Gemuruh menggelegar, menyadarkan Mahen dari lamunan. Tak seperti biasa, entah mengapa permintaan pisah dari Rena kali ini membuat hatinya nyeri. Ia bahkan tak mengerti dengan perasaannya sendiri. “Apa yang terjadi padaku? Kenapa di sini terasa sakit?” Tangan kanannya terangkat menyentuh dada. Rasanya seperti ditekan bongkahan besar. Tak lama hujan tumpah tanpa aba-aba. Mahen terkesiap. Ia tersadar telah kehilangan jejak Rena. Istrinya itu sangat rentan terhadap hujan dan bisa dipastikan keesokan harinya akan demam. Keresahan makin pekat kala Mahen tak menemukan Rena di mana-mana. Setiap wahana permainan ia telusuri. Para pengunjung sedang berhamburan, berlari tak tentu arah mencari tempat berteduh. “Ke mana Rena?” Mahen mengusap wajah tampannya yang basah terguyur hujan. Plastik berisi jus alpukat dan permen kapas sudah tak berbentuk lagi. Ia langsung membuangnya ke tempat sampah. Lari, Mahen terus berlari. Kecemasan menyelimuti. Ini sudah malam dan hujan makin deras. Bagaim
Langkahnya perlahan menyusuri trotoar, menghirup segar udara selepas hujan. Ia suka dengan suasana seperti ini, ketika para manusia mulai keluar dari tempat berteduh, berjalan tuk melanjutkan keinginan yang sempat tertunda. Satu minggu, sikap Rena dan Mahen menjadi canggung satu sama lain. Setelah apa yang Mahen lakukan di bawah rinai hujan malam itu, tak ada sepatah kata sebagai klarifikasi. Selama itu pula, keduanya hanya bicara jika perlu, tak berniat mengungkit. “Ya, ampun! Ini sudah hampir pukul delapan. Aku harus sampai ke kedai. Kalau telat, Kak Onky akan menjelma jadi ibu-ibu cerewet.” Rena berlari kecil. Sial sekali karena motor bututnya mogok saat dinyalakan tadi sebelum berangkat. Suara riuh terdengar dari belakang, mendekat seperti mengikuti langkah Rena. Saat menoleh, dilihatnya banyak para pemuda berseragam sekolah awut-awutan tunggang-langgang. “Lari! Ada tawuran!” Beberapa manusia di sekitar Rena ikut menjauh. Jumlah pemuda onar ada banyak. Rena tak luput
“Jawab!” “Mahen! Apa yang kau lakukan?” Rena terbelalak saat dengan kasar Mahen mencengkeram kedua sisi bahu wanita tua itu. Tubuhnya spontan bangkit hendak duduk, tetapi kepalanya yang luka begitu berat dan nyeri. “Aw!” “Rena!” Tangan Mahen melepas cengkeramannya, beralih pada sang istri yang meringis sembari memegangi kepala yang diperban. Bagaimana tak sakit? Tiga jahitan diterima kepala Rena setelah terkena batu saat tawuran. Dewi, wanita paruh baya berjilbab itu menangis dalam diam. Sesekali diusapnya air mata yang hampir menetes. Dalam ketakutan, ekor matanya melirik Mahen. Mahen terduduk di kursi, menggenggam tangan Rena penuh kelembutan. Tangan lainnya terangkat, menyentuh pipi tembam sang istri. Tindakan yang tak biasa semakin membuat Rena mengernyit. Noe hanya bisa diam, tak tahu harus bagaimana. Wanita yang membuat Mahen naik pitam tentu ia mengenalnya. “Rena, bagaimana bisa ini terjadi?” Wajah yang biasa dingin dan tak peduli, kini menyorotkan kekhawati
Keinginan tuk pergi meninggalkan rumah Mahen nyatanya baru terwujud sekarang. Ya, dua minggu sejak ia keluar dari rumah sakit. Rasa nyeri di sekujur tubuh membuatnya mengurungkan niat tuk sementara waktu. Dan di sinilah ia sekarang, berada di kost kecil satu petak dengan kamar mandi dalam. Jaraknya tak terlalu jauh dari Kedai Starlight. Hanya cukup keluar gang kecil beberapa ratus meter. Tak ada kata pamit secara langsung. Di dalam secarik kertas yang diletakkannya di nakas pinggir ranjang Mahen, Rena menumpahkan semua kegundahan, alasan mengapa memilih berpisah rumah. Perceraian. Rena mantap untuk itu. Walau ia rasakan akhir-akhir ini Mahen sedikit lunak. Ciuman mereka di pasar malam sempat menggoyahkannya sesaat. Apa pun itu, Rena tetap sadar diri. Di hati Mahen hanya ada Riani, dan tak ada yang bisa menyingkirkannya. Baru saja langkah Rena keluar dari kost, seorang wanita yang dikenalinya juga keluar, membawa tas kain merah merek salah satu minimarket ternama. “Bu Dewi?”
“Enak banget makanannya, Bu. Kapan-kapan kita harus ke sini lagi.” Rena tersenyum senang. Tangannya mengelus perut yang kenyang. Dewi terkekeh melihat ekspresi wanita di sampingnya. “Iya, Nak.” Saat hendak menyalakan motor, tak disengaja mata Rena menangkap sesuatu yang ia kenali. “Lho, bukannya dia Sekar?” Spontan Dewi menoleh ke arah yang sama. “Astagfirullah! Siapa pria itu?” Tampak pria bersetelan jas abu-abu menarik paksa Sekar tuk masuk mobil hitamnya. Yang lebih membuat Rena melongo, tampilan Sekar sangat terbuka. Gaun merah dengan pundak terbuka dan panjang selutut. Rena cukup mengetahui jika adik iparnya tak suka pakaian terlalu terbuka. “E-eh, mau ke mana mereka?” “Nak, ayo kita ikuti Sekar! Ibu merasa dia dalam bahaya.” Rena pun mengangguk setuju. Motor biru bututnya menyala, menerobos jalanan yang lumayan ramai dengan gesit. “Bu, tolong hubungi Mahen. Ponselku ada di saku jaket.” Dewi merogoh saku jaket hitam Rena tuk mengambil ponsel. Tangan kirinya be
“Ceraikan aku!”Wajah Mahen masih dingin, seolah kalimat yang diutarakan Rena hanya angin lalu. Andai Mahen tahu, Rena mati-matian mengumpulkan nyali demi mengucapkannya.Pandangan menghunus Mahen bak ingin menelan Rena hidup-hidup. Selama satu tahun pernikahan, sifat dingin dan cuek suaminya membuat Rena layaknya seonggok sampah tak bernilai.“Kau dan Riani sudah kembali menjalin kasih, bukan?” Degup jantung hampir meledak di dalam sana. Manik Rena menatap takut Mahen yang masih datar.“Benar.”Merosot sudah bahu Rena. Benar kata Sekar, adik iparnya, jika cinta Mahen sudah habis untuk Riani. Kenyataan itu menyadarkan Rena akan posisi sesungguhnya.Rena hanya pengantin pengganti, bukan pelabuhan terakhir.Dirinya yang tak lain hanya penjual jajanan pasar langganan keluarga Wiratama, karena kaburnya sang pengantin wanita, diminta menjadi pengantin pengganti demi nama baik keluarga atas permintaan mendiang eyang Mahen, Aminah. Hati Rena merekah. Mahen yang amat menyayangi sang eyang, me
“Egh ....”Seberkas sinar mengusik kedamaian. Tubuh kurus di bawah selimut menggeliat. Netra yang terpejam perlahan terbuka. Beberapa kali ia mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran penuh.Pandangan pertama yang menyapa adalah kamar serba putih yang tak asing.“Kamar? Aku di kamar?”“Non Rena sudah bangun?”Rena menoleh ke sumber suara. Lastri, wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART, menyibak beberapa gorden yang masih tertutup.Rena bangkit dari tidur dan terduduk. Sebuah handuk kecil terjatuh di pangkuan. Dapat ia rasakan di beberapa helai rambut sekitar kening tampak sedikit lembap.“Bagaimana bisa aku ada di sini, Mbok?” Tangan Rena sedikit memijit pangkal hidung. Badan terasa remuk dan lemas seolah semua tulang telah rontok satu persatu.“Semalam si bos yang bawa Non Rena pulang. Non Rena pingsan dan basah kuyup. Memangnya apa yang sebenarnya terjadi, Non?” Lastri mendekat, duduk di sisi ranjang. Hubungan mereka sudah dekat sekali. Lastri menganggap Rena seperti anak sendiri.
“Astaga, Rilla! Kenapa kau tak bilang dari semalam kalau mau bolos?” Suara kepanikan sampai di telinga Rena yang tengah duduk di depan kedai yang masih tutup.Jam menunjukkan pukul setengah delapan dan Rena sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu dari rumah karena diusir sang mertua.Si miskin yang memuakkan, begitu kata-kata umpatan Ratna untuk Rena.Adanya Rena di depan kedai ini pun karena tak tahu harus pergi ke mana. Yang pasti, ia ingin mencari pekerjaan baru.Pria berambut kribo itu masih menggerutu. Percakapan di seberang sana tak sengaja terdengar di telinga Rena.“Siapa yang tahu kalau aku bakal kena diare? Dasar brokoli!”“Pft!” Spontan Rena menutup mulut karena menahan tawa.Pria yang masih memegang ponsel itu seketika mengakhiri panggilan, menoleh ke arah Rena dan melirik sebal.“Kau pikir ini lucu?” sindirnya.Rena yang sadar akan kesalahannya buru-buru menetralkan wajah. “Ma-maaf.”Tak ada sahutan. Si pria membuka pintu kedai. Mulutnya masih saja komat-kamit dengan r
“Enak banget makanannya, Bu. Kapan-kapan kita harus ke sini lagi.” Rena tersenyum senang. Tangannya mengelus perut yang kenyang. Dewi terkekeh melihat ekspresi wanita di sampingnya. “Iya, Nak.” Saat hendak menyalakan motor, tak disengaja mata Rena menangkap sesuatu yang ia kenali. “Lho, bukannya dia Sekar?” Spontan Dewi menoleh ke arah yang sama. “Astagfirullah! Siapa pria itu?” Tampak pria bersetelan jas abu-abu menarik paksa Sekar tuk masuk mobil hitamnya. Yang lebih membuat Rena melongo, tampilan Sekar sangat terbuka. Gaun merah dengan pundak terbuka dan panjang selutut. Rena cukup mengetahui jika adik iparnya tak suka pakaian terlalu terbuka. “E-eh, mau ke mana mereka?” “Nak, ayo kita ikuti Sekar! Ibu merasa dia dalam bahaya.” Rena pun mengangguk setuju. Motor biru bututnya menyala, menerobos jalanan yang lumayan ramai dengan gesit. “Bu, tolong hubungi Mahen. Ponselku ada di saku jaket.” Dewi merogoh saku jaket hitam Rena tuk mengambil ponsel. Tangan kirinya be
Keinginan tuk pergi meninggalkan rumah Mahen nyatanya baru terwujud sekarang. Ya, dua minggu sejak ia keluar dari rumah sakit. Rasa nyeri di sekujur tubuh membuatnya mengurungkan niat tuk sementara waktu. Dan di sinilah ia sekarang, berada di kost kecil satu petak dengan kamar mandi dalam. Jaraknya tak terlalu jauh dari Kedai Starlight. Hanya cukup keluar gang kecil beberapa ratus meter. Tak ada kata pamit secara langsung. Di dalam secarik kertas yang diletakkannya di nakas pinggir ranjang Mahen, Rena menumpahkan semua kegundahan, alasan mengapa memilih berpisah rumah. Perceraian. Rena mantap untuk itu. Walau ia rasakan akhir-akhir ini Mahen sedikit lunak. Ciuman mereka di pasar malam sempat menggoyahkannya sesaat. Apa pun itu, Rena tetap sadar diri. Di hati Mahen hanya ada Riani, dan tak ada yang bisa menyingkirkannya. Baru saja langkah Rena keluar dari kost, seorang wanita yang dikenalinya juga keluar, membawa tas kain merah merek salah satu minimarket ternama. “Bu Dewi?”
“Jawab!” “Mahen! Apa yang kau lakukan?” Rena terbelalak saat dengan kasar Mahen mencengkeram kedua sisi bahu wanita tua itu. Tubuhnya spontan bangkit hendak duduk, tetapi kepalanya yang luka begitu berat dan nyeri. “Aw!” “Rena!” Tangan Mahen melepas cengkeramannya, beralih pada sang istri yang meringis sembari memegangi kepala yang diperban. Bagaimana tak sakit? Tiga jahitan diterima kepala Rena setelah terkena batu saat tawuran. Dewi, wanita paruh baya berjilbab itu menangis dalam diam. Sesekali diusapnya air mata yang hampir menetes. Dalam ketakutan, ekor matanya melirik Mahen. Mahen terduduk di kursi, menggenggam tangan Rena penuh kelembutan. Tangan lainnya terangkat, menyentuh pipi tembam sang istri. Tindakan yang tak biasa semakin membuat Rena mengernyit. Noe hanya bisa diam, tak tahu harus bagaimana. Wanita yang membuat Mahen naik pitam tentu ia mengenalnya. “Rena, bagaimana bisa ini terjadi?” Wajah yang biasa dingin dan tak peduli, kini menyorotkan kekhawati
Langkahnya perlahan menyusuri trotoar, menghirup segar udara selepas hujan. Ia suka dengan suasana seperti ini, ketika para manusia mulai keluar dari tempat berteduh, berjalan tuk melanjutkan keinginan yang sempat tertunda. Satu minggu, sikap Rena dan Mahen menjadi canggung satu sama lain. Setelah apa yang Mahen lakukan di bawah rinai hujan malam itu, tak ada sepatah kata sebagai klarifikasi. Selama itu pula, keduanya hanya bicara jika perlu, tak berniat mengungkit. “Ya, ampun! Ini sudah hampir pukul delapan. Aku harus sampai ke kedai. Kalau telat, Kak Onky akan menjelma jadi ibu-ibu cerewet.” Rena berlari kecil. Sial sekali karena motor bututnya mogok saat dinyalakan tadi sebelum berangkat. Suara riuh terdengar dari belakang, mendekat seperti mengikuti langkah Rena. Saat menoleh, dilihatnya banyak para pemuda berseragam sekolah awut-awutan tunggang-langgang. “Lari! Ada tawuran!” Beberapa manusia di sekitar Rena ikut menjauh. Jumlah pemuda onar ada banyak. Rena tak luput
Gemuruh menggelegar, menyadarkan Mahen dari lamunan. Tak seperti biasa, entah mengapa permintaan pisah dari Rena kali ini membuat hatinya nyeri. Ia bahkan tak mengerti dengan perasaannya sendiri. “Apa yang terjadi padaku? Kenapa di sini terasa sakit?” Tangan kanannya terangkat menyentuh dada. Rasanya seperti ditekan bongkahan besar. Tak lama hujan tumpah tanpa aba-aba. Mahen terkesiap. Ia tersadar telah kehilangan jejak Rena. Istrinya itu sangat rentan terhadap hujan dan bisa dipastikan keesokan harinya akan demam. Keresahan makin pekat kala Mahen tak menemukan Rena di mana-mana. Setiap wahana permainan ia telusuri. Para pengunjung sedang berhamburan, berlari tak tentu arah mencari tempat berteduh. “Ke mana Rena?” Mahen mengusap wajah tampannya yang basah terguyur hujan. Plastik berisi jus alpukat dan permen kapas sudah tak berbentuk lagi. Ia langsung membuangnya ke tempat sampah. Lari, Mahen terus berlari. Kecemasan menyelimuti. Ini sudah malam dan hujan makin deras. Bagaim
Seperti seorang ayah menjaga putrinya, begitu juga dengan Mahen. Kelakuan sang istri yang baru ia tahu membuatnya tak habis pikir. Dua jam berlalu, Rena dengan girang menjajal banyak wahana permainan di pasar malam. Mulai yang ringan sampai menegangkan. Wanita itu bahkan heboh sendiri saat melihat arena tong setan. “Aku mau beli minuman dulu.” Rena yang sedang asyik dengan lempar gelang pun menoleh. “Aku mau permen kapas.” “Baiklah. Kau tunggu di sini,” ucap Mahen yang dibalas Rena anggukkan. Mahen beranjak, bergegas membeli dua cup jus alpukat dan mencari permen kapas sesuai permintaan Rena. Saat apa yang dicari sudah didapat, sesuatu menarik atensinya. Langkahnya pun mendekati dengan penasaran. “Mari, silakan! Gelangnya bagus-bagus, Nak!” Si bapak paruh baya berbinar kala Mahen berhenti di lapaknya. Tubuhnya yang bungkuk berdiri dari duduk walau sedikit gemetar. Mata Mahen tampak memilah-milah. Tangan pria berjaket bomber hitam itu meraih gelang hitam sederhan
“Aduh, aku lapar!” Rena memegangi perut yang keroncongan. Bunyinya nyaring, sinyal tanda harus segera diberi amunisi. Langit telah menggelap, tampak dari jendela balkon apartemen tempat Rena bernaung. Selama itu pula kamar ini senantiasa terkunci. “Aku mau keluar, tetapi takut kalau dia bertindak seperti dulu.” Rena memilin ujung gaun, tampak menimang-nimang. “Duh, perutku tak bisa diajak kerja sama!” Ia akhirnya memutuskan keluar daripada mati kelaparan. Langkah kecil Rena mengendap-endap. Tak terlihat batang hidung Mahen. Mungkin saja pria itu sedang di kamar yang satunya lagi. “Aku harus cepat-cepat ambil camilan,” gumamnya pada diri sendiri sembari mata tetap awas dengan sekitar. Kulkas empat pintu yang mahal membuat senyum Rena mengembang. Saat dibuka, tak ada stok sayur atau daging. Hanya beberapa makanan ringan dan cokelat yang Rena tahu harganya fantastis. Liur Rena hampir saja menetes. Tangannya dengan sigap mengambil beberapa cokelat yang jarang ia makan. “Ekhm!
Aini yang terduduk di kursi roda mengobati wajah sang putra semata wayang dengan kekhawatiran. Rilla merasa bersalah karena idenya mengubah penampilan Rena menjadi spektakuler, justru merusak momen bahagia pernikahan orang lain. Onky sedari tadi memarahinya, membuat rasa bersalah kian mengakar. “Kak Noe, Kak Prisa, maafkan aku. Akulah yang mendandani Rena. Aku tak tahu akan begini jadinya. Rencanaku hanya ingin membuat suaminya menyesal telah menyia-nyiakan wanita semanis dia.” Rilla menunduk dengan rasa bersalah. Bukannya marah, Noe malah terkekeh bersama Prisa, tentu membuat Rilla keheranan. “Justru itu yang kami harapkan, Rill. Dengan kejadian tadi, semua yang hadir jadi semakin tahu istri CEO Wiratama Group. Rena tak akan dipandang sebelah mata lagi.” Ucapan Noe ditimpali anggukan antusias Prisa. Rilla meringis canggung. Padahal, ia sudah menyiapkan diri jika hendak dimaki. “Apa yang kau lakukan, Panji? Ada hubungan apa antara kau dan istrinya Mahendra?” Prabu sebisa mun
Hiruk piruk manusia memenuhi sebuah pasar yang terkenal menjajakan pakaian modis dengan harga terjangkau. Riuh para pembeli dan pedagang saling beradu, tetapi ketiga manusia itu masih saja betah di sana selama tiga jam. “Para wanita memang menjengkelkan!” geram Onky yang sudah kewalahan. “Idih! Baru begini saja sudah mengeluh,” sindir Rilla. Rena masih sibuk mencari apa yang akan ia gunakan besok pagi tuk menghadiri pernikahan Noe dan Prisa. Rilla sebenarnya sudah mendapatkan apa yang ia mau, tetapi jiwa wanitanya meronta-ronta tuk membeli banyak baju gaul. Lihatlah si Onky! Wajahnya cemberut dengan tangannya membawa banyak belanjaan baju milik Rilla. Padahal, miliknya hanya satu papper bag saja. Hari ini, Panji membiarkan kedainya buka hanya sampai siang hari dan libur keesokan harinya. Ia meminta para pegawainya besok pagi menghadiri pernikahan sang kakak. “Ren, kau mau pilih yang mana?” Rena menggeleng, tersenyum kecut. Perihal fashion, ia memang payah. “Ish!