Sefia mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Kayla. Menceritakan semua yang terjadi dengan menambahkan beberapa bumbu tentunya.
"Jadi kamu akan membantuku lagi?" tanya Sefia di ujung perbincangan mereka.
"Tentu saja, kamu tunggu dan lihat. Tidak usah menanggapi apa pun saat semuanya terjadi. Fokus dan pergilah melihat keadaan Zavier dan berikan perhatianmu."
Kayla berkata-kata dengan tegas dan seolah-olah kemenangan sudah ada di sana.
"Dokter Bram, bukan? Gampang sekali urusannya kalau begitu." Perkataan Kayla terdengar jelas dan tegas, membuat Sefia mulai merasa lega dan mendapat dukungan.
Panggilan diselesaikan dan Sefia tersenyum puas. Dia sudah bisa lega untuk tertidur.
Sementara itu, Zavier mendengar kabar yang mengejutkan tentang Nayla. Tanpa menunggu lebih lama, dia segera bergegas menuju ke ruang pasien, tempat Nayla dirawat.
Sesampainya di sana, Zavier dengan kursi rodanya melihat Nayla terbaring di ranjang dengan wajah yang
Nayla yang sedang beristirahat terkejut melihat kehadiran Sefia yang tiba-tiba. Sebelum sempat berkata apa-apa, Sefia sudah mendekat dengan cepat lalu melayangkan tangan dan menjambak rambut Nayla dengan kasar. "Kau pikir kau bisa mengambil semuanya dariku, Nayla?" teriak Sefia, wajahnya merah padam, penuh amarah.Nayla terkejut dan kesakitan, kehilangan keseimbangan dan jatuh dari tempat tidur. Dia meringis, mencoba melindungi kepalanya dari cengkeraman keras Sefia. "Lepaskan, Sefia!" Nayla berteriak, berusaha melawan meski tubuhnya masih lemah.Di saat itulah, Dokter Bram kebetulan sedang berjalan menuju kamar Nayla untuk menjenguk. Mendengar suara ribut dari dalam, dia segera membuka pintu dan melihat situasi yang kacau."Hei! Apa yang kalian lakukan? Hentikan ini sekarang!" seru Dokter Bram dengan suara tegas.Dia segera melangkah cepat dan menarik Sefia menjauh dari Nayla. "Sudah cukup, Sefia! Ini rumah sakit, bukan tempat untuk berkelahi!" ucapnya s
Zavier tidak menjawab. Dia hanya menggenggam tangan Nayla lebih erat, seolah ingin menegaskan bahwa Nayla adalah miliknya. Namun, dalam hatinya, dia tahu bahwa ini lebih dari sekadar cemburu. Itu adalah ketakutan yang terus menghantuinya – ketakutan bahwa ia mungkin tidak lagi mampu melindungi wanita yang dicintainya.Nayla merasakan ketegangan yang kian memuncak di dalam ruangan. Matanya bergerak dari Zavier yang terlihat marah dan cemburu di kursi rodanya, ke Dokter Bram yang berdiri dengan sikap tenang namun tegas. Dia tahu bahwa situasi ini bisa semakin buruk jika dibiarkan begitu saja.Dengan lembut, Nayla meraih tangan Zavier yang dingin dan gemetar. "Zavier, tolong… tenanglah," ucapnya, suaranya lembut namun penuh kasih sayang. "Bram hanya mencoba menolongku. Tidak ada yang lain."Zavier menoleh padanya, masih dengan tatapan mata yang penuh kecurigaan. "Aku tahu, Nayla… Tapi aku tidak suka melihatmu berada dalam pelukannya," jawabnya d
Kayla mendengus, terdengar tidak terkesan. “Marah atau tidak, ini bukan waktunya untuk bertindak sembrono. Ingat, Sefia, kau butuh aku untuk mencapai tujuanmu. Jangan buat aku kehilangan kesabaran.”Sefia mengangguk, meskipun tahu Kayla tidak bisa melihatnya. “Aku akan lebih berhati-hati,” katanya dengan nada pasrah.“Bagus,” jawab Kayla, lalu menutup telepon tanpa menunggu jawaban lebih lanjut.Sefia duduk di tepi ranjang, merasa frustrasi dan bingung. Dia tahu dia sudah terlalu jauh terlibat dalam permainan berbahaya ini, tetapi dia juga sadar bahwa dia tidak punya pilihan selain mengikuti Kayla — untuk saat ini.Namun, di dalam hatinya, Sefia mulai merasakan ketakutan yang halus. Bagaimana jika Kayla memutuskan untuk mengkhianatinya?***Keesokan harinya, Zavier tiba di ruang terapi dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa sesi terapi ini sangat penting baginya untuk kembali pulih dan mendapatka
"Hmm, tentu saja. Saya harus sembuh agar bisa menjaga Nayla-ku kembali." Zavier sengaja menekankan akhiran -ku karena dia ingin tahu bahwa Nayla adalah mutlak miliknya.Dokter Bram hanya tersenyum tipis menanggapi semua kalimat Zavier. Dia lebih fokus bagaimana membuat tubuh pria tegang itu menjadi lentur."Mari beristirahat sebentar. Saya akan kembali dengan segelas kopi untukmu," ucap Dokter Bram.Sesaat kemudian, Dokter Bram datang dengan membawa dua gelas kopi dan beberapa roti kering.Mereka duduk di samping sambil menikmati minumannya.Namun, ketika mereka beristirahat sejenak, tanpa sadar Bram melontarkan sebuah kalimat yang membuat suasana semakin tegang. "Nayla benar-benar wanita yang kuat dan luar biasa," katanya sambil tersenyum samar. "Dan tentu saja, dia sangat cantik."Mata Zavier langsung menyala penuh kemarahan. Kalimat sederhana itu, meskipun mungkin tidak berniat buruk, menyentuh titik sensitif dalam dirinya. "Apa maksudmu
Zavier menghela napas, kemudian menatap Nayla dengan serius. "Aku hanya tidak ingin ada orang lain yang mengambil tempatku di hatimu, bahkan jika itu hanya sebagai teman atau dokter."Nayla meraih tangan Zavier, memegangnya erat. "Tidak ada yang bisa menggantikan posisimu. Kamu satu-satunya, Sayang."Zavier meraih pipi Nayla dan memberikan ciuman yang hangat. Mereka sama-sama tersenyum, menyadari cinta dengan ikatan yang kuat di antara mereka.Beberapa saat kemudian, mereka melangkah keluar dari rumah sakit dengan hati yang penuh harapan, siap menghadapi hari-hari berikutnya bersama-sama, meski bayangan kecemburuan masih menyelimuti pikiran Zavier.Di dalam mobil mewah hitam yang melaju tenang, Zavier duduk di sebelah Nayla, menggenggam tangan istrinya yang masih lemah dengan penuh perhatian.Mando, pengawal kepercayaan mereka, fokus mengemudikan mobil melewati jalanan yang mulai ramai. Hanya beberapa meter menjauh dari rumah sakit, Zavier menghela
"Bawa Nayla menjauh dari kehidupan Zavier," jawab Sefia dingin. "Jika tidak, percayalah, ini bukan lagi sebuah kecelakaan kecil. Aku akan memastikan permainan berikutnya jauh lebih mengerikan. Ini hanya peringatan."Bram menarik napas dalam-dalam. “Kau gila, Sefia. Kau... pelakunya? Kenapa kau melakukan ini?”"Karena aku harus," jawab Sefia tajam. "Kau tahu bagaimana rasanya kehilangan kendali, Bram. Aku hanya tidak ingin itu terjadi pada Zavier. Sekarang, buat keputusan. Nayla tidak punya banyak waktu."Bram tahu dia tidak punya pilihan lain. Ada terlalu banyak yang dipertaruhkan. Tanpa menunggu lebih lama, dia meraih jaketnya dan berlari keluar dari kantornya. Sesuatu dalam dirinya terasa hancur saat dia membayangkan Nayla yang mungkin sedang berjuang di antara hidup dan mati."Baiklah, Sefia," katanya sambil menghela napas berat, "Aku akan membawanya jauh dari Zavier. Tapi jika sesuatu terjadi padanya, aku tak akan diam."Panggilan d
Ada sesuatu yang begitu rapuh dan kuat sekaligus dalam penampilannya, membuatnya merasa terpesona. Dia menelan ludah beberapa kali, berusaha fokus pada tugasnya, namun pandangannya tetap tidak bisa lepas dari keindahan yang ada di depannya."Sayang sekali," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, "kulit semulus dan secantik ini menjadi cacat karena luka bakar."Bram tertegun sejenak setelah mengucapkan kata-kata itu. Hatinya tiba-tiba terasa berat, menyadari betapa dalam ketertarikannya pada Nayla. Dia selalu mengagumi kekuatan dan kelembutannya, tapi melihatnya dalam keadaan seperti ini membuat perasaannya semakin jelas. Dia merasa tertarik, terpikat dengan cara yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.Nayla, setengah sadar, merasakan sentuhan lembut Bram di kulitnya. Dia menggigil sedikit, bukan karena dingin, tapi karena kesadaran akan kedekatan yang tidak terduga ini. Dia membuka mata sedikit, dan melihat ekspresi Bram yang penuh perh
Sefia mendekat lebih jauh, suaranya semakin rendah, namun semakin tajam. "Mereka merencanakan pelarian dengan cara kecelakaan ini. Mereka sudah melarikan diri bersama," katanya, matanya menatap tajam ke mata Zavier, seolah mencoba menembus pertahanan batinnya.Zavier merasa dunia sekelilingnya berguncang. "Itu tidak benar! Nayla tidak akan meninggalkanku seperti itu. Dia mencintaiku!" teriaknya, penuh dengan kemarahan dan kebingungan."Kau jangan macam-macam. Aku tahu siasatmu!" seru Zavier dengan mata elangnya, menatap Sefia dengan tajam seolah ingin merobek wanita itu saat ini juga.Sefia mengangkat tangan, seolah ingin menenangkan Zavier. "Aku tahu ini sulit bagimu, Zavier. Tapi aku punya buktinya," ucapnya sambil mengeluarkan ponsel dari saku dan menunjukkan sebuah rekaman video.Di layar, terlihat Nayla sedang berbicara dengan seseorang di tempat yang tidak begitu jelas. Suaranya terdengar jelas: “Aku tidak lagi mencintai Zavier. Semua ini hany
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu