"Baik."Dia menatap Gavin. Tatapannya tidak berubah, masih dipenuhi dengan rasa hormat.Gavin mengerutkan kening, lalu berjalan ke sofa yang berada di samping.Luna berjalan mendekat, lalu berhenti di depannya. "Pak Gavin, bagaimana tangani Grup Makmur?"Gavin sudah selesai menyeka rambutnya. Dia memegang handuk sambil menatap Luna dengan dingin. "Batalkan semua kerja sama dengan mereka.""Baik," jawab Luna sambil mengangguk.Kata ini bagaikan jarum yang menusuk hati Gavin.Dia memang tidak bisa mengubah kebiasaan buruk ini."Ke depannya, jangan panggil aku Pak Gavin di rumah, panggil namaku saja.""..."Bukankah Gavin sedang mempersulitnya?Gavin adalah bosnya. Sekalipun dia diberi sepuluh nyali, dia tidak akan berani memanggil nama Gavin."Ini ...." Luna mengerutkan kening dengan tertekan.Melihatnya begitu tertekan, wajah tampan Gavin dibaluti dengan hawa dingin. Suatu aura yang mencekam pun terpancar dari matanya."Kenapa? Namaku begitu sulit diucapkan?""Bukan begitu." Luna menund
Keesokan siang, Luna datang ke kantor presdir. "Pak Gavin, Pak Sion dari Kota Bantar sudah datang dan berada di Restoran Mandara. Ayo berangkat."Memang benar, Luna lebih terbiasa memanggilnya Pak Gavin.Nama Gavin bukan hanya sulit diucapkan, tetapi dia juga tidak terbiasa."Ya."Gavin berdiri, lalu mengambil mantelnya dan pergi ke Restoran Mandara bersama Luna.Sesampai di depan pintu ruangan, Luna membuka pintu dan Sion yang berperut buncit pun bergegas menghampiri mereka.Asisten wanitanya pun datang.Sion berkata dengan ramah, "Pak Gavin, lama nggak jumpa. Apa kabar?"Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Gavin.Gavin yang berada di samping pun berkata, "Pak Sion, maaf. Pak Gavin nggak suka bersalaman dengan orang."Ketika mereka bertemu sebelumnya, mereka pun tidak bersalaman.Namun, Sion lupa.Sion menarik kembali tangannya dengan canggung sambil berkata, "Lihatlah, ingatanku buruk sekali! Hahaha, maaf, Pak Gavin.""Nggak apa-apa."Gavin berjalan ke samping meja, lal
Luna berkata dengan nada meremehkan, "Kenapa nggak? Omong-omong, Pak Sion tanyakan hal ini karena ingin merekrutku?"Sion sangat mengagumi Luna.Namun, gaji dua miliar per bulan terlalu tinggi.Karena asistennya saat ini hanya digaji dua puluh juta."Bu Luna, selain menjadi asistenku, kamu nggak punya niat lain?" Dia mengangkat alisnya sambil tersenyum mesum.Luna menarik napas dalam-dalam, suatu senyuman dingin muncul di sudut bibirnya. "Pak Sion, kamu datang jauh-jauh dari Kota Bantar untuk menanyakan hal ini?"Sion berkata sambil tersenyum, "Bu Luna adalah orang yang cerdas, seharusnya kamu memahami maksudku, 'kan?"Luna tersenyum. "Maafkan diriku yang terlalu bodoh. Aku nggak memahami maksud Pak Sion."Mendengar ucapan Luna, Sion pun tidak berbasa-basi dan langsung berterus terang, "Aku mau menafkahimu, sebulan 200 juta. Kamu bisa tetap bekerja dan kita hanya perlu bertemu sepuluh kali dalam sebulan. Bagaimana?"Luna melipat tangannya. Dia bersandar di kursi sambil tersenyum dengan
Luna tidak menyangka Sion akan memfitnahnya.Pria ini sungguh licik.Ketika Luna hendak berbicara, Gavin bertanya padanya, "Ada apa?"Luna menjelaskan, "Pak Gavin, Pak Sion mau menafkahiku. Aku menolak, lalu dia fitnah aku."Sion mendengus dingin. "Aku mau menafkahimu? Bu Luna, aku sudah punya keluarga. Kenapa kamu malah memfitnahku? Lagian, kamu itu sekretaris Pak Gavin. Dikasih sepuluh nyali pun, aku nggak akan berani menafkahi sekretarisnya!"Luna pernah melihat pria tidak tahu malu.Namun, dia tidak pernah melihat pria yang begitu tidak tahu malu seperti Sion.Dia tidak bisa berkata-kata.Luna berkata, "Pak Gavin, yang kukatakan adalah kenyataan, aku nggak membohongimu."Gavin menatap Sion dengan sepasang mata gelapnya. Tatapannya sangat tajam.Dia berkata dengan nada dingin, "Bisa-bisanya mau menafkahi sekretarisku. Pak Sion, kamu terlalu meremehkanku."Sion sungguh lancang!Dia mencintai Luna selama 12 tahun. Akhirnya, Luna mengandung anaknya dan menikah dengannya, tetapi Sion ti
"Baik." Luna mengangguk sambil berkata, "Waktu kita terbatas, bagaimana kalau kita makan di sini?""Aku ikut kamu.""Oke."Luna dan Gavin turun ke bawah, lalu mencari tempat duduk dan memesan makanan. Kemudian, pandangan Gavin tertuju pada wajahnya.Ketika mereka masih duduk di bangku sekolah, Gavin merasa Luna polos, manis dan bijak. Oleh karena itu, dia sangat menyukai Luna.Demi menaklukkan Luna, dia sudah mencoba berbagai cara.Akhirnya, dia berhasil menaklukkan Luna. Namun, Luna mengalami kecelakaan dan melupakan segala sesuatu tentang Gavin.Meskipun Luna tidak ingat, sekarang Luna adalah bawahannya dan istrinya, bahkan sedang mengandung anaknya.Setelah melalui proses yang panjang, mereka tetap bersama.Kali ini, Gavin akan memanfaatkan kesempatan dengan baik dan tidak akan membiarkan Luna meninggalkannya lagi.Tak lama kemudian, pelayan datang untuk menyajikan makanan.Setelah menyantap makan siang dan istirahat selama belasan menit, Luna menelepon Riko.Tak lama kemudian, Riko
Seketika, suasana di dalam ruangan menjadi lebih tegang.Moris tidak menyukai suasana ini.Dia mengalihkan topik pembicaraan. Dia menatap Luna sambil bertanya, "Kak, Ibu bilang dia mau kenalkan kamu dengan seorang tentara, gimana kalau kamu pergi menemuinya?"Luna mengerutkan kening. Dia menatap Mila dengan kebingungan."Bukannya sudah sepakat nggak akan mendesakku dalam waktu dekat? Kenapa Ibu ingkar janji?"Luna berkata, "Ini putra Bibi Ira. Sekarang, dia sudah pensiun dan sangat tampan. Selain itu, dia punya peternakan sapi dan penghasilannya lumayan.""Kalau kamu menikah dengannya, kamu akan menjadi nyonya besar. Ke depannya, nggak usah khawatir tentang uang. Hal terpenting adalah dia sangat bertanggung jawab dan dewasa. Menurutku, dia sangat cocok denganmu.""..."Perlu diakui pria yang dikenalkan oleh ibunya kali ini sangat unggul.Kalau bukan karena dia sudah menikah dengan Gavin dan sedang mengandung anak Gavin, mungkin dia akan menuruti ibunya.Luna mengusap keningnya sambil b
Mendengar operasi dijadwalkan di minggu depan, Luna tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Suatu senyuman cerah muncul di wajah cantiknya."Bagus. Terima kasih, Pak Gavin."Alis Gavin mengerut, dia menatap Luna dengan kesal. "Kamu mau gajimu dipotong?"Luna tertegun sejenak. Dia tiba-tiba teringat akan kejadian semalam.Dia tidak mengizinkan Luna memanggilnya Pak Gavin di luar, melainkan harus memanggil namanya.Namun, Riko berada di depan dan mereka belum tiba di rumah, bagaimana mungkin dia memanggil nama Gavin?Luna takut Gavin marah, dia bertanya dengan hati-hati, "Boleh di rumah saja?"Gavin tidak ingin mempersulit Luna. Dia tidak bersuara dan hanya mengangguk pelan....Lusa pada pukul 10 siang. Ketika Luna baru selesai rapat dan kembali ke kantor sekretaris, Mila meneleponnya.Dia menjawab panggilan, lalu bertanya, "Bu, ada apa? Ya, aku mengerti."Luna mengakhiri panggilan. Hanna berjalan menghampirinya dengan membawa sebuah dokumen. "Kak Luna, ini proposal pembangunan Desa N
Hanna menjawab dengan ragu-ragu, "Pak Gavin, Bu Luna sedang sibuk. Dia yang menyuruhku mengantarkan proposal ini padamu."Biasanya, Luna yang mengantarkan dokumen padanya.Melihat Hanna yang mengantarkan proposal pembangunan, dia pun bertanya."Ya." Gavin berkata dengan nada dingin, "Kembalilah bekerja.""Baik, Pak Gavin."Hanna seolah-olah diberi pengampunan. Dia mengangguk dengan hormat, lalu berbalik meninggalkan ruangan.Setelah kembali ke kantor sekretaris, suasana hati Hanna pun membaik.Dia berjalan menghampiri Luna dengan ekspresi tertekan. "Kak Luna."Luna menatapnya. Melihatnya begitu menyedihkan, Luna pun bertanya, "Ada apa?""Kak Luna, mulai sekarang, sebaiknya kamu yang antarkan dokumen pada Pak Gavin. Aku nggak berani."Gavin sungguh menakutkan.Terutama sorot matanya. Ketika dia menatap Hanna, Hanna merasa nyawanya seolah-olah akan melayang.Luna mengerutkan kening sambil bertanya, "Dia nggak memarahimu, 'kan?"Hanya mengantarkan dokumen pada Gavin, mengapa dia ketakutan
Para tamu yang menghadiri pesta hari ini berasal dari kalangan sosialita.Karena Luna akan hadir bersama Gavin, Gavin tidak akan membiarkannya mempermalukan diri sendiri.Jadi, selain membelikan pakaian untuk Luna, dia juga menyewa penata rias untuk Luna.Satu jam kemudian, Luna muncul di hadapan Gavin dengan mengenakan gaun panjang berwarna sampanye.Wajahnya yang dirias dengan rapi tampak sangat menawan.Luna berjalan ke hadapan Gavin sambil tersenyum cerah. Senyuman ini menyebar di seluruh wajahnya, bahkan sudut matanya pun sedikit terangkat.Ketika melihatnya, jantung Gavin berdebar kencang. Dia termenung dan hampir tidak bisa mengendalikan diri."Pak Gavin, bagaimana menurutmu?" tanya Luna sambil tersenyum tipis."Sangat cantik. Gavin berdiri, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Seberkas cahaya lembut melintas di matanya. "Ayo.""Ya." Luna mengangguk, lalu berjalan mengikuti Gavin.Setelah masuk ke dalam mobil dan mobil sudah melaju di jalan raya, Luna bertanya, "Pak Ga
Pesta ulang tahun berlangsung pada malam hari. Sore hari, Luna masih perlu kembali ke kantor. Jadi, dia memakai kembali pakaiannya.Setelah membayar tagihan dan membawa barang belanjaan Luna, Gavin mengajaknya kembali ke mobil.Riko langsung berkendara menuju Grup Harris.Luna kembali ke kantor sekretaris. Ketika dia baru selesai bekerja, Mila meneleponnya.Mila meneleponnya di saat seperti ini, jangan-jangan karena James memberi tahu Mila soal pernikahan dan kehamilannya?Luna menjawab panggilan itu dengan gugup.Sebelum dia berbicara, terdengar suara nyaring Mila dari ujung lain telepon."Luna! James bilang kamu sudah hamil? Sudah menikah? Kapan?"Hati Luna tersentak, amarahnya pun meluap.James sungguh berengsek, bisa-bisanya memberitahukan hal ini pada ibunya.Menyebalkan."Nggak, aku bohongi dia.""Kenapa kamu bohongi dia? Luna, sekalipun kamu berdoa setiap hari, kamu nggak akan bisa temukan pria sebaik dia. Selain itu, kamu menolaknya dengan alasan seperti ini, apa Ibu masih bisa
"Apa ukuran Anda? Biar saya ambilkan ukuran Anda," tanya pelayan toko itu dengan sopan.Luna berkata, "Nggak usah, aku sedang hamil, nggak bisa pakai gaun seperti ini."Pelayan toko itu tersenyum cerah. "Ternyata Anda istri bapak itu. Maaf, Anda terlalu cantik. Saya kira Anda adalah pacarnya."Pelayan toko ini sungguh pandai berbicara.Gavin kembali. Dia melirik gaun di tangan pelayan toko, lalu menatap Luna sambil bertanya, "Nggak cocok?"Luna mengangguk, "Ya, agak ketat."Gavin menatap pelayan toko itu dengan tenang. "Pilihkan baju yang lebih longgar, dia sedang hamil."Pelayan itu menjawab sambil tersenyum, "Baik, Pak."Pelayan toko itu mengangguk, lalu pergi memilihkan gaun untuk Luna.Sebenarnya, ukuran gaun itu sudah pas. Apalagi dia baru hamil, perutnya belum membesar, gaun itu cocok di badannya.Luna tidak ingin membelinya karena harganya terlalu marah.Luna tidak berani memakai gaun semahal itu.Luna mengerutkan kening sambil berkata pada Gavin dengan heran, "Pak Gavin, nggak
"Pak Gavin, aku ingat." Luna mengerutkan keningnya dengan waspada."Ayo pergi." Gavin bangkit dan meninggalkan ruangan.Luna mengikutinya dari belakang.Mobil diparkir di luar restoran, Gavin membuka pintu. Setelah Luna masuk ke dalam mobil, dia pun masuk.Ketika Riko sedang berkendara menuju perusahaan, terdengar suara Gavin dari belakang."Pergi ke Harbor Plaza.""Baik, Pak Gavin," jawab Riko. Kemudian, dia melaju menuju pusat perbelanjaan Harbor Plaza.Awalnya, Luna ingin menanyakan tujuan mereka pergi ke Harbor Plaza. Namun, mengingat betapa marahnya Gavin tadi, dia tidak berani bertanya.Di tengah perjalanan, Gavin tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ekspresinya sangat serius, alisnya berkerut hebat dan sorot matanya sangat dingin.Melihat sikapnya ini, Luna makin tidak berani bertanya.Mobil segera tiba di Harbor Plaza.Riko membuka pintu mobil. Setelah Luna keluar, Gavin pun keluar dari sisi lain."Ikut aku," kata Gavin dengan nada dingin."Baik." Luna mengikutinya.Aneh sekali.
Mila pernah tersakiti dalam hubungan percintaan. Kalau dia tahu mereka akan bercerai, dia pasti tidak bisa menerima hal ini.Cepat atau lambat, mereka akan bercerai. Jadi, kenapa dia harus memberi tahu Mila?Melihat ekspresi Luna, Gavin menarik napas dalam-dalam dan mengusap keningnya. Sepertinya dia tidak bisa memaksa Luna."Ini adalah terakhir kalinya, jangan sampai terulang."Luna seolah-olah mendapatkan pengampunan, sarafnya yang tegang pun kembali rileks."Jangan khawatir, Pak Gavin. Kujamin nggak akan terjadi lagi.""Sudah makan?" Tatapan Gavin padanya menjadi lebih rileks dan tidak semenakutkan sebelumnya lagi."Sudah makan," jawab Luna dengan jujur."Ayo pergi." Gavin bangkit dan keluar. Namun, dia tidak meninggalkan restoran, melainkan pergi ke ruangan tempat Nathan dan yang lainnya berada.Luna berdiri di depan pintu. Ketika melihat Timo, Nathan dan yang lainnya, dia pun tercengang.Dia mengira Gavin datang dengan keluarga atau bos perusahaan lain. Tak disangka, Gavin datang
Luna bersandar ke dinding dan menundukkan kepalanya. Dia menggigit kukunya sambil berkata dengan pelan, "Ibuku memaksaku datang, aku nggak punya pilihan. Selain itu, sekalipun aku datang, aku juga menolaknya. Aku nggak berencana menjalin hubungan dengannya."Gavin menatapnya dengan tatapan dingin, dia menyipitkan matanya sambil bertanya, "Kalau aku nggak muncul, kamu akan bertukar kontak dengannya?""..."Bagaimana mungkin?Dia sudah menolak.Lagi pula, sekalipun Gavin tidak datang, dia tidak akan bertukar kontak dengan James."Kalau kamu nggak datang, aku akan memberitahunya aku sudah menikah. Dengan begitu, dia nggak akan meminta nomorku lagi.""Hebat kamu!" Mata Gavin dipenuhi dengan amarah.Luna kembali membenamkan kepalanya.Dia tidak pernah melihat Gavin begitu marah, ini adalah pertama kalinya.Gavin marah karena dia menyembunyikan pernikahan mereka dan pergi berkencan buta.Dia agak kebingungan.Gavin tidak menyukainya, mereka menikah hanya karena anak hasil kecelakaan satu mal
Tidak terlihat sedikit pun emosi di garis wajahnya yang tegas. Seketika, Luna pun gelisah.Luna mengepalkan tangannya sambil menjawab, "Benar, Pak Gavin."Gavin melirik Luna, tatapannya sangat tajam, seolah-olah menembus isi hati Luna dan membuat Luna tidak berani menyembunyikan apa pun.Tatapan itu membuat Luna gugup.Dia menundukkan kepalanya sambil berkata, "Ibuku memaksaku datang berkencan buta."James mengerutkan keningnya sambil berkata dengan lantang, "Pak Gavin, dia cuma sekretarismu. Aktivitasnya di luar nggak ada hubungannya denganmu, bukan?""Diam!" Gavin menatap James. Dia mengangkat kelopak matanya dengan acuh tak acuh. Sikapnya yang arogan membuat James merasa tertekan.Begitu dibentak Gavin, hati James bergetar.Dia mengetahui nama Gavin dan sering melihat Gavin di televisi, tetapi dia tidak pernah bertemu dengan Gavin secara langsung.Sejujurnya, aura Gavin sangat kuat. Ini adalah pertama kalinya dia takut pada seseorang.Gavin bertanya dengan suara berat, "Kamu pasanga
James tidak menyangka Luna akan memberikan jawaban seperti ini.Dia mengira dengan kondisinya yang unggul dan dapat menerima situasi keluarga Luna, Luna akan memilih untuk bersamanya. Tak disangka, Luna malah menolaknya!James mengerutkan kening. Dia menatap Luna dengan kaget. "Nona Luna, bolehkah aku tahu alasannya?"Luna menjawab, "Tadi, aku sudah katakan alasannya."Alis James berkerut hebat. "Aku bersedia menerima keluargamu dan berjanji akan membiayai pengobatan adikmu, aku bisa mengatasi masalahmu, kamu nggak usah khawatirkan hal ini.""Kamu memang bisa mengatasi masalahku, tapi aku masih harus merawatnya. Kalau kita bersama, aku pasti nggak bisa fokus. Jadi, Pak James, harap maklum.""Merawatnya bukan masalah. Aku bisa mempekerjakan tenaga profesional untuk merawatnya. Dengan begitu, Nona Luna bisa bekerja dengan tenang."James ini ....Sulit ditangani.Apa pun tanggapannya, James selalu memberinya solusi.Luna mengusap keningnya. Ketika dia menurunkan tangannya dan menatap Jame
"Ya." Gavin mengiakan dengan pelan.Timo berkata, "Pak Gavin, kudengar Sindy akan kembali?"Selain adalah manajer Grup Harris, Timo juga adalah teman sekelas Gavin yang menuntun ilmu bersama di luar negeri.Alasan mengapa dia tidak berkarier di luar negeri adalah karena dia ingin berkarier di Negara Targa.Kebetulan, dia bekerja di Grup Harris.Ketika perusahaan perhiasan yang didirikan Gavin menghasilkan banyak uang di luar negeri, Timo sudah dipromosikan menjadi manajer Grup Harris dengan mengandalkan kemampuannya sendiri.Perlu diakui dia sangat unggul.Sedangkan Sindy yang dibicarakan Timo, mereka mengenalnya ketika kuliah di luar negeri. Meskipun dia mempelajari hukum, karena dia berasal dari Negara Targa, mereka pun berteman.Gavin menggelengkan kepalanya sambil berkata dengan nada dingin, "Nggak tahu."Sejak kembali ke Negara Targa, Gavin tidak pernah berinteraksi dengan Sindy. Dia tidak mengetahui kabar Sindy."Kupikir kamu tahu," kata Timo."Sindy?" Nathan mengerutkan kening.