Aku menatap prihatin dengan pasangan mesum tersebut, tapi, hati ini sungguh merasa gusar, bagaimana jika aku yang berada di posisi mereka, tak bisa kubayangkan.
"Intan sayang, kamu jangan ikut larut dalam suasana! Kita tak kenal mereka, kenapa kamu begitu takut, dan khawatir?"
"Ngeri, Mas jika hubungan kita diketahui kak Novi, dan berakhir seperti itu,"
"Jangan berpikiran terlalu jauh, berpikirlah positif! Mas sangat yakin hubungan kita aman-aman saja, selama kita bisa menjaganya dengan rapi!"
Hati kecilku terus saja mengetuk pikiranku agar tersadar dari perbuatan ini, perbuatan terlarang yang aku jalani kini bersama kakak iparku, menjalin hubungan gelap di belakang pasangan kami, bahkan hubunganku dengan Kakak ip
"A-aku cuma khawatir, kalau itu terjadi pada kita. Mas, kita pasti akan hancur, bukan cuma harga diri kita, reputasimu juga akan ikut hancur," ucapku dengan suara gemetar. "Jangan terlalu parno gitu! Justru dengan sikapmu yang seperti ini, malah akan menunjukkan ke curigaan, bagi orang-orang yang melihat kita." Mas Arkan menatapku dalam. "Tetap saja Mas, aku cemas, meskipun aku berusaha tetap tenang, tapi aku seorang wanita, bagaimana jika aku yang ada di posisi Wanita itu, membayangkannya saja aku tak sanggup, malunya bisa sampai tujuh turunan Mas, apalagi kalau mengalaminya sendiri," tuturku dengan wajah memberengut dan kepala mulai berdenyut. "Gak usah terlalu berlebihan! Sudah kita putar balik, Mas akan segera membawamu ke rumah, sebelum kamu pingsan karena syok, dengan kejadian yang orang itu alami," ujarnya
"Maaf Mas, aku mau masuk," ucapku, masih menatap tangannya yang melingkar di pergelangan tanganku. "Iya. Silahkan," jawabnya datar, sembari melepas tangannya, dia membuang pandangannya ke arah lain, seolah enggan memandangku. Aku tau ini sangat pedih, dan memang teramat perih. Namun inilah yang terbaik. Mas Arkan melajukan mobilnya kembali ke luar gerbang pagar rumah kami tanpa berucap sepatah katapun. Aku menatap mobil yang di kendarai lelaki bertubuh tegap berparas tampan itu, hingga menghilang dari pandangan. Dengan langkah berat aku masuk ke dalam rumah yang terlihat sepi, semua perabotan masih sama di tempatnya seperti tadi pagi tertata rapi. Sepi yang kurasakan saat ini, aku merasa kehilangan separuh hidupku, karena memutuskan hubungan cinta dengan Mas Arkan.
"Mas sebaiknya jangan lakukan ini lagi, aku gak mau! Sudah kukatakan kita jalani ini semua seperti semula, layaknya seorang kakak dan adik ipar," ucapku, saat Mas Arkan mencium keningku. Jemari tangannya menyusup ke dalam sela-sela rambutku. "Jangan menolak! Mas akan menuruti keinginanmu, mengakhiri hubungan ini. Namun, ada satu permintaan terakhir." Bibir Mas Arkan menempel di telingaku, membuat seluruh tubuhku berdesir. "Apa?" jawabku gugup. Jujur aku tak bisa menahan gejolak di hati ini, yang kian bergemuruh. "Lakukan sekali lagi. Mas janji tidak akan mengganggumu lagi," tekannya menatapku tajam. "Jangan, Mas!" Nafasku tersengal dada pun terasa sesak, mendengar ucapannya. Aku khawatir Kak Novi dan Mas Anton pulang, dan menergoki kami, dengan keadaan yang seperti ini berada di kamar bersama Mas Arkan. "Sudah Mas, aku gak mau!" tolakku mengglengkan kepala. "Baiklah, kalau kamu menolakku." Mas Arkan menarik kepalaku d
"Intan, kamu yang memaksa Mas. untuk melakukan ini," tekan Mas Arkan, dengan seringainya. "Sakit Mas ... hentikan! Aku gak mau lagi," rintihku, seraya memohon. Aku meringis menahan rasa ngilu. "Gimana kalau kak Novi dan Mas Anton pulang, dan menangkap basah kita? Aku ingin ke kamarku, Mas," ucapku pelan, terus memohon agar Mas Arkan melepaskanku. Tubuhku sakit semua, seluruh persendian terasa remuk, terlebih di bagian bawah yang terasa amat kebas, akibat serangan Mas Arkan yang begitu kasar, dan bertubi-tubi. Tak pernah kubayangkan dia bisa melakukan hal seperti ini, dia menyakitiku. Sungguh, meskipun aku mencintainya. Namun, ini membuatku jijik terhadap dia. "Aku benci kamu Mas! Aku tak menyangka kamu bisa berbuat serendah ini kepadaku." Aku menangis tersedu-sedu, di bawahnya. Dia menempelkan bibirnya di telingaku, "Karena Mas mencintaimu, dan tak ingin kita pisah, apalagi mengakhiri hubungan ini!" ucapnya menekanku. "Baik, Mas.
Hatiku masih kesal pada Mas Arkan, karena sikap kasarnya yang ia lakukan tadi, meski dia tak menyadari sepenuhnya. Dan seenaknya saja aku ditinggal tidur olehnya, saat aku sedang berbicara panjang lebar. Aku tak tau dia mendengar ucapanmu yang terakhir atau tidak. Yang kurasakan saat aku sedang bicara dan menangis dalam dekapannya, pelukan tangannya perlahan mengendur, dan aku berguru melepaskan diri dari dekapan Mas Arkan, duduk bersandar pada headboard ranjang, kulirik dia sudah terlelap. Rasa kesal masih menggerogoti hatiku, seiring dengan rasa sakit di sekujur tubuhku, yang ditinggalkan oleh Mas Arkan, bekas aksinya yang begitu brutal, dan bisa dikatakan lebih menyiksaku. Dia keluar dari kamar mandi dengan seutas handuk yang melilit di pinggangnya, kemudian berjalan maju ke arahku, dengan tangan kiri memegangi kepalanya, raut wajah meringis, sepertinya dia merasakan pusing efek dari minuman beralkohol. Rambutnya yang masih basah, meneteskan air ke wajahny
"Mas, apa kau ingat beberapa saat yang lalu, kau memaksaku, dan merobek bajuku, dengan kasarnya, tanpa memikirkan perasaanku. Sikapmu yang seperti binatang kelaparan membuatku takut. Aku tahu kamu marah, emosi. Tapi tak seharusnya kamu berbuat seperti itu padaku, sekalipun aku pernah menyerahkan tubuh dan seluruh hatiku untukmu. Selama ini aku gak pernah melihatmu sekasar itu, pada Kak Novi maupun padaku, aku tak pernah menyangka Pria yang selalu membuatku nyaman. Namun, kamu memiliki sisi buruk," ucapku panjang lebar, seraya menahan sakit di kalbu. Kedua tangan Mas Arkan masih melingkar di tubuhku. Napas hangatnya mengembus mengenai daun telingaku, membuat dada ini bergemuruh seiring dengan napasku yang tersengal. "Sudah Mas katakan. Mas tadi khilaf, karena takut, dan tak mau kehilangan cintamu. Mas gak bisa hidup tanpa kamu, Intan," rajuknya seperti anak kecil yang tidak mau ditinggalkan oleh ibunya. "Pikirkan, pasangan kita, Mas! Jangan menda
Kulepas tanganku dari genggamannya, dan melangkah maju ke beberapa senti, menjauhi dia yang terpaku di belakangku. Mas Arkan kembali mendekat dan menghadang jalanku, kami saling berhadapan, tanpa jarak. Jantung ini berdetak begitu cepat, melihat sorot matanya, ia meraih kedua tanganku kembali dan menggenggamnya erat. Seolah tak rela aku beranjak dari kamarnya. "Intan, andai bulan berikutnya, kamu tak datang bulan, lalu di dalam perut kamu tumbuh janin, hasil hubungan kita bagaimana?" "Dengan senang hati Mas, aku akan merawat dan membesarkannya, ku anggap ini adalah kenang-kenangan terindah dalam hidupku, tapi kenapa Mas begitu yakin, bahwa bulan depan aku takkan kedatangan tamu rutin?" tanyaku ingin tau. "Entahlah, hati Mas yang mengatakan itu. Mas sangat yakin, karena Mas melakukannya dengan penuh cinta dan kasih sayang, tapi sekarang kamu memilih untuk berpisah, takkan pernah Mas lupa rasa cinta yang tulus dan yang pernah kau berikan. Mas akan
"Intan, tunggu!" seru kak Novi lagi, aku tak memperdulikannya yang terus memanggilku. Sebelum Kak Novi mendekat ke arahku, lebih baik aku segera menghindarinya, dari pada dia melihat jelas baju yang kukenakan sekarang, adalah miliknya, yang nantinya akan menimbulkan masalah baru bagiku. Kupijakan kaki ke setiap anak tangga setengah berlari menuju kamarku yang berada di lantai dua. Meski di kedua pangkal pahaku masih terasa sakit, akibat ulah Mas Arkan. Namun, aku tak menghiraukannya, dalam benakku hanya ingin segera sampai ke kamar dan mengganti pakaian. Baru aku menemui Kakakku. Sampai di kamar gegas aku mengunci kembali pintu, kulepas bathrobe milik kak Novi dengan cepat, dan mengganti pakaian dengan piyama kimono warna putih motif bunga sakura. Untuk menyamarkan pakaian yang tadi melekat di tubuhku, puncak dadaku juga masih terasa perih, terutama di bagian area sensitif. "Mas Arkan, kamu benar-benar membuatku tersiksa," gerutuku kesal, sambil
Dengan tubuh yang terasa berat, aku berusaha untuk bangkit, mencoba berdiri dan melangkah, kaki ini seakan terkunci di tempat sulit untukku gerakan. Melangkah dengan gontai menuju ruangan dimana Intan berada, tubuhku terseok-seok saat berjalan memasuki ruangan tersebut. Aku hanya berdiri mematung di ambang pintu menatap adikku yang sudah terbujur kaku, tak kuasa lagi kaki ini untuk melanjutkan langkah. Melihat seluruh tubuh Intan tertutup oleh kain putih, hanya wajahnya saja yang nampak. Wajah dan bibirnya begitu pucat, matanya tertutup rapat. "Intan," lirihku menatap nanar pada tubuh Intan yang sudah tak bergerak. Yang kulihat di depan mata, hanya tinggal raga tak bernyawa, dadaku kian sesak melihat adikku, dan kenyataan pahit ini. Mulai hari ini dan seterusnya, aku takkan pernah melihat lagi senyuman yang terbit dari bibir Intan. Takkan ada lagi yang bisa aku marahi dikala ia sudah berbuat salah, kini jasadnya sudah terpisah dari ruh-Nya.
POV Novi. Hatiku kian cemas memikirkan Intan di rumah, aku meninggalkan dia dalam keadaan sakit. Entah kenapa? Sejak beberapa hari ini dia begitu lemas, seperti tak punya tenaga, makan pun ia tidak seperti biasanya tidak berselera. "Mbak Novi, Intan tadi izin gak bisa masuk, emang dia sakit apa?" tanya Kania saat kami baru tiba di butik, menata baju-baju dan merapikan seisi ruangan itu. "Aku gak tahu, Kan, sepertinya Intan, masuk angin, dari gejalanya, yang timbul," jawabku sambil memasang hanger di baju yang akan di pajang. "Sudah dibawa berobat, belum?" "Belum, Kan. Tau sendiri, Intan susah diajak ke dokter! Dia selalu menolak jika diajak untuk berobat," Kania menoleh ke arahku seraya mengangguk, "Dia, orangnya memang keras kepala! Kalau bilang tidak mau, yaudah gak bisa diganggu, lagi," "Iya, Kan. Tapi, aku khawatir loh. Dia benar-benar pucat," "Mbak, coba telpon Intan! Apakah keadaannya
"Ini, sisa bayaranmu," ucapku pada Rani, sambil menyodorkan sejumlah uang yang terbungkus rapi di dalam amplop, kami bertemu di sebuah cafe sambil makan siang.Semenjak aku tinggal dengan kak Novi lagi, aku tak bisa keluar malam dan pergi ke klub kembali. Kak Novi selalu mengawasiku, dan menasehati, dia tak mau aku tersesat lagi dalam kehidupan yang penuh noda dan dosa."Ok, terima kasih." Rani mengambil dan memasukkan amplop coklat, ke dalam tas kecil miliknya."Sama-sama. Ran, ceritakan apa yang terjadi semalam?""Hm, aku membuat lelaki tampan itu bangun, dan kami saling menyatu. Dia terus meracau memanggil namamu, Intan. Aksinya begitu kuat, dan aku benar-benar terkagum. Pantas saja kamu tergila-gila padanya, ku akui ya, baru kali ini aku menemukan lelaki seperti dia, tanpa bayaran pun aku mau melayani dia setiap malam, bahkan setiap hari,""Hah, kamu, gak usah bicarakan soal itu! Aku yang lebih tahu, dan lebih banyak menghabiskan waktu be
"Baiklah, Intan. Aku akan datang sekarang, mungkin sebentar lagi, ini masih dalam perjalanan. Ok," jawabnya dari seberang telepon.Aku menyetujui ucapannya sambil menunggu dia datang. Duduk di tepi ranjang setelah memakai pakaian kembali dengan lengkap, Korean dress super seksi warna pink pastel, kutatap dan kuperhatikan wajah tampan Mas Arkan yang kini sedang terlelap karena pengaruh obat tidur yang dicampur dalam minumannya."Mas, maaf ya, jika perbuatanku ini sudah keterlaluan, tapi, kamu lebih keterlaluan lagi, dari aku." Ku usap pipi Mas Arkan, yang di tumbuhi bulu jambang dengan punggung ruas jemariku, "Setelah kamu bosan denganku, dan puas dengan tubuhku, kau campakkan aku, kau hianati aku, dan kau buat aku terluka, bukan hanya batinku yang tersiksa, tapi, aku nyaris gila karenamu," ucapku membungkukkan badan kemudian mencium bibirnya dengan lembut."Aku rela berbuat seperti ini, menjadi jalang untukmu, melayani dirimu di atas ranjang hingga kau ter
"Intan, Mas sangat rindu," ucapnya, saat aku masuk ke kamar hotel. Sepertinya dia sudah menungguku sejak beberapa saat yang lalu, Mas Arkan menyambut kedatanganku dengan senyuman yang merekah. "Aku juga rindu sama kamu, Mas," balasku sambil mendekat ke arahnya. Mas Arkan merangkulku dengan beringas dan menciumi bibir serta wajahku penuh nafsu. "Sabar, Mas!" ucapku menahan tubuhnya yang begitu rapat, seakan sudah tak sabar ingin menyatu dengan tubuhku. "Mas menunggumu dari setengah jam yang lalu, sayang. Rasanya waktu begitu lama, tiga puluh menit menunggu kedatanganmu, seperti tiga tahun lamanya," ucapnya lagi seraya menempelkan bibirnya di daun telingaku. "Oh, Mas. Maafkan aku, tadi sedikit ada kendala, taksi yang aku tumpangi mogok," balasku berbohong, aku sengaja mengulur waktu untuk menguji dia, apakah Mas Arkan bersedia menungguku, menunggu permainanku. Mas Arkan semakin merapatkan tubuhnya dengan tubuhku. Kakiku berjinjit, satu tanganku
Sepulang dari restoran, setelah makan siang bersama kak Novi, Kania juga mamanya. Aku merebahkan tubuh melintang di atas kasur kamarku, berbaring menghadap dinding, sambil menatap bingkai foto pernikahanku dengan Mas Anton, yang terletak di atas headboard ranjang, usia pernikahan kami baru seumur jagung. Namun, sudah kandas karena dusta dan pengkhianatan yang aku lakukan.Ada rasa penyesalan menelusup ke dalam relung hatiku, karena telah menyia-nyiakan orang yang sangat mencintaiku dengan setulus hati. Tapi, aku malah mengkhianatinya habis-habisan."Mas, aku baru menyadarinya, bahwa kamu lah lelaki yang terbaik dalam hidupku, yang pernah aku kenal, bukan Mas Arkan, lelaki yang tak bisa puas dengan satu wanita," gumamku, merenungi nasib yang sekarang ini, hidup menjanda dengan cara tidak terhormat. Ditalak karena perbuatanku, yang sudah menghancurkan rumah tanggaku sendiri, hanya karena ego dan nafsu."Jika ada kesempatan kedua, aku ingin kembali padamu, da
POV Intan.Hidupku kini merasa lebih baik, hubunganku dengan kak Novi juga sudah kembali seperti semula, tapi, aku merasa hampa. Sekarang Mas Arkan sudah menikah dengan orang lain, orang yang selama ini ku percaya dan sangat aku cintai, dia tega mencampakkanku begitu saja.Seperti janjiku pada Kania dan kak Novi, aku harus melupakan Mas Arkan, dan bangkit, memulai hidup yang baru, tapi aku ingin membalaskan rasa sakit hatiku pada Mas Arkan, entah bagaimana caranya? Nanti aku pikirkan, aku benar-benar merasa sakit hati dan tak terima dengan keputusan lelaki itu yang meninggalkan aku tanpa perasaan."Tan, kok melamun?" tanya kak Novi saat kami sedang makan siang di restoran, bersama Kania juga mamanya."Iya, Tan, dari tadi kami perhatikan kamu bengong, ada apa sih?" timpal Tante Rika mamanya Kania. Sekarang sikapnya lebih ramah padaku tak seperti waktu itu, mungkin karena kak Novi menanamkan modal di usahanya, dan dia mer
"Arkan, apa-apaan sih, kamu? Bisa-bisanya kau berbuat kasar, pada Novi!" hardik pak Broto seraya melepaskan cengkraman tangan Mas Arkan dari leherku. Aku terbatuk-batuk sambil mengusap leher yang terasa nyeri bekas cengkraman tangan mantan suamiku. "Yah, Novi benar-benar membuatku kesal! Dia menyalahkan aku, atas semua yang terjadi dalam hidupnya juga Intan," ucap Mas Arkan membela diri. Aku hanya terdiam di dekat tembok kamar Mas Arkan, seraya mengatur nafas yang masih terasa sesak. "Arkan, sadar! Apa yang sudah Novi katakan tentang kamu itu memang iya. Kelakukan kamu semakin kesini semakin tidak benar. Apa kamu sudah lupa dengan semua kesalahanmu? dulu kamu menggauli Intan di saat Novi sedang bertugas ke luar kota bersama Anton, kamu rusak rumah tangga adik iparmu, kamu runtuhkan rumah tanggamu sendiri. Dan sekarang kau buat jiwa Intan terguncang!" ucap pak Broto lugas, ia memang sangat tidak suka dengan kelakuan anak sulungnya.
"Jangan serakah, Arkan! Milik orang lain, ya, harus dikembalikan kepada yang berhak!" ucap pak Broto seraya bangkit dan berdiri di hadapan putranya."Ayah, selama ini aku yang kerja keras. Seenaknya saja kita harus memberikan setengah saham kepada Novi, berikut dengan laba. Yah, sudah cukup banyak, harta gono-gini yang aku berikan pada Novi juga," protes Mas Arkan tak terima dengan keputusan ayahnya, yang tak bisa di bantah."Terserah kamu, yang penting ayah kembalikan semua milik pak Bram, karena kamu sudah bukan suami Novi lagi. Jadi, kita hanya mengelola yang kita miliki saja," terang pak Broto tegas, kemudian ia kembali duduk. Mas Arkan mendengus kesal lalu ia pun duduk di sofa dengan gerakan kasar, tak jauh dari ibunya. Bu Aini hanya menggeleng melihat sikap Mas Arkan yang kekanak-kanakan."Tapi, Yah. Aku yang capek, aku juga yang kerja, kenapa harus Novi yang menikmati hasilnya?" sergah Mas Arkan bersikeras menunjuk jarinya ke arah dada.