Setelah pergumulan selama setengah jam, Sefia tiba-tiba duduk di atas perut Bayu. Melihat hal tersebut, gairah Bayu semakin terpancing.
"Ahh, Baby. Kamu ingin di atas?"
Sefia mendengkus, membentuk senyuman simpul di bibirnya.
"Aku ingin kamu membayar untuk hari ini. Apakah kamu masih mau melakukan sesuatu untuk menyenangkanku?"
Bayu menatap Sefia dengan tatapan penuh candu dan berusaha meraih wanita itu dengan menggenggam pinggangnya dengan erat.
"Apa lagi yang kau inginkan, Sefia? Katakan!" Bayu menaikkan tubuhnya untuk mencium Sefia tapi sekali lagi wanita itu menekan bahunya.
"Hufht!"
"Aku ingin membalaskan dendam ini. Lihat wajahku yang dicakarnya!"
Bayu mengelus pipi Sefia dengan lembut, "bukan luka besar. Kamu akan sembuh, Sayang"
Bayu menaikkan tubuhnya kembali, hendak mencium Sefia tetapi sekali lagi wanita itu menekannya bahunya dengan tangannya.
"Dengar dulu!"
"Kamu harus membakar dia, dan ... aku
Nayla mengiringi langkah bangkar yang didorong menuju ke kamar pasien. Hatinya penuh dengan kekhawatiran, tetapi kali ini dia sama sekali tidak mau meninggalkan Zavier.Nayla duduk di samping ranjang pasien, matanya terus tertuju pada wajah Zavier yang masih terpejam, tertidur dalam pengaruh anestesi. Hatinya tak tenang, meskipun wajahnya terlihat begitu lelah. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir kecemasan yang terus menyelimuti pikirannya.Jam demi jam berlalu, dan tubuh Nayla tak lagi mampu menahan kantuk. Perlahan, kepalanya mulai terkulai, bertumpu pada lengan yang disandarkan di atas ranjang Zavier. Dalam lelapnya, ia masih menggenggam tangan Zavier, seolah takut jika genggaman itu terlepas, Zavier takkan pernah bangun lagi.Keesokkan paginya, sinar matahari yang hangat mulai menembus jendela kaca. Zavier membuka matanya perlahan dan menemukan Nayla tertidur dengan kondisi duduk di samping ranjang pasien."Nayla," panggilnya dengan suara terp
Nayla tersipu malu lalu mendekat, memberikan ciuman penuh dengan cinta kepada sang suami. Berusaha memberikan semangat dan dukungan yang dibutuhkan oleh Zavier.Minggu berganti bulan, dan perlahan tapi pasti, Zavier mulai menunjukkan kemajuan. Meski tidak signifikan, ia mulai bisa menggerakkan jari-jari kakinya sedikit demi sedikit. Setiap perkembangan kecil itu menjadi alasan untuk merayakan, untuk bersyukur bahwa mereka masih memiliki kesempatan.Namun, ada hari-hari yang lebih gelap, saat Zavier merasa putus asa dan marah pada nasibnya sendiri. Ia terkadang membentak Nayla tanpa alasan, hanya karena frustrasi dan ketakutan yang tidak bisa ia kendalikan. Nayla hanya mendengarkan, menahan air mata, dan kemudian memeluk suaminya dengan erat. “Tidak apa-apa, Zavier. Aku di sini,” katanya berulang kali, mencoba menenangkan suaminya.Hingga suatu hari, saat sesi terapi yang sangat berat, Zavier terjatuh dan tidak mampu bangun lagi. Rasa sakit menjalar k
Fernando menatapnya dengan kebencian yang tajam. "Kamu bukan Ayahku," ucapnya dengan mantap, lalu berbalik, melangkah cepat menuju rumah sakit, meninggalkan Sefia dan Bayu yang terpaku di tempat, tenggelam dalam perasaan campur aduk dan kebingungan.Sefia merasa hatinya semakin terhimpit. Seberapa besar rahasia yang disembunyikannya kini mengancam kehancuran hubungan dengan putranya, dan semua yang pernah ia anggap sebagai keluarga. "Fernando..." bisiknya, hampir seperti memohon. Namun, putranya tak lagi menoleh. Hanya suara langkah kakinya yang terdengar semakin menjauh.Tiba-tiba Joen tiba dengan dua es krim di tangannya. Tanpa mengetahui apa yang terjadi, Joen tertawa, "Kakak Fernando, es krim milikmu hanya tersisa coklat dan Paman Mando sedang membawa mobilnya ke-"Menyadari Fernando tidak berada di sana, Joen menatap kedua orang di hadapannya dengan bingung. "Di mana Fernando?"Joen mengenal Sefia sebagai ibu Fernando, tetapi dia sama sekali tidak pe
Di luar, matahari mulai terbenam, dan bayang-bayang panjang dari bangunan rumah sakit perlahan menghilang di kejauhan. Mereka membawa Joen pergi, tidak tahu seberapa lama kebohongan ini bisa bertahan."Apa yang kau rencanakan, Bayu?" tanya Sefia dengan ragu. Dia sadar bahwa mereka sedang melakukan tindakan kriminal."Bukankah kamu menginginkan Nayla? Bagaimana cara memancingnya datang kalau bukan dengan memberi umpan?" Bayu membawa mobilnya perlahan menuju ke pinggiran kota."Hanya dengan umpan yang tepat, maka ikan akan mengigit. Jangan melupakan janjimu, Sayang!"***Perjalanan yang jauh membuat Joen kecil mengantuk lalu tertidur di dalam mobil, sementara Fernando berkeliling hanya untuk mencari adiknya."Tante melihat Joen?" tanya Fernando dengan polos saat masuk ke dalam ruangan pasien sementara Zavier sedang melatih gerakan tangannya ke atas dengan dibantu Nayla.Nayla menggelengkan kepala, "bukankah dia datang bersamamu tadi?"
"Anda akan menemukannya, Sayang. Bagaimana bila kita mencari bersama-sama sekali lagi?" ajak ibu sang anak dengan yakin dan penuh semangat.Nayla menganggukkan kepalanya lalu mereka bersama-sama mencari di Rumah Sakit dan sekitarnya, bersama-sama dengan beberapa petugas keamanan. Sementara dua orang petugas keamanan tinggal di sana untuk mengecek rekaman CCTV.Nayla merasa gembira dengan bantuan yang diberikan. Namun, dalam hatinya, dia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar insiden tersesat ini. Nalurinya mengatakan ada ancaman tersembunyi yang mengintai mereka semua.Saat Nayla terburu-buru mencari di koridor rumah sakit, ia tidak melihat seseorang yang muncul dari belokan ruangan. Dalam kepanikannya, ia menabrak tubuh seseorang dengan cukup keras. Seketika, tubuhnya terhuyung ke belakang.“Awas!” seru suara pria dengan nada tegas namun menenangkan.Sebelum Nayla jatuh, pria itu dengan sigap menangkapnya. Tangan kokoh pria tersebut
Nayla mengangguk, mencoba menenangkan dirinya. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa masalah ini jauh lebih besar daripada sekadar anak yang hilang.Sefia dan Bayu tidak mungkin muncul begitu saja tanpa alasan. Ada sesuatu yang mereka rencanakan, dan itu membuat Nayla merasa tidak nyaman."Saya harus menemukan Joen secepatnya," kata Nayla dengan suara tegas. "Apapun yang mereka inginkan, saya tidak akan membiarkan mereka mencelakai anak saya."Dengan tangan gemetar, Nayla segera menghubungi Sefia, tapi panggilannya tak kunjung diangkat. Sefia sengaja mengabaikan panggilan itu.Nayla semakin panik, mencoba sekali lagi, namun tetap tidak ada jawaban."Tersambung?" tanya Bram dengan simpati.Nayla menggelengkan kepalanya dengan lesu. "Aku akan mencobanya sekali lagi."Dokter Bram, melihat kegelisahan Nayla, segera menawarkan diri. "Izinkan saya mencoba," katanya sambil mengulurkan tangan meminta ponsel Nayla. "Mungkin dia akan lebih ter
"Tapi... ini tentang Joen," Nayla tergagap, kebingungan antara ketakutan dan keinginan untuk menyelamatkan anaknya. "Aku tidak bisa menunggu lebih lama.""Kita tidak bisa melibatkan polisi, aku-"Bram meraih tangan Nayla dengan lembut, matanya tajam dan penuh keteguhan. "Bukankah Anda membutuhkan seorang supir, Nyonya Nayla?" katanya sambil tersenyum tipis, mencoba menenangkan ketegangan yang melingkupi mereka berdua.Nayla merasa sejenak tenang dengan nada ringan Bram. "Ya, tapi ini bisa berbahaya. Aku tidak ingin melibatkanmu...""Kita juga belum kenal, ini hanya-"Bram tertawa pelan, menyela perkataan Nayla, "Nyonya Nayla, saya seorang dokter, sudah terbiasa menghadapi situasi darurat. Dan selain itu, Anda butuh bantuan. Saya tidak akan membiarkan Anda menghadapi hal ini sendirian."Nayla menghela napas, akhirnya mengangguk setuju. "Baiklah, tapi kita harus segera pergi. Aku tidak mau membuang waktu."Bram mengangguk, "Tunggu di si
Mereka berdua berjalan memasuki gubuk tersebut dengan hati-hati. Saat matanya mulai menyesuaikan diri dengan cahaya redup di dalam ruangan, Nayla melihat Sefia duduk dengan santai di sebuah kursi reyot, senyuman sinis menghiasi wajahnya.“Wah, kasihan sekali Zavier,” Sefia menyindir dengan nada mengejek. “Dia lumpuh, dan ternyata kamu begitu cepat menggantikannya dengan seorang dokter muda yang tampan,” lanjutnya sambil menatap Bram dengan tatapan mengejek."Jangan-jangan..." Sefia menyibak rambutnya lalu menyugarnya lembut ke belakang, "kamu sudah berselingkuh cukup lama.""Ahh, pria bodoh itu, selalu melihat dirimu yang terlihat polos tapi busuk!" lanjutnya dengan tawa kecil.Nayla merasakan amarah yang tiba-tiba memanas di dalam dirinya. "Jangan memutarbalikkan kenyataan, Sefia. Dan kurangi pembicaraanmu yang tidak perlu. Aku di sini untuk Joen. Di mana dia?!" Nada suaranya tegas dan penuh tuntutan, matanya tak lepas dari wajah
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu