Setelah puas menumpahkan kesedihannya. Debi berdiri dari duduknya. Debi melihat bayangannya di cermin. Berantakan dan penuh linangan air mata. Debi membasuh wajahnya dengan air dan berusaha menghilangkan bekas air matanya. Setelah dirasa bersih. Debi memperbaiki penampilannya dan langsung berjalan keluar dari dalam toilet dengan membawa tas dan tumpukan skripsinya.
Cklek
Sepasang mata Debi menangkap sosok laki-laki yang tengah berdiri di depan pintu toilet wanita. Laki-laki itu terkejut saat tiba-tiba Debi membuka pintu.
"Marko?" tanya Debi.
"Aku ingin pergi ke toilet laki-laki, tapi aku ternyata salah toilet," balasnya tanpa memalingkan wajah dan langsung melangkahkan kaki.
"Marko," panggil Debi yang membuat Marko menghentikan langkahnya, namun tetap tidak mengalihkan pandangannya.
"Ada hal yang ingin aku bicarakan sama kamu?" sambung Debi yang terdengar serius.
"Bicara apa?"
"Kamu kenapa Marko? Kenapa kamu seperti menghindariku kayak gitu?"
"Bukankah kamu sendiri yang ingin aku menghindari kamu?"
"Aku tidak pernah meminta kamu untuk menghindari aku, Marko. Aku hanya tidak bisa menerima cinta kamu."
"Bukankah itu sama saja kamu menginginkan aku menjauhi kamu?" balas Marko yang sedikitpun tak memalingkan wajahnya.
"Marko, itu tidak sama. Aku hanya menolak cinta kamu, bukan memutus persahabatan kita," kata Debi yang masih belum menyerah untuk menjelaskan.
"Lalu, kamu senang melihat aku menderita dengan mempertahankan persahabatan ini?"
Deg
Debi terdiam saat mendengar ucapan Marko yang seolah seperti memojokkannya. Yah, Debi bisa merasakan betapa kecewanya Marko kepadanya dari setiap ucapannya.
"Ya Tuhan, apakah aku terlalu egois tanpa memikirkan perasaan Marko? Tapi, aku benar-benar tidak ingin persahabatan yang kita bangun sejak dulu hancur begitu saja. Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" bisik Debi dalam hati.
"Sudahlah Debi, lebih baik kita jalan sendiri-sendiri saja. Aku berharap, kamu ataupun aku sama-sama tidak saling mengganggu kehidupan masing-masing," kata Marko yang saat itu langsung melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Debi seorang diri.
Deg
Debi terdiam di tempatnya mendengar perkataan Marko. Perkataan Marko begitu terasa menyakitkan. Yah, Debi tidak ingin mengakhiri persahabatan mereka, namun Debi juga tidak bisa memaksakan keinginan Marko.
"Ya Tuhan, seperti inikah rasanya kehilangan sahabat yang begitu dekat? Rasanya sangat menyakitkan."
Debi menghapus air matanya yang mulai berjatuhan menggenangi kedua pipinya.
"Kamu harus tegar dan kuat Debi. Harus," kata Debi menyemangati diri.
Debi melangkahkan kakinya kembali, dan keluar dari area toilet.
Rasa lapar yang sempat Debi rasakan. Kini rasanya sudah tidak terasa lagi. Debi mengurungkan niatnya untuk ke kantin, dan lebih memilih untuk pulang. Yah, mungkin saat ini lebih baik menyendiri untuk menyembuhkan perasaan sedih.
Lagi-lagi Debi berpas-pasan dengan Marko di parkiran. Marko tidak sendirian. Ada ketiga temannya yang sedang menemaninya. Biasanya jika mereka berkumpul seperti itu. Debi akan ikut bergabung dan berbagi cerita ataupun canda bersama mereka, namun sekarang rasanya beda tak lagi sama. Debi melihat ketiga teman Marko yang melihat kearahnya tanpa ada niatan ingin menyapa seperti biasanya. Sementara Marko, sibuk dengan ponselnya.
"Sudahlah Debi, lebih baik kamu terima keputusan Marko meski rasanya sangat sakit," bisik Debi dalam hati.
Debi mengabaikan mereka dan melangkahkan kakinya kembali.
"Kamu dan Debi beneran sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi? Meskipun hanya sekedar sahabat?" tanya Bima.
"Tidak," balas Marko yang tetap sibuk dengan ponselnya.
"Kamu yakin ingin memutus hubungan dengannya?"
"Iya."
"Apakah kamu bisa tanpanya?"
Mendengar ucapan Bima, Marko langsung melihat Bima dengan tatapan tak bersahabat.
"Maksudnya kan kamu dan Debi sudah bersahabat lama. Takutnya, kamu akan tersakiti karena masalah ini," sambung Bima memperjelas.
"Aku sudah memikirkannya, dan itu keputusan final," balas Marko tanpa ingin diganggu gugat.
"Baiklah, sebagai teman kami hanya bisa mendukung keputusan kamu," sahut Gilang sembari memegang pundak Marko.
"Terima kasih."
Setelah Debi membayar ongkos angkutan umum. Debi berjalan keluar. Angkutan umum itu pun berlalu meninggalkan Debi yang masih berdiri di pinggir jalan raya. Yah, Debi ingat betul. Sebelum terjadinya konflik antara ia dan Marko. Debi selalu pulang diantar Marko, dan baru kali ini Debi merasakan naik angkutan umum. Sepertinya, kebiasaan ini akan menjadi kebiasaannya setiap hari nantinya.
Debi tersenyum kecut membayangkan setiap kenangannya bersama Marko.
"Sudahlah Debi, lebih baik kamu fokus mengejar mimpi. Jangan perdulikan hati kamu, yang hanya akan menghambat kesuksesan kamu," kata Debi yang saat itu langsung melangkahkan kakinya.
Setelah cukup lama masuk ke dalam gang. Akhirnya Debi sampai di depan kos-kosannya.
Cklek
Debi berjalan masuk ke dalam kos-kosannya. Tidak ada yang ingin Debi lakukan, karena itulah Debi langsung menuju kamarnya.
Debi membuang tas dan tumpukkan skripsinya begitu saja. Debi langsung menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Entahlah, apa yang ingin Debi lakukan saat ini. Hatinya sangat kacau sampai Debi malas mau melakukan apapun.
"Kenapa perasaanku sampai segininya. Aku ini kenapa sih? Apa karena Marko memutus hubungan persahabatan aku sampai seperti ini," kata Debi frustasi.
Saat ini Debi tengah bingung, resah dan perasaan yang berkecamuk. Sebenarnya Debi mengetahui keresahannya saat ini karena masalahnya dengan Marko, namun Debi berulang kali menyangkalnya. Debi menipu perasannya dengan tetap bersikap baik-baik saja.
"Mungkin dengan memasak aku bisa menenangkan pikiranku," kata Debi yabg langsung bangun dari tidurnya.
Debi berjalan keluar dari dalam kamarnya dan langsung menuju dapur.
Tap tap tap
Dengan senyuman bahagia. Maya berjalan mendekati seseorang yang saat ini tengah menunggunya di halaman kampus.
"Maaf, sudah membuat kamu menunggu lama," kata Maya yang masih tetap dengan senyumannya.
"Iya, tidak apa-apa."
"Kenapa kamu ingin bertemu denganku? Memangnya ada yang ingin kamu katakan kepadaku?"
"Iya, ada."
"Apa?" tanya Maya tidak sabar.
"Kita jadian."
Brakkkk
"Auwww," kata Debi saat tangannya tidak sengaja terkena penggorengan.
Debi berjongkok dan mengambil sendok yang tadinya tidak sengaja ia jatuhkan. Debi kembali menaruh sendok yang ia jatuhkan tadi di tempatnya.
"Kenapa aku sampai ceroboh gini ya!" kata Debi sembari mengambil salep yang biasa ia persiapkan di dalam dapur. Debi mengolesi luka di tangannya agar tidak sampai membekas.
"Kenapa tiba-tiba perasaanku tidak enak ya! Apa yang sedang terjadi ya!" sambung Debi lagi.
Yah, perasaan Debi saat ini benar-benar tidak menentu. Debi merasa ada sesuatu yang sakit di dalam dadanya, namun Debi tidak tahu perasaan apa itu. Debi terus menerka-nerka, namun tetap saja Debi tidak menemukan jawabannya.
"Ka-kamu tidak bercanda kan Marko?" tanya Maya terkejut.
Bagaimana tidak, padahal dulu Maya mengejar-ngejar Marko dan terus berusaha mendekati Marko dengan cara apapun, namun saat itu Marko selalu mengabaikannya, tapi kali ini tiba-tiba Marko mendatanginya dan mengatakan sesuatu yang membuat Maya sangat shock.
"Aku......."
Maya menunggu jawaban Marko yang membuat jantungnya terus berdebar-debar.
Maya masih menunggu, namun Marko tak kunjung juga memberikan jawaban."Aku apa Marko?""A-aku tidak sedang bercanda. Aku serius dengan ucapanku.""Benarkah?" Maya kegirangan mendengar jawaban Marko, namun tidak dengan Marko yang hanya tersenyum kecut. "Ini demi Debi, Marko. Lakukan sandiwara ini agar Maya percaya," bisiknya.Maya tak hentinya tersenyum senang. Bahkan Marko bisa melihat hal itu. "Aku akan memberitahu teman-temanku kalau aku sama kamu sudah jadian.""U-untuk apa kamu memberitahu mereka? Apakah tidak sebaiknya kita merahasiakan hal ini?"Marko panik jika sampai Maya memberitahu hal ini kepada teman-temannya. Bukan tidak mungkin, kabar ini akan menyebar, dan yang paling Marko takutkan. Kabar ini sampai terdengar Debi."Biar semua orang tahu kalau kita sudah jadian." "Aku rasa itu tidak perlu Maya.""Kenapa? Kamu tidak ingin mengakui aku sebagai pacar kamu? Atau jangan-jangan kamu jadian denganku karena ada maksud tertentu?"Maya melihat Marko penuh selidik. Meski awal
Debi tersenyum saat melihat bayangannya di cermin. Cantik, itulah pujian pertama yang terucap dari bibir ranumnya. Debi mengambil tas kerjanya. Dengan kaki yang ringan. Debi melangkahkan kakinya keluar dari dalam kamar.Langkah Debi terus berderap keluar dari dalam kos-kosannya. Huh, udara sejuk membelai mesra wajah cantik Debi. Debi tersenyum menambah kecantikannya. Bahkan sang mentari pun sampai tersipu malu di ufuk timur. Merasa tak rela menerpa wajah cantik Debi dengan sinarnya. "Aku harus semangat bekerja. Yah, ini demi kelangsungan hidupku."Seperti biasa. Debi melangkahkan kakinya menuju tempat kerja. Sesampainya Debi di tempat kerja. Debi sudah disambut dengan obrolan Maya yang tidak mengenakkan hatinya. Debi berjalan mendekati dan sembunyi di balik pintu dapur. "Jangan sentuh aku," bentak Maya pada Lisa."Kalau kamu tidak mau aku menyentuhmu. Cepat kerja dan jangan banyak tingkah kamu.""Apa kamu tuli? Bukankah tadi aku sudah bilang sama kamu, kalau hari ini aku akan kelua
"Cukup! Kalian mau mendapatkan hukuman tambahan dari Pak Gibran ya?""Bilangin sama teman kamu, kalau punya mulut jangan suka nyinyir.""Kenapa? mulut-mulutku. Daripada kamu, suka membuat masalah." "Kamu ini benar-benar ya!"Maya melayangkan tangannya, namun Debi langsung menghentikannya."Lebih baik kamu keluar dari dapur Maya, agar kalian tidak bertengkar terus.""Memang aku mau keluar dari sini. Siapa juga yang betah satu ruangan sama wanita nyinyir dan anak haram kayak kamu.""Mulut kamu itu yang nyinyir. Kalau mau keluar, keluar saja sana. Sekalian tidak usah kembali lagi. Katanya mau keluar. Cepat keluar, biar cafe ini tenang dari masalah kamu.""Masalah kita belum selesai. Lain kali aku akan membalas kamu.""Iya, aku tunggu.""Sudah Lisa, jangan diladenin dia." Lisa yang hendak mengejar Maya keluar langsung ditahan Debi. "Sudah Lisa, biarkan saja.""Aku pingin ngelakban mulut nenek sihir itu. Katanya punya pacar baru, tapi aku yakin tidak lama pasti pacarnya akan minta putus
Ketika tombak cinta menghujam hati. Di saat itu lah tangis pecah tak terelakkan. Meski bibir berucap aku tak mencinta. Nyatanya Debi tak sanggup membendung tangisnya. Di depan pintu kos-kosannya yang ia kunci rapat-rapat. Debi menangis histeris. Dadanya terasa sakit dan juga perih melihat Marko bersama Maya tadi. "Apakah yang dimaksud Maya tadi adalah Marko? Tapi kenapa? Kenapa tiba-tiba Marko bisa bersama dengan Maya? Bukankah dulu jelas-jelas Marko tidak tertarik sama sekali dengan Maya?"Sekeras apapun Debi memikirkannya, tetap saja hatinya terluka. Ini terlalu menyakitkan, dan Debi baru pertama kalinya merasakan."Ya Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini? Mungkinkah selama ini aku mencintai Marko tanpa aku sadari? Tidak. Itu tidak mungkin terjadi. Dulu, aku dan Marko hanya bersahabat, dan tidak ada cinta di hatiku."Debi menepis perasannya, meski air matanya tak bisa membohonginya. Marko melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Marko terus menambah kecepatan motornya yang beririn
Ada banyak sekali kenangan Debi bersama Marko di kos-kosannya ini. Debi melihat meja makan. Debi masih ingat betul bagaimana Marko selalu datang setiap pagi hanya untuk membawakan sarapan untuknya. Tapi tidak untuk sekarang. Semuanya sudah berubah, seperti halnya perasaan Marko kepadanya.Memori Debi mengingat saat pertemuannya dengan Marko di cafe. Marko terlihat terkejut saat menyadari keberadaannya, tapi Debi juga melihat tatapan yang amat sulit Debi artikan saat itu. Entahlah, apa yang ada di dalam pikiran Marko. Yang jelas Debi sakit saat melihat Marko bersama dengan Maya. Tok tok tokDebi terkejut saat tiba-tiba mendengar suara pintu kos-kosannya ada yang mengetuk. Debi mendengarkannya lagi. Siapa tahu Debi salah dengar."Debi, keluar kamu." "Itu kan suaranya Ibu kos? Mau apa Ibu kos malam-malam ke kos-kosanku?"Debi menghapus air matanya. Setelah ia memperbaiki penampilannya yang berantakan. Debi membukakan pintu."Ada apa ya Bu?""Saya datang hanya ingin mengingatkan kamu. J
Debi mengambil tasnya yang ada di dalam loker. Langkah Debi berderap mendekati Lisa yang masih sibuk mengganti bajunya. "Kamu sudah selesai?" tanya Lisa sembari mengancingkan bajunya."Iya, aku sudah selesai.""Sepertinya kamu semangat banget pingin kerja di tempat baru.""Gimana ya Lis. Demi kebutuhan, aku harus semangat dalam melakukan apapun.""Iya, iya, aku paham kok bagaimana yang kamu rasakan." Setelah selesai mengganti baju. Lisa segera mengambil tasnya."Aku sudah selesai. Ayo kita berangkat.""Iya."Debi dan juga Lisa melangkahkan kaki mereka berjalan keluar dari dalam ruangan. Mereka yang tengah buru-buru sampai melupakan Maya yang memperhatikan mereka sedari tadi. "Mereka mau kemana ya! Daripada aku penasaran, mending aku ikutin saja mereka." Maya menyambar tas miliknya, dan berjalan mengikuti Debi dan juga Lisa. Angin malam menerpa wajah cantik Debi yang mengenakan helm. Karena perjalanan yang cukup jauh. Debi mengiyakan tawaran Lisa untuk naik motornya."Apa masih ja
Maya langsung menutup telinganya saat suara musik yang begitu keras memekakkan telinganya. Rasanya Maya ingin secepatnya pergi dari dalam sana jika ia tidak mencari tahu keberadaan Debi."Di mana anak haram ya!"Maya mengedarkan pandangannya. Ada banyak sekali pengunjung yang keluar masuk di tempat itu, membuat Maya kesusahan dibuatnya."Susah banget sih nyari anak haram itu."Maya hampir saja menyerah. Saat ia hendak keluar dari dalam club malam itu. Maya tidak sengaja melihat Debi. "Bukankah itu anak haram? Bajunya kok sudah ganti ya! Apa dia kerja di sini?"Maya mengedarkan pandangannya. Baju yang dipakai Debi mirip sekali dengan karyawan yang bekerja di tempat itu. Selain itu Maya juga melihat Debi yang tengah mengantarkan minuman ke setiap pengunjung."Sepertinya Debi memang bekerja di tempat ini. Aku harus mengabadikannya dan memamerkannya ke banyak orang." Maya buru-buru mengambil ponselnya. Maya tersenyum senang setelah dia mendapatkan foto Debi yang tengah melayani pengunju
Tin tin tinDebi mengalihkan pandangannya saat mendengar suara klakson. Debi melihat ada sebuah mobil yang berhenti di sampingnya. Saat itu Debi melihat seorang laki-laki yang membuka kaca mobilnya. Laki-laki itu tersenyum kepada Debi."Mau bareng sama saya?" tawarnya. Debi merasa asing dengan laki-laki itu. Ini pertama kalinya Debi melihatnya. Mendapatkan tawaran seperti tadi. Debi malah menjadi takut. Siapa tahu laki-laki itu orang yang tidak baik yang ingin berbuat jahat kepadanya. "Kenapa kamu diam? Ayo masuk. Biar saya antarkan kamu pulang.""Tidak perlu, saya bisa pulang sendiri.""Malam-malam begini, gadis kecil seperti kamu tidak baik pulang sendiri. Kamu tidak usah khawatir, saya bukan orang jahat kok.""Tidak. Terima kasih." Debi melangkahkan kakinya kembali. Debi tidak ingin meladeni laki-laki yang tidak ia kenal itu. Debi mempercepat langkahnya, namun mobil itu malah mengikutinya. Debi semakin takut. Debi yakin jika pemilik mobil itu ingin berniat tidak baik kepadanya.
"Dia apa Renata? Jawab!!!!!" Deg Renata terkejut saat Rafa membentaknya. Renata melihat Rafa tak percaya. Ini pertama kalinya Renata melihat Rafa membentaknya, dan itu dia lakukan karena Debi. Renata sedih. Renata semakin membenci Debi saat itu. "Malah diam. Ayo jawab." "Pak Rafa, sudah Pak. Semua ini salah saya." "Mana bisa aku membiarkan orang yang hampir saja melukai kamu, Debi." "Tapi ini salah saya, Pak. Kak Renata tidak salah. Tidak sepantasnya Kak Renata dimarahi seperti ini." "Tidak. Dia memang pantas dimarahi seperti ini."Hati Renata semakin dibalut luka. Mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut Rafa, laki-laki yang sangat ia cintai. Begitu sakit rasanya. Bahkan, Renata sangat mencemburui itu. Renata sampai tidak sanggup melihat pemandangan di hadapannya. "Kenapa diam? Jawab alasannya apa tadi?""Maaf Pak Rafa, saya salah." "Nah, gitu dong. Kalau salah ya minta maaf. Sekarang minta maaf sama Debi." "Baik Pak Rafa," balas Renata yang mengalihkan pandangannya.
"Ini Sapu tangan Om, Marko." DegMarko terkejut mendengar ucapan omnya. Saking terkejutnya Marko sampai bengong. "Terima kasih ya sudah menemukan sapu tangan Om," sambung Rafa. Rafa tersenyum, namun tak mendapatkan respon dari keponakannya. Rafa tak memperdulikan itu, dia memilih kembali melangkahkan kakinya. Marko tertegun di tempatnya. Ucapan omnya terus terngiang-ngiang di telinganya. Rasanya Marko tak percaya dengan yang didengarnya tadi. "Jika yang aku temukan tadi sapu tangan Om Rafa. Berarti yang menolong Debi?"Perasaan Marko tak karuan. Marko cemas dan juga khawatir. Yah, Marko tidak mau yang ditakutkannya akan benar terjadi. "Enggak, enggak mungkin. Pasti hanya kebetulan saja. Siapa tahu Om Rafa ke kampusku hanya untuk jalan-jalan. Om Rafa kan memang suka kayak gitu. Iya, pasti benar seperti itu." BrukkkkRafa menghempaskan badannya di tempat tidur. Hemzzztttt, nyaman sekali. Tangan Rafa meraih benda pipih yang ada di dalam saku bajunya. "Kira-kira Debi lagi ngapain y
"Debi."DegDebi terkejut saat tiba-tiba mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata itu Rafa yang saat ini berdiri di depannya."Kamu sedang mikirin apa Debi?""Tidak sedang mikirin apa-apa kok Pak.""Enggak sedang mikirin apa-apa kok sampai enggak denger aku panggil dari tadi.""Iya, itu karena kurang konsentrasi aja Pak," balas Debi tersenyum malu. "Kalau ada masalah cerita ya. Jangan dipendam sendiri. Gak baik buat kesehatan mental." "Iya Pak, tapi aku tidak sedang ada masalah kok Pak." "Alhamdulillah kalau begitu " "Iya Pak.""Ya sudah, aku antar pulang kamu sekarang ya." "Iya Pak Rafa." Dengan jalan berdampingan. Debi dan Rafa berjalan keluar dari dalam rumah makan. Hari ini jalanan beraspal tak seramai biasanya. Mobil yang Debi tumpangi bebas hambatan tanpa macet sedikitpun. Meski ada pemandangan yang bisa menyejukkan mata Debi di sepanjang jalan. Namun hal itu tak mengalihkan Debi dari lamunannya. "Ya Tuhan, bagaimana ini? Apakah aku bilang saja sama Rafa ya. Kalau aku
"Debi, kamu tidak usah khawatir. Semua sudah.......""Tolong." Deg Jantung Rafa berdegup kencang saat Debi memeluknya. Tangan Rafa bergetar membalas pelukan Debi padanya. "Jangan takut. Ada aku yang akan menolongmu." Debi semakin mengeratkan pelukannya, begitu pun Rafa sebaliknya.Debi mulai tenang. Seiring itu Debi mulai melepaskan pelukannya. Debi melihat Rafa yang tersenyum kepadanya. "Maaf.""Tidak apa-apa, jika kamu butuh sandaran. Bahuku siap untuk kamu buat sandaran.""Kenapa kamu begitu baik padaku. Padahal aku jahat. Aku sudah menolak cintamu." "Kamu tidak jahat. Kamu punya hak untuk menolak cinta laki-laki yang tidak kamu cintai." "Tapi bukankah seharusnya kamu membenciku? Menjauhiku? Seperti mereka yang melakukan itu padaku." "Tidak ada alasan bagiku untuk menjauhimu. Aku mencintaimu, tapi bukan berarti kamu harus menerima cintaku juga. Inilah yang dinamakan dewasa." Debi melihat Rafa takjub. Dia laki-laki yang sangat baik padanya. Bahkan pemikirannya pun juga sang
"Pak Rafa." Rafa menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badannya dan melihat Debi dan Doni berjalan mendekatinya. "Terima kasih ya Pak sudah menolong saya." ."Iya Debi, sama-sama. Tapi kamu tidak kenapa-kenapa kan?" "Iya Pak, saya tidak kenapa-kenapa kok.""Syukurlah kalau begitu," balas Rafa lega. Entah perasaan apa yang tiba-tiba menyelimuti hati Debi. Rasanya Debi begitu nyaman. Bahkan Debi merasa aman saat berada di dekat Rafa. Mungkinkah ini cinta? Entahlah, hati Debi tak berhenti bertanya.Tanpa Debi dan yang lainnya sadari. Renata yang sedari tadi berdiri di depan pintu bar. Tak berhenti mengepalkan tangannya. Renata tidak suka melihat pemandangan di depannya. Apalagi melihat perhatian Rafa yang terlihat jelas untuk Debi. Renata pun cemburu dibuatnya. "Dasar enggak tahu terima kasih," ucapnya yang langsung pergi dari sana. Malam pun semakin larut. Bar pun juga mulai sepi, saat jam tutup telah tiba. Semua karyawan menuju loker untuk mengambil barang-barang milik mereka.
Deg Debi terkejut saat Doni memanggilnya. Ya Tuhan, tubuh Debi bergetar hebat. Pasti Maya mendengarnya. Debi semakin tak berkutik di tempatnya. "Oh, ternyata kamu."Tubuh Debi langsung gemetaran. Perasaan takut pun memenuhi hatinya. Debi seperti trauma akan kejadian penusukan waktu itu. "Masih hidup kamu. Aku kira udah mati," sambung Maya yang diikuti gelak tawa. Debi tetap diam tanpa ingin merespon mereka. "Tuli ya kamu!!!!!" bentak Maya membuat mereka yang ada di sekitar sana pun menjadi mereka pusat perhatian. Tak terkejut Doni yang terlihat terkejut dan juga penasaran. "Maaf Maya, aku mau bekerja," balas Debi yang langsung turun dari tempat duduknya. BrukkkkDebi yang hendak berjalan pun terjatuh saat Maya menjagal kakinya. "Mau kemana kamu? Takut ya kalau pekerjaan kamu ini sampai terbongkar sama kita." "Aku enggak ada urusan sama kalian," balas Debi sembari berdiri. Debi kembali melangkahkan kakinya, namun lagi-lagi Maya menjagal kakinya, dan Debi pun terjatuh kembali.
"Aku dapat." Deg Debi dan Rafa sampai terkejut mendengar suara Lisa. "Mas ganteng, ini sosmed nya nenek sihir itu," kata Lisa yang menunjukkan ponselnya pada Rafa. "Oh, jadi ini yang namanya Maya." "Iya Mas ganteng. Jadi gimana? Apakah dia bisa dimasukkan ke dalam penjara?" "Iya, bisa. Aku akan memprosesnya.""Tolong secepatnya masukkan dia ke penjara ya Mas ganteng. Dia kalau berkeliaran akan semakin membuat korban lagi." "Iya, kamu tidak usah khawatir." "Wah, terima kasih banyak Mas ganteng," balas Lisa tersenyum senang. "Iya, sama-sama." Hari itu, Rafa banyak bercerita. Bukan bersama Debi ia melakukannya. Melainkan bersama Lisa yang terlihat excited mendengarkannya. Bahkan Lisa juga sangat penasaran dengan kehidupan Rafa. "Wah, hebat ya Mas ganteng. Sejak kecil udah jadi yatim pintu dan hanya tinggal bersama kakaknya saja.""Iya mau bagaimana lagi. Yang namanya kehidupan harus terus berjalan. Mau bagaimana pun keadaannya.""Iya Mas ganteng, ceritanya Mas ganteng benar-be
Deg Mata Debi yang terpejam seketika membelalak. Debi melihat Lisa tak percaya. Bisa-bisanya dia mengatakan itu di depan Rafa. Debi melirik Rafa. Dia terlihat tenang tanpa menoleh sedikitpun. Tapi Debi yakin pasti dia mendengarnya. "Apa? Kenapa kamu ngelihatin aku sampai kayak gitu? Yang aku katakan benar kan?" "Kamu ini enggak capek Lisa. Dari tadi ngomong terus.""Enggak, aku malah seneng bisa naik mobil sebagus ini.""Kamu jadian gih sama Mas ganteng." "Lisa, tolong dikondisikan ucapan kamu," bisik Debi tepat di telinga Lisa. "Apa sih Debi, yang aku katakan emang benar kan?" balasnya lantang, sampai Debi merasa malu dan juga canggung. "Mas ganteng, tadi kok bisa ke rumah sakit? Bukannya Mas ganteng udah pulang dua hari yang lalu ya?" tanya Lisa pada Rafa yang sedari tadi diam."Oh, itu karena aku mau jenguk Debi. Eh, enggak tahunya dia malah udah pulang." "Wah, ternyata Mas ganteng sengaja ke rumah sakit mau jenguk Debi ya.""Iya." "Mas ganteng baik banget sih, tapi sayang
Hari berganti minggu, dan selama itu pula keadaan Debi mulai membaik. Bahkan dokter juga sudah mengizinkannya untuk pulang. Huh, Debi senang sekali mendengarnya. Akhirnya hari yang ditunggunya tiba. "Sudah kamu pastikan tidak ada barang yang ketinggalan Lisa?" "Sudah tidak ada yang ketinggalan Debi." "Ya sudah, ayo kita pulang," balasnya tersenyum senang. Cklek"Selamat pagi." "Pagi suster." "Nona Debi pulang hari ini?" "Iya suster." "Jangan lupa sebelum pulang nona Debi untuk melunasi biaya rumah sakit dulu." Debi dibuat diam seketika itu. Senyumnya pun hilang. Debi baru sadar jika masih ada biaya rumah sakit yang belum ia bayar. Dan Debi tidak punya uang untuk membayarnya. "Nona Debi." "Eh, iya suster?" balas Debi yang tersadar dari lamunannya. "Jangan lupa ya dilunasi dulu biaya rumah sakitnya." "Iya suster." "Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu." "Iya suster." Pintu ruangan tertutup. Debi pun langsung duduk di tempatnya. Wajahnya murung. Debi benar-benar bingun