Sejumlah anak buah Zavier segera bergerak sesuai instruksinya. Zavier tahu bahwa Bram tidak akan mudah dilacak—dia licin, cerdas, dan sangat pandai menutupi jejaknya. Tapi Zavier memiliki jaringan yang luas, dan dia akan menggunakan semua sumber dayanya untuk menemukan pria itu.
Ketika tim bersiap, Zavier duduk diam sejenak, berusaha mengendalikan amarahnya yang meledak-ledak. Ia menatap ke arah langit, pikirannya dipenuhi dengan bayangan Nayla. Wanita itu pasti telah melalui neraka selama ini, dan dia tidak ada di sana untuk melindunginya. Perasaan bersalah menyelinap di dalam dirinya, tetapi kemarahan lebih besar dari itu. Bram harus membayar untuk semua ini—setiap pengkhianatan, setiap kebohongan.
Setelah tim siap, Zavier memerintahkan mereka untuk menyisir area rumah Bram. Mobil Bram terlihat parkir di depan halaman rumah mewah itu.
Mereka akan memulainya di rumah Bram, tetapi Zavier tahu Bram pasti sudah memperkuat pengamanannya. Ia tidak bisa m
Matahari menyengat dan pagi menyambut Nayla dari tidurnya yang lelap. Dia begitu bingung dengan keadaan yang dia alami saat ini.Kepala nya terasa berat dan seluruh tubuhnya terasa remuk. Saat membuka kedua matanya, terkejut menemukan ada sebelah tangan pria memeluk perutnya.Nayla terkejut dan menemukan seorang pria asing di samping ranjang dan tubuh mereka polos."Aarghh! Siapa kamu?" tanya Nayla dengan panik sambil menarik selimut untuk menutupi dirinya sendiri.Bram mengeliat dan tersenyum dengan lembut, "semalam kita baru bermesraan dan kamu begitu cepat sudah melupakanku?"Nayla memegang kepalanya yang masih terasa berat. Dia bahkan melupakan namanya sendiri."Aku, siapakah aku? Ahh, bagaimana aku bisa ada di sini?""Nadia..." Bram menarik Nayla dalam pelukan. Walau Nayla berusaha menolak, tetapi kekuatan pria pasti tidak dapat dia kalahkan."Kamu adalah istriku dan semalam adalah malam pertama kita. Kamu dan aku memang s
Zavier menatap kejauhan dari jendela kacanya dengan wajah sendu. Selain gagal mendapatkan Nayla kembali, dia juga harus membayar sejumlah biaya karena sudah merusak properti dan melayangkan tuduhan tanpa bukti.Sementara pada saat itu, Dokter Bram keluar dari ruang operasi bedah dengan wajah kelelahan dan meng-klaim bahwa rumahnya diterobos oleh Tuan Besar Zavier Abraham pada saat dia sedang berjuang menyelamatkan nyawa pasien yang sedang dioperasinya, sehingga nama Abraham ikut tercoreng.Saham Abraham mulai anjlok dan yang paling marah saat ini adalah Sefia bersama dengan Kayla.Kayla segera menghubungi Zavier melalui ponselnya. Saat panggilan tersambung, Kayla langsung mengucapkan dengan nada tinggi, "apa yang sudah kau lakukan. Mengapa bodoh sekali?" Kayla sedang berada di samping Cahyo. Pria itu sudah melayani berulang kali sampai kelelahan."Zavier! Jawab Ibumu!" seru Kayla melalui ponselnya. Namun, Zavier malah mendengus dan hanya menjawab singkat.
Joen kecil tersenyum dan merangkul tubuh Zavier dengan kuat, menunjukkan kepadanya sebuah kasih yang sangat besar. Walau pun anak itu kurang pintar dalam berkata-kata, namun Zavier bisa merasakan cinta yang teramat besar dari Malaikat kecilnya tersebut."Ohya, Papa Puzzle, ada satu lagi...""Hmm, apa itu, Sayang?""Joen melihat di televisi tadi, ada cerita ... sebuah keluarga dan cerita ... cinta, mereka bertemu lalu bersama-sama. Apakah Papa Puzzle dan Mama juga seperti itu?" Joen menautkan kedua telunjuknya dengan mata berbinar-binar.Zavier mengerutkan dahinya, mempertimbangkan film apa yang sudah dilihat anak ini. "Maksudmu?""Itu, Papa... bertemu lalu menikah?""Ohh, Tentu saja. Papa dan Mama menikah."Joen kecil menggeser pantatnya yang duduk di pangkuan Zavier. "Cerita!" Berkata-kata dengan penuh antusias.Mata Zavier menatap kosong ke depan, ada rasa perih yang tak bisa disembunyikan di balik senyum kecil yang ia coba u
Pelayan muda itu terdiam sejenak, tampak ragu dengan pertanyaan Nayla. "Tuan... Tuan Bram, Nyonya," jawabnya perlahan, suaranya sedikit gemetar. "Dia yang menjaga Anda selama ini."Nayla memejamkan matanya, mencoba memahami situasi, namun pikirannya tetap berkabut. "Bram? Siapa dia? Aku tidak... tidak ingat siapa dia," gumamnya dengan nada kebingungan."Kamu tidak menjawab pertanyaanku. Siapa namaku? Apa kamu tahu?"Pelayan muda itu menunduk, merasa tidak nyaman dengan kebingungan Nayla. "Nyonya... nama Anda Nadia. Nadia Anderson. Dan anda adalah istri Tuan Bram.""Kalian baru saja menikah minggu lalu dan seseorang menyebabkan Nyonya mengalami kecelakaan," ucap pelayan kecil itu dengan kepala tertunduk.Mata Nayla melebar, perasaan campur aduk antara bingung dan takut menyelimuti dirinya. "Istri? Kecelakaan? Tapi aku tidak ingat apa pun... bagaimana aku bisa menjadi istrinya?""Siapa Bram? Aku tidak bisa mengingat wajahnya sama sekali. Apa y
Pelayan itu tampak ragu untuk menjawab, namun sebelum ia bisa memberikan penjelasan lebih lanjut, pintu kamar terbuka perlahan. Di ambang pintu, berdiri Bram, wajahnya penuh kekhawatiran namun tenang."Nadia," panggil Bram dengan suara dalam, namun lembut. "Kamu sudah bangun, Sayang. Bagaimana perasaanmu?"Bram berjalan mendekat dengan langkah mantap, matanya penuh perhatian saat ia mendekati ranjang tempat Nayla berbaring. Tanpa berkata banyak, ia menunduk dan memberikan ciuman lembut di kening wanita yang ia klaim sebagai istrinya, seolah-olah itu adalah caranya untuk menenangkan pikiran Nayla yang kacau. Sentuhan itu terasa dingin dan asing bagi Nayla, yang masih berjuang mengingat siapa pria di hadapannya."Bukankah kamu mengatakan Tuan ini akan pulang jam enam?" Nayla melirik ke arah pelayan yang mulai canggung dan merasa serba salah. Gadis kecil itu melangkah mundur dengan kepala tertunduk."Senang melihatmu sudah sadar, Sayang," ucap Bram dengan su
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Bram mencoba tersenyum, meskipun senyumnya terlihat kaku. Pria itu berjongkok dengan sebelah kakinya di sebelah Nayla. "Yang penting, kau aman sekarang. Itu yang terpenting. Kita bisa membangun semuanya kembali, bersama-sama.""Kamu akan mengingat semuanya, cepat atau lambat. Cintaku kepadamu akan memulihkan semuanya, Nadia."Nayla mengangguk kecil lalu melanjutkan acara makannya dan Bram melangkah kembali ke kursinya.Namun, kata-kata itu tidak mampu menembus kebingungan di hati Nayla. Setiap gerakan di meja makan terasa mekanis, tanpa emosi yang nyata. Setiap suapan terasa hampa, seolah-olah tidak ada rasa selain perasaan terkurung dalam ketidaktahuan.Tentu saja acara makan malam itu berlalu dalam ketegangan yang tak terucapkan, dengan Nayla yang masih tenggelam dalam upaya mencari jati dirinya, sementara Bram mencoba bertahan dalam kesunyian sambil mempertimbangkan dan meragukan apakah obat yang dia berikan suda
Mereka berjalan menuju ke sebuah ruangan di ujung rumah dan pada saat Bram memutar kenop pintu. Kedua mata Nayla membulat sempurna.Ada berbagai lukisan di sana dan ada juga kanvas besar kosong, kuas, dan beberapa cat minyak. Ia menyiapkannya dengan cekatan di dekat jendela yang menghadap ke taman, memastikan cahaya yang masuk cukup untuk melukis."Semua ini milikmu, Nadia. Dan ini... hasil karyamu yang sangat menakjubkan," ucap Bram seraya menunjukkan sebuah lukisan yang indah dan abstrak."Ini?" tanya Nayla. Suaranya nyaris tidak terdengar.Bram mengangguk kecil lalu mendorong Nayla duduk di sebuah kursi dengan kanvas yang berdiri di depannya."Ini peralatanmu," ucapnya datar, sembari melangkah ke samping, memberinya ruang.Nayla duduk di depan kanvas kosong dengan tatapan hampa, merasakan gemetar halus di tangannya saat ia mengelus kanvas kosong tersebut.Dengan hati-hati, ia mengambil kuas di tangannya. Sentuhan pertam
Nayla segera berlari menuju ke kamar lalu menghempaskan dirinya ke atas ranjang. Menutupi wajahnya yang terasa panas dengan bantal dan meringkuk di dalam selimut.Menangis tanpa dia mengerti alasan dia menangis. Ada sesuatu yang hilang darinya, tetapi dia tidak tahu apa yang hilang sesungguhnya. Dia hanya merasa hancur dan merasa asing di tempat dia berada saat ini, namun tidak mampu menjelaskan apa pun.Dia merindukan seseorang atau sesuatu, tetapi dia tidak tahu apa itu. Sebuah perasaan yang membuat bathinnya terguncang dengan hebat sehingga dia menangis sampai meraung-raung di dalam kamarnya.Bram hanya bisa berdiri mematung di depan pintu kamar dengan kegundahan hati yang sama. Tangannya bergetar hebat. Pria itu ingin sekali memutar kenop pintu dan menerjang masuk untuk memeluk Nayla, tetapi dia tahu bahwa semua itu hanya akan membuat wanita itu lebih tertekan lagi.Bram menutup kedua matanya dan menahan tangannya sendiri, menarik napas dalam-dalam da
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu