dan mengikuti suster yang membawanya kembali menuju hospital bed. Awan yang cerah telah berganti gelap. Seiring itu Debi tak sadarkan diri. Mulai mengerjapkan matanya. "Aku di mana?" Debi mengedarkan pandangannya. Saat itu Debi melihat ia dikelilingi alat medis. Yah, Debi sadar saat itu dirinya berada di rumah sakit. Pandangan Debi menangkap seseorang yang terbaring di sampingnya. Debi memperhatikan seseorang itu. Deg"Rafa?" Debi pun terkejut melihat Rafa yang terbaring di ranjang sebelahnya. "Kenapa Rafa bisa ada di sini? Ini kan bukan ruangannya?" Perhatian Debi masih tak teralihkan. Debi melih
"Debi......"Deg Marko terkejut saat mendengar omnya menyebut nama seseorang yang sangat ia kenal. Perhatian Marko semakin terfokuskan pada wanita yang sampai detik ini tak bergeming dari tempatnya. "Debi, aku kembali ke ruanganku ya," ucap Rafa kembali. Rafa menunggu, namun Debi tak kunjung juga meresponnya. "Debi......," ulangnya, namun Debi tetap tak membalikkan badannya. Rafa semakin dibuat kecewa olehnya. Sementara Marko semakin penasaran. Yah, Marko ingin memastikan jika wanita itu bukan wanita yang ia kenal. Huh, Rafa menghela nafas panjang. Sepertinya Debi tidak ingin meresponnya. Dan Rafa harus sadar itu. "Kita kembali ke ruangan sekarang Marko." "Om tidak jadi menunggunya?" balas Marko sedikit kecewa. Yah, karena Marko benar-benar ingin memastikan. "Tidak perlu. Mungkin Debi sedang istirahat." "Oh, ya sudah, kalau begitu aku akan membawa Om kembali ke ruangan." Meski sedikit kecewa, namun Marko harus mengalihkan rasa penasarannya. Marko pun langsung membantu omnya
Pyarrrrrr Maya yang tengah bersama teman-temanya, tak sengaja menjatuhkan gelas di dekatnya. Maya yang terlalu fokus dengan ceritanya, sampai terkejut dibuatnya. "Hati-hati Maya," kata Lidya yang memunguti serpihan gelas, dan membuangnya. "Aku cemas, Lidya. Aku takut kalau Debi sampai melaporkan aku ke kantor polisi." "Lagian kamu juga gila Maya. Sampai melukai Debi kayak gitu." "Aku kebawa emosi, Mira. Marko mutusin aku, dan pasti itu gara-gara Debi." "Apa? Marko mutusin kamu?" balas mereka terkejut. "Iya, Marko mutusin aku. Pasti gara-gara Debi, Marko sampai mutusin aku." "Bener banget kalau ini Maya. Secara Marko kan cinta mati sama Debi, karena dia tidak bisa melupakan Debi. Makanya dia mutusin kamu." "Isssttttt, kesal sekali aku sama Debi. Kenapa sih dulu orang tuanya enggak bunuh dia aja. Kalau kayak gini kan nyusahin hidup orang," balas Maya yang kembali terbawa emosi. Maya sampai lupa dengan perbuatannya. "Tapi Maya, tetap saja apa yang kamu lakukan salah lo. Kamu su
"Pak Rafa?" kata Debi terkejut, saat tiba-tiba Rafa masuk ke dalam ruangannya. "Pak Rafa kok bisa ada di sini?" "Iya, aku sengaja mau jenguk kamu. Oh iya, maaf, tadi aku tidak sengaja mendengar obrolan kamu.""Oh, iya Pak. Tidak apa-apa." "Aku akan membantu kamu membayar biaya rumah sakit." "Enggak perlu Pak Rafa, aku bisa membayarnya sendiri." "Bukankah tadi kamu bilang kalau kamu enggak ada uang?" "Iya, tapi aku akan mencarinya." "Aku ikhlas menolong kamu, Debi." "Terima kasih, Pak Rafa sudah terlalu baik denganku. Aku gak mau terus-terusan ngerepotin Pak Rafa." "Aku enggak merasa direpotkan. Aku malahan senang bisa membantu kamu. Kamu mau kan aku bantu?" "Sekali lagi terima kasih Pak Rafa, aku akan usaha sendiri." "Baiklah, aku tidak akan memaksa kamu," balas Rafa kecewa. Debi yang terlalu sibuk dengan ponselnya sampai tak menyadari itu, namun tidak dengan Lisa. Lisa bisa melihat ketulusan Rafa untuk Debi. "Debi, aku keluar dulu ya.""Kamu mau kemana?""Aku mau nyari ma
Hari berganti minggu, dan selama itu pula keadaan Debi mulai membaik. Bahkan dokter juga sudah mengizinkannya untuk pulang. Huh, Debi senang sekali mendengarnya. Akhirnya hari yang ditunggunya tiba. "Sudah kamu pastikan tidak ada barang yang ketinggalan Lisa?" "Sudah tidak ada yang ketinggalan Debi." "Ya sudah, ayo kita pulang," balasnya tersenyum senang. Cklek"Selamat pagi." "Pagi suster." "Nona Debi pulang hari ini?" "Iya suster." "Jangan lupa sebelum pulang nona Debi untuk melunasi biaya rumah sakit dulu." Debi dibuat diam seketika itu. Senyumnya pun hilang. Debi baru sadar jika masih ada biaya rumah sakit yang belum ia bayar. Dan Debi tidak punya uang untuk membayarnya. "Nona Debi." "Eh, iya suster?" balas Debi yang tersadar dari lamunannya. "Jangan lupa ya dilunasi dulu biaya rumah sakitnya." "Iya suster." "Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu." "Iya suster." Pintu ruangan tertutup. Debi pun langsung duduk di tempatnya. Wajahnya murung. Debi benar-benar bingun
"Dia apa Renata? Jawab!!!!!" Deg Renata terkejut saat Rafa membentaknya. Renata melihat Rafa tak percaya. Ini pertama kalinya Renata melihat Rafa membentaknya, dan itu dia lakukan karena Debi. Renata sedih. Renata semakin membenci Debi saat itu. "Malah diam. Ayo jawab." "Pak Rafa, sudah Pak. Semua ini salah saya." "Mana bisa aku membiarkan orang yang hampir saja melukai kamu, Debi." "Tapi ini salah saya, Pak. Kak Renata tidak salah. Tidak sepantasnya Kak Renata dimarahi seperti ini." "Tidak. Dia memang pantas dimarahi seperti ini."Hati Renata semakin dibalut luka. Mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut Rafa, laki-laki yang sangat ia cintai. Begitu sakit rasanya. Bahkan, Renata sangat mencemburui itu. Renata sampai tidak sanggup melihat pemandangan di hadapannya. "Kenapa diam? Jawab alasannya apa tadi?""Maaf Pak Rafa, saya salah." "Nah, gitu dong. Kalau salah ya minta maaf. Sekarang minta maaf sama Debi." "Baik Pak Rafa," balas Renata yang mengalihkan pandangannya.
"Ini Sapu tangan Om, Marko." DegMarko terkejut mendengar ucapan omnya. Saking terkejutnya Marko sampai bengong. "Terima kasih ya sudah menemukan sapu tangan Om," sambung Rafa. Rafa tersenyum, namun tak mendapatkan respon dari keponakannya. Rafa tak memperdulikan itu, dia memilih kembali melangkahkan kakinya. Marko tertegun di tempatnya. Ucapan omnya terus terngiang-ngiang di telinganya. Rasanya Marko tak percaya dengan yang didengarnya tadi. "Jika yang aku temukan tadi sapu tangan Om Rafa. Berarti yang menolong Debi?"Perasaan Marko tak karuan. Marko cemas dan juga khawatir. Yah, Marko tidak mau yang ditakutkannya akan benar terjadi. "Enggak, enggak mungkin. Pasti hanya kebetulan saja. Siapa tahu Om Rafa ke kampusku hanya untuk jalan-jalan. Om Rafa kan memang suka kayak gitu. Iya, pasti benar seperti itu." BrukkkkRafa menghempaskan badannya di tempat tidur. Hemzzztttt, nyaman sekali. Tangan Rafa meraih benda pipih yang ada di dalam saku bajunya. "Kira-kira Debi lagi ngapain y
"Debi."DegDebi terkejut saat tiba-tiba mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata itu Rafa yang saat ini berdiri di depannya."Kamu sedang mikirin apa Debi?""Tidak sedang mikirin apa-apa kok Pak.""Enggak sedang mikirin apa-apa kok sampai enggak denger aku panggil dari tadi.""Iya, itu karena kurang konsentrasi aja Pak," balas Debi tersenyum malu. "Kalau ada masalah cerita ya. Jangan dipendam sendiri. Gak baik buat kesehatan mental." "Iya Pak, tapi aku tidak sedang ada masalah kok Pak." "Alhamdulillah kalau begitu " "Iya Pak.""Ya sudah, aku antar pulang kamu sekarang ya." "Iya Pak Rafa." Dengan jalan berdampingan. Debi dan Rafa berjalan keluar dari dalam rumah makan. Hari ini jalanan beraspal tak seramai biasanya. Mobil yang Debi tumpangi bebas hambatan tanpa macet sedikitpun. Meski ada pemandangan yang bisa menyejukkan mata Debi di sepanjang jalan. Namun hal itu tak mengalihkan Debi dari lamunannya. "Ya Tuhan, bagaimana ini? Apakah aku bilang saja sama Rafa ya. Kalau aku
"Debi, kamu tidak usah khawatir. Semua sudah.......""Tolong." Deg Jantung Rafa berdegup kencang saat Debi memeluknya. Tangan Rafa bergetar membalas pelukan Debi padanya. "Jangan takut. Ada aku yang akan menolongmu." Debi semakin mengeratkan pelukannya, begitu pun Rafa sebaliknya.Debi mulai tenang. Seiring itu Debi mulai melepaskan pelukannya. Debi melihat Rafa yang tersenyum kepadanya. "Maaf.""Tidak apa-apa, jika kamu butuh sandaran. Bahuku siap untuk kamu buat sandaran.""Kenapa kamu begitu baik padaku. Padahal aku jahat. Aku sudah menolak cintamu." "Kamu tidak jahat. Kamu punya hak untuk menolak cinta laki-laki yang tidak kamu cintai." "Tapi bukankah seharusnya kamu membenciku? Menjauhiku? Seperti mereka yang melakukan itu padaku." "Tidak ada alasan bagiku untuk menjauhimu. Aku mencintaimu, tapi bukan berarti kamu harus menerima cintaku juga. Inilah yang dinamakan dewasa." Debi melihat Rafa takjub. Dia laki-laki yang sangat baik padanya. Bahkan pemikirannya pun juga sang
"Pak Rafa." Rafa menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badannya dan melihat Debi dan Doni berjalan mendekatinya. "Terima kasih ya Pak sudah menolong saya." ."Iya Debi, sama-sama. Tapi kamu tidak kenapa-kenapa kan?" "Iya Pak, saya tidak kenapa-kenapa kok.""Syukurlah kalau begitu," balas Rafa lega. Entah perasaan apa yang tiba-tiba menyelimuti hati Debi. Rasanya Debi begitu nyaman. Bahkan Debi merasa aman saat berada di dekat Rafa. Mungkinkah ini cinta? Entahlah, hati Debi tak berhenti bertanya.Tanpa Debi dan yang lainnya sadari. Renata yang sedari tadi berdiri di depan pintu bar. Tak berhenti mengepalkan tangannya. Renata tidak suka melihat pemandangan di depannya. Apalagi melihat perhatian Rafa yang terlihat jelas untuk Debi. Renata pun cemburu dibuatnya. "Dasar enggak tahu terima kasih," ucapnya yang langsung pergi dari sana. Malam pun semakin larut. Bar pun juga mulai sepi, saat jam tutup telah tiba. Semua karyawan menuju loker untuk mengambil barang-barang milik mereka.
Deg Debi terkejut saat Doni memanggilnya. Ya Tuhan, tubuh Debi bergetar hebat. Pasti Maya mendengarnya. Debi semakin tak berkutik di tempatnya. "Oh, ternyata kamu."Tubuh Debi langsung gemetaran. Perasaan takut pun memenuhi hatinya. Debi seperti trauma akan kejadian penusukan waktu itu. "Masih hidup kamu. Aku kira udah mati," sambung Maya yang diikuti gelak tawa. Debi tetap diam tanpa ingin merespon mereka. "Tuli ya kamu!!!!!" bentak Maya membuat mereka yang ada di sekitar sana pun menjadi mereka pusat perhatian. Tak terkejut Doni yang terlihat terkejut dan juga penasaran. "Maaf Maya, aku mau bekerja," balas Debi yang langsung turun dari tempat duduknya. BrukkkkDebi yang hendak berjalan pun terjatuh saat Maya menjagal kakinya. "Mau kemana kamu? Takut ya kalau pekerjaan kamu ini sampai terbongkar sama kita." "Aku enggak ada urusan sama kalian," balas Debi sembari berdiri. Debi kembali melangkahkan kakinya, namun lagi-lagi Maya menjagal kakinya, dan Debi pun terjatuh kembali.
"Aku dapat." Deg Debi dan Rafa sampai terkejut mendengar suara Lisa. "Mas ganteng, ini sosmed nya nenek sihir itu," kata Lisa yang menunjukkan ponselnya pada Rafa. "Oh, jadi ini yang namanya Maya." "Iya Mas ganteng. Jadi gimana? Apakah dia bisa dimasukkan ke dalam penjara?" "Iya, bisa. Aku akan memprosesnya.""Tolong secepatnya masukkan dia ke penjara ya Mas ganteng. Dia kalau berkeliaran akan semakin membuat korban lagi." "Iya, kamu tidak usah khawatir." "Wah, terima kasih banyak Mas ganteng," balas Lisa tersenyum senang. "Iya, sama-sama." Hari itu, Rafa banyak bercerita. Bukan bersama Debi ia melakukannya. Melainkan bersama Lisa yang terlihat excited mendengarkannya. Bahkan Lisa juga sangat penasaran dengan kehidupan Rafa. "Wah, hebat ya Mas ganteng. Sejak kecil udah jadi yatim pintu dan hanya tinggal bersama kakaknya saja.""Iya mau bagaimana lagi. Yang namanya kehidupan harus terus berjalan. Mau bagaimana pun keadaannya.""Iya Mas ganteng, ceritanya Mas ganteng benar-be
Deg Mata Debi yang terpejam seketika membelalak. Debi melihat Lisa tak percaya. Bisa-bisanya dia mengatakan itu di depan Rafa. Debi melirik Rafa. Dia terlihat tenang tanpa menoleh sedikitpun. Tapi Debi yakin pasti dia mendengarnya. "Apa? Kenapa kamu ngelihatin aku sampai kayak gitu? Yang aku katakan benar kan?" "Kamu ini enggak capek Lisa. Dari tadi ngomong terus.""Enggak, aku malah seneng bisa naik mobil sebagus ini.""Kamu jadian gih sama Mas ganteng." "Lisa, tolong dikondisikan ucapan kamu," bisik Debi tepat di telinga Lisa. "Apa sih Debi, yang aku katakan emang benar kan?" balasnya lantang, sampai Debi merasa malu dan juga canggung. "Mas ganteng, tadi kok bisa ke rumah sakit? Bukannya Mas ganteng udah pulang dua hari yang lalu ya?" tanya Lisa pada Rafa yang sedari tadi diam."Oh, itu karena aku mau jenguk Debi. Eh, enggak tahunya dia malah udah pulang." "Wah, ternyata Mas ganteng sengaja ke rumah sakit mau jenguk Debi ya.""Iya." "Mas ganteng baik banget sih, tapi sayang
Hari berganti minggu, dan selama itu pula keadaan Debi mulai membaik. Bahkan dokter juga sudah mengizinkannya untuk pulang. Huh, Debi senang sekali mendengarnya. Akhirnya hari yang ditunggunya tiba. "Sudah kamu pastikan tidak ada barang yang ketinggalan Lisa?" "Sudah tidak ada yang ketinggalan Debi." "Ya sudah, ayo kita pulang," balasnya tersenyum senang. Cklek"Selamat pagi." "Pagi suster." "Nona Debi pulang hari ini?" "Iya suster." "Jangan lupa sebelum pulang nona Debi untuk melunasi biaya rumah sakit dulu." Debi dibuat diam seketika itu. Senyumnya pun hilang. Debi baru sadar jika masih ada biaya rumah sakit yang belum ia bayar. Dan Debi tidak punya uang untuk membayarnya. "Nona Debi." "Eh, iya suster?" balas Debi yang tersadar dari lamunannya. "Jangan lupa ya dilunasi dulu biaya rumah sakitnya." "Iya suster." "Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu." "Iya suster." Pintu ruangan tertutup. Debi pun langsung duduk di tempatnya. Wajahnya murung. Debi benar-benar bingun