Di luar, matahari mulai terbenam, dan bayang-bayang panjang dari bangunan rumah sakit perlahan menghilang di kejauhan. Mereka membawa Joen pergi, tidak tahu seberapa lama kebohongan ini bisa bertahan.
"Apa yang kau rencanakan, Bayu?" tanya Sefia dengan ragu. Dia sadar bahwa mereka sedang melakukan tindakan kriminal.
"Bukankah kamu menginginkan Nayla? Bagaimana cara memancingnya datang kalau bukan dengan memberi umpan?" Bayu membawa mobilnya perlahan menuju ke pinggiran kota.
"Hanya dengan umpan yang tepat, maka ikan akan mengigit. Jangan melupakan janjimu, Sayang!"
***
Perjalanan yang jauh membuat Joen kecil mengantuk lalu tertidur di dalam mobil, sementara Fernando berkeliling hanya untuk mencari adiknya.
"Tante melihat Joen?" tanya Fernando dengan polos saat masuk ke dalam ruangan pasien sementara Zavier sedang melatih gerakan tangannya ke atas dengan dibantu Nayla.
Nayla menggelengkan kepala, "bukankah dia datang bersamamu tadi?"
"Anda akan menemukannya, Sayang. Bagaimana bila kita mencari bersama-sama sekali lagi?" ajak ibu sang anak dengan yakin dan penuh semangat.Nayla menganggukkan kepalanya lalu mereka bersama-sama mencari di Rumah Sakit dan sekitarnya, bersama-sama dengan beberapa petugas keamanan. Sementara dua orang petugas keamanan tinggal di sana untuk mengecek rekaman CCTV.Nayla merasa gembira dengan bantuan yang diberikan. Namun, dalam hatinya, dia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar insiden tersesat ini. Nalurinya mengatakan ada ancaman tersembunyi yang mengintai mereka semua.Saat Nayla terburu-buru mencari di koridor rumah sakit, ia tidak melihat seseorang yang muncul dari belokan ruangan. Dalam kepanikannya, ia menabrak tubuh seseorang dengan cukup keras. Seketika, tubuhnya terhuyung ke belakang.“Awas!” seru suara pria dengan nada tegas namun menenangkan.Sebelum Nayla jatuh, pria itu dengan sigap menangkapnya. Tangan kokoh pria tersebut
Nayla mengangguk, mencoba menenangkan dirinya. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa masalah ini jauh lebih besar daripada sekadar anak yang hilang.Sefia dan Bayu tidak mungkin muncul begitu saja tanpa alasan. Ada sesuatu yang mereka rencanakan, dan itu membuat Nayla merasa tidak nyaman."Saya harus menemukan Joen secepatnya," kata Nayla dengan suara tegas. "Apapun yang mereka inginkan, saya tidak akan membiarkan mereka mencelakai anak saya."Dengan tangan gemetar, Nayla segera menghubungi Sefia, tapi panggilannya tak kunjung diangkat. Sefia sengaja mengabaikan panggilan itu.Nayla semakin panik, mencoba sekali lagi, namun tetap tidak ada jawaban."Tersambung?" tanya Bram dengan simpati.Nayla menggelengkan kepalanya dengan lesu. "Aku akan mencobanya sekali lagi."Dokter Bram, melihat kegelisahan Nayla, segera menawarkan diri. "Izinkan saya mencoba," katanya sambil mengulurkan tangan meminta ponsel Nayla. "Mungkin dia akan lebih ter
"Tapi... ini tentang Joen," Nayla tergagap, kebingungan antara ketakutan dan keinginan untuk menyelamatkan anaknya. "Aku tidak bisa menunggu lebih lama.""Kita tidak bisa melibatkan polisi, aku-"Bram meraih tangan Nayla dengan lembut, matanya tajam dan penuh keteguhan. "Bukankah Anda membutuhkan seorang supir, Nyonya Nayla?" katanya sambil tersenyum tipis, mencoba menenangkan ketegangan yang melingkupi mereka berdua.Nayla merasa sejenak tenang dengan nada ringan Bram. "Ya, tapi ini bisa berbahaya. Aku tidak ingin melibatkanmu...""Kita juga belum kenal, ini hanya-"Bram tertawa pelan, menyela perkataan Nayla, "Nyonya Nayla, saya seorang dokter, sudah terbiasa menghadapi situasi darurat. Dan selain itu, Anda butuh bantuan. Saya tidak akan membiarkan Anda menghadapi hal ini sendirian."Nayla menghela napas, akhirnya mengangguk setuju. "Baiklah, tapi kita harus segera pergi. Aku tidak mau membuang waktu."Bram mengangguk, "Tunggu di si
Mereka berdua berjalan memasuki gubuk tersebut dengan hati-hati. Saat matanya mulai menyesuaikan diri dengan cahaya redup di dalam ruangan, Nayla melihat Sefia duduk dengan santai di sebuah kursi reyot, senyuman sinis menghiasi wajahnya.“Wah, kasihan sekali Zavier,” Sefia menyindir dengan nada mengejek. “Dia lumpuh, dan ternyata kamu begitu cepat menggantikannya dengan seorang dokter muda yang tampan,” lanjutnya sambil menatap Bram dengan tatapan mengejek."Jangan-jangan..." Sefia menyibak rambutnya lalu menyugarnya lembut ke belakang, "kamu sudah berselingkuh cukup lama.""Ahh, pria bodoh itu, selalu melihat dirimu yang terlihat polos tapi busuk!" lanjutnya dengan tawa kecil.Nayla merasakan amarah yang tiba-tiba memanas di dalam dirinya. "Jangan memutarbalikkan kenyataan, Sefia. Dan kurangi pembicaraanmu yang tidak perlu. Aku di sini untuk Joen. Di mana dia?!" Nada suaranya tegas dan penuh tuntutan, matanya tak lepas dari wajah
"Kamu tidak bisa begitu saja menahan Joen sebagai alat tawar-menawar," katanya dengan suara bergetar, namun tetap penuh tekad.Sefia tersenyum sinis. "Aku bisa melakukan apa saja untuk mencapai tujuanku, Nayla. Jadi, jika kamu ingin Joen kembali dengan selamat, aku sarankan kamu patuh pada permintaanku."Nayla merasa hatinya terjepit, ketidakpastian dan kecemasan membuatnya sulit berpikir jernih. Tapi dia tahu satu hal: dia tidak bisa membiarkan Sefia menang dengan cara ini."Jika aku harus mengatakan itu untuk melihat Joen, aku akan melakukannya. Tapi ingat, Sefia, apa yang aku katakan di depan kamera tidak akan mengubah apa yang aku rasakan dalam hati," katanya dengan tekad."Iya... hanya kamu yang perlu tahu hal itu. Zavier hanya perlu tahu apa yang kamu katakan lewat video ini."Nayla menelan salivanya dan menahan amarahnya, demi Joen."Kamu tahu, aku menginginkan kehidupan yang sempurna dengan Zavier. Menjadi pacarnya dalam waktu yang l
"Kapan aku bisa melihat Joen?" tanyanya dengan suara bergetar hebat, dengan nada penuh harapan dan rasa ingin tahu.Sefia tertawa pelan. "Kamu akan mendapatkan petunjuknya segera. Tapi untuk saat ini, mari kita pastikan semuanya tetap dalam kendali. Aku akan beritahu kamu langkah selanjutnya," ucapnya sambil melihat hasil rekaman. Memeriksa supaya tidak ada kesalahan apa pun.Nayla berdiri dengan rasa cemas dan frustrasi, berharap dan berdoa agar Joen segera kembali kepadanya tanpa harus melalui lebih banyak permainan berbahaya dari Sefia.Sefia, masih dengan senyum licik di wajahnya, mengeluarkan sebuah botol air dari tasnya. "Sekarang, Nayla, minumlah ini," katanya sambil mengulurkan botol itu."Patuhlah, dan aku akan membawamu untuk menemui Joen."Nayla menatap botol dengan penuh keraguan. "Apa yang kamu masukkan ke dalam air ini?" tanyanya, suaranya gemetar karena takut.Sefia hanya tertawa ringan. "Oh, tidak ada yang berbahaya. Hanya se
Sefia tertawa dengan nada rendah, penuh kemenangan lalu melempar sebuah korek api ke tumpukan jerami yang memang sudah disediakan tidak jauh tempat Nayla dan Joen berbaring.Ssementara api mulai menjilat-jilat dinding gubuk yang lapuk. Asap tebal segera memenuhi udara, menutupi pandangan mereka dengan selimut gelap yang mencekik.Bayu terkejut dan segera kembali ke gubuk tersebut. Bayu berjuang melawan kepanikan, tubuhnya tegang saat ia berusaha menyeret Joen dan Nayla menjauhi api, keluar dari bahaya."Kau gila, Sefia!" teriak Bayu lagi, suaranya parau karena asap dan kemarahan yang memuncak. Joen yang setengah sadar batuk-batuk, mencoba memahami apa yang terjadi.Sefia hanya memandang Bayu dengan tatapan dingin. "Aku melakukan apa yang harus dilakukan," katanya tegas. "Kita tidak bisa terus menunggu, Bayu. Ini satu-satunya cara untuk memastikan mereka tidak akan memburu kita."Bayu menggertakkan giginya, menahan keinginan untuk membalas Sefia den
Ketika seorang dokter keluar dari ruang perawatan, Bram langsung mendekat. "Bagaimana keadaannya, Dok?" tanyanya dengan suara yang serak.Dokter menghela napas, menatap Bram dengan ekspresi serius. Tentu saja dia mengenal Dokter Bram dengan baik."Nayla mengalami luka bakar derajat dua di beberapa bagian tubuhnya. Meskipun lukanya tidak terlalu parah, kami tetap harus melakukan perawatan intensif untuk mencegah infeksi dan membantu pemulihannya."Bram mengangguk, mencoba menenangkan diri."Bagian wajahnya tidak terluka, hanya sedikit pada bagian betis dan punggungnya," lanjut dokter tersebut."Aku ingin memastikan dia mendapat perawatan terbaik," katanya dengan nada tegas. "Apa pun yang dibutuhkan, aku akan menyediakannya."Dokter mengangguk dan menepuk bahu Bram dengan simpatik sebelum kembali ke dalam ruang perawatan.Bram mengalihkan pandangannya ke ruangan lain di ujung koridor, di mana Sefia sedang dirawat. Luka di wajah Sefia te
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu