"Kau benar-benar ingin menyelesaikan ini dengan cara ini?" Adrian bertanya, suaranya rendah tapi penuh tekanan, seperti badai yang menunggu untuk meledak. Ia berdiri tegap di ruang tamu kecil rumah Ara, mengenakan jas gelap yang selalu terlihat sempurna pada tubuhnya.
Namun kali ini, ketenangan khas Adrian tampak sedikit retak.
Raka, duduk di sofa usang dengan ekspresi tegang, menatapnya dengan mata menyipit, hampir seperti sedang menantang. "Aku tidak butuh ceramah darimu, Adrian. Kau pikir, hanya karena uangmu, kau bisa mengatur hidup kami?"
Di sudut ruangan, Ara berdiri diam, tangan mengepal di sisi tubuhnya. Matanya beralih antara Adrian dan Raka. Ada ketegangan di udara, seperti tali yang ditarik terlalu kencang, siap putus kapan saja.
"Aku tidak mencoba mengatur apa pun," kata Adrian, nadanya lebih terkendali sekarang. "Aku hanya menawarkan solusi. Aku sudah cukup memberi kelonggaran pada utangmu, Raka. Tapi ini bukan hanya tentang uang lagi, bukan?
"Kalau kau butuh apa pun, katakan saja padaku," Adrian berkata, memecah keheningan ketika ia menyerahkan segelas air hangat kepada Ara.Ara duduk di ujung sofa, menyelimuti dirinya dengan selimut lembut yang baru saja Adrian keluarkan dari lemari. Udara malam terasa menggigit meskipun apartemen itu hangat. Ia menerima gelas itu dengan tangan sedikit gemetar, meski bukan karena dingin."Terima kasih," jawabnya pelan, suaranya seperti bisikan yang hampir tenggelam dalam keheningan ruangan.Adrian mengambil tempat di sofa sebelahnya, menjaga jarak yang cukup, seolah memberi ruang agar Ara merasa nyaman. Tapi tatapannya tidak pernah lepas dari wajah Ara.Ia mempelajari setiap detail: cara matanya yang lelah menatap ke bawah, jemarinya yang menggenggam gelas terlalu erat, dan napasnya yang kadang terdengar berat, seperti membawa beban yang tidak terlihat."Kau tidak perlu merasa bersalah karena berada di sini, Ara," katanya pelan. "Aku tahu ini bukan ke
"Kau tidak akan selamanya ada di sisinya, Adrian," suara Raka terdengar dari telepon, dingin dan tajam, meskipun ia berusaha terdengar santai. "Dan ketika kau tidak ada, aku akan memastikan Ara tahu di mana tempatnya yang sebenarnya."Adrian memandang ke luar jendela apartemennya, langit gelap di luar seakan memantulkan emosi yang mulai mendidih dalam dirinya. Tangan kirinya menggenggam ponsel dengan erat, sementara tangan lainnya terkepal di sisi tubuhnya."Kau ingin bermain permainan seperti ini?" balas Adrian, suaranya rendah tapi mengandung ancaman yang terselubung. "Kau tidak akan menang, Raka. Tidak kali ini."Raka tertawa kecil, penuh ejekan. "Kita lihat saja. Kau mungkin punya uang, Adrian, tapi aku punya sesuatu yang lebih penting—waktu. Ara adalah istriku. Dia akan kembali padaku. Kau hanya pemberhentian sementara."Adrian terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Raka menggantung di udara sebelum akhirnya berbicara. "Ara bukan milik siapa pun
"Kita harus melakukannya dengan tenang, Ara," suara Adrian terdengar lembut tapi tegas saat ia menghentikan mobil di luar sebuah restoran kecil tempat pertemuan itu akan berlangsung. Lampu-lampu jalanan berkedip redup, menciptakan bayangan panjang di aspal basah.Ara mengangguk perlahan, meski tangannya sedikit gemetar di pangkuannya. Ia tidak pernah menyukai konfrontasi, apalagi dengan seseorang seperti Raka—yang begitu mudah terbakar emosi. Tetapi, kali ini, ia tahu bahwa konfrontasi itu tidak terhindarkan."Aku akan berada di sisimu sepanjang waktu," lanjut Adrian, memandangnya dengan tatapan penuh keyakinan. "Jika dia mulai bermain kotor lagi, aku yang akan menghadapinya."Ara menatap Adrian, merasa sedikit lebih kuat dengan kehadirannya. "Aku tahu. Aku hanya... ingin semuanya selesai."Adrian tersenyum kecil, mengulurkan tangannya untuk menyentuh jemari Ara dengan lembut. "Dan itu akan selesai. Kau hanya perlu ingat: kau tidak sendiri."
"Aku tidak yakin ini ide yang bagus," suara Ara terdengar ragu ketika mereka turun dari mobil. Matanya melirik ke arah gedung besar yang diterangi cahaya terang, tempat acara perusahaan Adrian digelar malam itu.Udara malam terasa dingin, tapi lebih banyak rasa gugup yang menusuk kulitnya daripada suhu.Adrian berdiri di sampingnya, mengenakan setelan hitam yang sempurna, dasinya sedikit dilonggarkan untuk memberi kesan santai. Ia menyentuh lembut punggung Ara, membimbingnya mendekati pintu masuk."Kau aman, Ara," katanya dengan nada menenangkan. "Aku akan berada di sampingmu sepanjang waktu."Ara mengangguk pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, ada perasaan tidak nyaman yang tak kunjung hilang, seperti bayangan gelap yang mengikuti di belakang.Di dalam, suasana acara terasa gemerlap. Ruangan itu dipenuhi orang-orang berpakaian elegan, dengan tawa ringan dan suara obrolan bercampur alunan musik klasik
"Aku tidak akan membiarkan ini berlanjut," Adrian berkata, suaranya tenang tapi penuh ketegasan saat ia duduk di ruang tamu apartemennya. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela besar menerangi ruangan dengan kehangatan lembut, tapi ekspresinya sama sekali tidak melunak.Ara duduk di sofa seberangnya, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran, tangan melingkari secangkir teh hangat. Ia menatap Adrian dengan cemas, namun ada sesuatu dalam caranya bicara yang membuatnya merasa sedikit lebih aman."Adrian, kau yakin ingin melibatkan pihak berwenang? Bukankah itu akan memperumit segalanya?" tanyanya pelan.Adrian mencondongkan tubuhnya ke depan, siku bertumpu pada lututnya. Matanya menatap langsung ke arah Ara, serius tapi lembut. "Ini bukan hanya tentang memperumit, Ara. Ini tentang menghentikan Raka sebelum dia melakukan sesuatu yang lebih buruk."Ara menggigit bibirnya, matanya menunduk ke arah lantai. "Dia bukan orang jahat, Adrian. Aku tahu dia m
"Aku rasa aku tidak akan pernah bisa memahami apa yang ada di pikirannya," Ara berkata pelan, jari-jarinya menggenggam cangkir teh hangat yang ia letakkan di pangkuannya. Malam telah larut, dan hujan turun perlahan di luar jendela apartemen Adrian.Suara gemericik air hujan yang menghantam kaca membuat suasana terasa lebih tenang, meski pikiran Ara berkecamuk.Adrian duduk di kursi seberangnya, matanya tidak pernah meninggalkan wajah Ara. "Dia tahu dia kalah, Ara. Orang seperti Raka akan selalu mencoba mengambil kendali, bahkan ketika mereka tahu itu mustahil."Ara menatapnya, mencoba menangkap makna di balik kata-kata Adrian. "Tapi kenapa dia tidak bisa berhenti? Kenapa dia terus mendorongku menjauh, dan sekarang—mengancam kita?"Adrian mendesah panjang, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Karena dia tidak tahu cara menerima kekalahan tanpa menyalahkan orang lain. Dan kau adalah sasaran paling mudah."Kata-kata Adrian menggantung di ud
"Aku bahkan tidak tahu lagi apa yang aku lakukan, Adrian." Suara Ara pecah di tengah keheningan. Ia duduk di tepi sofa, tangan memeluk bantal kecil yang terlihat terlalu besar untuk tubuh mungilnya.Matanya memandang ke arah jendela, menatap hujan yang turun deras, seolah mencari jawaban di antara tetesan air yang berlomba-lomba menuruni kaca.Adrian, yang duduk di kursi di seberangnya, tidak segera menjawab. Ia memandang Ara dengan tenang, tapi di matanya ada rasa khawatir yang sulit disembunyikan."Kau merasa bimbang. Itu wajar," katanya akhirnya, suaranya rendah tapi penuh keyakinan. "Kau telah melalui banyak hal, Ara. Tidak ada yang bisa mempersiapkan siapa pun untuk situasi seperti ini."Ara menggeleng pelan, air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Tapi aku seharusnya lebih kuat. Aku seharusnya tahu apa yang aku mau. Aku merasa seperti gagal… pada diriku sendiri."Ia membenamkan wajahnya ke bantal, suaranya terdengar lebih pelan, h
"Ara… Ara!"Suara itu seperti jangkar yang menarik Ara dari gelapnya tidur. Ia terbangun dengan terengah-engah, keringat dingin membasahi dahinya. Selimutnya kusut di sekitar tubuhnya, dan matanya yang lebar berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan kamar tamu di apartemen Adrian.Di sebelahnya, Adrian berdiri dengan raut wajah cemas, mengenakan kaus sederhana yang kusut oleh malam. Matanya penuh perhatian, tetapi tetap menjaga jarak yang aman."Kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya rendah, tidak ingin mengejutkan Ara lebih jauh.Ara mengangguk cepat, meskipun tubuhnya masih gemetar. Ia menunduk, mencoba menarik napas dalam, tapi paru-parunya terasa sesak. "Aku... aku baik-baik saja," gumamnya, meski jelas itu kebohongan.Adrian tidak menjawab. Ia hanya menarik kursi kecil dari sudut kamar, duduk dengan tenang di hadapan Ara, membiarkan kehadirannya berbicara lebih banyak daripada kata-kata.Ara mendekap selimut lebih erat di seke
Pagi di desa itu selalu dimulai dengan keheningan yang damai, diselingi oleh kicauan burung yang terdengar dari pepohonan di belakang rumah mereka. Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara.Ara berdiri di depan wastafel, mencuci beberapa buah stroberi yang baru dipetik dari kebun kecil mereka. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela, membungkus tubuhnya dengan sinar hangat yang lembut.Dari ruang tamu, terdengar langkah kaki kecil yang mendekat. Ara menoleh dan tersenyum lebar saat melihat seorang anak kecil dengan rambut ikal berwarna cokelat berlari ke arahnya. Anak itu mengenakan piyama dengan motif dinosaurus, dan tawa kecilnya memenuhi ruangan."Ibu! Lihat apa yang aku temukan!" seru anak itu dengan suara ceria, memperlihatkan sebuah daun kecil yang ia bawa dengan hati-hati.Ara membungkuk, mengambil daun itu dari tangan anaknya. "Oh, ini indah sekali, sayang. Kau menemukannya di mana?""Di bawah pohon besar!" jawab anak itu, m
Cahaya senja menyelimuti desa kecil itu, membawa kehangatan pada rumah-rumah kecil yang berbaris rapi di sepanjang jalan berbatu. Langit dihiasi semburat warna oranye, merah muda, dan ungu, seolah-olah semesta sengaja melukis kanvasnya untuk merayakan hari yang damai.Di halaman belakang rumah, Ara duduk di bangku kayu dengan secangkir teh di tangannya, tubuhnya terbalut sweater rajut yang melindunginya dari udara sore yang mulai dingin.Ia memandangi bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu. Tanaman itu tumbuh dengan gagah, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar. Kepala bunga yang cerah menghadap ke arah matahari yang mulai tenggelam.Ara tersenyum kecil, merasa bahwa bunga itu melambangkan kehidupannya sendiri—perlahan-lahan tumbuh dari tanah yang dulu terasa tandus, mencari cahaya yang akhirnya ia temukan dalam hidupnya bersama Adrian.Pintu belakang berderit pelan, dan suara langkah Adrian di atas lantai kayu terdengar sebelum ia m
Pagi itu, sinar matahari menyapu pelan rumah kecil mereka, membawa kehangatan ke dalam setiap sudut ruangan. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan udara pagi yang segar masuk. Aroma rumput basah dan bunga-bunga liar dari taman belakang melayang lembut di udara.Ia berdiri sejenak, memandang ke luar dengan senyum kecil di wajahnya. Di halaman belakang, bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu mulai tumbuh, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar."Duduklah dulu," kata Adrian dari dapur, suaranya terdengar ringan tetapi sedikit menggoda. "Kau tidak bisa terus sibuk sejak pagi. Sarapan sudah siap."Ara menoleh, tertawa kecil. "Aku hanya menikmati pemandangan. Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan bisa bangun dengan perasaan selega ini."Adrian muncul dari balik pintu dapur dengan dua piring di tangannya. Sepiring telur dadar lembut dengan irisan alpukat dan roti panggang di satu piring lainnya. Ia meletakkan semuanya di meja keci
Cahaya matahari pagi menerobos melalui jendela besar rumah baru mereka, memantulkan sinarnya di lantai kayu yang mengilap. Rumah itu sederhana tetapi terasa hangat, dengan dinding bercat krem dan perabotan kayu yang dipilih dengan penuh cinta.Di luar, angin sepoi-sepoi meniup dedaunan pohon maple, dan suara burung-burung terdengar lembut, menjadi latar belakang kehidupan baru yang mereka mulai bersama.Ara berdiri di dapur kecil mereka, aroma kopi menguar dari mesin yang baru saja Adrian belikan. Ia mengenakan kaus longgar berwarna putih dan celana katun, kakinya telanjang di atas lantai dingin.Ia memandangi jendela yang menghadap ke taman belakang, di mana Adrian sedang menggali tanah untuk menanam bunga matahari yang dibawanya dari pasar minggu lalu.Ara tersenyum kecil, menyandarkan pinggulnya di meja dapur sambil memegang secangkir kopi. Setiap gerakan Adrian di luar terlihat penuh semangat—wajahnya yang serius saat ia mencangkul tanah, seseka
Pagi itu, langit cerah tanpa awan. Cahaya matahari lembut membasuh taman kecil di belakang rumah keluarga Adrian, tempat acara sederhana mereka akan diadakan.Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga mawar dan lavender yang menghiasi setiap sudut taman, menciptakan suasana hangat yang sempurna.Ara berdiri di depan cermin di kamar tamu rumah Adrian. Gaun putih sederhana melekat di tubuhnya, terbuat dari bahan satin yang jatuh dengan indah, memeluk tubuhnya dengan cara yang anggun.Tidak ada renda berlebihan atau kilauan mencolok, hanya detail kecil di sekitar leher yang membuatnya terlihat elegan dan alami.Lila berdiri di belakangnya, membantu menyematkan peniti kecil di ujung kerudung Ara. "Kau terlihat... luar biasa," kata Lila dengan mata berbinar, senyumnya lebar.Ara tersenyum melalui pantulan cermin, mencoba menahan perasaan gugup yang merayap di dadanya. "Terima kasih, Lila. Aku rasa ini pertama kalinya aku merasa benar-benar seperti pengantin
Pagi itu dimulai dengan keheningan yang damai. Sinar matahari pagi menerobos melalui tirai jendela, menyelimuti ruang tamu rumah kecil mereka dengan cahaya hangat keemasan. Ara berdiri di dapur, mengenakan sweater tipis berwarna krem yang sedikit kebesaran.Ia sedang memotong beberapa buah untuk sarapan, menikmati aroma segar jeruk yang menguar.Adrian muncul dari belakang, rambutnya masih sedikit berantakan, namun senyum lembut yang biasa menghiasi wajahnya tetap ada. "Kau bangun lebih pagi dari biasanya," katanya sambil mengambil cangkir dari rak dan menuangkan kopi.Ara menoleh dan tersenyum kecil. "Aku suka pagi-pagi seperti ini. Tenang dan terasa ringan."Adrian mengangguk, berjalan ke meja dan duduk di kursi, memperhatikan Ara yang sibuk di dapur. "Ada sesuatu yang berbeda pada dirimu akhir-akhir ini," ujarnya pelan, tetapi dengan nada penuh perhatian.Ara berhenti sejenak, memutar tubuhnya untuk menatap Adrian. "Apa maksudmu?"Adrian
Pagi itu, rumah kecil mereka diselimuti keheningan yang damai. Matahari pagi menyinari ruangan dengan lembut, menciptakan bayangan hangat di lantai kayu. Ara duduk di meja dekat jendela, secangkir teh hijau mengepul di sebelahnya. Di depan Ara, ada selembar kertas kosong dan sebuah pena sederhana.Adrian berjalan masuk dari dapur, membawa piring berisi irisan roti panggang dan buah-buahan. Ia berhenti di ambang pintu ketika melihat Ara yang tampak termenung di depan kertas itu."Apa yang kau pikirkan?" tanyanya pelan, meletakkan piring di meja kecil di dekat Ara.Ara menoleh ke arahnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman kecil yang hampir tidak terlihat. "Aku berpikir untuk menulis sesuatu. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana."Adrian menarik kursi di depannya dan duduk. "Sesuatu seperti apa?"Ara mengambil pena itu, menggenggamnya dengan kedua tangan. "Aku ingin menulis surat untuk Raka."Adrian menatapnya, tetapi tidak langsung men
Angin sejuk pegunungan membelai wajah Ara, membawa aroma pinus dan bunga liar yang mekar di sepanjang jalan menuju rumah keluarga Adrian.Mobil Adrian meluncur mulus di jalanan kecil yang berkelok-kelok, dikelilingi oleh hutan hijau yang terasa seperti melindungi mereka dari hiruk pikuk dunia luar. Ara memandang keluar jendela, matanya menangkap pemandangan pegunungan yang menjulang megah di kejauhan.Namun, di tengah keindahan itu, dadanya terasa sesak oleh kegugupan. Jemarinya memainkan ujung sweater yang ia kenakan, menggulungnya dengan canggung."Berhenti menggulung sweatermu," suara Adrian terdengar ringan, tetapi penuh kehangatan, memecah keheningan. Matanya melirik ke arah Ara sambil tetap memperhatikan jalan.Ara meliriknya, setengah tersipu. "Aku tidak bisa menahannya. Aku... aku gugup."Adrian tertawa kecil, nada suaranya santai seperti biasanya. Ia mengulurkan satu tangan dari kemudi, menggenggam jemari Ara dengan lembut. "Kau tidak perl
Matahari pagi menyelimuti rumah kecil mereka dengan sinar keemasan. Udara di kota kecil itu sejuk dan segar, membawa aroma embun dan dedaunan basah. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan angin pagi masuk, meniup lembut rambutnya yang tergerai.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sungai kecil di kejauhan, mengalir tenang di bawah bayang-bayang pohon yang rimbun.Di dapur, suara denting piring terdengar pelan. Adrian tengah mengaduk adonan pancake, lengan bajunya digulung hingga siku. Ia sesekali menoleh ke arah Ara, memastikan dia baik-baik saja."Apa kau lapar?" tanya Adrian, suaranya terdengar ringan dan santai, seperti pagi itu.Ara menoleh, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Aku selalu lapar untuk pancake," balasnya sambil berjalan mendekat.Adrian tertawa pelan, mengangkat wajan untuk menuangkan adonan ke panci panas. "Pancake spesial pagi ini. Dengan ekstra cinta."Ara duduk di bangku dapur, menopang dagunya dengan tang