Setelah keluar dari gedung kantor urusan agama, dan akhirnya selesai sudah sidang perceraianku dengan Mas Anton, dan kini aku sudah resmi menjadi janda.
Ku Berdiri di tepi jalan sambil menunggu taksi. Dari arah belakang terdengar suara deru mobil mendekat, tak kuhiraukan kendaraan itu melintas di sampingku, tak ingin tahu juga siapa pemiliknya.
"Mbak, lagi ngapain?" sapaan itu sepertinya untukku. Dengan malas aku menoleh ke arah sumber suara yang memanggilku barusan.
Ah, ternyata Linda. Dia tersenyum simpul kepadaku dari dalam mobil Mas Anton, yang berhenti di hadapanku.
"Ya, gak lagi ngapa-ngapain, aku lagi nunggu taksi," jawabku dengan enggan untuk membalas senyumannya.
"Ikut, bareng kami aja, Mbak! Biar sekalian," tawar perempuan berbusana blus warna pink pastel, seraya membuka pintu mobil dan ia pun keluar.
Berbeda dengan raut wajah Mas Anton yang terlihat tak suka padaku, saat Linda menawarkan tumpangan untukku.
"Tak usah
"Mas, Arkan ...," ucapku lirih saat aku melihat tangan lelaki itu menggenggam tangan perempuan yang duduk di hadapannya. Tatapan Mas Arkan begitu intens memandang wajah gadis yang sedang bersamanya kini. Dadaku terasa bergemuruh, disertai kedua tangan gemetar, tak percaya dengan apa yang sudah kulihat. "Mas, apa dia kekasihmu?" ucapku bergumam, bibir ini seakan berat untuk bicara. Mas Arkan mengusap pipi perempuan itu dengan jemarinya begitu lembut. "Mas, kamu tega sekali sama aku!" Batinku terus berkata, aku menepis pikiran buruk terhadap Mas Arkan, mungkin saja perempuan yang kini bersama dia adalah saudaranya. Aku tak boleh berprasangka dulu terlalu jauh, sebelum semuanya jelas. Meski pikiranku terus menguatkan hati. Namun, perasaan ini tak bisa dibohongi, semakin ku tepis semakin sakit pula batinku, melihat kedekatan dan kemesraan Mas Arkan dengan perempuan yang tak ku kenal itu. Hati ini seakan tertancap seri
"Kamu malu. Mas, malu pada siapa? Malu, mengakui kesalahan kamu sendiri. Aku gak terima, Mas. Kalau kamu menikah dengan orang lain," ucapku dengan dada yang sesak. Mas Arkan menarik napas dalam-dalam, seraya memejamkan mata. "Intan, mengertilah, dengan keadaan Mas saat ini! Masih banyak lelaki yang jauh lebih baik dibandingkan, Mas," "Apa kau mau, mengerti aku? Mengerti perasaanku, saat ini? Sakit Mas ... aku sudah tak punya siapa-siapa lagi, aku tak punya sandaran hidup, kakakku begitu membenciku! Mas Anton sudah punya istri baru, aku tak punya sanak saudara di dunia ini, hanya kamu Mas tempatku mengadu, tapi, kamu malah menghancurkan hati dan hidupku," "Dengar Intan! Aku berusaha mencarimu, selama beberapa bulan ini, tapi, kamu seolah hilang ditelan Bumi. Kalau bukan kamu yang menjauh dariku, dan pergi tanpa kabar, mungkin Mas tidak akan berencana menikahi orang lain," "Belum terlambat, Mas. Kita bisa memulai kehidupan yang baru, kamu juga bar
"Baik. Aku akan pergi, Mas. Jiika itu bisa membuatmu bahagia, aku akan pergi dari hidupmu, dan pergi dari dunia ini." ancamku dengan nafas memburu, wajahku begitu panas dengan dada teramat sesak, karena perlakuan Mas Arkan yang di luar dugaanku. "Maksud kamu, apa?" tanya Mas Arkan menatapku, dan membawaku ke dekat mobilnya yang terparkir di depan cafe. "Sudahlah, tak usah kau pedulikan aku, lagi. Urus saja, perempuan itu! Mau hidup atau mati pun aku, jangan kau pedulikan, dan jangan kau sesali!" jawabku sambil mengusap pipi yang basah sedari tadi dengan air mata. Aku menyesal telah menyia-nyiakan suamiku, demi lelaki seperti Mas Arkan. Betapa besar dan tulus cinta Mas Anton kepadaku, besarnya kasih sayang dia, malah aku nodai dengan penghianatan. Aku selingkuh dengan Mas Arkan hanya karena nafsu. Tapi, lelaki itu hanya menginginkan kenikmatan dalam diriku, setelah bosan aku dicampakkannya. "Selamat menempuh hidup baru, Mas. Sampai ka
Mataku mengerjap, dan perlahan membukanya, entah ada di mana aku ini sekarang. Saat menatap ke sekeliling hanya ruangan sunyi didominasi warna putih. "Apa aku sudah berada di alam lain, menyusul Mama dan papa?" gumamku, seraya mengedarkan pandangan. Aku bergeming, dan meraba alas tidur dengan tangan kiri. Namun, seperti ada yang menancap di pembuluh darah. "Di mana, aku?" gumamku lagi, pada diri sendiri, dan sesaat ada sebuah tangan menyentuh punggung tanganku, 'Hangat,' tangan siapa ini? "Mah," panggilku seraya menoleh ke arah samping. Sentuhan tangan ini, mengingatkan aku pada seseorang, lembut dan begitu hangat. "Dasar. Bodoh!" umpatnya, membuatku terkejut, dan menoleh seketika. "Kakak, kamu sedang apa di sini?" tanyaku heran, kenapa aku bisa berada bersamanya dalam satu ruangan. Aku ingin bangun, tapi, rasanya kepala ini masih sedikit berdenyut. "Bukannya, kita sudah beda alam, kak? Kok kita bisa bertemu?" tanyaku seperti ora
"Mas Arkan, Mila. Kania, untuk apa mereka datang ke sini?" gunamku sambil menarik tubuh dan menyandarkan punggung di kepala ranjang. Kedua tanganku tertaut memeluk bantal, yang kuambil dari belakang punggung, seraya mengalihkan tatapan ke arah jendela, enggan untuk melihat kedua orang itu. Kutarik napas pelan, melihat wajah Mas Arkan, semakin sakit hati ini, dan semakin dalam luka ini. 'Sudah Intan, lupakan dia!' Batinku terus bermonolog menguatkan hati. Tapi, untuk apa Kania membawa Mas Arkan kesini. Bukannya orang itu mau menikah dengan wanita lain, Dan bukannya dia juga sudah tak mau berurusan lagi denganku, atau kak Novi. Kania berjalan ke arahku dengan menyunggingkan senyuman manis, "Intan, kau sudah pulih rupanya? Kupikir kau sudah tewas," celetuk Kania, membuat wajahku memberengut, hatiku yang kacau semakin kesal. "Untuk apa kamu datang ke sini? Jika ingin mengejekku?" seruku ketus. Kania tak menjawab ia hanya tersenyum. Kedatangan Kani
POV Novi. Sepulang kerja aku langsung duduk di sofa ruang tengah, termenung duduk sendiri, seraya mengistirahatkan badan yang terasa begitu lelah, setelah seharian bekerja. Sepi, sunyi, tak ada suara seseorang pun di rumah ini, hanya suara denting jam dinding mengarah ke jam enam petang. Entah kenapa dari siang aku kepikiran tentang Intan, ada apa sebenarnya dengan dia? Semalam aku juga bermimpi bertemu dengan papa. Beliau berpesan agar aku menjaganya. Untuk apa aku menjaga dia? Sedangkan dia sudah merusak kepercayaan, dan mengkhianati aku dengan kejam. Menghancurkan kebahagiaanku, merebut cinta Mas Arkan dariku. Aku tak tahu kabar tentang dia lagi, sudah hampir dua bulan lamanya, kami tidak pernah bertemu, bahkan hilang kontak. Semenjak terakhir kali ia kesini dan kami bertengkar kembali. Sepanjang hari aku kepikiran tentang mimpiku semalam bertemu papa, yang menyuruhku menjaga Intan. Hingga merusak konsentrasi saat aku bekerja, ada apakah de
POV Novi "Kania, kira-kira ... apa ya? Yang membuat Intan, melakukan hal bodoh seperti ini?" tanyaku masih dengan hati penasaran. Mencoba mengubur rasa sakit hati sejenak, karena orang yang sudah menyakiti hatiku pun sedang lemah dan tak berdaya. "Gak tahu, Mbak. Pas aku sampai di kontrakannya, dia sudah tergeletak di dapur, dengan mulut penuh busa, terus pas aku lihat, di atas meja dekat dispenser, ada gelas kosong. Sepertinya bekas dia minum racun, di campur dengan air. Aku menemukan bungkus kosong di atas meja, samping gelas, tapi aku gak tahu, itu racun apa? Karena kemasannya sudah di buang sama Intan." Ucapan Kania membuat kepalaku berdenyut. Ya Tuhan, kenapa Intan bisa senekat itu? Aku tak habis pikir, dia ingin mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu. Kuusap kasar wajah serta rambut ini, ingin sekali memaki Intan, rasanya aku ingin menampar dia saat ini juga. Dia begitu lemah dan bodoh, menghadapi hidup. "I
Pukul sembilan pagi, Kania berpamitan pulang sebentar, untuk mengganti pakaiannya, setelah kami menghabiskan sarapan bubur ayam yang dibelikannya tadi.Sepeninggalnya Kania aku duduk di kursi samping tempat tidur Intan, kutatap wajahnya yang tadi pucat seakan tak ada darah yang mengalir di tubuhnya. Tapi, kini kondisinya sudah agak membaik dan bibirnya tak sepucat tadi. Tak kupungkiri rasa cemas sempat menggelayuti pikiranku, karena bagaimanapun juga aku masih sayang pada Intan, meskipun dia sudah berbuat kesalahan yang fatal. "Tan, andai kamu tahu, bagaimana perasaan kakak? Hati kakak begitu terluka, melihat keadaanmu. Sebenarnya apa sih yang bikin kamu begini? Meskipun kamu sudah menyakiti kakak, tapi, kakak gak tega melihatmu tak berdaya dengan kondisi yang memprihatinkan seperti ini," ucapku seraya menggenggam tangannya, menatap khawatir. Air mataku meleleh melihat ia masih terbaring lemas di atas brankar, hingga jam setengah sepuluh pa
Dengan tubuh yang terasa berat, aku berusaha untuk bangkit, mencoba berdiri dan melangkah, kaki ini seakan terkunci di tempat sulit untukku gerakan. Melangkah dengan gontai menuju ruangan dimana Intan berada, tubuhku terseok-seok saat berjalan memasuki ruangan tersebut. Aku hanya berdiri mematung di ambang pintu menatap adikku yang sudah terbujur kaku, tak kuasa lagi kaki ini untuk melanjutkan langkah. Melihat seluruh tubuh Intan tertutup oleh kain putih, hanya wajahnya saja yang nampak. Wajah dan bibirnya begitu pucat, matanya tertutup rapat. "Intan," lirihku menatap nanar pada tubuh Intan yang sudah tak bergerak. Yang kulihat di depan mata, hanya tinggal raga tak bernyawa, dadaku kian sesak melihat adikku, dan kenyataan pahit ini. Mulai hari ini dan seterusnya, aku takkan pernah melihat lagi senyuman yang terbit dari bibir Intan. Takkan ada lagi yang bisa aku marahi dikala ia sudah berbuat salah, kini jasadnya sudah terpisah dari ruh-Nya.
POV Novi. Hatiku kian cemas memikirkan Intan di rumah, aku meninggalkan dia dalam keadaan sakit. Entah kenapa? Sejak beberapa hari ini dia begitu lemas, seperti tak punya tenaga, makan pun ia tidak seperti biasanya tidak berselera. "Mbak Novi, Intan tadi izin gak bisa masuk, emang dia sakit apa?" tanya Kania saat kami baru tiba di butik, menata baju-baju dan merapikan seisi ruangan itu. "Aku gak tahu, Kan, sepertinya Intan, masuk angin, dari gejalanya, yang timbul," jawabku sambil memasang hanger di baju yang akan di pajang. "Sudah dibawa berobat, belum?" "Belum, Kan. Tau sendiri, Intan susah diajak ke dokter! Dia selalu menolak jika diajak untuk berobat," Kania menoleh ke arahku seraya mengangguk, "Dia, orangnya memang keras kepala! Kalau bilang tidak mau, yaudah gak bisa diganggu, lagi," "Iya, Kan. Tapi, aku khawatir loh. Dia benar-benar pucat," "Mbak, coba telpon Intan! Apakah keadaannya
"Ini, sisa bayaranmu," ucapku pada Rani, sambil menyodorkan sejumlah uang yang terbungkus rapi di dalam amplop, kami bertemu di sebuah cafe sambil makan siang.Semenjak aku tinggal dengan kak Novi lagi, aku tak bisa keluar malam dan pergi ke klub kembali. Kak Novi selalu mengawasiku, dan menasehati, dia tak mau aku tersesat lagi dalam kehidupan yang penuh noda dan dosa."Ok, terima kasih." Rani mengambil dan memasukkan amplop coklat, ke dalam tas kecil miliknya."Sama-sama. Ran, ceritakan apa yang terjadi semalam?""Hm, aku membuat lelaki tampan itu bangun, dan kami saling menyatu. Dia terus meracau memanggil namamu, Intan. Aksinya begitu kuat, dan aku benar-benar terkagum. Pantas saja kamu tergila-gila padanya, ku akui ya, baru kali ini aku menemukan lelaki seperti dia, tanpa bayaran pun aku mau melayani dia setiap malam, bahkan setiap hari,""Hah, kamu, gak usah bicarakan soal itu! Aku yang lebih tahu, dan lebih banyak menghabiskan waktu be
"Baiklah, Intan. Aku akan datang sekarang, mungkin sebentar lagi, ini masih dalam perjalanan. Ok," jawabnya dari seberang telepon.Aku menyetujui ucapannya sambil menunggu dia datang. Duduk di tepi ranjang setelah memakai pakaian kembali dengan lengkap, Korean dress super seksi warna pink pastel, kutatap dan kuperhatikan wajah tampan Mas Arkan yang kini sedang terlelap karena pengaruh obat tidur yang dicampur dalam minumannya."Mas, maaf ya, jika perbuatanku ini sudah keterlaluan, tapi, kamu lebih keterlaluan lagi, dari aku." Ku usap pipi Mas Arkan, yang di tumbuhi bulu jambang dengan punggung ruas jemariku, "Setelah kamu bosan denganku, dan puas dengan tubuhku, kau campakkan aku, kau hianati aku, dan kau buat aku terluka, bukan hanya batinku yang tersiksa, tapi, aku nyaris gila karenamu," ucapku membungkukkan badan kemudian mencium bibirnya dengan lembut."Aku rela berbuat seperti ini, menjadi jalang untukmu, melayani dirimu di atas ranjang hingga kau ter
"Intan, Mas sangat rindu," ucapnya, saat aku masuk ke kamar hotel. Sepertinya dia sudah menungguku sejak beberapa saat yang lalu, Mas Arkan menyambut kedatanganku dengan senyuman yang merekah. "Aku juga rindu sama kamu, Mas," balasku sambil mendekat ke arahnya. Mas Arkan merangkulku dengan beringas dan menciumi bibir serta wajahku penuh nafsu. "Sabar, Mas!" ucapku menahan tubuhnya yang begitu rapat, seakan sudah tak sabar ingin menyatu dengan tubuhku. "Mas menunggumu dari setengah jam yang lalu, sayang. Rasanya waktu begitu lama, tiga puluh menit menunggu kedatanganmu, seperti tiga tahun lamanya," ucapnya lagi seraya menempelkan bibirnya di daun telingaku. "Oh, Mas. Maafkan aku, tadi sedikit ada kendala, taksi yang aku tumpangi mogok," balasku berbohong, aku sengaja mengulur waktu untuk menguji dia, apakah Mas Arkan bersedia menungguku, menunggu permainanku. Mas Arkan semakin merapatkan tubuhnya dengan tubuhku. Kakiku berjinjit, satu tanganku
Sepulang dari restoran, setelah makan siang bersama kak Novi, Kania juga mamanya. Aku merebahkan tubuh melintang di atas kasur kamarku, berbaring menghadap dinding, sambil menatap bingkai foto pernikahanku dengan Mas Anton, yang terletak di atas headboard ranjang, usia pernikahan kami baru seumur jagung. Namun, sudah kandas karena dusta dan pengkhianatan yang aku lakukan.Ada rasa penyesalan menelusup ke dalam relung hatiku, karena telah menyia-nyiakan orang yang sangat mencintaiku dengan setulus hati. Tapi, aku malah mengkhianatinya habis-habisan."Mas, aku baru menyadarinya, bahwa kamu lah lelaki yang terbaik dalam hidupku, yang pernah aku kenal, bukan Mas Arkan, lelaki yang tak bisa puas dengan satu wanita," gumamku, merenungi nasib yang sekarang ini, hidup menjanda dengan cara tidak terhormat. Ditalak karena perbuatanku, yang sudah menghancurkan rumah tanggaku sendiri, hanya karena ego dan nafsu."Jika ada kesempatan kedua, aku ingin kembali padamu, da
POV Intan.Hidupku kini merasa lebih baik, hubunganku dengan kak Novi juga sudah kembali seperti semula, tapi, aku merasa hampa. Sekarang Mas Arkan sudah menikah dengan orang lain, orang yang selama ini ku percaya dan sangat aku cintai, dia tega mencampakkanku begitu saja.Seperti janjiku pada Kania dan kak Novi, aku harus melupakan Mas Arkan, dan bangkit, memulai hidup yang baru, tapi aku ingin membalaskan rasa sakit hatiku pada Mas Arkan, entah bagaimana caranya? Nanti aku pikirkan, aku benar-benar merasa sakit hati dan tak terima dengan keputusan lelaki itu yang meninggalkan aku tanpa perasaan."Tan, kok melamun?" tanya kak Novi saat kami sedang makan siang di restoran, bersama Kania juga mamanya."Iya, Tan, dari tadi kami perhatikan kamu bengong, ada apa sih?" timpal Tante Rika mamanya Kania. Sekarang sikapnya lebih ramah padaku tak seperti waktu itu, mungkin karena kak Novi menanamkan modal di usahanya, dan dia mer
"Arkan, apa-apaan sih, kamu? Bisa-bisanya kau berbuat kasar, pada Novi!" hardik pak Broto seraya melepaskan cengkraman tangan Mas Arkan dari leherku. Aku terbatuk-batuk sambil mengusap leher yang terasa nyeri bekas cengkraman tangan mantan suamiku. "Yah, Novi benar-benar membuatku kesal! Dia menyalahkan aku, atas semua yang terjadi dalam hidupnya juga Intan," ucap Mas Arkan membela diri. Aku hanya terdiam di dekat tembok kamar Mas Arkan, seraya mengatur nafas yang masih terasa sesak. "Arkan, sadar! Apa yang sudah Novi katakan tentang kamu itu memang iya. Kelakukan kamu semakin kesini semakin tidak benar. Apa kamu sudah lupa dengan semua kesalahanmu? dulu kamu menggauli Intan di saat Novi sedang bertugas ke luar kota bersama Anton, kamu rusak rumah tangga adik iparmu, kamu runtuhkan rumah tanggamu sendiri. Dan sekarang kau buat jiwa Intan terguncang!" ucap pak Broto lugas, ia memang sangat tidak suka dengan kelakuan anak sulungnya.
"Jangan serakah, Arkan! Milik orang lain, ya, harus dikembalikan kepada yang berhak!" ucap pak Broto seraya bangkit dan berdiri di hadapan putranya."Ayah, selama ini aku yang kerja keras. Seenaknya saja kita harus memberikan setengah saham kepada Novi, berikut dengan laba. Yah, sudah cukup banyak, harta gono-gini yang aku berikan pada Novi juga," protes Mas Arkan tak terima dengan keputusan ayahnya, yang tak bisa di bantah."Terserah kamu, yang penting ayah kembalikan semua milik pak Bram, karena kamu sudah bukan suami Novi lagi. Jadi, kita hanya mengelola yang kita miliki saja," terang pak Broto tegas, kemudian ia kembali duduk. Mas Arkan mendengus kesal lalu ia pun duduk di sofa dengan gerakan kasar, tak jauh dari ibunya. Bu Aini hanya menggeleng melihat sikap Mas Arkan yang kekanak-kanakan."Tapi, Yah. Aku yang capek, aku juga yang kerja, kenapa harus Novi yang menikmati hasilnya?" sergah Mas Arkan bersikeras menunjuk jarinya ke arah dada.