"Kenapa kamu diam Rafa? Apakah ini jaket kamu?""Eh, iya, itu jaketku." "Oh, kalau gitu aku pinjam dulu ya?""Iya, kamu pakek dulu tidak apa-apa.""Terima kasih Rafa.""Iya, sama-sama." "Oh iya, aku antarkan kamu pulang mau?""Tidak perlu Rafa. Aku harus lanjut bekerja.""Tidak perlu. Tadi aku sudah mengizinkan kamu sama pemilik tempat ini. Katanya malam ini tidak apa-apa jika kamu pulang lebih awal." "Benarkah? Kamu bertemu dengannya tadi?" tanya Debi heboh. Yah, selama Debi bekerja di sini. Debi belum pernah bertemu dengan pemilik tempat ini yang terkenal sangat tampan. "Iya, aku bertemu dengannya saat mengambilkan minum untuk kamu tadi." "Oh, gitu ya! Kamu tahu, selama aku bekerja di sini, aku belum pernah bertemu dengan pemilik tempat ini. Katanya sih dia sangat tampan. Apakah itu benar?" Rafa tersenyum dengan pertanyaan Debi barusan. Rafa sampai malu mendengarnya. "Iya, dia memang sangat tampan. Kamu suka dengannya?""Tidak. Mana mungkin aku bisa suka dengannya. Orang ketem
Mobil melaju di tengah jalan. Meski Bima dan yang lainnya sibuk bercengkrama, namun hal itu tidak mengalihkan Marko dari pikirannya. Marko kembali teringat pertemuannya dengan Debi. Keadaan Debi yang sangat menyedihkan membuat Marko tidak tega meninggalkan Debi seorang diri, tapi lagi-lagi Marko dikalahkan oleh gengsinya. Yah, penolakan cinta yang dilakukan Debi membuat Marko merasa enggan untuk perduli dengan Debi."Bagaimana keadaan Debi sekarang ya? Apa dia sudah pulang?" bisiknya.Rasanya Marko enggan untuk melupakan Debi. Marko terus merasa cemas memikirkan Debi saat ini. "Woe, lagi mikirin apa sih," kata Bima mengejutkan Marko."Apa-apaan sih kamu ini. Mengganggu saja." "Ye, aku kan hanya penasaran saja. Tidak perlu marah kayak gitu dong. Lagian kamu lagi mikirin apa sih? Kelihatannya serius banget?" "Mungkin dia lagi mikirin Debi tuh," sahut Bagas yang seolah tahu jalan pikiran temannya."Kamu beneran lagi mikirin Debi ya?""Apaan sih, gak usah buat gosip deh." "Terus kamu
Debi tertegun di depan makanan yang dibelikan Rafa. Huh, pikiran dan Debi masih berandai mengingat Marko. "Mungkin jika hubunganku dan Marko tidak renggang. Pagi ini aku pasti menikmati sarapan bersama."Memikirkan Marko seperti ini, membuat Debi menjadi sedih. Debi menjadi malas untuk berangkat kuliah, dan melakukan aktivitas apapun."Berhenti memikirkan Marko, Debi. Kamu harus fokus memikirkan masa depanmu."Yah, seperti itulah tekad Debi. Debi tidak ingin memikirkan apapun selain masa depannya. Debi ingin menciptakan masa depan yang cerah. Debi tidak ingin hidup seperti ini. Dalam kesusahan dan sebatang kara. Debi menikmati makanannya dengan lahap. Debi benar-benar bersemangat hari ini. "Om Rafa yakin mau ikut aku ke kampus lagi?" tanya Marko disela-sela mengunyahnya."Iya, Om yakin.""Sebenarnya Om mau ngapain sih ikut aku ke kampus terus?""Ya mau ketemu sama calon tantemu.""Kalau aku jadi Om Rafa. Aku akan langsung mengungkapkan perasanku dan setelah itu ajak dia menikah.""Ti
Debi terkejut mendengar bentakan dari Maya. Saat itu Debi melihat Maya berjalan mendekatinya. Huh, jika sudah seperti ini. Debi bisa menebak akhirnya akan seperti apa."Pasti perubahan sikap Marko ada hubungannya sama kamu.""Masalah Marko tidak ada urusannya denganku.""Alah, aku yakin kamu pasti yang mempengaruhi Marko untuk bersikap tidak baik padaku.""Sepertinya kamu kurang update." "Maya, kamu lupa ya? Sekarang kan Marko sudah tidak perduli lagi sama anak haram ini," sahut Lidya."Oh iya, aku sampai lupa. Kasihan sekali ya kamu. Sekarang dicampakkan, dan Marko lebih memilih aku," kata Maya bangga. Meski Debi mendengarnya, namun Debi tidak memperdulikannya sama sekali. Debi lebih menyibukkan dirinya dengan buku yang ia baca."Berani sekali kamu mengabaikan aku."Saat Maya hendak melayangkan tangannya. Suara Debi langsung menghentikannya."Aku tidak pernah mengganggu kamu, tapi kamu suka sekali menggangguku. Apa kamu memang hobi membuat masalah denganku?""Oh, jadi sekarang kamu
"Marko?"DegDebi merutuki mulutnya yang salah ucap. Bisa-bisanya Debi memanggil Rafa dengan panggilan Marko. "Ma-maaf, maksudku Rafa."Rafa sempat terdiam, dan Debi melihat itu. Mendengar Debi menyebut nama Marko. Rafa jadi ingat dengan keponakannya. Rafa melihat Debi penuh tanya. "Apa mungkin yang Debi maksud Marko keponakanku? Jika itu benar, berarti Marko dan Debi ada hubungan yang tidak aku ketahui?" bisiknya."Rafa.""Eh iya, ada apa?""Kenapa kamu bengong?""Aku hanya kaget saja kamu salah menyebutkan namaku. Kalau aku boleh tahu, memangnya Marko itu siapa?"Debi menundukkan kepalanya. Wajahnya berubah menjadi sendu, dan Rafa melihat itu. Debi merasa enggan untuk bercerita tentang Marko. Apalagi menceritakan tentang Marko sama halnya membuka luka yang sekuat tenaga ia kubur. "Kenapa kamu diam Debi? Apakah Marko seseorang yang kamu sukai?""Enggak kok, Marko hanya sahabat dekatku.""Kalau boleh tahu, nama panjangnya Marko itu siapa ya Debi?""Kenapa kamu menanyakan hal itu?" b
Marko dan teman-temannya mengalihkan perhatian mereka saat mendengar suara seseorang wanita."Maya, ngapain kamu di sini?" tanya Bima penasaran."Mau ketemu pacarku lah.""Pacar kamu? Pacar kamu yang mana?" Huh, Marko mendengus kesal mendengar jawaban Maya. Marko pikir Maya orang yang bisa menjaga janji, tapi tidak disangka Maya orang yang suka ingkar. Melihat itu, Marko semakin muak dengan Maya. Apalagi Maya mengatakannya di depan teman-temannya."Iya Maya, pacar kamu siapa?" sahut Bagas yang tak kalah penasaran. "Ini pacarku."Maya menggandeng tangan Marko posesif, membuat pemiliknya merasa risih. Marko berusaha melepaskan tangannya, tapi Maya terlalu erat menggandengnya."Kamu sama Marko pacar?" balas mereka terkejut."Iya, aku dan Marko sudah resmi pacaran.""Sepertinya Maya jadi gila gara-gara sering ditolak Marko," ucap Gilang yang langsung membuat Maya marah."Jangan sembarang bicara kamu ya! Aku sama Marko beneran sudah resmi pacaran. Iya kan sayang?"Rasanya Marko ingin munt
"Apa?"Debi terkejut mendengar jawaban dari Doni. Rasanya Debi masih tidak percaya dengan yang dikatakan Doni barusan."Mas Doni tidak sedang bercanda kan?""He, apakah wajahku ini memperlihatkan kalau aku sedang bercanda?" Debi menelisik wajah Doni yang terlihat serius. Tidak ada kebohongan yang ia temukan di sana."Tidak mungkin. Jelas-jelas Rafa itu teman kuliahku, bukan Pak Juna," bisiknya. "Ngapain kamu masih bengong di sini? Ini, antarkan pesanan Pak Juna. Jangan biarkan beliau menunggu.""Eh, iya Mas Doni."Debi mengambil kopi yang sudah disajikan Doni. Dengan perasaan tak menentu. Debi melangkahkan kakinya mendekati Rafa.Rafa yang saat itu menyadari kedatangan Debi pun tersenyum. "Terima kasih ya?""Iya, sama-sama." Setelah mengantarkan kopi untuk Rafa. Debi tak langsung beranjak dari tempatnya. Debi masih memperhatikan Rafa yang tengah menikmati kopinya. "Masak iya sih, kalau Rafa itu ternyata Pak Juna? Kalau Rafa adalah Pak Juna. Kenapa dia masih terlihat sangat muda? P
Tap tap tapSemua karyawan bar pun pulang saat bar mulai tutup. Tidak terkecuali Debi yang saat ini berjalan bersama teman-temannya. Saat itu Renata yang berjalan di samping Debi. Melihat Doni yang terus melihat kearah Debi. Renata yang melihatnya pun menjadi penasaran."Kamu ini kenapa sih Don, dari tadi aku lihatin, kamu ngelihatin Debi terus. Naksir ya?" kata Renata sembari tersenyum."Mana berani aku suka sama Debi. Bisa-bisa dapat teguran lagi aku.""Maksud kamu apa?""Debi itu......."Dretttt dretttt drettttDoni menghentikan ucapannya saat mendengar ponselnya berbunyi. Doni mengambaikan ponselnya, dan saat itu Doni langsung menoleh ke belakang. DegDoni terkejut. Mulutnya mengatup untuk tidak lagi melanjutkan ucapannya."Debi itu apa Doni maksudnya? Jawab yang jelas," tanya Renata meminta penjelasan."Tidak apa-apa kok. Sudah, aku mau pulang duluan."Doni mempercepat langkahnya menuju motornya yang sudah terparkir."Aneh banget sih Doni itu.""Iya Kak Renata. Aku lihat Mas Don
"Dia apa Renata? Jawab!!!!!" Deg Renata terkejut saat Rafa membentaknya. Renata melihat Rafa tak percaya. Ini pertama kalinya Renata melihat Rafa membentaknya, dan itu dia lakukan karena Debi. Renata sedih. Renata semakin membenci Debi saat itu. "Malah diam. Ayo jawab." "Pak Rafa, sudah Pak. Semua ini salah saya." "Mana bisa aku membiarkan orang yang hampir saja melukai kamu, Debi." "Tapi ini salah saya, Pak. Kak Renata tidak salah. Tidak sepantasnya Kak Renata dimarahi seperti ini." "Tidak. Dia memang pantas dimarahi seperti ini."Hati Renata semakin dibalut luka. Mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut Rafa, laki-laki yang sangat ia cintai. Begitu sakit rasanya. Bahkan, Renata sangat mencemburui itu. Renata sampai tidak sanggup melihat pemandangan di hadapannya. "Kenapa diam? Jawab alasannya apa tadi?""Maaf Pak Rafa, saya salah." "Nah, gitu dong. Kalau salah ya minta maaf. Sekarang minta maaf sama Debi." "Baik Pak Rafa," balas Renata yang mengalihkan pandangannya.
"Ini Sapu tangan Om, Marko." DegMarko terkejut mendengar ucapan omnya. Saking terkejutnya Marko sampai bengong. "Terima kasih ya sudah menemukan sapu tangan Om," sambung Rafa. Rafa tersenyum, namun tak mendapatkan respon dari keponakannya. Rafa tak memperdulikan itu, dia memilih kembali melangkahkan kakinya. Marko tertegun di tempatnya. Ucapan omnya terus terngiang-ngiang di telinganya. Rasanya Marko tak percaya dengan yang didengarnya tadi. "Jika yang aku temukan tadi sapu tangan Om Rafa. Berarti yang menolong Debi?"Perasaan Marko tak karuan. Marko cemas dan juga khawatir. Yah, Marko tidak mau yang ditakutkannya akan benar terjadi. "Enggak, enggak mungkin. Pasti hanya kebetulan saja. Siapa tahu Om Rafa ke kampusku hanya untuk jalan-jalan. Om Rafa kan memang suka kayak gitu. Iya, pasti benar seperti itu." BrukkkkRafa menghempaskan badannya di tempat tidur. Hemzzztttt, nyaman sekali. Tangan Rafa meraih benda pipih yang ada di dalam saku bajunya. "Kira-kira Debi lagi ngapain y
"Debi."DegDebi terkejut saat tiba-tiba mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata itu Rafa yang saat ini berdiri di depannya."Kamu sedang mikirin apa Debi?""Tidak sedang mikirin apa-apa kok Pak.""Enggak sedang mikirin apa-apa kok sampai enggak denger aku panggil dari tadi.""Iya, itu karena kurang konsentrasi aja Pak," balas Debi tersenyum malu. "Kalau ada masalah cerita ya. Jangan dipendam sendiri. Gak baik buat kesehatan mental." "Iya Pak, tapi aku tidak sedang ada masalah kok Pak." "Alhamdulillah kalau begitu " "Iya Pak.""Ya sudah, aku antar pulang kamu sekarang ya." "Iya Pak Rafa." Dengan jalan berdampingan. Debi dan Rafa berjalan keluar dari dalam rumah makan. Hari ini jalanan beraspal tak seramai biasanya. Mobil yang Debi tumpangi bebas hambatan tanpa macet sedikitpun. Meski ada pemandangan yang bisa menyejukkan mata Debi di sepanjang jalan. Namun hal itu tak mengalihkan Debi dari lamunannya. "Ya Tuhan, bagaimana ini? Apakah aku bilang saja sama Rafa ya. Kalau aku
"Debi, kamu tidak usah khawatir. Semua sudah.......""Tolong." Deg Jantung Rafa berdegup kencang saat Debi memeluknya. Tangan Rafa bergetar membalas pelukan Debi padanya. "Jangan takut. Ada aku yang akan menolongmu." Debi semakin mengeratkan pelukannya, begitu pun Rafa sebaliknya.Debi mulai tenang. Seiring itu Debi mulai melepaskan pelukannya. Debi melihat Rafa yang tersenyum kepadanya. "Maaf.""Tidak apa-apa, jika kamu butuh sandaran. Bahuku siap untuk kamu buat sandaran.""Kenapa kamu begitu baik padaku. Padahal aku jahat. Aku sudah menolak cintamu." "Kamu tidak jahat. Kamu punya hak untuk menolak cinta laki-laki yang tidak kamu cintai." "Tapi bukankah seharusnya kamu membenciku? Menjauhiku? Seperti mereka yang melakukan itu padaku." "Tidak ada alasan bagiku untuk menjauhimu. Aku mencintaimu, tapi bukan berarti kamu harus menerima cintaku juga. Inilah yang dinamakan dewasa." Debi melihat Rafa takjub. Dia laki-laki yang sangat baik padanya. Bahkan pemikirannya pun juga sang
"Pak Rafa." Rafa menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badannya dan melihat Debi dan Doni berjalan mendekatinya. "Terima kasih ya Pak sudah menolong saya." ."Iya Debi, sama-sama. Tapi kamu tidak kenapa-kenapa kan?" "Iya Pak, saya tidak kenapa-kenapa kok.""Syukurlah kalau begitu," balas Rafa lega. Entah perasaan apa yang tiba-tiba menyelimuti hati Debi. Rasanya Debi begitu nyaman. Bahkan Debi merasa aman saat berada di dekat Rafa. Mungkinkah ini cinta? Entahlah, hati Debi tak berhenti bertanya.Tanpa Debi dan yang lainnya sadari. Renata yang sedari tadi berdiri di depan pintu bar. Tak berhenti mengepalkan tangannya. Renata tidak suka melihat pemandangan di depannya. Apalagi melihat perhatian Rafa yang terlihat jelas untuk Debi. Renata pun cemburu dibuatnya. "Dasar enggak tahu terima kasih," ucapnya yang langsung pergi dari sana. Malam pun semakin larut. Bar pun juga mulai sepi, saat jam tutup telah tiba. Semua karyawan menuju loker untuk mengambil barang-barang milik mereka.
Deg Debi terkejut saat Doni memanggilnya. Ya Tuhan, tubuh Debi bergetar hebat. Pasti Maya mendengarnya. Debi semakin tak berkutik di tempatnya. "Oh, ternyata kamu."Tubuh Debi langsung gemetaran. Perasaan takut pun memenuhi hatinya. Debi seperti trauma akan kejadian penusukan waktu itu. "Masih hidup kamu. Aku kira udah mati," sambung Maya yang diikuti gelak tawa. Debi tetap diam tanpa ingin merespon mereka. "Tuli ya kamu!!!!!" bentak Maya membuat mereka yang ada di sekitar sana pun menjadi mereka pusat perhatian. Tak terkejut Doni yang terlihat terkejut dan juga penasaran. "Maaf Maya, aku mau bekerja," balas Debi yang langsung turun dari tempat duduknya. BrukkkkDebi yang hendak berjalan pun terjatuh saat Maya menjagal kakinya. "Mau kemana kamu? Takut ya kalau pekerjaan kamu ini sampai terbongkar sama kita." "Aku enggak ada urusan sama kalian," balas Debi sembari berdiri. Debi kembali melangkahkan kakinya, namun lagi-lagi Maya menjagal kakinya, dan Debi pun terjatuh kembali.
"Aku dapat." Deg Debi dan Rafa sampai terkejut mendengar suara Lisa. "Mas ganteng, ini sosmed nya nenek sihir itu," kata Lisa yang menunjukkan ponselnya pada Rafa. "Oh, jadi ini yang namanya Maya." "Iya Mas ganteng. Jadi gimana? Apakah dia bisa dimasukkan ke dalam penjara?" "Iya, bisa. Aku akan memprosesnya.""Tolong secepatnya masukkan dia ke penjara ya Mas ganteng. Dia kalau berkeliaran akan semakin membuat korban lagi." "Iya, kamu tidak usah khawatir." "Wah, terima kasih banyak Mas ganteng," balas Lisa tersenyum senang. "Iya, sama-sama." Hari itu, Rafa banyak bercerita. Bukan bersama Debi ia melakukannya. Melainkan bersama Lisa yang terlihat excited mendengarkannya. Bahkan Lisa juga sangat penasaran dengan kehidupan Rafa. "Wah, hebat ya Mas ganteng. Sejak kecil udah jadi yatim pintu dan hanya tinggal bersama kakaknya saja.""Iya mau bagaimana lagi. Yang namanya kehidupan harus terus berjalan. Mau bagaimana pun keadaannya.""Iya Mas ganteng, ceritanya Mas ganteng benar-be
Deg Mata Debi yang terpejam seketika membelalak. Debi melihat Lisa tak percaya. Bisa-bisanya dia mengatakan itu di depan Rafa. Debi melirik Rafa. Dia terlihat tenang tanpa menoleh sedikitpun. Tapi Debi yakin pasti dia mendengarnya. "Apa? Kenapa kamu ngelihatin aku sampai kayak gitu? Yang aku katakan benar kan?" "Kamu ini enggak capek Lisa. Dari tadi ngomong terus.""Enggak, aku malah seneng bisa naik mobil sebagus ini.""Kamu jadian gih sama Mas ganteng." "Lisa, tolong dikondisikan ucapan kamu," bisik Debi tepat di telinga Lisa. "Apa sih Debi, yang aku katakan emang benar kan?" balasnya lantang, sampai Debi merasa malu dan juga canggung. "Mas ganteng, tadi kok bisa ke rumah sakit? Bukannya Mas ganteng udah pulang dua hari yang lalu ya?" tanya Lisa pada Rafa yang sedari tadi diam."Oh, itu karena aku mau jenguk Debi. Eh, enggak tahunya dia malah udah pulang." "Wah, ternyata Mas ganteng sengaja ke rumah sakit mau jenguk Debi ya.""Iya." "Mas ganteng baik banget sih, tapi sayang
Hari berganti minggu, dan selama itu pula keadaan Debi mulai membaik. Bahkan dokter juga sudah mengizinkannya untuk pulang. Huh, Debi senang sekali mendengarnya. Akhirnya hari yang ditunggunya tiba. "Sudah kamu pastikan tidak ada barang yang ketinggalan Lisa?" "Sudah tidak ada yang ketinggalan Debi." "Ya sudah, ayo kita pulang," balasnya tersenyum senang. Cklek"Selamat pagi." "Pagi suster." "Nona Debi pulang hari ini?" "Iya suster." "Jangan lupa sebelum pulang nona Debi untuk melunasi biaya rumah sakit dulu." Debi dibuat diam seketika itu. Senyumnya pun hilang. Debi baru sadar jika masih ada biaya rumah sakit yang belum ia bayar. Dan Debi tidak punya uang untuk membayarnya. "Nona Debi." "Eh, iya suster?" balas Debi yang tersadar dari lamunannya. "Jangan lupa ya dilunasi dulu biaya rumah sakitnya." "Iya suster." "Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu." "Iya suster." Pintu ruangan tertutup. Debi pun langsung duduk di tempatnya. Wajahnya murung. Debi benar-benar bingun