Hujan tipis turun di luar jendela, memercik halus ke kaca balkon apartemen. Ara duduk di sofa ruang tamu, selimut melilit tubuhnya yang kecil. Udara terasa dingin, tetapi yang membuatnya menggigil bukanlah suhu malam itu, melainkan rasa takut yang tak kunjung pergi dari dadanya.
Di hadapannya, Adrian berjalan mondar-mandir, berbicara di telepon dengan nada rendah. Suara tenangnya biasanya menjadi pengantar damai, tetapi kali ini, setiap kata yang diucapkannya membawa ketegangan tersendiri.
“Pastikan mereka menjaga pintu masuk,” kata Adrian dengan nada tegas. “Aku tidak ingin ada celah.”
Ia menutup telepon, menghela napas panjang sebelum menoleh ke Ara. “Maaf. Aku harus memastikan semuanya terkendali.”
Ara hanya mengangguk, matanya menatap tangan Adrian yang menggenggam ponsel. Ia tahu Adrian berusaha keras melindunginya, tetapi rasa takut itu tetap tidak bisa ia abaikan.
“Adrian,” panggil Ara pelan, s
Hujan deras mengguyur kota malam itu. Kilat yang menyambar sesekali menerangi sudut-sudut jalan yang gelap. Di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, Raka duduk di meja makan dengan segelas alkohol di tangannya. Matanya merah, wajahnya terlihat lelah dan penuh amarah.Di hadapannya, sebuah amplop terbuka, isinya berserakan di atas meja. Surat perintah perlindungan dari pengacara Adrian, foto-foto Ara yang diambil dari kejauhan, dan catatan kecil yang ia tulis sendiri: “Ini belum berakhir.”“Dia pikir dia bisa mengambil semuanya dariku?” Raka bergumam sendiri, suaranya serak. “Ara itu milikku. Milikku.”Ia meraih ponselnya, jari-jarinya gemetar saat menelusuri kontak. Beberapa detik kemudian, ia menekan tombol panggil.“Semuanya sudah siap?” tanyanya, suaranya dingin dan penuh tekad.Dari seberang telepon, suara seorang pria menjawab, “Ya. Kau yakin ingin melakukannya?”R
Udara malam terasa berat, seperti menahan napas dalam ketegangan. Ara duduk di ujung sofa kecil di ruang tamu rumah Adrian yang terpencil, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan.Tangannya menggenggam secangkir teh hangat, tetapi ia tidak minum. Matanya terus melirik ke arah jendela, meskipun tirai tebal telah menutupi pandangan ke luar.Di sudut ruangan, Adrian berdiri dengan punggung tegak. Matanya terpaku pada ponsel di tangannya, memeriksa pesan-pesan dan pembaruan dari tim keamanan yang ia sewa. Cahaya layar memantulkan wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras seperti sedang menahan sesuatu yang besar.“Adrian,” panggil Ara pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.Adrian menoleh cepat, ekspresi khawatir tergambar jelas di wajahnya. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di samping Ara, menggenggam tangannya yang dingin. “Kau baik-baik saja?” tanyanya lembut.Ara mengangguk, meski matanya berkata lain. “A
Pagi itu, matahari tertutup awan gelap, dan angin dingin menyapu halaman rumah kecil di luar kota tempat Ara dan Adrian berlindung. Suasana terasa sunyi, terlalu sunyi, seperti ketenangan yang menandakan badai yang akan datang.Ara berdiri di depan jendela ruang tamu, matanya menatap jauh ke luar. Satu tangannya memegang cangkir kopi, sementara tangan lainnya menyentuh tirai, membuka sedikit celah untuk memastikan tidak ada yang mencurigakan di luar.Adrian masuk dari arah dapur, membawa ponsel di tangannya. “Tim keamanan baru saja memberi tahu,” katanya, menghentikan langkahnya di belakang Ara. “Raka sudah kembali ke kota. Sepertinya dia berusaha menghindari polisi setelah kejadian terakhir.”Ara menoleh, matanya penuh kekhawatiran. “Kau yakin dia tidak tahu kita ada di sini?”Adrian berjalan mendekat, menyentuh bahu Ara dengan lembut. “Aku sudah memastikan tempat ini aman. Tidak ada yang tahu kecuali tim keperca
Pagi itu, cahaya matahari masuk melalui celah-celah tirai jendela rumah kecil tempat Ara dan Adrian berlindung. Meski sinar pagi terasa hangat, suasana di dalam rumah tetap tegang.Ara berdiri di dapur, membuat secangkir kopi untuk Adrian, sementara pikirannya terus melayang pada ancaman yang tak pernah benar-benar pergi.Adrian duduk di meja ruang makan, ponselnya tergeletak di meja dengan layar yang berkedip-kedip. Wajahnya serius, tatapannya terpaku pada layar laptop di depannya. Beberapa email masuk dengan subjek yang hampir sama, tetapi semua membawa berita buruk.“Apa itu?” tanya Ara pelan saat meletakkan secangkir kopi di depan Adrian.Adrian menghela napas, meraih cangkir dan menggenggamnya erat seolah mencari kehangatan yang tidak bisa ia rasakan dari situasi ini. “Raka sedang mencoba menyerang perusahaanku.”Ara membeku, jantungnya berdegup kencang. “Bagaimana caranya?”Adrian memutar laptop ke a
"Ara, kau percaya padaku, kan?" Adrian meliriknya dengan sorot mata yang serius namun lembut, seolah sedang membaca seluruh ketakutan yang disembunyikannya di balik raut wajah tenang itu.Ara mengangkat pandangan dari cangkir teh yang ia genggam. Asap hangat melayang tipis, menggantung di udara dingin malam itu. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena suhu, tapi karena pertanyaan itu.Ia tahu jawabannya, tapi mengatakannya terasa seperti mengukir sebuah keputusan besar di atas batu."Aku ingin percaya, Adrian," suaranya nyaris seperti bisikan. "Tapi situasi ini… terlalu rumit. Raka, keluargaku, kontrak kita… semua ini."Adrian tersenyum tipis, nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk melunakkan keraguan yang menggelayut di benaknya. "Aku tidak meminta lebih dari itu, Ara. Cukup kau ingin percaya. Sisanya biar aku yang tangani."Hening sejenak. Detik-detik berlalu dengan lambat, diiringi gemerisik dedaunan di luar balkon. Ara menarik napa
"Kau benar-benar ingin menyelesaikan ini dengan cara ini?" Adrian bertanya, suaranya rendah tapi penuh tekanan, seperti badai yang menunggu untuk meledak. Ia berdiri tegap di ruang tamu kecil rumah Ara, mengenakan jas gelap yang selalu terlihat sempurna pada tubuhnya.Namun kali ini, ketenangan khas Adrian tampak sedikit retak.Raka, duduk di sofa usang dengan ekspresi tegang, menatapnya dengan mata menyipit, hampir seperti sedang menantang. "Aku tidak butuh ceramah darimu, Adrian. Kau pikir, hanya karena uangmu, kau bisa mengatur hidup kami?"Di sudut ruangan, Ara berdiri diam, tangan mengepal di sisi tubuhnya. Matanya beralih antara Adrian dan Raka. Ada ketegangan di udara, seperti tali yang ditarik terlalu kencang, siap putus kapan saja."Aku tidak mencoba mengatur apa pun," kata Adrian, nadanya lebih terkendali sekarang. "Aku hanya menawarkan solusi. Aku sudah cukup memberi kelonggaran pada utangmu, Raka. Tapi ini bukan hanya tentang uang lagi, bukan?
"Kalau kau butuh apa pun, katakan saja padaku," Adrian berkata, memecah keheningan ketika ia menyerahkan segelas air hangat kepada Ara.Ara duduk di ujung sofa, menyelimuti dirinya dengan selimut lembut yang baru saja Adrian keluarkan dari lemari. Udara malam terasa menggigit meskipun apartemen itu hangat. Ia menerima gelas itu dengan tangan sedikit gemetar, meski bukan karena dingin."Terima kasih," jawabnya pelan, suaranya seperti bisikan yang hampir tenggelam dalam keheningan ruangan.Adrian mengambil tempat di sofa sebelahnya, menjaga jarak yang cukup, seolah memberi ruang agar Ara merasa nyaman. Tapi tatapannya tidak pernah lepas dari wajah Ara.Ia mempelajari setiap detail: cara matanya yang lelah menatap ke bawah, jemarinya yang menggenggam gelas terlalu erat, dan napasnya yang kadang terdengar berat, seperti membawa beban yang tidak terlihat."Kau tidak perlu merasa bersalah karena berada di sini, Ara," katanya pelan. "Aku tahu ini bukan ke
"Kau tidak akan selamanya ada di sisinya, Adrian," suara Raka terdengar dari telepon, dingin dan tajam, meskipun ia berusaha terdengar santai. "Dan ketika kau tidak ada, aku akan memastikan Ara tahu di mana tempatnya yang sebenarnya."Adrian memandang ke luar jendela apartemennya, langit gelap di luar seakan memantulkan emosi yang mulai mendidih dalam dirinya. Tangan kirinya menggenggam ponsel dengan erat, sementara tangan lainnya terkepal di sisi tubuhnya."Kau ingin bermain permainan seperti ini?" balas Adrian, suaranya rendah tapi mengandung ancaman yang terselubung. "Kau tidak akan menang, Raka. Tidak kali ini."Raka tertawa kecil, penuh ejekan. "Kita lihat saja. Kau mungkin punya uang, Adrian, tapi aku punya sesuatu yang lebih penting—waktu. Ara adalah istriku. Dia akan kembali padaku. Kau hanya pemberhentian sementara."Adrian terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Raka menggantung di udara sebelum akhirnya berbicara. "Ara bukan milik siapa pun
Pagi di desa itu selalu dimulai dengan keheningan yang damai, diselingi oleh kicauan burung yang terdengar dari pepohonan di belakang rumah mereka. Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara.Ara berdiri di depan wastafel, mencuci beberapa buah stroberi yang baru dipetik dari kebun kecil mereka. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela, membungkus tubuhnya dengan sinar hangat yang lembut.Dari ruang tamu, terdengar langkah kaki kecil yang mendekat. Ara menoleh dan tersenyum lebar saat melihat seorang anak kecil dengan rambut ikal berwarna cokelat berlari ke arahnya. Anak itu mengenakan piyama dengan motif dinosaurus, dan tawa kecilnya memenuhi ruangan."Ibu! Lihat apa yang aku temukan!" seru anak itu dengan suara ceria, memperlihatkan sebuah daun kecil yang ia bawa dengan hati-hati.Ara membungkuk, mengambil daun itu dari tangan anaknya. "Oh, ini indah sekali, sayang. Kau menemukannya di mana?""Di bawah pohon besar!" jawab anak itu, m
Cahaya senja menyelimuti desa kecil itu, membawa kehangatan pada rumah-rumah kecil yang berbaris rapi di sepanjang jalan berbatu. Langit dihiasi semburat warna oranye, merah muda, dan ungu, seolah-olah semesta sengaja melukis kanvasnya untuk merayakan hari yang damai.Di halaman belakang rumah, Ara duduk di bangku kayu dengan secangkir teh di tangannya, tubuhnya terbalut sweater rajut yang melindunginya dari udara sore yang mulai dingin.Ia memandangi bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu. Tanaman itu tumbuh dengan gagah, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar. Kepala bunga yang cerah menghadap ke arah matahari yang mulai tenggelam.Ara tersenyum kecil, merasa bahwa bunga itu melambangkan kehidupannya sendiri—perlahan-lahan tumbuh dari tanah yang dulu terasa tandus, mencari cahaya yang akhirnya ia temukan dalam hidupnya bersama Adrian.Pintu belakang berderit pelan, dan suara langkah Adrian di atas lantai kayu terdengar sebelum ia m
Pagi itu, sinar matahari menyapu pelan rumah kecil mereka, membawa kehangatan ke dalam setiap sudut ruangan. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan udara pagi yang segar masuk. Aroma rumput basah dan bunga-bunga liar dari taman belakang melayang lembut di udara.Ia berdiri sejenak, memandang ke luar dengan senyum kecil di wajahnya. Di halaman belakang, bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu mulai tumbuh, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar."Duduklah dulu," kata Adrian dari dapur, suaranya terdengar ringan tetapi sedikit menggoda. "Kau tidak bisa terus sibuk sejak pagi. Sarapan sudah siap."Ara menoleh, tertawa kecil. "Aku hanya menikmati pemandangan. Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan bisa bangun dengan perasaan selega ini."Adrian muncul dari balik pintu dapur dengan dua piring di tangannya. Sepiring telur dadar lembut dengan irisan alpukat dan roti panggang di satu piring lainnya. Ia meletakkan semuanya di meja keci
Cahaya matahari pagi menerobos melalui jendela besar rumah baru mereka, memantulkan sinarnya di lantai kayu yang mengilap. Rumah itu sederhana tetapi terasa hangat, dengan dinding bercat krem dan perabotan kayu yang dipilih dengan penuh cinta.Di luar, angin sepoi-sepoi meniup dedaunan pohon maple, dan suara burung-burung terdengar lembut, menjadi latar belakang kehidupan baru yang mereka mulai bersama.Ara berdiri di dapur kecil mereka, aroma kopi menguar dari mesin yang baru saja Adrian belikan. Ia mengenakan kaus longgar berwarna putih dan celana katun, kakinya telanjang di atas lantai dingin.Ia memandangi jendela yang menghadap ke taman belakang, di mana Adrian sedang menggali tanah untuk menanam bunga matahari yang dibawanya dari pasar minggu lalu.Ara tersenyum kecil, menyandarkan pinggulnya di meja dapur sambil memegang secangkir kopi. Setiap gerakan Adrian di luar terlihat penuh semangat—wajahnya yang serius saat ia mencangkul tanah, seseka
Pagi itu, langit cerah tanpa awan. Cahaya matahari lembut membasuh taman kecil di belakang rumah keluarga Adrian, tempat acara sederhana mereka akan diadakan.Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga mawar dan lavender yang menghiasi setiap sudut taman, menciptakan suasana hangat yang sempurna.Ara berdiri di depan cermin di kamar tamu rumah Adrian. Gaun putih sederhana melekat di tubuhnya, terbuat dari bahan satin yang jatuh dengan indah, memeluk tubuhnya dengan cara yang anggun.Tidak ada renda berlebihan atau kilauan mencolok, hanya detail kecil di sekitar leher yang membuatnya terlihat elegan dan alami.Lila berdiri di belakangnya, membantu menyematkan peniti kecil di ujung kerudung Ara. "Kau terlihat... luar biasa," kata Lila dengan mata berbinar, senyumnya lebar.Ara tersenyum melalui pantulan cermin, mencoba menahan perasaan gugup yang merayap di dadanya. "Terima kasih, Lila. Aku rasa ini pertama kalinya aku merasa benar-benar seperti pengantin
Pagi itu dimulai dengan keheningan yang damai. Sinar matahari pagi menerobos melalui tirai jendela, menyelimuti ruang tamu rumah kecil mereka dengan cahaya hangat keemasan. Ara berdiri di dapur, mengenakan sweater tipis berwarna krem yang sedikit kebesaran.Ia sedang memotong beberapa buah untuk sarapan, menikmati aroma segar jeruk yang menguar.Adrian muncul dari belakang, rambutnya masih sedikit berantakan, namun senyum lembut yang biasa menghiasi wajahnya tetap ada. "Kau bangun lebih pagi dari biasanya," katanya sambil mengambil cangkir dari rak dan menuangkan kopi.Ara menoleh dan tersenyum kecil. "Aku suka pagi-pagi seperti ini. Tenang dan terasa ringan."Adrian mengangguk, berjalan ke meja dan duduk di kursi, memperhatikan Ara yang sibuk di dapur. "Ada sesuatu yang berbeda pada dirimu akhir-akhir ini," ujarnya pelan, tetapi dengan nada penuh perhatian.Ara berhenti sejenak, memutar tubuhnya untuk menatap Adrian. "Apa maksudmu?"Adrian
Pagi itu, rumah kecil mereka diselimuti keheningan yang damai. Matahari pagi menyinari ruangan dengan lembut, menciptakan bayangan hangat di lantai kayu. Ara duduk di meja dekat jendela, secangkir teh hijau mengepul di sebelahnya. Di depan Ara, ada selembar kertas kosong dan sebuah pena sederhana.Adrian berjalan masuk dari dapur, membawa piring berisi irisan roti panggang dan buah-buahan. Ia berhenti di ambang pintu ketika melihat Ara yang tampak termenung di depan kertas itu."Apa yang kau pikirkan?" tanyanya pelan, meletakkan piring di meja kecil di dekat Ara.Ara menoleh ke arahnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman kecil yang hampir tidak terlihat. "Aku berpikir untuk menulis sesuatu. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana."Adrian menarik kursi di depannya dan duduk. "Sesuatu seperti apa?"Ara mengambil pena itu, menggenggamnya dengan kedua tangan. "Aku ingin menulis surat untuk Raka."Adrian menatapnya, tetapi tidak langsung men
Angin sejuk pegunungan membelai wajah Ara, membawa aroma pinus dan bunga liar yang mekar di sepanjang jalan menuju rumah keluarga Adrian.Mobil Adrian meluncur mulus di jalanan kecil yang berkelok-kelok, dikelilingi oleh hutan hijau yang terasa seperti melindungi mereka dari hiruk pikuk dunia luar. Ara memandang keluar jendela, matanya menangkap pemandangan pegunungan yang menjulang megah di kejauhan.Namun, di tengah keindahan itu, dadanya terasa sesak oleh kegugupan. Jemarinya memainkan ujung sweater yang ia kenakan, menggulungnya dengan canggung."Berhenti menggulung sweatermu," suara Adrian terdengar ringan, tetapi penuh kehangatan, memecah keheningan. Matanya melirik ke arah Ara sambil tetap memperhatikan jalan.Ara meliriknya, setengah tersipu. "Aku tidak bisa menahannya. Aku... aku gugup."Adrian tertawa kecil, nada suaranya santai seperti biasanya. Ia mengulurkan satu tangan dari kemudi, menggenggam jemari Ara dengan lembut. "Kau tidak perl
Matahari pagi menyelimuti rumah kecil mereka dengan sinar keemasan. Udara di kota kecil itu sejuk dan segar, membawa aroma embun dan dedaunan basah. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan angin pagi masuk, meniup lembut rambutnya yang tergerai.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sungai kecil di kejauhan, mengalir tenang di bawah bayang-bayang pohon yang rimbun.Di dapur, suara denting piring terdengar pelan. Adrian tengah mengaduk adonan pancake, lengan bajunya digulung hingga siku. Ia sesekali menoleh ke arah Ara, memastikan dia baik-baik saja."Apa kau lapar?" tanya Adrian, suaranya terdengar ringan dan santai, seperti pagi itu.Ara menoleh, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Aku selalu lapar untuk pancake," balasnya sambil berjalan mendekat.Adrian tertawa pelan, mengangkat wajan untuk menuangkan adonan ke panci panas. "Pancake spesial pagi ini. Dengan ekstra cinta."Ara duduk di bangku dapur, menopang dagunya dengan tang