Ada sesuatu yang begitu rapuh dan kuat sekaligus dalam penampilannya, membuatnya merasa terpesona. Dia menelan ludah beberapa kali, berusaha fokus pada tugasnya, namun pandangannya tetap tidak bisa lepas dari keindahan yang ada di depannya.
"Sayang sekali," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, "kulit semulus dan secantik ini menjadi cacat karena luka bakar."
Bram tertegun sejenak setelah mengucapkan kata-kata itu. Hatinya tiba-tiba terasa berat, menyadari betapa dalam ketertarikannya pada Nayla. Dia selalu mengagumi kekuatan dan kelembutannya, tapi melihatnya dalam keadaan seperti ini membuat perasaannya semakin jelas. Dia merasa tertarik, terpikat dengan cara yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Nayla, setengah sadar, merasakan sentuhan lembut Bram di kulitnya. Dia menggigil sedikit, bukan karena dingin, tapi karena kesadaran akan kedekatan yang tidak terduga ini. Dia membuka mata sedikit, dan melihat ekspresi Bram yang penuh perh
Sefia mendekat lebih jauh, suaranya semakin rendah, namun semakin tajam. "Mereka merencanakan pelarian dengan cara kecelakaan ini. Mereka sudah melarikan diri bersama," katanya, matanya menatap tajam ke mata Zavier, seolah mencoba menembus pertahanan batinnya.Zavier merasa dunia sekelilingnya berguncang. "Itu tidak benar! Nayla tidak akan meninggalkanku seperti itu. Dia mencintaiku!" teriaknya, penuh dengan kemarahan dan kebingungan."Kau jangan macam-macam. Aku tahu siasatmu!" seru Zavier dengan mata elangnya, menatap Sefia dengan tajam seolah ingin merobek wanita itu saat ini juga.Sefia mengangkat tangan, seolah ingin menenangkan Zavier. "Aku tahu ini sulit bagimu, Zavier. Tapi aku punya buktinya," ucapnya sambil mengeluarkan ponsel dari saku dan menunjukkan sebuah rekaman video.Di layar, terlihat Nayla sedang berbicara dengan seseorang di tempat yang tidak begitu jelas. Suaranya terdengar jelas: “Aku tidak lagi mencintai Zavier. Semua ini hany
Sefia terkejut, matanya melebar sedikit. "Kota Bandung? Itu terlalu banyak, Kayla. Zavier mungkin dalam kondisi terpuruk, tapi aku tidak yakin dia akan menyerah begitu saja," jawabnya, suaranya mengandung keraguan.Kayla mendekat, menatap Sefia dengan tajam. "Kau tidak punya pilihan lain. Kau tahu apa yang aku bisa lakukan jika kau mencoba membatalkan kesepakatan kita," ancamnya dengan suara rendah namun penuh tekanan."Bukankah saat paling tepat untuk merebut semua ini adalah pada saat dia terpuruk seperti ini?" lanjut Kayla dengan senyum penuh kemenangan.Sefia terdiam, wajahnya menunjukkan konflik batin. Dia tahu Kayla bukanlah seseorang yang mudah dihadapi, dan ancamannya bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan, pasrah."Baiklah. Semua aset Zavier di Bandung akan menjadi milikmu," katanya akhirnya, dengan nada suara yang terdengar lemah dan kalah.Kayla tersenyum puas, merasa bahwa rencan
Cahyo berdiri di ruang kantornya, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Dia tahu betapa sulitnya tugas ini.Kayla dikenal sebagai wanita yang cerdas dan berhati-hati; merayunya bukanlah pekerjaan mudah. Ia berusaha mencari orang yang tepat untuk menjalankan misi ini, tetapi setiap calon yang dia pertimbangkan tampaknya tidak cocok atau tidak cukup tegas.Berjam-jam berlalu, dan Cahyo mulai merasakan tekanan. Keputusan Sefia membuatnya semakin cemas. Akhirnya, dia menyadari bahwa tidak ada orang lain yang bisa dia andalkan untuk menjalankan tugas ini dengan efektivitas yang diinginkan. Hanya ada satu solusi yang tersisa—ia harus melakukannya sendiri.Dengan tekad yang membara, Cahyo memutuskan untuk langsung menghubungi Kayla. Dia tahu bahwa ini akan menjadi tantangan besar, tetapi dia tidak punya pilihan lain. Cahyo mempersiapkan diri dengan hati-hati, mengatur kata-kata dan strategi untuk menghadapi Nyonya Besar Kayla. Dia merasa jantungnya berd
Meja itu telah dipersiapkan, dengan lilin yang menyala lembut di tengah-tengah meja.Selama makan malam, Cahyo berusaha menciptakan suasana yang hangat dan bersahabat. Ia menyiapkan hidangan yang lezat dan berkualitas tinggi, dan berusaha mengarahkan percakapan ke topik-topik yang dapat membuat Kayla merasa lebih santai dan terbuka.Cahyo menjelaskan dengan santai seiring dengan suasana makan malam yang malah terkesan romantis daripada sebuah pertemuan bisnis."Kami ingin mengembangkan property di Bandung itu menjadi sebuah taman wisata dengan wahana permainan dan mendirikan beberapa hotel dengan fasilitas mewah. Bukankah itu ide yang sangat baik?""Anda juga bisa semakin kaya nantinya."Kayla tersenyum dan menyuap mulutnya sendiri dengan daging yang lembut."Jadi, Nyonya Kayla," Cahyo memulai dengan nada lembut, "Apa yang bisa membuat Anda merasa lebih tertarik untuk mempertimbangkan tawaran kami?"Kayla menatap Cahyo dengan tatapan
Saat mereka berdua berdiri di luar parkiran, Cahyo merasa bahwa pendekatannya hari ini telah cukup berhasil. Momen ini, meskipun tampaknya kecil, telah memberikan kedekatan emosional yang tidak terduga. Kayla tampak lebih santai dan mungkin sedikit lebih terbuka setelah insiden itu."Mungkin ini saatnya untuk melanjutkan diskusi kita lebih lanjut," kata Cahyo dengan nada yang lembut dan penuh pengertian.Di dalam mobil yang sedang berjalan. Cahyo sengaja memperlambat laju mobilnya."Jika ada hal lain yang ingin kamu bicarakan atau pertanyaan yang perlu dijawab, aku siap membantu."Kayla memandang Cahyo dengan tatapan yang lebih lembut daripada sebelumnya. "Baiklah, Cahyo. Aku akan mempertimbangkan tawaranmu dan kembali kepadamu dalam waktu dekat."Cahyo merasa lega dan puas dengan hasil malam ini. Meskipun awalnya dia merasa jijik dan tidak nyaman, dia mulai menyadari bahwa interaksi ini bisa menjadi langkah positif dalam mencapai tujuannya.
Namun, di luar sana, badai baru sedang mendekat. Kayla, dengan aset-aset yang baru diperolehnya, mulai merencanakan langkah berikutnya. Dia tahu bahwa permainan ini belum selesai.Dia masih punya rencana yang lebih besar, rencana yang bisa menghancurkan segalanya jika tidak dihadapi dengan hati-hati. Dan dia tahu, satu langkah keliru saja, bisa membuat semuanya berantakan.Sementara itu, di sudut kamar yang gelap, Zavier terus memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong.Kehidupan mungkin telah mengkhianatinya, tetapi di dalam hatinya, masih ada sedikit harapan yang tersisa—harapan untuk menemukan kembali cinta dan kepercayaan yang hilang. Namun, apakah itu akan terjadi, atau hanya sekadar harapan kosong di tengah kegelapan yang semakin pekat?Zavier perlahan berdiri dengan kedua kakinya. "Kakiku sudah membaik. Namun, apakah yang kucari?"Zavier merasa bingung, apakah dia harus pergi mencari Nayla atau menerima kehidupan selama bersama Se
Di malam yang gelap dan tenang, Fernando dengan hati-hati memandu Joen melewati lorong-lorong rumah. Mereka bergerak dengan langkah perlahan, menghindari setiap sudut yang berpotensi terlihat oleh Sefia atau Kayla. Fernando sudah merencanakan segalanya dengan cermat. Dia tahu kapan penjaga akan berkeliling dan tahu di mana tempat-tempat tersembunyi di rumah ini.Ketika mereka tiba di dekat kamar ayah mereka, Fernando berbisik kepada Joen, "Tunggu di sini. Aku akan memastikan jalan bebas."Joen mengangguk dan menunggu dengan jantung berdebar kencang. Beberapa menit kemudian, Fernando kembali dan mengangguk. "Cepat, Joen. Sekarang adalah waktunya."Joen dengan hati-hati membuka pintu kamar Zavier dan melangkah masuk. Cahaya redup dari lampu di sisi tempat tidur membuat ruangan itu terlihat suram. Di dalam, Zavier duduk di kursi rodanya, tatapannya kosong, mengarah ke jendela. Wajahnya tampak letih dan kusam, tidak seperti ayahnya yang dulu selalu ceria dan penuh semangat."Papa Puzzle…"
Nayla menatap Bram dengan kebingungan. "Tapi ini sudah berminggu-minggu, Dokter Bram… Mengapa rasanya tak ada perbaikan sama sekali?"Bram tersenyum lembut, menyentuh pipi Nayla dengan telapak tangannya yang hangat. "Setiap luka butuh waktu, Nayla. Kau harus percaya padaku. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu," katanya dengan suara penuh keyakinan. "Lihat, aku selalu ada di sini, menjagamu. Aku takkan membiarkan kau kesakitan.""Jangan katakan bahwa kamu tidak meragukan ketulusanku?"Mendengar itu, Nayla menundukkan kepalanya.Meskipun kata-kata pria itu terdengar penuh perhatian, ada sesuatu dalam nada suara Bram yang membuat Nayla merasa gelisah. Dia merasa terperangkap dalam perhatian Bram yang berlebihan, seperti seekor burung dalam sangkar emas.Kakinya yang seharusnya sembuh kini malah semakin terasa nyeri setiap harinya. Setiap kali rasa sakit itu datang, Bram selalu datang dengan obat-obatan yang akan menghilangkan rasa sakitnya sem
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu