Hai Readers, terima kasih ya sudah dukung aku sampai di chapter ini. Bagaimana? apakah ceritanya kalian suka? ke depannya, misterinya makin bermunculan, loh! Tungguin terus, ya. Terima kasih ^^ oh ya, bagi yang mau gabungin medsosku, silahkan ke FB: Yen Lamour , IG: @yenlamour
Angin malam berhembus kencang hingga menusuk tulang meskipun pakaian tebal berlapis melekat di tubuh, angin dingin tetap melawan masuk. Membuat orang-orang yang masih beraktivitas di luar sana, lebih merapatkan lagi jaket yang membungkus tubuh mereka demi menghalau udara dingin.Nox beserta anak buahnya melangkah masuk menuju rumah besar bergaya kuno dengan tiang dan dinding batu yang kukuh. Beberapa pepohonan yang begitu lebat dan tinggi menjulang mengelilingi bangunan besar itu. Tanaman merambat, tumbuh subur di dinding yang membentengi rumah.Jika dilihat dari luar, rumah tersebut tampak tidak berpenghuni dan pada malam hari terlihat sangat mengerikan seperti rumah-rumah besar dan angker dalam film horor.Bangunan itu adalah peninggalan leluhur Crusio pada zaman penjajahan dahulu kala, yang kemudian dijadikan tempat rahasia keberadaan Crusio yang tidak diketahui oleh siapa pun, terkecuali Nox dan Imperius, seorang konselor bagi Crusio.Oleh sebab itu, penampilan luar bangunan denga
Tampak Restin Banara tengah bergelut di atas ranjang dengan rasa sakit akibat efek pengobatan kemoterapi.“Mau muntah, Res?” Fifi memandang sang adik dengan tatapan khawatir.Restin tanpa menjawab, langsung menundukkan wajahnya ke arah wadah dan memuntahkan isi perutnya. Fifi yang berada di sampingnya, mengurut pelan leher Restin seraya mengusap lembut punggung adiknya itu.“Kita langsung ke rumah sakit, ya?” Fifi bertanya dengan nada sedikit membujuk.Restin menggelengkan kepalanya. “Aku hanya muntah-muntah saja, Fi. Tidak demam, juga tidak diare. Dokter mengatakan jika kondisiku tidak memungkinkan baru segera ke rumah sakit, 'kan?”“Tapi ini sudah ke empat kalinya kamu muntah, Restin! Nafsu makanmu juga menurun drastis. Dokter berpesan untuk menjaga leukosit tetap normal agar dapat melakukan jadwal kemoterapi yang kedua.”“Aku mengerti kekhawatiranmu, tetapi aku yang paling mengerti kondisi tubuhku seperti apa. Tenang saja, aku masih sanggup bertahan, Fi. Aku akan berusaha untuk sem
“Siapa itu alien?” Valo mengernyitkan keningnya tatkala mendengar umpatan tadi. “Apakah ada karyawan yang bernama alien di kantor ini, Ric?” tanyanya pada Asistennya yang berdiri di sebelah kirinya.“Setahu saya tidak ada, Sir.”“Cari tahu orang yang memiliki nama makhluk planet asing itu!”Seketika satu alis mata Riccardo terangkat tinggi, keheranan mendengar sebuah perintah remeh yang baru saja terucap dari mulut Bosnya. Ia mengikuti arah pandangan Bosnya tengah menatap wanita yang mengumpat tadi hingga menghilang di balik pintu lift bersama karyawan lainnya.Tidak, tidak! Mungkin hanya pikiranku yang terlalu berlebihan. Batin Riccardo, mengusir kecurigaannya mengenai kemungkinan Bosnya jatuh cinta kepada wanita itu.*****“Kak Valo? Ada apa sepagi ini berkunjung ke kantor?” Pertanyaan itu terlontar keluar bersamaan dengan langkah kaki Elian berhenti di tempat Valo dan Riccardo berdiri.“Oh hai, Elian! Kebetulan sekali … kau mengenal seorang bernama alien?” Valo balik bertanya. Meli
“Tidak bisa, Lin!” tolak Elian setelah Maylin minta izin untuk ikut pergi bersamanya ke luar kota. “Semua telah diatur dari jauh hari. Hotel juga dibooking hanya satu kamar saja. Memangnya kau bersedia tidur satu ranjang denganku?” Elian menatap tegas ke arah Maylin.“Tidak masalah! Aku percaya padamu, El! Aku berjanji tak akan mengganggu kesibukanmu.” Maylin mencoba membuat penawaran dengan pria pemilik mata berwarna abu-abu itu. “Bila perlu, aku berdekam di kamar, menunggu sampai kau menyelesaikan pekerjaanmu. Bagaimana?”“Barang-barangnya sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil, Sir.” Suara salah seorang Pengawal menginterupsi pembicaraan mereka.Berbicara dalam bahasa Italia, Elian memerintah untuk menunggunya sebentar. Setelahnya, ia menatap Maylin. Tangannya terulur mengelus rambut wanita itu dengan lembut. “Kau tidak bisa meninggalkan pekerjaanmu di sini begitu saja.”Masalahnya aku tidak suka menghabiskan waktu bersama keturunan Osborn. Aku benci semua keluarganya. Batin Maylin
Leonel telah menjelaskan pada Dalbert mengenai kemungkinan lambang Crusio adalah ciri khas mereka. Menempatkan lambang itu pada bagian tubuh mereka atau sebuah benda.Mengapa tidak sedari dulu saja dirinya memberi saran ini kepada bosnya? Terbukti setelah mereka terang-terangan menampakkan Eagle dengan menggunakan nama almarhum Hugo Norman, secepat ini mereka bertemu Crusio.“Barangnya?”Suara pertanyaan dari salah seorang kelompok itu terdengar kembali, membuat Dalbert mengalihkan fokusnya dari sosok di belakang mereka. Ia mengangkat jari telunjuknya dan menunjuk ke arah sebuah koper yang tergeletak di lantai.“Di mana Hugo Norman?”Pertanyaan yang tiba-tiba tanpa basa-basi itu kontan membuat Dalbert bergidik seketika. Sosok yang ia lihat tadi, kini berjalan keluar dari barisannya, menunjukkan dirinya pada Dalbert beserta anak buahnya.“Aku lebih tertarik mendengar cerita Hugo Norman daripada barang yang kau bawa. Bersediakah berbincang sedikit tentang pria itu?” tanyanya lagi. Suara
Menuruti perintah, anak buah Nox segera mengeluarkan senjata tajam dan pertikaian itu pun berlanjut. Beberapa kali terdengar suara bentakan dan benturan keras. Dalbert balas menyerang dengan tendangan kakinya mengenai seorang lawan yang lantas jatuh terkapar.Ketika Dalbert melihat sebuah benda tajam mengayun pada salah seorang anak buahnya, ia lantas menangkap, memelintir tangan lawan dan merebut senjata tajam itu, lalu menusuk tepat di jantung.Di sisi lain, anak buah Nox lainnya berhasil menebas leher anak buah Dalbert hingga darah menyembur keluar bersamaan dengan suara letusan pistol dari anak buah Dalbert yang lolos dari serangan. Suara teriakan dan jeritan terdengar memenuhi ruang gudang, membuat suasana terasa menegangkan.Dalbert yang menyadari kekuatan mereka tidak seimbang dengan lawan, terpaksa memutar otaknya mencari cara agar dapat keluar dari gudang sebelum ia kehilangan anak buahnya lebih banyak. Kedua netranya mengedar ke seluruh ruangan.Melihat beberapa lampu yang m
Leonel bersama anak buah lainnya, melangkah keluar dari tempat persembunyian ketika melihat kepulan asap hitam membumbung ke langit.“Shit!” Leonel mengumpat, kemudian berlari secepat mungkin menghampiri asap itu berasal dari api yang sedang berkobar di satu-satunya gudang yang ada di lokasi itu.Dalbert memang meminta Leonel agar menunggu mereka di gubuk kecil yang letaknya tidak jauh dari gudang tersebut. Hanya untuk berjaga-jaga saja apabila mereka membutuhkan bantuan darurat, setidaknya mereka semua tidak dihadapkan dalam situasi berbahaya secara bersamaan.“Dalbert! Apa kau masih berada di dalam?” Leonel berteriak seraya menarik rantai gembok.Terdengar suara gedoran pintu dari dalam. Menandakan bahwa di dalam masih ada orang.“Cepat patahkan rantai ini!” titah Leonel yang langsung dituruti oleh anak buahnya.Leonel mengambil ponsel dengan terburu-buru lantas menghubungi kaki tangan kepercayaannya itu.[Maafkan … kami, tuan …. kami … gagal ….]Suara Dalbert terdengar berat seirin
“Baiklah, terima kasih. Cukup sampai di sini,” ucap Valo sembari meletakkan tablet berlogo apel tergigit yang digunakannya dalam rapat di atas meja, kemudian meng-klik opsi keluar dari meet room pada layar laptopnya.Riccardo dengan sigap membantu menyingkirkan perangkat laptop Bosnya yang baru saja selesai melakukan meeting melalui rapat virtual.Valo melepaskan jas dan melonggarkan ikatan dasi di lehernya, melepaskan tiga kancing di bagian atas kemeja putihnya sehingga memperlihatkan otot dadanya yang kekar.“Sebenarnya, Anda tidak perlu bersusah payah seperti ini, Sir.” Riccardo menyuarakan komentarnya.Valo menggulung lengan kemejanya hingga sampai ke siku. “Kau tahu alasanku melakukannya. Selagi Elian pergi ke luar kota, aku harus menggunakan kesempatan ini untuk menarik perhatian wanita itu.” Mengambil gelas dari tangan Riccardo yang berisikan vodka, lalu menandaskan separuh isinya sekali teguk.“Naikkan suhu penghangat ruangan ini, Ric!” perintah Valo yang dituruti Riccardo ber
“Aku tidak menuntut banyak penjelasan saat tahu kalau kau sudah mengetahui dari Vlora, rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat, lalu perubahan sikapmu setelah kita berada di kota ini ….” Maylin menjeda sejenak. Sepasang netranya menatap Elian penuh menyelisik, menunggu reaksi dari pria blasteran itu. “Bahkan, tanpa sepengetahuanku kau menutupi identitas keluargaku agar tidak diketahui Valo,” imbuhnya.Melihat ekspresi kedua mata abu-abu itu tersentak kaget, Maylin menemukan jawabannya. “Kau begitu misterius, Elian. Namun, aku tak akan protes karena itu adalah privasimu. Jadi, aku harap kau pun juga bisa menghargai privasiku.”Keheningan memenuhi mereka, kemudian melanjutkan sarapan dalam diam. Sampai ketika Maylin bangun dari kursinya dan membawa peralatan makan hendak mencucinya, suara Elian memecahkan kesunyian di antara mereka.“Semua yang kulakukan, terlepas dari baik atau buruk ….”Maylin memutar tubuhnya menghadap Elian. Kedua mata mereka kini saling bertemu. Sepasang iris
[Yeah, Deon menyuruhku menghapus semua data kalian untuk berjaga-jaga bila seseorang ingin mencari tahu tentang Frans Pramanta.]“Kalian yang dimaksud apakah mama, Rayla, juga tante Fifi?” Maylin mendelik, terkejut mendengar jawaban Leonel.[Seluruh keluargamu, sweety, termasuk Frans Pramanta. Ada apa? Dari mana kau mengetahuinya?]Serentetan pertanyaan itu menguap begitu saja dari bibir Leonel.“Kalau begitu, apakah diam-diam kak Leonel juga meretas database yang ada di dalam sistem perusahaan Elian, menghapus nama-nama keluarga yang kucantumkan di sana?” Alih-alih menjawab, Maylin balik bertanya. Tidak menutup kemungkinan Leonel melakukannya sebab pria itu memang ahli di bidang tersebut.Tidak ada suara jawaban dari pria itu. Maylin menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layarnya sejenak mencoba memastikan. Masih tersambung.Maylin menempelkan kembali ponsel di telinga kanannya. “Halo? Kak Leo? Apakah kau masih berada di sana?”[Bukan aku.]“Apa maksudnya?” Dahi Maylin menger
“Jawaban seperti apa yang ingin kau dengar?” Elian balik bertanya dengan datar, “Kak Sio.”“Kau pasti memiliki alasan untuk melakukannya. Aku ingin tahu apa alasan itu.” Sio tersenyum tipis.Suasana menjadi hening beberapa saat. Elian hanya bergeming menatap Sio, menunggu pria itu memutuskan hukuman apa yang harus diterimanya sebagai konsekuensi melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi mereka.“Wanita itu … apakah dia yang menjadi alasanmu mengenyahkan bodyguard-mu sendiri?”Pertanyaan itu sukses membuat ekspresi wajah Elian berubah menjadi tegang. Hanya sesaat, karena sepersekian detik kemudian, ia kembali memasang wajah datarnya.Sio menyeringai menatap Elian. “Apakah uncle sudah tahu?”“Tidak,” jawab Elian singkat. Bagaimanapun juga, ia harus menyelamatkan posisi ayahnya yang telah mencoba menyembunyikan segala perbuatannya.Sio menghembuskan kembali asap rokoknya ke udara. “Kau tahu kalau aku memberikan kepercayaan penuh padamu, bukan? Terus terang aku sangat kece
Mendengar satu nama itu disebut, berhasil melenyapkan ketenangan yang baru saja Maylin dapatkan dari efek alkohol itu. Seketika tubuhnya menjadi kaku. Jantungnya seolah berhenti berdetak. “Kedua orang tuaku ….” Maylin berhenti sejenak.Padahal, ia telah mengubur dalam-dalam semua kenangan yang mengingatkannya pada kebahagiaan sekaligus kepedihan ke dalam lubuk hatinya. Namun, hanya sepersekian detik buih-buih kenangan yang telah lama terpendam itu mendadak berhamburan.Kepalanya tertunduk dalam, berusaha keras menahan rasa sesak serta amarah di dadanya dengan mengepal erat kedua tangannya di bawah meja hingga kuku-kukunya menusuk telapak tangannya.“Mereka membuangku ketika usiaku sepuluh tahun,” ucap Maylin melanjutkan. Kebohongan itu keluar dari mulutnya begitu saja.Kau tidak sepenuhnya berbohong, Lin. Bajingan itu memang meninggalkan kalian terhitung sudah empat belas tahun. Sebuah suara bergema di dalam benaknya.“Bolehkah aku tahu, apa yang telah terjadi?” tanya Valo.Ada keseri
Di depan lorong satu-satunya akses menuju ruang restoran, seorang wanita dengan rambut bergelombang cokelat dan seorang petugas terlihat tengah saling melempar argumen sementara seorang pria lain dengan balutan setelan jas biru dongker-nya berdiri di sebelah wanita itu.Ia hanya diam seraya mendengarkan perdebatan kedua orang dewasa itu yang terus berlanjut. Tidak peduli orang-orang yang berlalu lalang, menoleh ke arah mereka, sebelum kemudian memandang dirinya dengan tatapan memuja.Penampilannya dengan setelan resmi, membungkus tubuhnya yang sempurna. Wajah tampan maskulin, garis rahang yang tegas adalah perpaduan sempurna yang diidam-idamkan seluruh kaum adam di seluruh dunia sekaligus menggoda kaum hawa di saat yang bersamaan.Seolah Tuhan sedang bahagia ketika menciptakannya. Tampan. Kaya. Benar-benar godaan yang terlalu sulit untuk tidak menaruh perhatian, terkecuali Maylin Pramanta. Hanya wanita itu yang tidak terpesona pada seorang Valo Wren Osborn.“Apakah Anda tidak mengerti
Entah sudah berapa lama, Valo masih belum juga kembali. Pria itu hanya menyuruhnya agar menunggu di dalam mobil hingga akhirnya Maylin merasa bosan dan mengambil ponsel untuk mengusir kejenuhan tersebut. Dilihatnya hasil foto yang ada di kameranya seraya senyum-senyum sendiri.Ia kemudian mengirimkan beberapa foto kepada Rayla, bermaksud memamerkan kepada sang kakak. Tidak lama setelah foto terkirim, pesan masuk pun berbunyi.[Elian membawamu ke tempat lokasi syuting film legendaris Robin Hood dan Harry Potter? Kau sangat beruntung, adikku! Akan tetapi, kau menjadi sangat amat menyebalkan! Aku juga ingin berkunjung ke sana!]Maylin terkikik membaca balasan dari Rayla, lalu menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel, mengetik sederet kalimat.[Mintalah pada kak Deon. Suami tercintamu itu tanpa ragu-ragu pasti mengabulkan keinginanmu. By the way, bukan Elian yang membawaku pergi, tetapi teman baruku.]Jemarinya berhenti bergerak untuk sejenak. Membaca sekali lagi pesannya sebelum menek
Tidak berapa lama kemudian, sepasang netranya membelalak. “No way! Tiket broomstick training! Seriously?” pekik Maylin dengan nada tidak percaya.“Tiket ini sangat terbatas. Aku mendapatkannya dengan susah payah karena diprioritaskan untuk pengunjung berusia 6 hingga 16 tahun. Jika kau mau berterima kasih padaku, cukup berhenti bersungut padaku. Deal?”Maylin melipat kedua tangannya. “Kau sendiri yang memulainya. Sudah kuperingatkan, aku bukan wanita murahan seperti wanita-wanita yang pernah bersamamu.”“Baiklah, aku mengaku bersalah. Maafkan aku, okay?” ujar Valo sembari mengulas senyum bersalah. Sedetik kemudian, dirinya terkejut setelah menyadari kalimat apa yang baru saja ia lontarkan. Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa direncanakan. Meskipun begitu ia tetap ingin terlihat tenang di hadapan wanita itu.Would somebody mind telling me, what the bloody hell’s going on? Valo memaki dalam hatinya.Maylin menghela napas pasrah. “All right! Aku tidak mau merusak suasana hatiku yang
“Kembali? Absolutely is no!" jawab Maylin sembari bersedekap. "Apakah kau pernah mendengar sebuah kereta akan mengemudikan balik ke stasiun yang telah mereka lewati hanya untuk mengangkut penumpang yang telat? Begitu pun dalam kamus hidupku. Tak akan kembali ke titik awal setelah melewatinya. Jika kau takut, pergilah. Aku bisa melanjutkannya sendiri. Tantangan ini sangat menyenangankan!” imbuhnya penuh semangat.Namun, baru beberapa langkah tubuhnya kembali menabrak dinding kaca tersebut. Tak hanya sekali—dua kali, hingga emosi wanita itu mulai terlihat dengan mengumpat setiap kali dirinya tertabrak.“Berhenti menertawaiku, Jerk!” Maylin menggeram kesal lantaran Valo tergelak kencang melihatnya berulang kali gagal mencari jalan di saat bersamaan tubuhnya menabrak kaca.“Perlu bantuan?” ujar Valo di tengah-tengah tawanya.Akan tetapi, sifat keras kepala yang begitu mendarah daging dalam diri wanita itu kontan menolak begitu saja. Ia ingin dengan caranya sendiri menaklukkan tantangan te
Valo dan Maylin segera turun dari jet, lalu di bawah jet telah ditunggu oleh beberapa pria berpakaian serba hitam dan juga sebuah limousine siap mengantar mereka.“Sama seperti Elian. Pengusaha terkenal seperti kami memang membutuhkan jasa bodyguard untuk melindungi kami dari ancaman,” ujar Valo menjelaskan ketika mendapati tatapan Maylin mengarah ke pengawalnya.Maylin bersikap tak acuh, lantas masuk ke dalam limousine tanpa sepatah kata. Tidak berselang lama, mobil perlahan bergerak meninggalkan parkiran pesawat. Sepanjang perjalanan Maylin tidak berhenti menatap pemandangan dari luar jendela mobil.Sekelilingnya didominasi daun-daun beragam warna yang melekat di dahan-dahan pohon, juga rerumputan hijau dan sinar matahari yang memancar serta awan yang berlapis hingga terlihat seperti bulu halus menjadi perpaduan yang indah hingga mencuri perhatian bagi siapa saja yang melewati sekitarnya. Dan juga sebuah kastil yang cukup megah dan terkenal, yakni Bamburg Castle. Beberapa kali Mayli