Terdengar helaan napas lega dari seberang sana. Kentara sekali si penelepon senang Miranda menerima teleponnya.“Halo, Mira. Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Lukas penuh rasa ingin tahu. Pria itu kuatir sekali kakak iparnya ini terkena masalah akibat kemarin dirinya berenang dengan Joy di rumah Carlos.“Baik-baik saja, dong. Kenapa memangnya, Kas?” balas Miranda balik bertanya. Dia bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa kemarin sore.Lukas langsung menjawab spontan, “Kemarin sore kamu tiba-tiba menghilang di rumahmu sendiri begitu suamimu pulang kantor. Aku kuatir sekali, Mira. Takut kamu kenapa-kenapa. Carlos sih, bilangnya kamu tiba-tiba merasa nggak enak badan. Benarkah begitu, Mira?”“Oya, Kas. Memang benar aku nggak enak badan. Pusing dan meriang gitu. Sebenarnya sudah sejak kemarin pagi aku merasakannya, cuma kutahan-tahan supaya bisa mengantar Joy pergi ke sekolah. Terus siangnya kalau aku sakit, takutnya kamu membatalkan janjimu berenang dengan Joy di rumah. Tapi tenang sa
”Karena apa yang akan dibahas dalam pertemuan itu adalah masalah orang dewasa, Kas. Belum pantas didengar oleh anak sekecil Joy,” jawab Miranda berkilah.Ia tak ingin membohongi laki-laki itu. Tapi juga tak mau berterus terang dengan siapa sebenarnya dirinya akan bertemu besok siang.“Terus siapa orang itu, Mira?” tanya adik iparnya itu lagi. Dirinya jadi penasaran karena wanita itu tak juga menyebutkan jati diri orang yang hendak ditemuinya.Miranda menghela napas panjang. Lalu dia berkata panjang lebar, “Orang yang akan kutemui itu aktivis perempuan yang sibuk sekali. Sudah lama kutunggu-tunggu dia meluangkan waktunya untuk bertemu denganku. Aku sekarang kan punya banyak waktu, Kas. Nggak seperti dulu yang sibuk sekali mondar-mandir kesana-kemari sebagai broker properti maupun mengurus Joy. Jadi mumpung aku masih belum punya anak, mau kugunakan waktuku untuk melakukan hal-hal yang positif. Ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial misalnya. Dan orang yang besok akan kutemui itu bisa
Dan selanjutnya wanita itu tanpa malu-malu menceritakan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya. Dokter Asih mendengarkan kisahnya dengan sikap tenang. Sorot mata teduh wanita itu menghangatkan jiwa Miranda. Tak tampak sedikitpun penghakiman di sana. Adakalanya istri Carlos itu terbawa perasaan saat menceritakan kisah penganiayaan terhadap dirinya. Matanya berkaca-kaca. Hidungnya memerah. Dokter Asih langsung meraih sebuah kotak tisu dan meletakkannya persis di depan pasiennya tersebut.Miranda mengucapkan terima kasih. Tangannya mengambil sehelai tisu dan menyeka matanya yang mulai basah. Ternyata tak mudah menceritakan kepahitan hidupnya pada orang lain, meskipun itu orang yang baru dikenalnya. Selama ini Miranda memang tidak suka mengungkapkan kepedihannya pada orang lain. Pun ketika hatinya dulu terluka akibat harus melepaskan Lukas demi kebahagiaan adik yang sangat dikasihinya.Beberapa saat kemudian wanita itu kembali melanjutkan ceritanya pada sang dokter. Setelah menyeles
Miranda menepati janjinya. Sebelum pukul empat sore, yaitu tepatnya jam setengah empat, dia sudah tiba di wahana permainan milik Lukas untuk menjemput Joy. Bocah itu senang sekali melihat kedatangan tantenya. Dia memang sudah lelah bermain di tempat itu. Saking sang ayah dengan setia menemani dan mengajaknya mengobrol terus, anak laki-laki itu tidak sampai merasa bosan. “Kas, sori. Aku besok masih harus bertemu dengan aktivis perempuan itu. Dia tadi belum selesai menjelaskan proposal-proposalnya tentang kegiatan sosial yang mungkin kuminati. Barangkali karena pertanyaanku terlalu banyak, jadi waktu pertemuan tadi nggak cukup baginya buat mengungkapkan semuanya. Apakah kamu besok bisa menjaga Joy lagi di sini? Kalau ya, sepulang sekolah dia langsung kuantarkan kemari. Kalau kamu sibuk, ya nggak apa-apa kutitipkan Joy di daycare aja.” Mendengar pernyataan tanpa tedeng aling-aling kakak iparnya itu, Lukas mengerutkan keningnya. Dia heran, sepenting apa urusan Miranda dengan aktivis pere
Dan hati Lukas merasa begitu lega ketika anaknya menjawab demikian, “Om Carlos sudah baik kok, Pa. Nggak pernah marah-marah lagi. Waktu Tante sakit pas kita berenang di rumah itu, Om Carlos main terus sama Joy. Sama sekali nggak sibuk telepon-teleponan ataupun chat WA. Memang kemarin malam Joy nggak sempat ketemu Om Carlos karena pulangnya malam sekali. Tapi ya nggak apa-apa sih, Pa. Kan nggak setiap hari Om Carlos pulangnya telat terus.”“Oh, jadi kemarin Joy nggak makan malam sama Om Carlos di rumah?”“Nggak, Pa. Joy cuma makan sama Tante Mira aja.”“Menunya apa?”“Apa, ya? Sebentar. Oya, Joy ingat. Ada tim ikan salmon sama kepiting soka goreng. Enak banget, Pa. Kayak makan di restoran mahal. Hahaha….”Lukas tersenyum. Dia pernah juga makan di rumah Miranda. Pada siang hari tentunya. Menu di rumah kakak iparnya itu memang selalu istimewa. Bagaikan hidangan restoran kelas atas. Carlos memang mempekerjakan seorang koki profesional untuk memasak setiap hari di rumahnya. Koki itu beker
Pasien di hadapannya menatap getir. “Dulu saya memang sempat merasa penasaran siapa perempuan bernama Prilly itu, Dok. Tapi sekarang….”Senyuman sinis dan gelengan kepala pelan Miranda cukup menjawab pertanyaan psikiaternya tersebut. Dokter Asih mengangguk-angguk bijaksana. Dia tak ingin memaksa pasiennya itu untuk mempertahankan perkawinannya dengan Carlos. Namun ada beberapa hal yang perlu dikemukakannya pada Miranda agar kelak tak menyesali keputusannya tersebut.“Begini, Bu Miranda,” ucap psikiater itu tenang. “Bukan baru satu-dua kali saya menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami istri yang berasal dari status ekonomi dan sosial lebih rendah dari suaminya. Sayang sekali kebanyakan mereka tak mendapatkan apa-apa dari perceraian tersebut. Bahkan kemungkinan besar reputasi mereka malah dicoreng-moreng oleh pihak suami. Anda tahu kenapa demikian?”Miranda menggelengkan kepalanya. Selama ini dia memang tak begitu mengikuti isu-isu tentang kekerasan dalam rumah t
Hari-hari berikutnya hubungan antara Miranda dengan suaminya begitu harmonis. Diperhatikan dan dilayaninya Carlos dengan begitu rupa sehingga laki-laki itu pun bersikap manis kepadanya. Memang pria itu masih suka pulang larut malam beberapa kali dalam seminggu, namun sudah tak pernah dalam keadaan mabuk berat. Kalaupun tercium bau alkohol dan asap rokok dari tubuhnya, Carlos masih dalam keadaan terkendali. Barangkali dia mabuk sedikit, namun berusaha tak diperlihatkannya di depan sang istri.Miranda sendiri tak bertanya sama sekali. Wanita itu berpura-pura tak mencium aroma apapun dari tubuh suaminya. Dibiarkannya Carlos mandi keramas dalam waktu agak lama di kamar mandi. Sekeluarnya laki-laki itu dari sana, dengan senyuman yang teramat manis wanita itu menawarkan untuk memijit punggung suaminya.Biasanya Carlos menolaknya. Alasan laki-laki itu bukan tubuhnya yang butuh dipijit saat ini, melainkan adik kecil kesayangannya yang membutuhkan hiburan. Miranda langsung paham dengan keing
Miranda menggeleng pelan. “Belum ada tanda-tanda, Ma,” jawabnya terus terang. Dirinya sama sekali tak merasa risih mengatakan hal yang sebenarnya pada sang mertua.Victoria tersenyum bijak. “Nggak apa-apa, Mir,” ucap wanita itu mendukung. “Kalian belum satu tahun menikah. Masih banyak waktu untuk mencoba hamil secara alami. Nanti kalau sudah satu setengah tahun belum ada tanda-tanda kehamilan juga, kamu dan Carlos bisa memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan. Mama ada rekomendasi dokter yang bagus di Singapore dan Malaysia. Kalian tinggal pilih saja mau periksa sama dokter yang mana. Dua-duanya juga boleh, kok. Nggak masalah.”“Baik, Ma,” sahut Miranda menurut.Selama menjadi menantu wanita konglomerat ini, dia sudah mempelajari bahwa satu-satunya cara untuk mengambil hati Victoria adalah dengan bersikap patuh di depannya. Ibu kandung Carlos ini orang yang gila hormat. Barangkali karena selama hidup Victoria jarang sekali atau bahkan mungkin belum pernah seorang manusiapun men