“Kau baik-baik saja, Maymay? Ada yang terluka?” tanya Brianna dengan nada penuh kecemasan melihat tubuh Maylin bergetar hebat serta wajahnya pucat pasi.Napas Maylin terengah dengan air mata yang membasahi wajahnya. Mulutnya bergerak, hendak mengucapkan sesuatu, tetapi akibat bibirnya yang gemetar, ucapannya terdengar tidak jelas.“Kau membutuhkan sesuatu? Bicaralah yang jelas, Maymay! Aku tidak paham maksudmu!” Wajah Brianna tampak begitu panik. Air matanya siap tumpah ruah melihat kondisi temannya dalam keadaan tidak baik-baik saja.Matanya melirik cepat ke sisi kanan dan kiri, hendak meminta pertolongan. Akan tetapi, ketika netranya menangkap perbuatan seorang pria yang tengah menggeledah tas Maylin, ia lantas menarik kasar tas itu. “Dasar pencuri! Pergi atau kulaporkan pada polisi!” bentaknya.“Tolong berikan tas itu padaku! Aku harus segera mengambil obat untuknya!” ucap pria itu.“Kau pikir aku mudah dibohongi?” Brianna bersiap akan berteriak, tetapi pria itu merampas tas di tan
Sudah lima hari Restin berada dalam ruangan serba putih ini bersama Fifi untuk menjalani rawat inap serta melanjutkan pemeriksaan lebih spesifik. Pagi ini perutnya berhasil terisi dengan setengah porsi bubur, mengingat sebelumnya hanya bisa menelan dua hingga tiga suap saja.Pintu kamar diketuk bertepatan setelah Fifi selesai membantu Restin mengganti pakaian. Adanya selang infus pada lengan Restin, membuatnya kesulitan melakukan hal itu sendiri. Dokter Reese bersama seorang suster dan seorang Dokter asing, berjalan masuk ke dalam.“Hai Nyonya Banara, bagaimana keadaanmu pagi ini?” sapa Dokter Reese.“Sudah lebih baikan, Dokter. Tadi berhasil makan bubur tanpa muntah,” jawab Restin sembari tersenyum simpul.“Bagus. Meskipun kami memberikan obat untuk menambah komponen leukosit, tubuh tetap membutuhkan asupan gizi dan nutrisi. Oh ya, perkenalkan, ini Dokter Clarke, Dokter spesialis Onkolog.”“Selamat pagi, Nyonya Banara. Untuk selanjutnya, saya yang akan menangani pengobatan penyakit A
Maylin menganggukkan kepalanya. “Kurasa tidak mungkin seseorang itu adalah Valo Wren Osborn, ‘kan? Dia baru saja memintaku menjadi teman kencannya. Jadi, untuk apa dia—”“What? Kencan?” Leonel berteriak, memotong ucapan Maylin. “Kau menyetujuinya?”Maylin menelan salivanya dengan susah payah tatkala melihat pancaran mata Leonel berubah menjadi kilatan amarah. “Aku sudah punya gambaran balas dendam seperti apa yang akan kulakukan, Kak Leo,” ucapnya dengan tenang.“Oh ya? Gambaran seperti apakah itu hingga kau menyanggupi permintaannya?” tanya Leonel sinis diikuti tatapan penuh selidik.Maylin memasang wajah dinginnya. Tekadnya sudah bulat. Tak akan ada orang yang bisa membuatnya berubah pikiran. “Hanya itu cara pembalasan dendam yang muncul dalam kepalaku.”“Kau tahu sekali apa yang dia maksud dengan teman kencan.” Leonel menggeleng, menunjukkan ketidaksetujuannya. “Tidak, Maylin! Kita bisa menggunakan cara lain—”“Itu adalah urusanku. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Pembalasan dend
Betapa terkejutnya Elian ketika mendengar laporan dari Marco tentang Maylin berhasil kabur. Tanpa membuang waktu lagi ia langsung memerintahkan asistennya itu agar segera menyiapkan kepulangannya.Matanya berkilat marah tatkala melihat hasil rekaman cctv yang telah dihubungkan ke tablet pintarnya. Tidak disangkanya pengawal-pengawal terlatih yang tentu saja dipilih ketat oleh ayahnya, semudah itu masuk ke dalam jebakan Maylin.Hal pertama yang Elian lakukan setelah sampai di penthouse-nya ialah memberikan hukuman kepada pengawal yang sudah lalai menjalani tugas mereka. Sesuai ancaman yang pernah dilontarkannya, hanya dua orang saja dari keenam pengawal itu tetap dibiarkan hidup. Ia memang tidak pernah bermain-main dengan ucapannya.Emosi dari gurat wajahnya tercetak begitu jelas. Namun, kabar dari Marco selanjutnya makin menyulut amarah Elian hingga berkobar hebat. “Cari dan tangkap pelakunya!" murkanya disertai tatapan membunuh, membuat para pengawal yang menyaksikan kemarahannya ber
Maylin memandang ke arah luar jendela mobil. Di sepanjang jalanan kota sudah terpasang banyak labu-labu dengan ekspresi seram serta lampion-lampion yang berkesan menakutkan. Ada beberapa tengkorak plastik yang sengaja digantung di tiang lampu, juga beberapa lembar kain putih yang digantung di pohon. Perayaan Halloween memang akan berlangsung beberapa hari lagi.Dekorasi di setiap rumah dan restoran dengan tema menyeramkan itu, sayangnya tidak mampu mengalihkan pikiran Maylin dari rasa takutnya menghadapi pria yang sejak tadi hanya duduk diam di sebelahnya, sama sekali tidak bersuara.Sejak Elian menarik paksa hingga masuk ke dalam mobil dan meninggalkan hotel, keheningan yang mencekam yang menjadi latar perjalanan mereka menuju penthouse. Maylin tidak berani membuka suara, juga tidak berani menoleh untuk sekadar melihat bagaimana wajah Elian saat ini. Tatapan marah pria blasteran Inggris itu tadi sungguh menakutkan.Jelas sekali saat ini Elian sedang menahan emosinya. Kedua matanya te
Elian mengangkat tubuh Maylin dan menggendongnya ala bridal style. Tindakannya yang tiba-tiba itu refleks kedua tangan Maylin bergerak mengalung di leher pria itu agar tidak jatuh. Pandangan mereka pun bertemu. Sesaat, hening mengambil alih.Jantung Maylin berdebar tidak karuan hingga rasanya akan melompat keluar. Susah payah ia menegak salivanya tatkala melihat wajah tampan di hadapannya saat ini. Wajah seorang pria dimana kala masa remajanya dulu berpenampilan culun dengan kaca mata tebal kini bermetamorfosis menjelma bak Dewa Yunani.Mata teduh Elian menatap dirinya begitu intens ke dalam manik mata, membuatnya terhipnotis untuk terus menatap pemilik mata berwarna abu-abu itu. Hingga ketika Elian menurunkan tubuhnya di atas ranjang pun dirinya masih belum sadar dari pesona yang dimiliki pria itu. Pesona yang selama ini selalu ia tampik.“Aku hampir gila begitu mendapat kabar kau berhasil kabur dan sebuah mobil hendak akan menabrak tubuhmu. Rasanya ingin membunuh mereka semua saat i
“Itu memang sebuah hukuman yang harus mereka terima,” Elian menjawab dengan nada dingin.[Mereka menjalani seleksi sangat ketat dengan beberapa kriteria yang ditetapkan organisasi kita dan mereka diberi tanggung jawab untuk melindungi kita, bukan wanita itu!]“Seseorang mengincar nyawa Maylin berujung membuat wanita itu hampir celaka, dad! Padahal, sudah kuperingatkan kepada mereka untuk mengawal wanitaku lebih ketat lagi selama aku tidak berada di kota ini!” Suara Elian naik satu oktaf lebih tinggi. Genggaman tangannya pada ponsel mengerat kala mengingat hal itu.“Aku hampir kehilangan dia, dad. Bagiku keselamatannya jauh lebih penting daripada posisiku.” Dada Elian terlihat naik turun, penuh dengan gejolak emosi yang berkecamuk dalam dirinya.Helaan napas terdengar di balik telepon, sebelum Emilio kembali bersuara.[Apapun itu alasannya, tidak seharusnya kau mencabut nyawa mereka, Elian. Apa kau lupa nama mereka berada dalam list organisasi kita? Daddy hanya bisa membantumu dengan b
Sebelum Elian memberi perintah membawa tawanan ke markas, Marco terlebih dahulu meretas ponsel John Micheal untuk melacak aktivitas serta dengan siapa saja pria itu melakukan sambungan telepon.Marco memutar rekaman isi percakapan antara John Micheal bersama seorang pria.[Mereka mendatangi saya dan bertanya-tanya tentang anda, Sir! Apa yang harus saya lakukan?][Jawab pertanyaan mereka sesuai dengan apa yang saya perintahkan.][Tapi sepertinya mereka tidak percaya begitu saja, Sir!][Berapa kali pun mereka menodong pertanyaan yang sama, tetap beri jawaban yang sama, kau tidak tahu apa-apa dan setelah meminjamkan identitasmu, kita tidak pernah berhubungan lagi.]Suara rekaman hening sejenak. Tidak lama kemudian, terdengar lagi percakapan berikutnya.[Mereka masih saja terus mendatangi saya. Bahkan, mereka menghampiri saya saat saya menjemput putri saya di sekolahnya. Anda harus bertanggung jawab atas keamanan saya dan keluarga saya, Sir!][Mereka akan berhenti menemuimu bila mereka ti
“Aku tidak menuntut banyak penjelasan saat tahu kalau kau sudah mengetahui dari Vlora, rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat, lalu perubahan sikapmu setelah kita berada di kota ini ….” Maylin menjeda sejenak. Sepasang netranya menatap Elian penuh menyelisik, menunggu reaksi dari pria blasteran itu. “Bahkan, tanpa sepengetahuanku kau menutupi identitas keluargaku agar tidak diketahui Valo,” imbuhnya.Melihat ekspresi kedua mata abu-abu itu tersentak kaget, Maylin menemukan jawabannya. “Kau begitu misterius, Elian. Namun, aku tak akan protes karena itu adalah privasimu. Jadi, aku harap kau pun juga bisa menghargai privasiku.”Keheningan memenuhi mereka, kemudian melanjutkan sarapan dalam diam. Sampai ketika Maylin bangun dari kursinya dan membawa peralatan makan hendak mencucinya, suara Elian memecahkan kesunyian di antara mereka.“Semua yang kulakukan, terlepas dari baik atau buruk ….”Maylin memutar tubuhnya menghadap Elian. Kedua mata mereka kini saling bertemu. Sepasang iris
[Yeah, Deon menyuruhku menghapus semua data kalian untuk berjaga-jaga bila seseorang ingin mencari tahu tentang Frans Pramanta.]“Kalian yang dimaksud apakah mama, Rayla, juga tante Fifi?” Maylin mendelik, terkejut mendengar jawaban Leonel.[Seluruh keluargamu, sweety, termasuk Frans Pramanta. Ada apa? Dari mana kau mengetahuinya?]Serentetan pertanyaan itu menguap begitu saja dari bibir Leonel.“Kalau begitu, apakah diam-diam kak Leonel juga meretas database yang ada di dalam sistem perusahaan Elian, menghapus nama-nama keluarga yang kucantumkan di sana?” Alih-alih menjawab, Maylin balik bertanya. Tidak menutup kemungkinan Leonel melakukannya sebab pria itu memang ahli di bidang tersebut.Tidak ada suara jawaban dari pria itu. Maylin menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layarnya sejenak mencoba memastikan. Masih tersambung.Maylin menempelkan kembali ponsel di telinga kanannya. “Halo? Kak Leo? Apakah kau masih berada di sana?”[Bukan aku.]“Apa maksudnya?” Dahi Maylin menger
“Jawaban seperti apa yang ingin kau dengar?” Elian balik bertanya dengan datar, “Kak Sio.”“Kau pasti memiliki alasan untuk melakukannya. Aku ingin tahu apa alasan itu.” Sio tersenyum tipis.Suasana menjadi hening beberapa saat. Elian hanya bergeming menatap Sio, menunggu pria itu memutuskan hukuman apa yang harus diterimanya sebagai konsekuensi melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi mereka.“Wanita itu … apakah dia yang menjadi alasanmu mengenyahkan bodyguard-mu sendiri?”Pertanyaan itu sukses membuat ekspresi wajah Elian berubah menjadi tegang. Hanya sesaat, karena sepersekian detik kemudian, ia kembali memasang wajah datarnya.Sio menyeringai menatap Elian. “Apakah uncle sudah tahu?”“Tidak,” jawab Elian singkat. Bagaimanapun juga, ia harus menyelamatkan posisi ayahnya yang telah mencoba menyembunyikan segala perbuatannya.Sio menghembuskan kembali asap rokoknya ke udara. “Kau tahu kalau aku memberikan kepercayaan penuh padamu, bukan? Terus terang aku sangat kece
Mendengar satu nama itu disebut, berhasil melenyapkan ketenangan yang baru saja Maylin dapatkan dari efek alkohol itu. Seketika tubuhnya menjadi kaku. Jantungnya seolah berhenti berdetak. “Kedua orang tuaku ….” Maylin berhenti sejenak.Padahal, ia telah mengubur dalam-dalam semua kenangan yang mengingatkannya pada kebahagiaan sekaligus kepedihan ke dalam lubuk hatinya. Namun, hanya sepersekian detik buih-buih kenangan yang telah lama terpendam itu mendadak berhamburan.Kepalanya tertunduk dalam, berusaha keras menahan rasa sesak serta amarah di dadanya dengan mengepal erat kedua tangannya di bawah meja hingga kuku-kukunya menusuk telapak tangannya.“Mereka membuangku ketika usiaku sepuluh tahun,” ucap Maylin melanjutkan. Kebohongan itu keluar dari mulutnya begitu saja.Kau tidak sepenuhnya berbohong, Lin. Bajingan itu memang meninggalkan kalian terhitung sudah empat belas tahun. Sebuah suara bergema di dalam benaknya.“Bolehkah aku tahu, apa yang telah terjadi?” tanya Valo.Ada keseri
Di depan lorong satu-satunya akses menuju ruang restoran, seorang wanita dengan rambut bergelombang cokelat dan seorang petugas terlihat tengah saling melempar argumen sementara seorang pria lain dengan balutan setelan jas biru dongker-nya berdiri di sebelah wanita itu.Ia hanya diam seraya mendengarkan perdebatan kedua orang dewasa itu yang terus berlanjut. Tidak peduli orang-orang yang berlalu lalang, menoleh ke arah mereka, sebelum kemudian memandang dirinya dengan tatapan memuja.Penampilannya dengan setelan resmi, membungkus tubuhnya yang sempurna. Wajah tampan maskulin, garis rahang yang tegas adalah perpaduan sempurna yang diidam-idamkan seluruh kaum adam di seluruh dunia sekaligus menggoda kaum hawa di saat yang bersamaan.Seolah Tuhan sedang bahagia ketika menciptakannya. Tampan. Kaya. Benar-benar godaan yang terlalu sulit untuk tidak menaruh perhatian, terkecuali Maylin Pramanta. Hanya wanita itu yang tidak terpesona pada seorang Valo Wren Osborn.“Apakah Anda tidak mengerti
Entah sudah berapa lama, Valo masih belum juga kembali. Pria itu hanya menyuruhnya agar menunggu di dalam mobil hingga akhirnya Maylin merasa bosan dan mengambil ponsel untuk mengusir kejenuhan tersebut. Dilihatnya hasil foto yang ada di kameranya seraya senyum-senyum sendiri.Ia kemudian mengirimkan beberapa foto kepada Rayla, bermaksud memamerkan kepada sang kakak. Tidak lama setelah foto terkirim, pesan masuk pun berbunyi.[Elian membawamu ke tempat lokasi syuting film legendaris Robin Hood dan Harry Potter? Kau sangat beruntung, adikku! Akan tetapi, kau menjadi sangat amat menyebalkan! Aku juga ingin berkunjung ke sana!]Maylin terkikik membaca balasan dari Rayla, lalu menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel, mengetik sederet kalimat.[Mintalah pada kak Deon. Suami tercintamu itu tanpa ragu-ragu pasti mengabulkan keinginanmu. By the way, bukan Elian yang membawaku pergi, tetapi teman baruku.]Jemarinya berhenti bergerak untuk sejenak. Membaca sekali lagi pesannya sebelum menek
Tidak berapa lama kemudian, sepasang netranya membelalak. “No way! Tiket broomstick training! Seriously?” pekik Maylin dengan nada tidak percaya.“Tiket ini sangat terbatas. Aku mendapatkannya dengan susah payah karena diprioritaskan untuk pengunjung berusia 6 hingga 16 tahun. Jika kau mau berterima kasih padaku, cukup berhenti bersungut padaku. Deal?”Maylin melipat kedua tangannya. “Kau sendiri yang memulainya. Sudah kuperingatkan, aku bukan wanita murahan seperti wanita-wanita yang pernah bersamamu.”“Baiklah, aku mengaku bersalah. Maafkan aku, okay?” ujar Valo sembari mengulas senyum bersalah. Sedetik kemudian, dirinya terkejut setelah menyadari kalimat apa yang baru saja ia lontarkan. Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa direncanakan. Meskipun begitu ia tetap ingin terlihat tenang di hadapan wanita itu.Would somebody mind telling me, what the bloody hell’s going on? Valo memaki dalam hatinya.Maylin menghela napas pasrah. “All right! Aku tidak mau merusak suasana hatiku yang
“Kembali? Absolutely is no!" jawab Maylin sembari bersedekap. "Apakah kau pernah mendengar sebuah kereta akan mengemudikan balik ke stasiun yang telah mereka lewati hanya untuk mengangkut penumpang yang telat? Begitu pun dalam kamus hidupku. Tak akan kembali ke titik awal setelah melewatinya. Jika kau takut, pergilah. Aku bisa melanjutkannya sendiri. Tantangan ini sangat menyenangankan!” imbuhnya penuh semangat.Namun, baru beberapa langkah tubuhnya kembali menabrak dinding kaca tersebut. Tak hanya sekali—dua kali, hingga emosi wanita itu mulai terlihat dengan mengumpat setiap kali dirinya tertabrak.“Berhenti menertawaiku, Jerk!” Maylin menggeram kesal lantaran Valo tergelak kencang melihatnya berulang kali gagal mencari jalan di saat bersamaan tubuhnya menabrak kaca.“Perlu bantuan?” ujar Valo di tengah-tengah tawanya.Akan tetapi, sifat keras kepala yang begitu mendarah daging dalam diri wanita itu kontan menolak begitu saja. Ia ingin dengan caranya sendiri menaklukkan tantangan te
Valo dan Maylin segera turun dari jet, lalu di bawah jet telah ditunggu oleh beberapa pria berpakaian serba hitam dan juga sebuah limousine siap mengantar mereka.“Sama seperti Elian. Pengusaha terkenal seperti kami memang membutuhkan jasa bodyguard untuk melindungi kami dari ancaman,” ujar Valo menjelaskan ketika mendapati tatapan Maylin mengarah ke pengawalnya.Maylin bersikap tak acuh, lantas masuk ke dalam limousine tanpa sepatah kata. Tidak berselang lama, mobil perlahan bergerak meninggalkan parkiran pesawat. Sepanjang perjalanan Maylin tidak berhenti menatap pemandangan dari luar jendela mobil.Sekelilingnya didominasi daun-daun beragam warna yang melekat di dahan-dahan pohon, juga rerumputan hijau dan sinar matahari yang memancar serta awan yang berlapis hingga terlihat seperti bulu halus menjadi perpaduan yang indah hingga mencuri perhatian bagi siapa saja yang melewati sekitarnya. Dan juga sebuah kastil yang cukup megah dan terkenal, yakni Bamburg Castle. Beberapa kali Mayli