Suara panggilan intercom masuk pada saluran telepon di meja berbunyi ketika Maylin tengah sibuk melakukan pekerjaannya.“Anda memerlukan bantuan?” tanyanya tanpa berbasa-basi terlebih dahulu.[Siapkan menu makan siang. Aku makan siang di sini.]“Anda ingin menu apa?”[Bagaimana kalau kau yang menjadi menu makan siangku?]“Boleh saja. Saya sudah menargetkan salah satu bagian inti tubuh anda. Barangkali gigitan saya waktu itu tidak cukup membuat anda puas merintih kesakitan.” Ancaman bercampur cemoohan dari mulut Maylin, membuat Valo tertawa terbahak-bahak.Maylin memutar bola mata malas. Sepertinya Iblis mesum satu ini masih belum jera juga. “Anda bisa memerintah asisten anda, membelikan makan siang untuk anda, sir.”[Dia sibuk membantuku periksa dokumen, sedangkan posisimu pasti lebih banyak menganggur.]Mendengar alasan Valo itu lantas Maylin menggeram kesal.Apa katanya tadi? Menganggur? Jika menyimpan arsip penting dan melakukan korespondensi bukan pekerjaan sekretaris, lantas peke
Tampak Maylin tengah menopang kepalanya yang menyamping dengan satu tangan di atas meja. Kerutan di keningnya makin dalam, larut dalam pemikirannya mencari cara agar bisa lolos dari pengawal Elian.“Ini pesanan Anda, Miss,” tiba-tiba muncul seorang pria berbadan besar, memberikan paper bag berisi makanan dan minuman kepada Maylin.“Gosh! Kau mengagetkanku!” maki Maylin.“Maaf telah mengejutkan, Miss.”“Terima kasih. Kau boleh istirahat. Aku tak akan ke mana-mana. Atasan bosmu memintaku makan siang bersamanya.” Maylin menerima paper bag dari Glax dan dibalas pria itu mengangguk.*****Mata besar Valo melirik angka di sudut kanan layar komputernya. Kurang dari lima menit lagi, jam makan siang akan tiba. Merasa tidak ingin membuang waktunya, ia hendak menghubungi sekretaris Elian melalui intercom. Namun, tangannya berhenti di udara tatkala ada ketukan dari pintu.“Makan siang sudah disiapkan, Sir. Anda ingin makan sekarang ata—”“Sekarang saja! Perutku sudah lapar,” Valo menyela dengan c
Jantungnya berpacu cepat dan bibirnya bergetar. Bayangan dirinya akan kehilangan wanita itu, membuat rasa cemasnya berlipat-lipat. Ia berdiri di dekat sofa, menatap nanar wanita itu sedang diperiksa oleh Dokter pribadinya.“Bagaimana?” tanyanya begitu melihat Dokter Derloy melepaskan stetoskop yang menggantung di leher. Suaranya terdengar khawatir saat berucap.“Wanita ini mengalami post-traumatic stress disorder.”“Gangguan stress pascatrauma?” Valo tersentak kaget mendengar jawaban Dokter Derloy.“Gangguan kecemasan yang membuat penderitanya teringat pada kejadian traumatis seperti perang, kecelakaan, bencana alam dan pelecehan seksual. Usahakan hindari pasien teringat pada salah satu peristiwa yang membuatnya trauma.” Dokter Derloy menulis sesuatu pada secarik kertas.Trauma? Dari hal apa? Terakhir dalam perbincangan kami mengenai kekasihnya yang meninggal karena kecelakaan. Apakah hal itu yang memicu penyakitnya kambuh? Pertanyaan berputar dalam benak Valo.“Ini resep obat antidep
“Sel darah putihnya menurun. Dengan terpaksa jadwal kemoterapi yang seharusnya lusa, tidak dapat dilakukan. Kita tunggu dalam seminggu dan saya sarankan selama itu nyonya Banara dirawat di rumah sakit untuk diberikan perawatan intensif.”“Baiklah, lakukan yang terbaik untuk adik saya, Dokter. Dia muntah-muntah terus dan nafsu makannya pun menurun drastis.” Tangis yang ia tahan sedari tadi, kini mengalir jatuh membasahi pipinya.“Mual dan muntah memang efek samping yang paling umum terjadi. Selain ini, apa masih ada keluhan lain?”“Rambut mulai rontok, sering mengeluh pusing … umm, lalu ….” Fifi mencoba mengingat-ingat apa saja keluhan yang pernah diucapkan keluar oleh adiknya itu. “Oh ya, adik saya beberapa belakangan ini meringis sakit tulang, Dok,”“Nyeri pada tulang?”“Iya, Dokter. Apakah keluhan itu tidak wajar?” Fifi berbalik tanya saat mendapati ekspresi terkejut di wajah Dokter Reese.“Keluhan itu lebih mirip seperti gejala pada kanker tulang, tetapi mungkin saja itu karena sal
“Suara tidak dapat mengukur umur seseorang, Dalbert,” sahut Leonel seraya menggelengkan kepalanya.“Kau melupakan kejadian saat kita sedang menjalankan misi dari klien di salah satu negara Asia Tenggara? Hampir saja aku diperkosa oleh makhluk wanita jadi-jadian itu.” Leonel tertawa terbahak-bahak ketika ingatan itu kembali terbayang.Dalbert memelankan tawanya ketika luka di perutnya terasa perih dikarenakan otot perut ikut bergetar tatkala dirinya kelepasan tertawa keras-keras. “Itu salah Tuan sendiri. Tuan tidak bisa menahan gairah bila sudah bertemu dengan wanita cantik,” ucapnya.“Aku pria normal, Dalbert. Salahkan mereka yang hanya melakukan operasi pembuatan dada, tetapi tidak pada alat kelaminnya.” Leonel menggeleng, masih tergelak tawa. “Siapa yang menyangka di balik wajah cantiknya, tubuh semampainya dan seksi serta suaranya yang halus, ternyata seorang waria.”“Tetapi kejadian itu tidak membuat Tuan jera bermain-main dengan wanita.”“Kau akan tahu sendiri nanti bagaimana ras
Valo tahu kamera pengintai di sudut ruangan ini tidak dinyalakan oleh Elian. Kamera itu dipasang hanya untuk memberikan kesan bahwa segala aktivitas dalam ruangan tersebut direkam oleh kamera video.Tak akan ada orang yang bersedia memberikan barang bukti kejahatannya, kecuali bila memang ia tidak melakukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, ia berpura-pura mengatakan akan memeriksa rekaman cctv agar wanita itu mempercayainya.“Ti— tidak perlu!” Dengan cepat Maylin menyergah Valo yang hendak memanggil Riccardo. Kemudian menundukkan kepala untuk menutupi rona merah di wajahnya.“Alright, tetapi kau harus berhenti mencurigaiku,” ucap Valo santai. Tampak senyum kemenangan menghiasi wajahnya.“A— aku tidak curiga! Hanya … lebih bersikap waspada saja!” elak Maylin seraya mengerucutkan bibir. “Salahkan dirimu sendiri yang menyerang seenaknya disaat pertemuan pertama kita sehingga menciptakan citra yang buruk untukmu.”Valo terkekeh dan tersenyum lebar. “Jika aku tahu bahwa kau wanita pend
Skotlandia, Sebuah kamar di salah satu hotel berbintang, tampak seorang pria duduk di sofa yang menghadap jendela kaca lebar, disuguhi pemandangan panorama alam yang indah. Namun sayang, keindahan itu tidak mampu menarik perhatian pria itu yang memejamkan kedua matanya. Kerutan dalam di keningnya menandakan dirinya tengah memikirkan sesuatu, entah apakah itu. Seorang pria lain berjalan menghampiri Bosnya itu seraya membawa sebuah laptop hitam di tangannya. “Sir Crusio telah online, Sir,” lapornya. Kelopak matanya terbuka, menunjukkan sepasang mata yang tajam. Hanya sesaat, karena detik berikutnya ia memasang wajah datar. [Bagaimana, Nox? Berhasil meringkus mereka?] Suara bariton berat terdengar bersamaan munculnya wajah Crusio tanpa topeng dari layar laptop setelah kaki tangan kepercayaan Nox meletakkan komputer jinjing itu ke meja. Crusio yang tidak sabar menunggu Nox kembali dari tugasnya dengan segera melakukan meet room. “Terjadi pertarungan. Jasadnya langsung kubakar di dala
Tampak Maylin tengah berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Tangan kanannya terlihat memegang sebuah ponsel yang ia tempelkan di telinga sisi sebelah kanannya sementara tangan kirinya masuk ke dalam mulut dan mengigit kuku jarinya demi menenangkan diri akibat perasaan gugup dalam dirinya. Jantungnya kini berdebar lebih cepat dari biasanya.“Kesibukan apa yang sedang dilakukannya? Kenapa kak Leo masih belum juga mengangkat telepon?” keluh Maylin mulai frustrasi lantaran dirinya hendak meminta bantuan pria itu untuk kabur dari penjagaan ketat para pengawal Elian, tetapi Leonel tidak dapat dihubungi.“Aargh!” jeritnya sembari membanting ponsel ke atas ranjang. “Untuk apa menawari bantuan kalau dihubungi saja sulit begini?” decaknya kesal tatkala Leonel masih saja belum mengangkat panggilannya untuk kesekian kalinya.Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar diketuk dari luar, kemudian disusul suara pertanyaan dari salah seorang pengawal, “Is everything alright, Miss Pramanta?”“A— aku bai
“Aku tidak menuntut banyak penjelasan saat tahu kalau kau sudah mengetahui dari Vlora, rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat, lalu perubahan sikapmu setelah kita berada di kota ini ….” Maylin menjeda sejenak. Sepasang netranya menatap Elian penuh menyelisik, menunggu reaksi dari pria blasteran itu. “Bahkan, tanpa sepengetahuanku kau menutupi identitas keluargaku agar tidak diketahui Valo,” imbuhnya.Melihat ekspresi kedua mata abu-abu itu tersentak kaget, Maylin menemukan jawabannya. “Kau begitu misterius, Elian. Namun, aku tak akan protes karena itu adalah privasimu. Jadi, aku harap kau pun juga bisa menghargai privasiku.”Keheningan memenuhi mereka, kemudian melanjutkan sarapan dalam diam. Sampai ketika Maylin bangun dari kursinya dan membawa peralatan makan hendak mencucinya, suara Elian memecahkan kesunyian di antara mereka.“Semua yang kulakukan, terlepas dari baik atau buruk ….”Maylin memutar tubuhnya menghadap Elian. Kedua mata mereka kini saling bertemu. Sepasang iris
[Yeah, Deon menyuruhku menghapus semua data kalian untuk berjaga-jaga bila seseorang ingin mencari tahu tentang Frans Pramanta.]“Kalian yang dimaksud apakah mama, Rayla, juga tante Fifi?” Maylin mendelik, terkejut mendengar jawaban Leonel.[Seluruh keluargamu, sweety, termasuk Frans Pramanta. Ada apa? Dari mana kau mengetahuinya?]Serentetan pertanyaan itu menguap begitu saja dari bibir Leonel.“Kalau begitu, apakah diam-diam kak Leonel juga meretas database yang ada di dalam sistem perusahaan Elian, menghapus nama-nama keluarga yang kucantumkan di sana?” Alih-alih menjawab, Maylin balik bertanya. Tidak menutup kemungkinan Leonel melakukannya sebab pria itu memang ahli di bidang tersebut.Tidak ada suara jawaban dari pria itu. Maylin menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layarnya sejenak mencoba memastikan. Masih tersambung.Maylin menempelkan kembali ponsel di telinga kanannya. “Halo? Kak Leo? Apakah kau masih berada di sana?”[Bukan aku.]“Apa maksudnya?” Dahi Maylin menger
“Jawaban seperti apa yang ingin kau dengar?” Elian balik bertanya dengan datar, “Kak Sio.”“Kau pasti memiliki alasan untuk melakukannya. Aku ingin tahu apa alasan itu.” Sio tersenyum tipis.Suasana menjadi hening beberapa saat. Elian hanya bergeming menatap Sio, menunggu pria itu memutuskan hukuman apa yang harus diterimanya sebagai konsekuensi melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi mereka.“Wanita itu … apakah dia yang menjadi alasanmu mengenyahkan bodyguard-mu sendiri?”Pertanyaan itu sukses membuat ekspresi wajah Elian berubah menjadi tegang. Hanya sesaat, karena sepersekian detik kemudian, ia kembali memasang wajah datarnya.Sio menyeringai menatap Elian. “Apakah uncle sudah tahu?”“Tidak,” jawab Elian singkat. Bagaimanapun juga, ia harus menyelamatkan posisi ayahnya yang telah mencoba menyembunyikan segala perbuatannya.Sio menghembuskan kembali asap rokoknya ke udara. “Kau tahu kalau aku memberikan kepercayaan penuh padamu, bukan? Terus terang aku sangat kece
Mendengar satu nama itu disebut, berhasil melenyapkan ketenangan yang baru saja Maylin dapatkan dari efek alkohol itu. Seketika tubuhnya menjadi kaku. Jantungnya seolah berhenti berdetak. “Kedua orang tuaku ….” Maylin berhenti sejenak.Padahal, ia telah mengubur dalam-dalam semua kenangan yang mengingatkannya pada kebahagiaan sekaligus kepedihan ke dalam lubuk hatinya. Namun, hanya sepersekian detik buih-buih kenangan yang telah lama terpendam itu mendadak berhamburan.Kepalanya tertunduk dalam, berusaha keras menahan rasa sesak serta amarah di dadanya dengan mengepal erat kedua tangannya di bawah meja hingga kuku-kukunya menusuk telapak tangannya.“Mereka membuangku ketika usiaku sepuluh tahun,” ucap Maylin melanjutkan. Kebohongan itu keluar dari mulutnya begitu saja.Kau tidak sepenuhnya berbohong, Lin. Bajingan itu memang meninggalkan kalian terhitung sudah empat belas tahun. Sebuah suara bergema di dalam benaknya.“Bolehkah aku tahu, apa yang telah terjadi?” tanya Valo.Ada keseri
Di depan lorong satu-satunya akses menuju ruang restoran, seorang wanita dengan rambut bergelombang cokelat dan seorang petugas terlihat tengah saling melempar argumen sementara seorang pria lain dengan balutan setelan jas biru dongker-nya berdiri di sebelah wanita itu.Ia hanya diam seraya mendengarkan perdebatan kedua orang dewasa itu yang terus berlanjut. Tidak peduli orang-orang yang berlalu lalang, menoleh ke arah mereka, sebelum kemudian memandang dirinya dengan tatapan memuja.Penampilannya dengan setelan resmi, membungkus tubuhnya yang sempurna. Wajah tampan maskulin, garis rahang yang tegas adalah perpaduan sempurna yang diidam-idamkan seluruh kaum adam di seluruh dunia sekaligus menggoda kaum hawa di saat yang bersamaan.Seolah Tuhan sedang bahagia ketika menciptakannya. Tampan. Kaya. Benar-benar godaan yang terlalu sulit untuk tidak menaruh perhatian, terkecuali Maylin Pramanta. Hanya wanita itu yang tidak terpesona pada seorang Valo Wren Osborn.“Apakah Anda tidak mengerti
Entah sudah berapa lama, Valo masih belum juga kembali. Pria itu hanya menyuruhnya agar menunggu di dalam mobil hingga akhirnya Maylin merasa bosan dan mengambil ponsel untuk mengusir kejenuhan tersebut. Dilihatnya hasil foto yang ada di kameranya seraya senyum-senyum sendiri.Ia kemudian mengirimkan beberapa foto kepada Rayla, bermaksud memamerkan kepada sang kakak. Tidak lama setelah foto terkirim, pesan masuk pun berbunyi.[Elian membawamu ke tempat lokasi syuting film legendaris Robin Hood dan Harry Potter? Kau sangat beruntung, adikku! Akan tetapi, kau menjadi sangat amat menyebalkan! Aku juga ingin berkunjung ke sana!]Maylin terkikik membaca balasan dari Rayla, lalu menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel, mengetik sederet kalimat.[Mintalah pada kak Deon. Suami tercintamu itu tanpa ragu-ragu pasti mengabulkan keinginanmu. By the way, bukan Elian yang membawaku pergi, tetapi teman baruku.]Jemarinya berhenti bergerak untuk sejenak. Membaca sekali lagi pesannya sebelum menek
Tidak berapa lama kemudian, sepasang netranya membelalak. “No way! Tiket broomstick training! Seriously?” pekik Maylin dengan nada tidak percaya.“Tiket ini sangat terbatas. Aku mendapatkannya dengan susah payah karena diprioritaskan untuk pengunjung berusia 6 hingga 16 tahun. Jika kau mau berterima kasih padaku, cukup berhenti bersungut padaku. Deal?”Maylin melipat kedua tangannya. “Kau sendiri yang memulainya. Sudah kuperingatkan, aku bukan wanita murahan seperti wanita-wanita yang pernah bersamamu.”“Baiklah, aku mengaku bersalah. Maafkan aku, okay?” ujar Valo sembari mengulas senyum bersalah. Sedetik kemudian, dirinya terkejut setelah menyadari kalimat apa yang baru saja ia lontarkan. Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa direncanakan. Meskipun begitu ia tetap ingin terlihat tenang di hadapan wanita itu.Would somebody mind telling me, what the bloody hell’s going on? Valo memaki dalam hatinya.Maylin menghela napas pasrah. “All right! Aku tidak mau merusak suasana hatiku yang
“Kembali? Absolutely is no!" jawab Maylin sembari bersedekap. "Apakah kau pernah mendengar sebuah kereta akan mengemudikan balik ke stasiun yang telah mereka lewati hanya untuk mengangkut penumpang yang telat? Begitu pun dalam kamus hidupku. Tak akan kembali ke titik awal setelah melewatinya. Jika kau takut, pergilah. Aku bisa melanjutkannya sendiri. Tantangan ini sangat menyenangankan!” imbuhnya penuh semangat.Namun, baru beberapa langkah tubuhnya kembali menabrak dinding kaca tersebut. Tak hanya sekali—dua kali, hingga emosi wanita itu mulai terlihat dengan mengumpat setiap kali dirinya tertabrak.“Berhenti menertawaiku, Jerk!” Maylin menggeram kesal lantaran Valo tergelak kencang melihatnya berulang kali gagal mencari jalan di saat bersamaan tubuhnya menabrak kaca.“Perlu bantuan?” ujar Valo di tengah-tengah tawanya.Akan tetapi, sifat keras kepala yang begitu mendarah daging dalam diri wanita itu kontan menolak begitu saja. Ia ingin dengan caranya sendiri menaklukkan tantangan te
Valo dan Maylin segera turun dari jet, lalu di bawah jet telah ditunggu oleh beberapa pria berpakaian serba hitam dan juga sebuah limousine siap mengantar mereka.“Sama seperti Elian. Pengusaha terkenal seperti kami memang membutuhkan jasa bodyguard untuk melindungi kami dari ancaman,” ujar Valo menjelaskan ketika mendapati tatapan Maylin mengarah ke pengawalnya.Maylin bersikap tak acuh, lantas masuk ke dalam limousine tanpa sepatah kata. Tidak berselang lama, mobil perlahan bergerak meninggalkan parkiran pesawat. Sepanjang perjalanan Maylin tidak berhenti menatap pemandangan dari luar jendela mobil.Sekelilingnya didominasi daun-daun beragam warna yang melekat di dahan-dahan pohon, juga rerumputan hijau dan sinar matahari yang memancar serta awan yang berlapis hingga terlihat seperti bulu halus menjadi perpaduan yang indah hingga mencuri perhatian bagi siapa saja yang melewati sekitarnya. Dan juga sebuah kastil yang cukup megah dan terkenal, yakni Bamburg Castle. Beberapa kali Mayli