Dengan semangatnya. Debi dan juga Rafa melangkahkan kaki mereka berjalan menuju parkiran klinik. "Tas kamu ada di dalam. Masuklah. Aku akan mengantarkan kamu ke kampus lagi.""Apakah aku tidak merepotkan kamu?""Tidak. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan.""Baiklah, kalau kamu memang tidak merasa direpotkan."Debi berjalan masuk ke dalam mobil, begitu juga dengan Rafa. "Ini tas kamu," kata Rafa yang memberikan tas Debi kepada pemiliknya."Terima kasih ya! Sebentar aku ambilkan ponselku dulu."Debi mengambil ponselnya dan membacakan nomor ponselnya. Sementara Rafa tersenyum senang sembari menulis nomor Debi ke dalam ponselnya."Itu nomorku, jika nanti aku sudah punya uang. Aku akan langsung membayar hutangku.""Iya, tidak perlu terlalu dipikirkan.""Iya.""Ya sudah, kita kembali ke kampus lagi ya!""Iya."Rafa menghidupkan mesin mobilnya, dan melajukannya meninggalkan parkiran klinik. Suasana di dalam mobil terasa hening saat Debi maupun Rafa sama-sama diam. Rafa fokus pada jala
Marko yang menjadi penonton pun tersenyum puas. Akhirnya Marko bisa membalas perbuatan Maya kepada Debi."Marko, apakah kamu dalang dibalik semua ini?" tanya Gilang. "Iya, aku yang sudah membuat Maya dalam masalah.""Wah-wah, sepertinya ada yang belum bisa move on nih.""Maksud kamu apa?" tanya Marko dengan alisnya yang naik ke atas. "Kamu belum bisa move on dari Debi kan? Karena itu lah kamu belas dendam kepada Maya.""Tidak usah sok tahu kamu," balas Marko tidak suka. "Wajah kamu tidak bisa berbohong Marko." "Iya, betul itu. Aku setuju kalau Marko sebenarnya belum bisa move on dari Debi," sahut Bagas.Baru saja Marko merasa puas, namun ucapan teman-temannya membuat suasana hati Marko berubah. "Terserah kalian."Marko melangkahkan kakinya berjalan pergi meninggalkan teman-temannya. Melihat itu, teman-teman Marko langsung berjalan mengikutinya.Lidya dan juga Mira yang saat itu berjalan keluar dari dalam kantin. Mereka tidak sengaja melihat kerumunan mahasiswa. Mereka yang merasa
Rafa tersenyum mendengar ucapan Debi. ini pertama kalinya Rafa melihat wanita yang tidak mengambil keuntungan di saat ada seseorang yang ingin membelikannya barang."Tidak apa-apa, tidak usah kamu pikirkan.""Tapi Rafa.....""Ini Mas, bajunya."Ucapan Debi harus terhentikan saat pelayan toko datang mendekati mereka. Pelayan toko itu membawa baju mewah yang sangat bagus. Pasti harganya sangat mahal."Iya Mbak, terima kasih. Ini bajunya biar di coba sama teman saya dulu.""Iya Mas.""Ini Debi, coba dulu.""Tapi Rafa, ini kan baju mahal. Aku beli yang harga murah saja, tidak perlu harga mahal." "Tidak apa-apa. Cepat coba sana.""Tapi Rafa."Rafa menyodorkan baju itu. Debi yang tidak mau. Terpaksa menerima baju itu dan langsung menuju ruang ganti. Setelah Debi mengganti baju kotornya dengan baju baru. Debi melangkahkan kakinya berjalan keluar dari dalam ruang ganti. Tidak ketinggalan pula, Debi membawa baju kotornya tadi yang ia taruh di kantong plastik. Debi memberikan tatapan lucu pada
"Ih, Marko. Kamu kok malah mengabaikan aku sih.""Kamu bisa gak sih ngomong seperti itu tidak di tempat umum? Apa kamu lupa perjanjian yang sudah kita buat?""Kenapa? Kamu tidak terima kalau Debi mendengarnya?""Tidak usah bawa-bawa Debi. Ini masalah kamu yang tidak mengingat perjanjian yang sudah kita buat.""Habisnya aku kesal sama kamu, Marko. Lihat, gara-gara kamu menyuruhku mencari kunci mobil kamu di toilet cowok. Aku jadi terluka seperti ini, dan kamu sama sekali tidak mengkhawatirkan aku.""Itu salah kamu sendiri yang tidak mau hati-hati." "Kok salahku sih. Jelas-jelas kamu yang salah." Marko yang lelah menghadapi Maya, membuat Marko melangkahkan kakinya pergi. "Marko, kamu mau kemana? Aku belum selesai bicara sama kamu."Meski Marko mendengar suara teriakan Maya, namun Marko memilih untuk terus melangkahkan kakinya."Sepertinya tebakanku benar," kata Lidya yang berjalan mendekati Maya bersama Mira."Maksud kamu, tebakan kamu benar bagaimana?""Kalau Marko itu tidak pernah s
Obrolan Debi dan juga Rafa terhenti saat pesan mereka datang. Saat itu lagi-lagi Debi mendapatkan tatapan tak bersahabat dari pelayan yang mengantarkan pesanan. Debi menjadi tidak nyaman."Kamu lihatkan, teman kerjaku melihat aku dengan tatapan tak bersahabat?""Abaikan mereka, dan sekarang minum lah."Rafa memberikan segelas minuman yang sengaja ia pesankan untuk Rafa. Meski awalnya Debi merasa tidak nyaman, namun setelah mendengar cerita Rafa. Debi sibuk ngobrol dengan Rafa. Tidak ketinggalan pula. Mereka menyelanginya dengan candaan. Tap tap tapMarko melangkahkan kakinya berjalan masuk ke dalam club. Marko tidak sendiri, karena di belakangnya ada tiga temannya yang mengikutinya.Marko terus melangkahkan kakinya untuk mencari tempat favoritnya di tempat itu. Yah, itu karena Marko dan teman-temannya seiring datang ke sini. Belum sampai Marko di tempat favoritnya. Marko menghentikan langkahnya, membuat ketiga temannya menjadi bingung."Ada apa Marko? Kenapa kamu menghentikan langkah
"Kamu masih mau minum Marko?" tanya Bima yang menyadarkan Marko dari lamunannya."Sepertinya kamu senang melihat aku diomelin Om Rafa."Huh, Bima menghela nafas panjang. Lagi-lagi dia salah berucap di depan Marko. Sementara yang lainnya tersenyum melihat Bima diomelin. Tap tap tap"Debi.""Iya Kak Renata, ada apa?" "Katanya yang lain, tadi kamu menemani Pak Juna minum. Apakah itu benar?""Enggak kok Kak, tadi aku menemani temanku kuliah yang bernama Rafa." "Oh, berati yang dikatakan anak-anak salah ya!""Mungkin mereka salah informasi Kak.""Iya, mungkin saja. Ya sudah, ayo kita lanjut bekerja.""Iya Kak."Debi kembali bekerja. Langkahnya berderap ke sana kemari mendatangi meja pengunjung. Debi melakukan pekerjaannya dengan semangat dan juga senyuman.Tanpa Debi sadari. Seseorang yang tengah duduk di pojok ruangan tengah memperhatikan Debi. Mereka seseorang itu tidak hanya memeprhatikan, tapi juga membicarakan Debi dengan teman-temannya."Kamu lihat pelayan baru itu?""Iya, aku meli
Rafa membaringkan Debi di dalam ruangannya. Rafa terlihat panik. Apalagi Rafa melihat keadaan Debi yang sangat menyedihkan."Bangun Debi. Jangan buat aku khawatir."Rafa duduk di samping Debi. Bibirnya tidak hentinya merafalkan do'a agar Debi segara sadar. Rafa sangat antusias saat melihat Debi yang mulai mengerjapkan matanya. Seiring itu juga. Rafa melihat Debi menggerakkan tangannya."Syukurlah kamu sudah sadar Debi," kata Rafa tersenyum senang.Debi membuka matanya. Debi mengedarkan pandangannya dan mendapati dirinya berada di dalam ruangan. Pandangan Debi beralih dan melihat Rafa yang duduk di sampingnya."Kamu?""Iya, ini aku. Sekarang kamu aman." Debi kembali mengedarkan pandangannya. Debi ingat jika ada Marko yang saat itu menolongnya, tapi Debi tidak melihat siapa pun selain Rafa di dalam ruangan."Apa tadi aku salah lihat?" bisiknya."Kamu sedang mencari siapa?""Tidak. Aku tidak sedang mencari siapa-siapa. Kamu yang menolongku tadi?""Iya, aku yang menolong kamu tadi."Debi
"Kenapa kamu diam Rafa? Apakah ini jaket kamu?""Eh, iya, itu jaketku." "Oh, kalau gitu aku pinjam dulu ya?""Iya, kamu pakek dulu tidak apa-apa.""Terima kasih Rafa.""Iya, sama-sama." "Oh iya, aku antarkan kamu pulang mau?""Tidak perlu Rafa. Aku harus lanjut bekerja.""Tidak perlu. Tadi aku sudah mengizinkan kamu sama pemilik tempat ini. Katanya malam ini tidak apa-apa jika kamu pulang lebih awal." "Benarkah? Kamu bertemu dengannya tadi?" tanya Debi heboh. Yah, selama Debi bekerja di sini. Debi belum pernah bertemu dengan pemilik tempat ini yang terkenal sangat tampan. "Iya, aku bertemu dengannya saat mengambilkan minum untuk kamu tadi." "Oh, gitu ya! Kamu tahu, selama aku bekerja di sini, aku belum pernah bertemu dengan pemilik tempat ini. Katanya sih dia sangat tampan. Apakah itu benar?" Rafa tersenyum dengan pertanyaan Debi barusan. Rafa sampai malu mendengarnya. "Iya, dia memang sangat tampan. Kamu suka dengannya?""Tidak. Mana mungkin aku bisa suka dengannya. Orang ketem
"Dia apa Renata? Jawab!!!!!" Deg Renata terkejut saat Rafa membentaknya. Renata melihat Rafa tak percaya. Ini pertama kalinya Renata melihat Rafa membentaknya, dan itu dia lakukan karena Debi. Renata sedih. Renata semakin membenci Debi saat itu. "Malah diam. Ayo jawab." "Pak Rafa, sudah Pak. Semua ini salah saya." "Mana bisa aku membiarkan orang yang hampir saja melukai kamu, Debi." "Tapi ini salah saya, Pak. Kak Renata tidak salah. Tidak sepantasnya Kak Renata dimarahi seperti ini." "Tidak. Dia memang pantas dimarahi seperti ini."Hati Renata semakin dibalut luka. Mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut Rafa, laki-laki yang sangat ia cintai. Begitu sakit rasanya. Bahkan, Renata sangat mencemburui itu. Renata sampai tidak sanggup melihat pemandangan di hadapannya. "Kenapa diam? Jawab alasannya apa tadi?""Maaf Pak Rafa, saya salah." "Nah, gitu dong. Kalau salah ya minta maaf. Sekarang minta maaf sama Debi." "Baik Pak Rafa," balas Renata yang mengalihkan pandangannya.
"Ini Sapu tangan Om, Marko." DegMarko terkejut mendengar ucapan omnya. Saking terkejutnya Marko sampai bengong. "Terima kasih ya sudah menemukan sapu tangan Om," sambung Rafa. Rafa tersenyum, namun tak mendapatkan respon dari keponakannya. Rafa tak memperdulikan itu, dia memilih kembali melangkahkan kakinya. Marko tertegun di tempatnya. Ucapan omnya terus terngiang-ngiang di telinganya. Rasanya Marko tak percaya dengan yang didengarnya tadi. "Jika yang aku temukan tadi sapu tangan Om Rafa. Berarti yang menolong Debi?"Perasaan Marko tak karuan. Marko cemas dan juga khawatir. Yah, Marko tidak mau yang ditakutkannya akan benar terjadi. "Enggak, enggak mungkin. Pasti hanya kebetulan saja. Siapa tahu Om Rafa ke kampusku hanya untuk jalan-jalan. Om Rafa kan memang suka kayak gitu. Iya, pasti benar seperti itu." BrukkkkRafa menghempaskan badannya di tempat tidur. Hemzzztttt, nyaman sekali. Tangan Rafa meraih benda pipih yang ada di dalam saku bajunya. "Kira-kira Debi lagi ngapain y
"Debi."DegDebi terkejut saat tiba-tiba mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata itu Rafa yang saat ini berdiri di depannya."Kamu sedang mikirin apa Debi?""Tidak sedang mikirin apa-apa kok Pak.""Enggak sedang mikirin apa-apa kok sampai enggak denger aku panggil dari tadi.""Iya, itu karena kurang konsentrasi aja Pak," balas Debi tersenyum malu. "Kalau ada masalah cerita ya. Jangan dipendam sendiri. Gak baik buat kesehatan mental." "Iya Pak, tapi aku tidak sedang ada masalah kok Pak." "Alhamdulillah kalau begitu " "Iya Pak.""Ya sudah, aku antar pulang kamu sekarang ya." "Iya Pak Rafa." Dengan jalan berdampingan. Debi dan Rafa berjalan keluar dari dalam rumah makan. Hari ini jalanan beraspal tak seramai biasanya. Mobil yang Debi tumpangi bebas hambatan tanpa macet sedikitpun. Meski ada pemandangan yang bisa menyejukkan mata Debi di sepanjang jalan. Namun hal itu tak mengalihkan Debi dari lamunannya. "Ya Tuhan, bagaimana ini? Apakah aku bilang saja sama Rafa ya. Kalau aku
"Debi, kamu tidak usah khawatir. Semua sudah.......""Tolong." Deg Jantung Rafa berdegup kencang saat Debi memeluknya. Tangan Rafa bergetar membalas pelukan Debi padanya. "Jangan takut. Ada aku yang akan menolongmu." Debi semakin mengeratkan pelukannya, begitu pun Rafa sebaliknya.Debi mulai tenang. Seiring itu Debi mulai melepaskan pelukannya. Debi melihat Rafa yang tersenyum kepadanya. "Maaf.""Tidak apa-apa, jika kamu butuh sandaran. Bahuku siap untuk kamu buat sandaran.""Kenapa kamu begitu baik padaku. Padahal aku jahat. Aku sudah menolak cintamu." "Kamu tidak jahat. Kamu punya hak untuk menolak cinta laki-laki yang tidak kamu cintai." "Tapi bukankah seharusnya kamu membenciku? Menjauhiku? Seperti mereka yang melakukan itu padaku." "Tidak ada alasan bagiku untuk menjauhimu. Aku mencintaimu, tapi bukan berarti kamu harus menerima cintaku juga. Inilah yang dinamakan dewasa." Debi melihat Rafa takjub. Dia laki-laki yang sangat baik padanya. Bahkan pemikirannya pun juga sang
"Pak Rafa." Rafa menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badannya dan melihat Debi dan Doni berjalan mendekatinya. "Terima kasih ya Pak sudah menolong saya." ."Iya Debi, sama-sama. Tapi kamu tidak kenapa-kenapa kan?" "Iya Pak, saya tidak kenapa-kenapa kok.""Syukurlah kalau begitu," balas Rafa lega. Entah perasaan apa yang tiba-tiba menyelimuti hati Debi. Rasanya Debi begitu nyaman. Bahkan Debi merasa aman saat berada di dekat Rafa. Mungkinkah ini cinta? Entahlah, hati Debi tak berhenti bertanya.Tanpa Debi dan yang lainnya sadari. Renata yang sedari tadi berdiri di depan pintu bar. Tak berhenti mengepalkan tangannya. Renata tidak suka melihat pemandangan di depannya. Apalagi melihat perhatian Rafa yang terlihat jelas untuk Debi. Renata pun cemburu dibuatnya. "Dasar enggak tahu terima kasih," ucapnya yang langsung pergi dari sana. Malam pun semakin larut. Bar pun juga mulai sepi, saat jam tutup telah tiba. Semua karyawan menuju loker untuk mengambil barang-barang milik mereka.
Deg Debi terkejut saat Doni memanggilnya. Ya Tuhan, tubuh Debi bergetar hebat. Pasti Maya mendengarnya. Debi semakin tak berkutik di tempatnya. "Oh, ternyata kamu."Tubuh Debi langsung gemetaran. Perasaan takut pun memenuhi hatinya. Debi seperti trauma akan kejadian penusukan waktu itu. "Masih hidup kamu. Aku kira udah mati," sambung Maya yang diikuti gelak tawa. Debi tetap diam tanpa ingin merespon mereka. "Tuli ya kamu!!!!!" bentak Maya membuat mereka yang ada di sekitar sana pun menjadi mereka pusat perhatian. Tak terkejut Doni yang terlihat terkejut dan juga penasaran. "Maaf Maya, aku mau bekerja," balas Debi yang langsung turun dari tempat duduknya. BrukkkkDebi yang hendak berjalan pun terjatuh saat Maya menjagal kakinya. "Mau kemana kamu? Takut ya kalau pekerjaan kamu ini sampai terbongkar sama kita." "Aku enggak ada urusan sama kalian," balas Debi sembari berdiri. Debi kembali melangkahkan kakinya, namun lagi-lagi Maya menjagal kakinya, dan Debi pun terjatuh kembali.
"Aku dapat." Deg Debi dan Rafa sampai terkejut mendengar suara Lisa. "Mas ganteng, ini sosmed nya nenek sihir itu," kata Lisa yang menunjukkan ponselnya pada Rafa. "Oh, jadi ini yang namanya Maya." "Iya Mas ganteng. Jadi gimana? Apakah dia bisa dimasukkan ke dalam penjara?" "Iya, bisa. Aku akan memprosesnya.""Tolong secepatnya masukkan dia ke penjara ya Mas ganteng. Dia kalau berkeliaran akan semakin membuat korban lagi." "Iya, kamu tidak usah khawatir." "Wah, terima kasih banyak Mas ganteng," balas Lisa tersenyum senang. "Iya, sama-sama." Hari itu, Rafa banyak bercerita. Bukan bersama Debi ia melakukannya. Melainkan bersama Lisa yang terlihat excited mendengarkannya. Bahkan Lisa juga sangat penasaran dengan kehidupan Rafa. "Wah, hebat ya Mas ganteng. Sejak kecil udah jadi yatim pintu dan hanya tinggal bersama kakaknya saja.""Iya mau bagaimana lagi. Yang namanya kehidupan harus terus berjalan. Mau bagaimana pun keadaannya.""Iya Mas ganteng, ceritanya Mas ganteng benar-be
Deg Mata Debi yang terpejam seketika membelalak. Debi melihat Lisa tak percaya. Bisa-bisanya dia mengatakan itu di depan Rafa. Debi melirik Rafa. Dia terlihat tenang tanpa menoleh sedikitpun. Tapi Debi yakin pasti dia mendengarnya. "Apa? Kenapa kamu ngelihatin aku sampai kayak gitu? Yang aku katakan benar kan?" "Kamu ini enggak capek Lisa. Dari tadi ngomong terus.""Enggak, aku malah seneng bisa naik mobil sebagus ini.""Kamu jadian gih sama Mas ganteng." "Lisa, tolong dikondisikan ucapan kamu," bisik Debi tepat di telinga Lisa. "Apa sih Debi, yang aku katakan emang benar kan?" balasnya lantang, sampai Debi merasa malu dan juga canggung. "Mas ganteng, tadi kok bisa ke rumah sakit? Bukannya Mas ganteng udah pulang dua hari yang lalu ya?" tanya Lisa pada Rafa yang sedari tadi diam."Oh, itu karena aku mau jenguk Debi. Eh, enggak tahunya dia malah udah pulang." "Wah, ternyata Mas ganteng sengaja ke rumah sakit mau jenguk Debi ya.""Iya." "Mas ganteng baik banget sih, tapi sayang
Hari berganti minggu, dan selama itu pula keadaan Debi mulai membaik. Bahkan dokter juga sudah mengizinkannya untuk pulang. Huh, Debi senang sekali mendengarnya. Akhirnya hari yang ditunggunya tiba. "Sudah kamu pastikan tidak ada barang yang ketinggalan Lisa?" "Sudah tidak ada yang ketinggalan Debi." "Ya sudah, ayo kita pulang," balasnya tersenyum senang. Cklek"Selamat pagi." "Pagi suster." "Nona Debi pulang hari ini?" "Iya suster." "Jangan lupa sebelum pulang nona Debi untuk melunasi biaya rumah sakit dulu." Debi dibuat diam seketika itu. Senyumnya pun hilang. Debi baru sadar jika masih ada biaya rumah sakit yang belum ia bayar. Dan Debi tidak punya uang untuk membayarnya. "Nona Debi." "Eh, iya suster?" balas Debi yang tersadar dari lamunannya. "Jangan lupa ya dilunasi dulu biaya rumah sakitnya." "Iya suster." "Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu." "Iya suster." Pintu ruangan tertutup. Debi pun langsung duduk di tempatnya. Wajahnya murung. Debi benar-benar bingun