"Tolong ... Hentikan! Jangan bertengkar lagi!" teriak Bu Aini menghambur pada Mas Arkan juga Mas Anton.
"Sudah! Sudah, kita bicarakan ini dengan kepala dingin, jika terus seperti ini tidak akan menemukan titik terang," ucap Pak Broto menimpali, dan melerai pertikaian antara kakak dan adik ipar tersebut.
"Tidak! Aku harus memberi pelajaran pada anak anda Bu Aini, maaf," jawab Mas Anton tegas, dengan napas tersengal, dipenuhi amarah.
Aku benar-benar tak pernah menyangka akan seperti ini jadinya, keluargaku akan hancur dalam sekejap, karena perselingkuhanku dengan Mas Arkan, yang menimbulkan masalah serumit ini.
"Mas, sudah, hentikan! Dengar perkataan ayah!" Kak Novi menarik tangan Mas Arkan, aku pun bergegas menarik tangan Mas Anton, dengan sekuat tenaga saat mereka sudah bersiap untuk saling memukul. Mas Anton memandangku sekilas dengan tatapan sengit.
"Ini yang kamu mau kan, kamu mau menghancurkan semuanya, hah?!" hardik Mas Anton, memutar tan
"Mas Arkan ... aku benar-benar tak pernah menduga. Intan Kakak juga tidak pernah menyangka sedikit pun, kamu bisa berbuat seperti ini, sakit hati Kakak, sakit ...," pekik kak Novi dengan suara tercekat, seraya menengadahkan wajahnya, tubuhnya pun merosot dari sofa tempat ia duduk. Aku bersimpuh di pangkuan kak Novi, kugenggam erat tangannya, lalu kucium agar dia berkenan memaafkan segala kesalahan dan dosa, yang telah aku perbuat padanya. "Aku menyesal Kak, aku sudah berbuat salah, aku mohon ampuni aku kak! Kakak masih ingat kan? Dulu Papa bilang apa, kita jangan sampai pisah dan bercerai berai! Kakak ingat kan, pesan terakhir Papa?" Aku memohon, menatap wajahnya dengan mengiba. Kak Novi menarik napas begitu berat, ia gigit bibirnya yang bergetar menahan segala rasa sakit dalam hatinya. "Andai Papa tahu, tentang semua ini, kakak yakin dia akan merasa sangat kecewa, terhadapmu Intan, melakukanmu benar-benar di luar dugaan kami," "Kakak, tolong! Jangan
"Mas, jangan tinggalkan aku, kita, kita bisa selesaikan semuanya! Aku yakin kita akan baik-baik saja," ucapku terbata-bata, kupeluk lengannya lebih erat lagi, dia balas menatapku dengan ekor matanya yang begitu tajam. "Minggir! Ini sudah selesai, dan tak ada yang perlu diperbaiki," jawabnya. Kemudian Mas Anton menghempaskan tanganku, hingga aku pun terhuyung ke belakang. "Ah ... Mas," jerit ku seraya menahan tubuh, menjaga keseimbangan agar tak jatuh. Mas Arkan yang melihatku terhuyung, dengan cepat ia lari menghampiriku, dan sigap menangkap tubuhku yang hampir ambruk, dia menatapku dengan mimik wajah penuh kekhawatiran. "Kamu, tidak apa-apa kan, Intan?" tanya Mas Arkan cemas. Aku menggeleng, dia hanya balas mengangguk dengan seulas senyuman yang begitu menawan. Lalu dia menatap Mas Anton dengan tatapan kesal. "Anton, kau jangan kasar pada Intan! Setidaknya kau bersikaplah lembut pada perempuan," lanjut Mas Arkan membelaku. Aku menoleh seraya
Setelah Mas Anton mengurungkan niatnya untuk pergi dari rumah ini, kami pun kembali masuk ke kamar masing-masing karena hari masih pukul empat pagi. Namun, berbeda dari malam yang lalu, aku dan Mas Anton pisah kamar mulai malam ini, aku tidur di kamarku yang biasa aku tempati. Sementara Mas Anton tidur di kamar bekas almarhum Om,nya kak Novi yang berada di lantai dua, tak jauh dari kamarku hanya selisih dua pintu, ruang tempat kerja papa dulu, dan bekas kamar almarhum Papa Bramantyo dan Mama Sofia. Kebetulan kamar itu tak ada yang menghuni, dan tetap terawat juga bersih, karena memang setiap hari dirapikan oleh asisten rumah tangga yang biasa bekerja paruh waktu di rumah ini. Ada rasa yang amat begitu hampa, sesaat setelah Mas Anton menalakku, juga sikap kak Novi yang berubah drastis dingin dan acuh padaku. Aku merasa hidup ini sendiri, tanpa teman dan saudara, suami pun tak memperdulikanku lagi. Aku terima dengan lapang dada, aku yang membuat kehancu
Kesalahan yang aku buat sudah begitu fatal, hingga semua orang di rumah ini terasa asing bagiku. "Intan, kamu sedang apa?" Suara bariton tiba-tiba mengusik lamunanku. Aku mendongak menatap wajah itu, senyum aku tampilkan meski ini terasa susah dan begitu berat. "Pak Broto, silahkan duduk, Pak!" ajakku sembari bangkit dan mempersilahkan Pria paruh baya, dengan setelan kemeja putih dan celana bahan warna hitam itu untuk duduk. Dia pun duduk di kursi berseberangan denganku. "Terima kasih," balasnya. Aku mengangguk kecil. Kemudian kedua tangannya dilipat diatas meja. "Omong-omong, kamu kok sendirian? Yang lain kemana?" lanjutnya seraya menoleh dan mengedarkan pandangannya ke arah dapur. "Gak tahu." Aku menggeleng pelan. "Mungkin, masih pada di kamar masing-masing, makanya saya menunggu semuanya untuk sarapan, tapi tak ada yang datang dan berkenan menyantap hidangan yang saya buat ini, Pak," jawabku pelan. Pak Broto menarik napas panjang, sembari m
"Aku permisi Mas, mau ajak yang lain untuk sarapan!" ucapku seraya bangkit dari duduk. Tangan Mas Arkan tiba-tiba menarik tanganku, menahan agar aku tak beranjak. Aku menatap genggaman tangannya yang melingkar di pergelangan tanganku, sentuhannya begitu hangat menjalari ke seluruh nadiku, hingga menggetarkan hati ini. Mataku terpejam, sambil menggigit bibir untuk menetralkan debaran jantung ini yang tak karuan. Ya Tuhan ... kenapa cinta di hati ini begitu besar padanya, sehingga semua orang merasa tersakiti, atas cinta yang kami miliki. "Mas, tolong lepaskan aku! Kita sudah cukup membuat keributan di rumah ini, dan sudah cukup merusak keharmonisan seluruh keluarga kita!" sergah ku berusaha melepaskan genggamannya. "Mas mencintai kamu Intan, kau tahu itu, kan? Hati Mas hanya untuk kamu, apa kamu mau menikah dengan Mas?" Kata-kata itu keluar lagi dari mulutnya, membuat aku terpaku, dan tak bisa menjawabnya. Dia mendongak kemudian bangkit, memaks
"Untuk apa Anton? Kau mau mempermalukan kami, hah?" tanya Mas Arkan mengangkat wajahnya ke arah wajah Mas Anton. "Tidak! Aku hanya butuh keadilan, satu jam lagi Pak RT juga Pak lurah akan hadir, kalian segera lah bersiap-siap, untuk semua ini!" ucap Mas Anton dengan tegas. "Dan kamu Intan, bicaralah pada Ayah dan Ibu! Jelaskan kepada mereka, tapi, jangan membuat mereka syok, juga jangan membuat mereka sakit hati, tentang apa yang sudah kau perbuat, jelaskan sebaik-baiknya, bahwa menantu kesayangannya tidak bisa hidup lagi bersamaku." Mas Anton tersenyum kecut, tanpa menatapku. "Mas ... ampuni aku!" Bibirku rasanya kelu untuk berucap, kutarik napas dan mengembuskannya dengan kasar, aku menyesal membuat Mas Anton begitu tersakiti karena ulahku, dia memang sangat mencintaiku, meskipun aku tak begitu mencintai dia. Namun, kesalahanku, karena aku tak bisa menghargai perasaan dan ketulusannya. "Aku sadar, Intan. Kakak iparmu banyak uang, apapun yang kau min
"Saya rasa, semuanya sudah selesai," ucap Pak lurah sembari menatap Ayah Wiryo dan juga Pak Broto, mereka berdua menanggapi ucapan Pak lurah, dengan anggukan. "Dan, sekarang tidak ada yang perlu di perpanjang lagi, kami semua izin pamit, undur diri," lanjut Pak lurah. "Iya Pak, terima kasih, sudah meluruskan masalah anak-anak kami," jawab Pak Wiryo. "Iya, tak apa, itu sudah menjadi tugas kami, Pak, dan saya harap tidak ada kejadian seperti ini lagi, di kemudian hari!" ujar Pak lurah lalu membetulkan letak pecinya sembari membenahi duduknya bersiap untuk bangkit. Kemudian beberapa tamu yang hadir pun semuanya bangkit, dan pergi meninggalkan rumah ini setelah saling berjabat tangan. Sepeninggalnya Pak lurah dan rekan-rekannya. Mas Anton menatapku, ia menggosok pelan kedua telapak tangannya seraya menarik napas dan mengembuskanya dengan berat. "Intan, nanti kita akan bertemu di pengadilan agama untuk mengurus perce
Dadaku bergemuruh hebat saat Bu Risma merajuk, untuk aku. Agar aku ikut dengannya dan pulang bersama Mas Anton. "Tapi Bu. Intan tidak bisa ikut, dan dia juga akan sesekali menjenguk ibu. Ibu tidak usah khawatir, dan tak usah takut. Ibu juga tidak akan kehilangan menantumu," ucap Mas Anton memberi pengertian pada perempuan berbaju blus biru tua lengan panjang di padukan dengan celana kulot warna hitam itu. "Anton, bukannya kamu mengajak ibu kesini untuk membawa Intan pulang bersama kita, kamu mengatakan pada ibu saat di telepon tadi pagi, katanya kamu mau pindah dan ibu di suruh kesini untuk menjemput istri kamu," rajuk ibu dengan tatapan sedih. "Maaf Bu, Intan tidak bisa ikut," timpalku, dengan wajah tertunduk, kedua tanganku meremas dress yang aku kenakan, batinku perih karena telah melukai hati seorang ibu. "Intan." Mas Anton menatapku sekilas seraya mengedipkan sebelah matanya. Memberi kode padaku, aku pun mengangguk pelan. "Ibu, sebentar y
Dengan tubuh yang terasa berat, aku berusaha untuk bangkit, mencoba berdiri dan melangkah, kaki ini seakan terkunci di tempat sulit untukku gerakan. Melangkah dengan gontai menuju ruangan dimana Intan berada, tubuhku terseok-seok saat berjalan memasuki ruangan tersebut. Aku hanya berdiri mematung di ambang pintu menatap adikku yang sudah terbujur kaku, tak kuasa lagi kaki ini untuk melanjutkan langkah. Melihat seluruh tubuh Intan tertutup oleh kain putih, hanya wajahnya saja yang nampak. Wajah dan bibirnya begitu pucat, matanya tertutup rapat. "Intan," lirihku menatap nanar pada tubuh Intan yang sudah tak bergerak. Yang kulihat di depan mata, hanya tinggal raga tak bernyawa, dadaku kian sesak melihat adikku, dan kenyataan pahit ini. Mulai hari ini dan seterusnya, aku takkan pernah melihat lagi senyuman yang terbit dari bibir Intan. Takkan ada lagi yang bisa aku marahi dikala ia sudah berbuat salah, kini jasadnya sudah terpisah dari ruh-Nya.
POV Novi. Hatiku kian cemas memikirkan Intan di rumah, aku meninggalkan dia dalam keadaan sakit. Entah kenapa? Sejak beberapa hari ini dia begitu lemas, seperti tak punya tenaga, makan pun ia tidak seperti biasanya tidak berselera. "Mbak Novi, Intan tadi izin gak bisa masuk, emang dia sakit apa?" tanya Kania saat kami baru tiba di butik, menata baju-baju dan merapikan seisi ruangan itu. "Aku gak tahu, Kan, sepertinya Intan, masuk angin, dari gejalanya, yang timbul," jawabku sambil memasang hanger di baju yang akan di pajang. "Sudah dibawa berobat, belum?" "Belum, Kan. Tau sendiri, Intan susah diajak ke dokter! Dia selalu menolak jika diajak untuk berobat," Kania menoleh ke arahku seraya mengangguk, "Dia, orangnya memang keras kepala! Kalau bilang tidak mau, yaudah gak bisa diganggu, lagi," "Iya, Kan. Tapi, aku khawatir loh. Dia benar-benar pucat," "Mbak, coba telpon Intan! Apakah keadaannya
"Ini, sisa bayaranmu," ucapku pada Rani, sambil menyodorkan sejumlah uang yang terbungkus rapi di dalam amplop, kami bertemu di sebuah cafe sambil makan siang.Semenjak aku tinggal dengan kak Novi lagi, aku tak bisa keluar malam dan pergi ke klub kembali. Kak Novi selalu mengawasiku, dan menasehati, dia tak mau aku tersesat lagi dalam kehidupan yang penuh noda dan dosa."Ok, terima kasih." Rani mengambil dan memasukkan amplop coklat, ke dalam tas kecil miliknya."Sama-sama. Ran, ceritakan apa yang terjadi semalam?""Hm, aku membuat lelaki tampan itu bangun, dan kami saling menyatu. Dia terus meracau memanggil namamu, Intan. Aksinya begitu kuat, dan aku benar-benar terkagum. Pantas saja kamu tergila-gila padanya, ku akui ya, baru kali ini aku menemukan lelaki seperti dia, tanpa bayaran pun aku mau melayani dia setiap malam, bahkan setiap hari,""Hah, kamu, gak usah bicarakan soal itu! Aku yang lebih tahu, dan lebih banyak menghabiskan waktu be
"Baiklah, Intan. Aku akan datang sekarang, mungkin sebentar lagi, ini masih dalam perjalanan. Ok," jawabnya dari seberang telepon.Aku menyetujui ucapannya sambil menunggu dia datang. Duduk di tepi ranjang setelah memakai pakaian kembali dengan lengkap, Korean dress super seksi warna pink pastel, kutatap dan kuperhatikan wajah tampan Mas Arkan yang kini sedang terlelap karena pengaruh obat tidur yang dicampur dalam minumannya."Mas, maaf ya, jika perbuatanku ini sudah keterlaluan, tapi, kamu lebih keterlaluan lagi, dari aku." Ku usap pipi Mas Arkan, yang di tumbuhi bulu jambang dengan punggung ruas jemariku, "Setelah kamu bosan denganku, dan puas dengan tubuhku, kau campakkan aku, kau hianati aku, dan kau buat aku terluka, bukan hanya batinku yang tersiksa, tapi, aku nyaris gila karenamu," ucapku membungkukkan badan kemudian mencium bibirnya dengan lembut."Aku rela berbuat seperti ini, menjadi jalang untukmu, melayani dirimu di atas ranjang hingga kau ter
"Intan, Mas sangat rindu," ucapnya, saat aku masuk ke kamar hotel. Sepertinya dia sudah menungguku sejak beberapa saat yang lalu, Mas Arkan menyambut kedatanganku dengan senyuman yang merekah. "Aku juga rindu sama kamu, Mas," balasku sambil mendekat ke arahnya. Mas Arkan merangkulku dengan beringas dan menciumi bibir serta wajahku penuh nafsu. "Sabar, Mas!" ucapku menahan tubuhnya yang begitu rapat, seakan sudah tak sabar ingin menyatu dengan tubuhku. "Mas menunggumu dari setengah jam yang lalu, sayang. Rasanya waktu begitu lama, tiga puluh menit menunggu kedatanganmu, seperti tiga tahun lamanya," ucapnya lagi seraya menempelkan bibirnya di daun telingaku. "Oh, Mas. Maafkan aku, tadi sedikit ada kendala, taksi yang aku tumpangi mogok," balasku berbohong, aku sengaja mengulur waktu untuk menguji dia, apakah Mas Arkan bersedia menungguku, menunggu permainanku. Mas Arkan semakin merapatkan tubuhnya dengan tubuhku. Kakiku berjinjit, satu tanganku
Sepulang dari restoran, setelah makan siang bersama kak Novi, Kania juga mamanya. Aku merebahkan tubuh melintang di atas kasur kamarku, berbaring menghadap dinding, sambil menatap bingkai foto pernikahanku dengan Mas Anton, yang terletak di atas headboard ranjang, usia pernikahan kami baru seumur jagung. Namun, sudah kandas karena dusta dan pengkhianatan yang aku lakukan.Ada rasa penyesalan menelusup ke dalam relung hatiku, karena telah menyia-nyiakan orang yang sangat mencintaiku dengan setulus hati. Tapi, aku malah mengkhianatinya habis-habisan."Mas, aku baru menyadarinya, bahwa kamu lah lelaki yang terbaik dalam hidupku, yang pernah aku kenal, bukan Mas Arkan, lelaki yang tak bisa puas dengan satu wanita," gumamku, merenungi nasib yang sekarang ini, hidup menjanda dengan cara tidak terhormat. Ditalak karena perbuatanku, yang sudah menghancurkan rumah tanggaku sendiri, hanya karena ego dan nafsu."Jika ada kesempatan kedua, aku ingin kembali padamu, da
POV Intan.Hidupku kini merasa lebih baik, hubunganku dengan kak Novi juga sudah kembali seperti semula, tapi, aku merasa hampa. Sekarang Mas Arkan sudah menikah dengan orang lain, orang yang selama ini ku percaya dan sangat aku cintai, dia tega mencampakkanku begitu saja.Seperti janjiku pada Kania dan kak Novi, aku harus melupakan Mas Arkan, dan bangkit, memulai hidup yang baru, tapi aku ingin membalaskan rasa sakit hatiku pada Mas Arkan, entah bagaimana caranya? Nanti aku pikirkan, aku benar-benar merasa sakit hati dan tak terima dengan keputusan lelaki itu yang meninggalkan aku tanpa perasaan."Tan, kok melamun?" tanya kak Novi saat kami sedang makan siang di restoran, bersama Kania juga mamanya."Iya, Tan, dari tadi kami perhatikan kamu bengong, ada apa sih?" timpal Tante Rika mamanya Kania. Sekarang sikapnya lebih ramah padaku tak seperti waktu itu, mungkin karena kak Novi menanamkan modal di usahanya, dan dia mer
"Arkan, apa-apaan sih, kamu? Bisa-bisanya kau berbuat kasar, pada Novi!" hardik pak Broto seraya melepaskan cengkraman tangan Mas Arkan dari leherku. Aku terbatuk-batuk sambil mengusap leher yang terasa nyeri bekas cengkraman tangan mantan suamiku. "Yah, Novi benar-benar membuatku kesal! Dia menyalahkan aku, atas semua yang terjadi dalam hidupnya juga Intan," ucap Mas Arkan membela diri. Aku hanya terdiam di dekat tembok kamar Mas Arkan, seraya mengatur nafas yang masih terasa sesak. "Arkan, sadar! Apa yang sudah Novi katakan tentang kamu itu memang iya. Kelakukan kamu semakin kesini semakin tidak benar. Apa kamu sudah lupa dengan semua kesalahanmu? dulu kamu menggauli Intan di saat Novi sedang bertugas ke luar kota bersama Anton, kamu rusak rumah tangga adik iparmu, kamu runtuhkan rumah tanggamu sendiri. Dan sekarang kau buat jiwa Intan terguncang!" ucap pak Broto lugas, ia memang sangat tidak suka dengan kelakuan anak sulungnya.
"Jangan serakah, Arkan! Milik orang lain, ya, harus dikembalikan kepada yang berhak!" ucap pak Broto seraya bangkit dan berdiri di hadapan putranya."Ayah, selama ini aku yang kerja keras. Seenaknya saja kita harus memberikan setengah saham kepada Novi, berikut dengan laba. Yah, sudah cukup banyak, harta gono-gini yang aku berikan pada Novi juga," protes Mas Arkan tak terima dengan keputusan ayahnya, yang tak bisa di bantah."Terserah kamu, yang penting ayah kembalikan semua milik pak Bram, karena kamu sudah bukan suami Novi lagi. Jadi, kita hanya mengelola yang kita miliki saja," terang pak Broto tegas, kemudian ia kembali duduk. Mas Arkan mendengus kesal lalu ia pun duduk di sofa dengan gerakan kasar, tak jauh dari ibunya. Bu Aini hanya menggeleng melihat sikap Mas Arkan yang kekanak-kanakan."Tapi, Yah. Aku yang capek, aku juga yang kerja, kenapa harus Novi yang menikmati hasilnya?" sergah Mas Arkan bersikeras menunjuk jarinya ke arah dada.