Wajah Xander langsung pucat. "Hamil? Bagaimana bisa?"
Kayla menelan ludah lagi, menyadari bahwa dia harus melanjutkan. "Dan bukan hanya itu, Xander. Aku... aku menemukan sesuatu tentang Nayla juga."
Xander menatap tajam dan menunggu kelanjutan dari kalimat Kayla
"Dia... dia berselingkuh."
Kata-kata itu menyebabkan reaksi yang jelas pada Xander. Wajahnya terlihat seperti sedang memproses semua informasi itu. "Berselingkuh? Tapi... tapi bagaimana bisa?"
Kayla merasa hatinya hancur melihat ekspresi wajah suaminya. Namun, dia tahu bahwa pernyataan itu harus diungkapkan, biar pun menyakitkan. Dia harus menguasai semuanya. Dia harus mengusir Nayla dan membuat Zavier terpuruk agar bisa mendapatkan semua kekuasaan Abraham.
"Kasihan Zavier, dia terlihat sangat berharap pada perceraian dengan Nayla," sambung Kayla, suaranya penuh dengan rasa sesal. "Dan Nayla, dia... dia memang ingin itu terjadi."
"A-aku memiliki bukti perselingkuhan mereka," l
Dengan lembut, Michael mengoleskan obat ke leher jenjang milik Nayla. Pria itu meneguk salivanya beberapa kali karena menyadari bahwa Nayla memang sangat cantik dan mampu membangkitkan sesuatu perasaan dalam dirinya. Pria gemuk itu juga pasti merasakan hal yang sama sehingga bertindak melewati batas tadi."Nay, kamu memang sangat cantik. Kecantikkanmu menyebabkan pria mana pun tidak akan tahan melihatmu, ingin ... mengigitmu," ucap Michael dengan senyuman lembut di wajahnya dan tatapan yang dalam ke mata Nayla yang berada begitu dekat dengannya.Nayla hanya membalas dengan senyuman lalu membenarkan letak bathrobenya agar tidak menunjukkan aurat."T-terima kasih," sahutnya dengan canggung.Michael menelan salivanya sekali, menahan keinginannya untuk mengigit dan memberikan ciuman ke leher jenjang milik pria lain itu."Zavier adalah pria yang beruntung memilikimu," ucapnya sambil tertawa kecil dan melangkah untuk menyimpan obat oles.Tatapan N
"Lepaskan aku, Nayla. Suamimu butuh diberi pelajaran!" Michael berusaha menepis tangan Nayla yang merangkul pinggangnya."J-jangan ... jangan sakiti dia, Mich," ucap Nayla dengan suara lirih dan memohon."K-kamu sungguh keterlaluan dan tidak bersyukur, padahal kamu memiliki wanita yang sangat baik sebagai istrimu!" seru Michael dengan mata menyala-nyala."Ini bukan urusanmu, Michael. Jangan campuri urusan keluarga," ucapnya dengan nada mengancam.Namun, sebelum Zavier bisa melanjutkan kata-katanya, Michael sudah maju duluan dan melayangkan sebuah pukulan ke arah dagu Zavier."Arrgh!" Kurang Ajar!" pekik Zavier lalu melayangkan serangan balasan."Rasakan!" Kedua pria mulai berkelahi, mengabaikan keberadaan Nayla yang berdiri terpaku di tempat.Bugh!! Bugh!!"Zav, Mich!""Berhenti! Jangan!""Aduh!"Nayla, terkejut dan ketakutan, melihat kedua pria itu saling berhadapan. Dia merasa takut akan kekerasan y
Para petugas keamanan itu menatap Nayla dengan simpati sebelum mereka mengangguk dan pergi meninggalkannya sendiri di sana.Nayla duduk di samping rumah berpagar tinggi itu, menangis dengan tersedu-sedu. Segala sesuatu terasa begitu hampa, dunianya runtuh di hadapannya.Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dengan perlahan, dan Sefia muncul di ambang pintu dengan senyum sinis di wajahnya."Nayla, bukan?" Sefia berkata dengan nada dingin.Nayla mengangguk, mencoba menahan air matanya. "Ya, itu aku."Sefia menghela nafas dengan angkuh. "Aku harap kamu sudah diberitahu Zavier. Kau adalah masalah besar dalam kehidupan kami. Dan sekarang, kau tidak lagi memiliki tempat di sini. Semua barangmu sudah saya buang, jadi lebih baik kau pergi dan tidak pernah kembali."Nayla menatap Sefia dengan mata terbelalak. Rasanya seperti pisau yang menusuk langsung ke hatinya. "Baik Sefia, aku... aku hanya duduk dan merenung sebentar."Sefia hanya menggelengkan k
Michael melonggarkan pelukannya lalu menatap Nayla dalam-dalam, "Jangan menangis untuk orang yang tidak memikirkanmu, sekarang aku akan membawamu ke rumahku dan besok pagi kita kembali ke Bogor, okey?"Nayla mengangguk pasrah dan tersenyum lemah, merasa lega memiliki seseorang yang peduli padanya di saat-saat sulit seperti ini."Ayo, naik," ajak Michael setelah berada di atas motor sportnya.Nayla naik dan Michael menarik tangannya agar memeluknya erat. Motor sport itu pun dilajukan dengan kencang, membelah jalan raya dengan lincahnya."Peluk yang erat!" seru Michael di atas deru mesin yang menggema di sekitar mereka. Nayla tersenyum, merasakan kehangatan pelukan Michael yang memberinya rasa aman di tengah kegelapan malam."Mengapa tidak kita nikmati malam ini?" ucap Michael sambil menoleh sedikit ke arah Nayla. "Jadilah seperti angin, biarkan semua bebanmu terbawa olehnya.""Baik!" Nayla mengangguk, menyerahkan dirinya pada kecepatan dan ke
Bayangan wajah Nayla yang basah kuyup dan tubuhnya yang tercetak jelas akibat air hujan yang membasahi pakaiannya, memancarkan pesona. Hal itu semakin membuat hati Zavier semakin gelisah.Saat hujan semakin deras, Zavier keluar dari mobil dan berhenti di tengah jalan dan melihat hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Rasa kesal dan marah melanda dirinya. Dia merasa seperti semua yang terjadi adalah karena kelemahannya sendiri, karena dia tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri terhadap Nayla.Zavier berdiri mematung di tengah hujan yang deras, mengepalkan tangan dengan kuat. Dia merasa seperti semua yang dia lakukan selalu berujung pada kegagalan. Perasaan frustasinya mencapai puncaknya, membuatnya merasa seperti tidak ada jalan keluar dari keadaan ini.Namun, di tengah-tengah kegelapan dan hujan yang turun dengan lebatnya, petugas keamanan berlari dan membawa payung untuknya, tetapi dia menolak."Biarkan aku di sini. Aku sangat bersalah kepada Nayla
Sefia menghela nafas dalam-dalam ketika menyusul masuk ke dalam kamar dan melihat Zavier duduk sendirian di ujung ruangan. Dia telah lama merindukan momen seperti ini, di mana mereka bisa berdua saja, tanpa gangguan dari orang lain. Dengan langkah yang mantap, dia mendekati Zavier, berusaha menahan ketegangan yang memenuhi hatinya.Zavier menoleh saat Sefia mendekat, senyum lembut terukir di wajahnya. "Sefia. mengapa masih belum tidur?"Sefia merasa jantungnya berdegup kencang. Dia menelan ludah sebelum akhirnya menjawab, "Zavier. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu. Bolehkah aku duduk?"Zavier mengangguk, memberi isyarat ke kursi di sebelahnya. "Tentu saja, silakan duduk."Sefia memilih duduk di tepi ranjang dengan hati-hati, mencoba menata kata-kata dalam pikirannya sebelum akhirnya berbicara. "Zavier, aku..." Dia terdiam, merasa kebingungan. Bagaimana dia bisa mengungkapkan perasaannya tanpa terlihat terlalu nekat?Zavier menatapnya den
Sefia sedikit terkejut, apalagi langkah Zavier sangat singgap dan terlihat terburu-buru dan tidak menjawabnya sama sekali."Eh, ada apa?" tanyanya dengan bingung.Matanya terbuka lebar, mencoba memahami apa yang sedang terjadi."Zavier?" serunya sekali lagi, suara penuh tanya.Zavier tersenyum, meskipun terlihat sedikit terengah-engah. Dengan cepat, dia meletakkan bantal dan selimut yang dipegangnya di samping ranjang, lalu mengganti selimut yang ada di atas ranjang dengan yang dia bawa.Dia juga menukar bantal dengan cepat, sambil berkata, "Tukar ya... Aku kurang bisa tidur tanpa bantalku," ucapnya lalu pergi dengan tergesa."Eh ... "Sefia hanya bisa menatap ke arah pintu yang baru saja ditutup oleh Zavier, kebingungannya semakin bertambah. Apa yang baru saja terjadi? Mengapa Zavier tiba-tiba berubah pikiran? Tapi sebelum dia bisa memikirkan lebih jauh, dia melihat bantal dan selimut yang baru diletakkan di ranjang.Dengan pe
"Zavier... dia masih ada dalam ingatanku, ohh, ini salah!" desisnya, lalu Nayla memekik dan mendorong tubuh Michael menjauh, lalu duduk di tepi ranjang, membenahi pakaiannya yang sempat terbuka sedikit, mencoba mengatur kembali pikirannya yang kacau dengan napas terengah-engah."Nay ...," panggil Michael dengan lembut.Michael merasakan getaran kecemasan dari Nayla, dan hatinya tergetar oleh ketidakpastian yang tersirat dalam kata-katanya.Namun, sebelum dia bisa merespons, Nayla bergerak cepat menuju pintu, tampaknya berniat untuk tidur di ruang tamu."A-aku, maafkan aku, Michael. A-aku akan tidur di ruang tamu saja!""Eh, Tidak, Nayla, tunggu ...," kata Michael dengan lembut, menghentikan langkah Nayla."Aku tidak mau memaksamu. Aku yang akan tidur di ruang tamu. Kamu bisa tetap di sini."Nayla menatap Michael dengan penuh kejelasan dalam pandangan mata. "Tapi..."Nayla merasa malu atas apa yang sudah terjadi. Dia kehabisan k
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu