Skotlandia, Sebuah kamar di salah satu hotel berbintang, tampak seorang pria duduk di sofa yang menghadap jendela kaca lebar, disuguhi pemandangan panorama alam yang indah. Namun sayang, keindahan itu tidak mampu menarik perhatian pria itu yang memejamkan kedua matanya. Kerutan dalam di keningnya menandakan dirinya tengah memikirkan sesuatu, entah apakah itu. Seorang pria lain berjalan menghampiri Bosnya itu seraya membawa sebuah laptop hitam di tangannya. “Sir Crusio telah online, Sir,” lapornya. Kelopak matanya terbuka, menunjukkan sepasang mata yang tajam. Hanya sesaat, karena detik berikutnya ia memasang wajah datar. [Bagaimana, Nox? Berhasil meringkus mereka?] Suara bariton berat terdengar bersamaan munculnya wajah Crusio tanpa topeng dari layar laptop setelah kaki tangan kepercayaan Nox meletakkan komputer jinjing itu ke meja. Crusio yang tidak sabar menunggu Nox kembali dari tugasnya dengan segera melakukan meet room. “Terjadi pertarungan. Jasadnya langsung kubakar di dala
Tampak Maylin tengah berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Tangan kanannya terlihat memegang sebuah ponsel yang ia tempelkan di telinga sisi sebelah kanannya sementara tangan kirinya masuk ke dalam mulut dan mengigit kuku jarinya demi menenangkan diri akibat perasaan gugup dalam dirinya. Jantungnya kini berdebar lebih cepat dari biasanya.“Kesibukan apa yang sedang dilakukannya? Kenapa kak Leo masih belum juga mengangkat telepon?” keluh Maylin mulai frustrasi lantaran dirinya hendak meminta bantuan pria itu untuk kabur dari penjagaan ketat para pengawal Elian, tetapi Leonel tidak dapat dihubungi.“Aargh!” jeritnya sembari membanting ponsel ke atas ranjang. “Untuk apa menawari bantuan kalau dihubungi saja sulit begini?” decaknya kesal tatkala Leonel masih saja belum mengangkat panggilannya untuk kesekian kalinya.Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar diketuk dari luar, kemudian disusul suara pertanyaan dari salah seorang pengawal, “Is everything alright, Miss Pramanta?”“A— aku bai
Lot berusaha merusak jendela yang terbuat dari kaca tempered. Sebuah kaca yang dibuat dengan melalui proses pemanasan dan pencampuran bahan kimia untuk membuat kaca tersebut menjadi lebih kuat dan lebih aman dibandingkan dengan kaca biasa.Hampir seluruh penthouse Elian menggunakan kaca jendela yang terbuat dari tempered glass untuk memberikan keamanan ekstra, juga menghindari kaca tidak mudah pecah apabila mendapatkan tekanan atau benturan yang keras.Sedangkan Glax berkomunikasi dengan rekan tim lainnya melalui earpiece. Salah satu alat komunikasi rahasia yang menempel di telinga dengan cukup mengangkat satu tangan, lalu menyentuh salah satu telinga untuk mendengar laporan atau perintah.“Kami berdua terkurung di balkon kamar Miss Pramanta! Jangan biarkan dia lolos atau kita benar-benar tidak bisa melihat matahari terbit esok hari!” lapornya dalam bahasa Italia.Baru saja mereka mendapatkan laporan tersebut, tiba-tiba sebuah suara barang pecah belah terdengar nyaring di telinga dua
Senyum Valo merekah sempurna tatkala melihat wanita yang sedang ditungguinya keluar dari pintu lobby. Dengan cepat ia menghampiri wanita itu dan menarik lengannya yang hendak masuk ke dalam taksi.“Kau ….” Sepasang netranya membelalak besar menatapnya. Tidak berselang lama, ia memelotot sebal. “Lepas!”“Harus kuakui kehebatanmu bisa lolos keluar dari sana, Snowflake. Pantas saja kau begitu percaya diri menolak bantuanku.” Senyum Valo jauh lebih mengembang dari beberapa detik yang lalu.Maylin menoleh ke belakang ketika indra pendengarnya menangkap namanya. Wajahnya tampak panik melihat keempat pengawal itu berlari ke arahnya. “Lepaskan! Aku harus segera pergi!” Berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman Valo terlalu kuat.“Apa maumu? Aku tidak memiliki banyak waktu untuk meladenimu!” sentak Maylin kesal, setelah ia meminta sopir taksi untuk menunggunya sebentar.“Kencanlah denganku!” sahut Valo tanpa rasa sungkan.Tentu saja ajakan itu membuat Maylin terkejut. “Kau hanya meminta k
“Kau baik-baik saja, Maymay? Ada yang terluka?” tanya Brianna dengan nada penuh kecemasan melihat tubuh Maylin bergetar hebat serta wajahnya pucat pasi.Napas Maylin terengah dengan air mata yang membasahi wajahnya. Mulutnya bergerak, hendak mengucapkan sesuatu, tetapi akibat bibirnya yang gemetar, ucapannya terdengar tidak jelas.“Kau membutuhkan sesuatu? Bicaralah yang jelas, Maymay! Aku tidak paham maksudmu!” Wajah Brianna tampak begitu panik. Air matanya siap tumpah ruah melihat kondisi temannya dalam keadaan tidak baik-baik saja.Matanya melirik cepat ke sisi kanan dan kiri, hendak meminta pertolongan. Akan tetapi, ketika netranya menangkap perbuatan seorang pria yang tengah menggeledah tas Maylin, ia lantas menarik kasar tas itu. “Dasar pencuri! Pergi atau kulaporkan pada polisi!” bentaknya.“Tolong berikan tas itu padaku! Aku harus segera mengambil obat untuknya!” ucap pria itu.“Kau pikir aku mudah dibohongi?” Brianna bersiap akan berteriak, tetapi pria itu merampas tas di tan
Sudah lima hari Restin berada dalam ruangan serba putih ini bersama Fifi untuk menjalani rawat inap serta melanjutkan pemeriksaan lebih spesifik. Pagi ini perutnya berhasil terisi dengan setengah porsi bubur, mengingat sebelumnya hanya bisa menelan dua hingga tiga suap saja.Pintu kamar diketuk bertepatan setelah Fifi selesai membantu Restin mengganti pakaian. Adanya selang infus pada lengan Restin, membuatnya kesulitan melakukan hal itu sendiri. Dokter Reese bersama seorang suster dan seorang Dokter asing, berjalan masuk ke dalam.“Hai Nyonya Banara, bagaimana keadaanmu pagi ini?” sapa Dokter Reese.“Sudah lebih baikan, Dokter. Tadi berhasil makan bubur tanpa muntah,” jawab Restin sembari tersenyum simpul.“Bagus. Meskipun kami memberikan obat untuk menambah komponen leukosit, tubuh tetap membutuhkan asupan gizi dan nutrisi. Oh ya, perkenalkan, ini Dokter Clarke, Dokter spesialis Onkolog.”“Selamat pagi, Nyonya Banara. Untuk selanjutnya, saya yang akan menangani pengobatan penyakit A
Maylin menganggukkan kepalanya. “Kurasa tidak mungkin seseorang itu adalah Valo Wren Osborn, ‘kan? Dia baru saja memintaku menjadi teman kencannya. Jadi, untuk apa dia—”“What? Kencan?” Leonel berteriak, memotong ucapan Maylin. “Kau menyetujuinya?”Maylin menelan salivanya dengan susah payah tatkala melihat pancaran mata Leonel berubah menjadi kilatan amarah. “Aku sudah punya gambaran balas dendam seperti apa yang akan kulakukan, Kak Leo,” ucapnya dengan tenang.“Oh ya? Gambaran seperti apakah itu hingga kau menyanggupi permintaannya?” tanya Leonel sinis diikuti tatapan penuh selidik.Maylin memasang wajah dinginnya. Tekadnya sudah bulat. Tak akan ada orang yang bisa membuatnya berubah pikiran. “Hanya itu cara pembalasan dendam yang muncul dalam kepalaku.”“Kau tahu sekali apa yang dia maksud dengan teman kencan.” Leonel menggeleng, menunjukkan ketidaksetujuannya. “Tidak, Maylin! Kita bisa menggunakan cara lain—”“Itu adalah urusanku. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Pembalasan dend
Betapa terkejutnya Elian ketika mendengar laporan dari Marco tentang Maylin berhasil kabur. Tanpa membuang waktu lagi ia langsung memerintahkan asistennya itu agar segera menyiapkan kepulangannya.Matanya berkilat marah tatkala melihat hasil rekaman cctv yang telah dihubungkan ke tablet pintarnya. Tidak disangkanya pengawal-pengawal terlatih yang tentu saja dipilih ketat oleh ayahnya, semudah itu masuk ke dalam jebakan Maylin.Hal pertama yang Elian lakukan setelah sampai di penthouse-nya ialah memberikan hukuman kepada pengawal yang sudah lalai menjalani tugas mereka. Sesuai ancaman yang pernah dilontarkannya, hanya dua orang saja dari keenam pengawal itu tetap dibiarkan hidup. Ia memang tidak pernah bermain-main dengan ucapannya.Emosi dari gurat wajahnya tercetak begitu jelas. Namun, kabar dari Marco selanjutnya makin menyulut amarah Elian hingga berkobar hebat. “Cari dan tangkap pelakunya!" murkanya disertai tatapan membunuh, membuat para pengawal yang menyaksikan kemarahannya ber
“Aku tidak menuntut banyak penjelasan saat tahu kalau kau sudah mengetahui dari Vlora, rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat, lalu perubahan sikapmu setelah kita berada di kota ini ….” Maylin menjeda sejenak. Sepasang netranya menatap Elian penuh menyelisik, menunggu reaksi dari pria blasteran itu. “Bahkan, tanpa sepengetahuanku kau menutupi identitas keluargaku agar tidak diketahui Valo,” imbuhnya.Melihat ekspresi kedua mata abu-abu itu tersentak kaget, Maylin menemukan jawabannya. “Kau begitu misterius, Elian. Namun, aku tak akan protes karena itu adalah privasimu. Jadi, aku harap kau pun juga bisa menghargai privasiku.”Keheningan memenuhi mereka, kemudian melanjutkan sarapan dalam diam. Sampai ketika Maylin bangun dari kursinya dan membawa peralatan makan hendak mencucinya, suara Elian memecahkan kesunyian di antara mereka.“Semua yang kulakukan, terlepas dari baik atau buruk ….”Maylin memutar tubuhnya menghadap Elian. Kedua mata mereka kini saling bertemu. Sepasang iris
[Yeah, Deon menyuruhku menghapus semua data kalian untuk berjaga-jaga bila seseorang ingin mencari tahu tentang Frans Pramanta.]“Kalian yang dimaksud apakah mama, Rayla, juga tante Fifi?” Maylin mendelik, terkejut mendengar jawaban Leonel.[Seluruh keluargamu, sweety, termasuk Frans Pramanta. Ada apa? Dari mana kau mengetahuinya?]Serentetan pertanyaan itu menguap begitu saja dari bibir Leonel.“Kalau begitu, apakah diam-diam kak Leonel juga meretas database yang ada di dalam sistem perusahaan Elian, menghapus nama-nama keluarga yang kucantumkan di sana?” Alih-alih menjawab, Maylin balik bertanya. Tidak menutup kemungkinan Leonel melakukannya sebab pria itu memang ahli di bidang tersebut.Tidak ada suara jawaban dari pria itu. Maylin menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layarnya sejenak mencoba memastikan. Masih tersambung.Maylin menempelkan kembali ponsel di telinga kanannya. “Halo? Kak Leo? Apakah kau masih berada di sana?”[Bukan aku.]“Apa maksudnya?” Dahi Maylin menger
“Jawaban seperti apa yang ingin kau dengar?” Elian balik bertanya dengan datar, “Kak Sio.”“Kau pasti memiliki alasan untuk melakukannya. Aku ingin tahu apa alasan itu.” Sio tersenyum tipis.Suasana menjadi hening beberapa saat. Elian hanya bergeming menatap Sio, menunggu pria itu memutuskan hukuman apa yang harus diterimanya sebagai konsekuensi melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi mereka.“Wanita itu … apakah dia yang menjadi alasanmu mengenyahkan bodyguard-mu sendiri?”Pertanyaan itu sukses membuat ekspresi wajah Elian berubah menjadi tegang. Hanya sesaat, karena sepersekian detik kemudian, ia kembali memasang wajah datarnya.Sio menyeringai menatap Elian. “Apakah uncle sudah tahu?”“Tidak,” jawab Elian singkat. Bagaimanapun juga, ia harus menyelamatkan posisi ayahnya yang telah mencoba menyembunyikan segala perbuatannya.Sio menghembuskan kembali asap rokoknya ke udara. “Kau tahu kalau aku memberikan kepercayaan penuh padamu, bukan? Terus terang aku sangat kece
Mendengar satu nama itu disebut, berhasil melenyapkan ketenangan yang baru saja Maylin dapatkan dari efek alkohol itu. Seketika tubuhnya menjadi kaku. Jantungnya seolah berhenti berdetak. “Kedua orang tuaku ….” Maylin berhenti sejenak.Padahal, ia telah mengubur dalam-dalam semua kenangan yang mengingatkannya pada kebahagiaan sekaligus kepedihan ke dalam lubuk hatinya. Namun, hanya sepersekian detik buih-buih kenangan yang telah lama terpendam itu mendadak berhamburan.Kepalanya tertunduk dalam, berusaha keras menahan rasa sesak serta amarah di dadanya dengan mengepal erat kedua tangannya di bawah meja hingga kuku-kukunya menusuk telapak tangannya.“Mereka membuangku ketika usiaku sepuluh tahun,” ucap Maylin melanjutkan. Kebohongan itu keluar dari mulutnya begitu saja.Kau tidak sepenuhnya berbohong, Lin. Bajingan itu memang meninggalkan kalian terhitung sudah empat belas tahun. Sebuah suara bergema di dalam benaknya.“Bolehkah aku tahu, apa yang telah terjadi?” tanya Valo.Ada keseri
Di depan lorong satu-satunya akses menuju ruang restoran, seorang wanita dengan rambut bergelombang cokelat dan seorang petugas terlihat tengah saling melempar argumen sementara seorang pria lain dengan balutan setelan jas biru dongker-nya berdiri di sebelah wanita itu.Ia hanya diam seraya mendengarkan perdebatan kedua orang dewasa itu yang terus berlanjut. Tidak peduli orang-orang yang berlalu lalang, menoleh ke arah mereka, sebelum kemudian memandang dirinya dengan tatapan memuja.Penampilannya dengan setelan resmi, membungkus tubuhnya yang sempurna. Wajah tampan maskulin, garis rahang yang tegas adalah perpaduan sempurna yang diidam-idamkan seluruh kaum adam di seluruh dunia sekaligus menggoda kaum hawa di saat yang bersamaan.Seolah Tuhan sedang bahagia ketika menciptakannya. Tampan. Kaya. Benar-benar godaan yang terlalu sulit untuk tidak menaruh perhatian, terkecuali Maylin Pramanta. Hanya wanita itu yang tidak terpesona pada seorang Valo Wren Osborn.“Apakah Anda tidak mengerti
Entah sudah berapa lama, Valo masih belum juga kembali. Pria itu hanya menyuruhnya agar menunggu di dalam mobil hingga akhirnya Maylin merasa bosan dan mengambil ponsel untuk mengusir kejenuhan tersebut. Dilihatnya hasil foto yang ada di kameranya seraya senyum-senyum sendiri.Ia kemudian mengirimkan beberapa foto kepada Rayla, bermaksud memamerkan kepada sang kakak. Tidak lama setelah foto terkirim, pesan masuk pun berbunyi.[Elian membawamu ke tempat lokasi syuting film legendaris Robin Hood dan Harry Potter? Kau sangat beruntung, adikku! Akan tetapi, kau menjadi sangat amat menyebalkan! Aku juga ingin berkunjung ke sana!]Maylin terkikik membaca balasan dari Rayla, lalu menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel, mengetik sederet kalimat.[Mintalah pada kak Deon. Suami tercintamu itu tanpa ragu-ragu pasti mengabulkan keinginanmu. By the way, bukan Elian yang membawaku pergi, tetapi teman baruku.]Jemarinya berhenti bergerak untuk sejenak. Membaca sekali lagi pesannya sebelum menek
Tidak berapa lama kemudian, sepasang netranya membelalak. “No way! Tiket broomstick training! Seriously?” pekik Maylin dengan nada tidak percaya.“Tiket ini sangat terbatas. Aku mendapatkannya dengan susah payah karena diprioritaskan untuk pengunjung berusia 6 hingga 16 tahun. Jika kau mau berterima kasih padaku, cukup berhenti bersungut padaku. Deal?”Maylin melipat kedua tangannya. “Kau sendiri yang memulainya. Sudah kuperingatkan, aku bukan wanita murahan seperti wanita-wanita yang pernah bersamamu.”“Baiklah, aku mengaku bersalah. Maafkan aku, okay?” ujar Valo sembari mengulas senyum bersalah. Sedetik kemudian, dirinya terkejut setelah menyadari kalimat apa yang baru saja ia lontarkan. Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa direncanakan. Meskipun begitu ia tetap ingin terlihat tenang di hadapan wanita itu.Would somebody mind telling me, what the bloody hell’s going on? Valo memaki dalam hatinya.Maylin menghela napas pasrah. “All right! Aku tidak mau merusak suasana hatiku yang
“Kembali? Absolutely is no!" jawab Maylin sembari bersedekap. "Apakah kau pernah mendengar sebuah kereta akan mengemudikan balik ke stasiun yang telah mereka lewati hanya untuk mengangkut penumpang yang telat? Begitu pun dalam kamus hidupku. Tak akan kembali ke titik awal setelah melewatinya. Jika kau takut, pergilah. Aku bisa melanjutkannya sendiri. Tantangan ini sangat menyenangankan!” imbuhnya penuh semangat.Namun, baru beberapa langkah tubuhnya kembali menabrak dinding kaca tersebut. Tak hanya sekali—dua kali, hingga emosi wanita itu mulai terlihat dengan mengumpat setiap kali dirinya tertabrak.“Berhenti menertawaiku, Jerk!” Maylin menggeram kesal lantaran Valo tergelak kencang melihatnya berulang kali gagal mencari jalan di saat bersamaan tubuhnya menabrak kaca.“Perlu bantuan?” ujar Valo di tengah-tengah tawanya.Akan tetapi, sifat keras kepala yang begitu mendarah daging dalam diri wanita itu kontan menolak begitu saja. Ia ingin dengan caranya sendiri menaklukkan tantangan te
Valo dan Maylin segera turun dari jet, lalu di bawah jet telah ditunggu oleh beberapa pria berpakaian serba hitam dan juga sebuah limousine siap mengantar mereka.“Sama seperti Elian. Pengusaha terkenal seperti kami memang membutuhkan jasa bodyguard untuk melindungi kami dari ancaman,” ujar Valo menjelaskan ketika mendapati tatapan Maylin mengarah ke pengawalnya.Maylin bersikap tak acuh, lantas masuk ke dalam limousine tanpa sepatah kata. Tidak berselang lama, mobil perlahan bergerak meninggalkan parkiran pesawat. Sepanjang perjalanan Maylin tidak berhenti menatap pemandangan dari luar jendela mobil.Sekelilingnya didominasi daun-daun beragam warna yang melekat di dahan-dahan pohon, juga rerumputan hijau dan sinar matahari yang memancar serta awan yang berlapis hingga terlihat seperti bulu halus menjadi perpaduan yang indah hingga mencuri perhatian bagi siapa saja yang melewati sekitarnya. Dan juga sebuah kastil yang cukup megah dan terkenal, yakni Bamburg Castle. Beberapa kali Mayli