Di dalam kamar mandi, Nayla tak bisa lagi menahan rasa malunya ketika Zavier menyiapkan segalanya untuknya. Suara air yang mengalir membuat keheningan di antara mereka semakin terasa. Nayla mencoba menghindari tatapan Zavier, tapi suaminya yang berdiri di dekatnya hanya tersenyum kecil.
"Tak usah malu," kata Zavier dengan lembut, mencoba menghilangkan ketegangan di antara mereka. "Kita adalah suami istri. Aku sudah pernah melihat segalanya tentangmu, Sayang!"
Nayla merasa wajahnya semakin panas mendengar kata-kata itu. Dia tahu Zavier berusaha membuatnya merasa nyaman, tetapi situasi ini benar-benar memalukan baginya. Namun, ada juga sesuatu yang lain—rasa nyaman yang muncul dari perhatian Zavier. Sesuatu yang mungkin sudah lama tak ia rasakan dan dia harus mengakui bahwa dia merindukan semua itu.
Zavier tetap tenang, menunggu hingga Nayla selesai. Dia tahu, meski mereka sudah bertahun-tahun bersama, ada momen-momen yang memang selalu membawa canggung. Tap
"Aarghh!" Nayla tidak mampu menahan gairah yang sudah dipancing oleh Zavier dalam dirinya secara terus menerus.Dia mencintai pria itu dari sejak semula sampai detik ini. Sekali lagi, dia membiarkan Zavier menguasai dirinya dan memimpin tubuhnya secara aneh.Semua pedebatan mereka terasa seperti sebuah kesia-siaan dan kebodohan yang mereka perbuat hanya untuk memenangkan ego sendiri."Aku mencintaimu," bisik Zavier setelah semuanya selesai. Tubuhnya yang lelah dan lapar terkulai lemas di atas tubuh sang istri.Krukkk! Krukkk!Suara menjijikkan dari perutnya membuat Zavier merasa malu, tetapi dia tetap tidak ingin terpisah dari pelukannya kepada Nayla walau sudah berjam-jam menempel di sana.Nayla menggeser tubuh Zavier darinya sehingga pria itu berbaring di sampingnya, tetapi tetap tidak mau melepaskan pelukannya.Krukk! krukkk!"Zavier, kamu lapar, mengapa tidak memesan makanan saja?" tanya Nayla dengan geli."Hmm, diamlah, aku tetap ingin memelukmu. Aku merindukan kehangatan dari tu
Bayu mendekat dengan senyum penuh arti, lalu berusaha merengkuh Sefia dalam pelukannya. Namun, sebelum dia sempat menyentuhnya, Sefia dengan kasar mendorongnya menjauh."Waktu untuk main-main sudah habis, Bayu," ucap Sefia dengan nada dingin yang membuat senyuman Bayu seketika pudar. Matanya yang tadinya penuh dengan hasrat kini menatap Sefia dengan serius.Bayu menatap wanita dingin itu dengan tatapan kecewa. Dia tahu, hati Sefia tidak pernah ada untuknya."Ada sesuatu yang harus kau lakukan untukku," lanjut Sefia, sambil melirik ke arah ponselnya, memastikan bahwa semua rencananya telah tersusun rapi.Bayu mengerutkan kening, merasa penasaran. "Apa itu?"Sefia tersenyum sinis, seolah menikmati rasa penasaran yang muncul di wajah Bayu. "Nayla akan mengadakan konser dalam waktu dekat. Aku ingin kau memotong lampu-lampu yang ada di atas plafon tempat konser itu. Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana, dan wanita itu tidak akan pernah lagi berdiri
Tidak lama kemudian, Bayu masuk ke dalam kamar dengan membawa dua botol sampanye produksi tahun 90-an.Mereka duduk berdua di tepi tempat tidur, sementara Bayu, dengan tatapan penuh hasrat, mendekatkan dirinya pada Sefia. Dia menariknya ke dalam pelukannya, tapi Sefia merasa kosong."Kamu cantik sekali, Sayang," puji Bayu dengan suara parau. Tangannya tidak berhenti bergerilya di tubuh Sefia.Pria itu tidak tahu, setiap sentuhannya membuat Sefia semakin merasa jijik, namun wanita itu tetap bertahan dalam senyuman palsu. Baginya, ini adalah harga yang harus dibayar untuk memastikan tugas Bayu akan dilaksanakan.Dia tidak mungkin mencari orang lain karena tugas ini bukan hal yang sepele.Malam itu, mereka menjalani apa yang oleh Bayu mungkin dianggap sebagai momen romantis, namun bagi Sefia, setiap detik terasa seperti siksaan. Dia menutup matanya, mencoba menghalau rasa muak yang menghantui pikirannya, dan berpura-pura menikmati setiap detik yang be
"Apakah dengan melenyapkan Nayla, kamu berpikir Zavier akan menerimamu?" tanya Bayu, suaranya penuh dengan nada sinis. "Suamimu itu dingin seperti batu, Sefia. Aku tidak mengerti, mengapa kamu mengorbankan separuh dari umurmu hanya untuk menyenangkan seseorang yang jelas-jelas tidak pernah mencintaimu."Sefia menatap Bayu dengan tatapan tajam, merasa bahwa Bayu tidak pernah benar-benar mengerti apa yang mendorongnya. Dia menahan nafas sejenak sebelum menjawab, "Bukankah kamu juga begitu?"Kata-kata Sefia menghantam Bayu seperti tamparan keras. Mata Bayu melebar, terkejut dengan kejujuran yang tak terduga dari wanita di hadapannya. Dia berusaha mengatakan sesuatu, tetapi kata-katanya terhenti di tenggorokannya. Sefia tersenyum tipis, kali ini bukan dengan kebencian, tetapi dengan pemahaman yang menyakitkan."Kamu tahu betul, Bayu. Kita berdua hidup dalam bayang-bayang cinta yang tak pernah ada," lanjut Sefia dengan suara yang tenang, tetapi penuh dengan kekecewaa
"Semoga kau akan kembali ke pelukanku!"Bayu berharap kata-katanya bisa meluluhkan hati Sefia, atau setidaknya membuatnya merasakan sedikit kelembutan. Namun, yang dia dapatkan hanyalah tawa tipis yang terdengar dari seberang telepon—tawa yang penuh dengan misteri dan ketidakpastian."Kita lihat nanti," jawab Sefia dengan nada santai, seolah-olah apa yang baru saja dilakukan Bayu bukanlah hal besar. Tawa kecilnya mengakhiri percakapan, meninggalkan Bayu dalam keheningan yang menyakitkan.Bayu memegang ponselnya erat-erat, seakan berharap bisa mengubah situasi hanya dengan kemauan. Dia tahu Sefia bukanlah wanita yang mudah dijinakkan, dan apapun yang dia lakukan, Sefia selalu memiliki rencana lain di balik senyumnya yang dingin.Namun, meskipun hatinya terus terluka, dia tidak bisa melepaskan perasaannya terhadap wanita itu.Di sisi lain, Sefia meletakkan ponselnya dan menatap keluar jendela, matanya yang penuh perhitungan menatap jauh ke depa
"Terima kasih karena sudah mau datang untuk berpartisipasi," ucap Nayla, menerima uluran tangan dari Sefia."Nayla, aku ingin memberikan sesuatu untukmu." Zavier mengeluarkan sebuah kotak perhiasan berwarna merah."Ini apa?""Bukalah..." sahut Zavier dengan senyuman tulus.Perlahan, Nayla membuka kotak merah itu dan kedua matanya membulat sempurna.Sebuah kalung berlian dengan batu permata hijau di tengahnya."Ini indah sekali," ucap Nayla dengan tatapan tidak percaya.Zavier segera meraih kalung tersebut dari kotaknya lalu mengalungkannya ke leher Nayla, sementara Sefia menatap kemesraan mereka dengan penuh rasa kecemburuan.Malam ini bukan hanya tentang konser; ini adalah malam di mana Nayla akan menerima hadiah besar dari Sefia—sebuah hadiah yang akan mengubah segalanya."Dia akan tamat hari ini," gumam Sefia dengan senyuman penuh arti.Pada saat di ruangan konser, Sefia menatap ke arah langit-langit, di
Beberapa penggemar melempar bunga dan ada yang melempar boneka serta hadiah lainnya. Para kru segera keluar untuk mengumpulkan hadiah yang berlimpahan di lantai agar tidak menganggu gerakan Nayla dalam acaranya.Senyum lembut menghiasi wajah Nayla saat ia memandang ke arah ribuan penonton yang hadir malam itu. Dengan anggun, dia meraih sebuah buket dan melambaikan tangan ke arah penggemarnya."Saya juga mencintai kalian. Tanpa kalian, Nayla hanya seorang Ibu biasa, seorang istri yang mencintai suaminya," ucap Nayla lalu melihat ke arah Zavier dengan senyuman tulus."Sebelum memulai acara ini, saya sungguh ingin berterima kasih kepada semua yang sudah hadir, lihat ... suamiku ada di sana bersama anak-anakku," ucap Nayla dengan bangga."Saya sungguh mencintai mereka, sama seperti saya sudah memberikan semua cintaku untuk kalian," lanjutnya.Para penonton bertepuk tangan riuh karena merasa terharu dengan ketulusan dan perasaan cinta yang tersampaikan.
Zavier memandang ke atas, matanya melebar saat melihat lampu besar yang tadinya hanya bergetar, kini terlepas dari gantungannya dan mulai jatuh dengan kecepatan yang mengerikan.Zavier tahu bahwa dia tidak punya banyak waktu. Tanpa berpikir panjang, ia meraih Nayla dengan kedua tangannya, menariknya dengan paksa dari posisi di bawah lampu. Tapi sayangnya, gerakan cepat Zavier tidak cukup untuk menyelamatkan dirinya sendiri.Bam!"Zavier!"Dalam hitungan detik yang terasa seperti selamanya, lampu besar itu menghantam panggung dengan suara yang memekakkan telinga."AAaa!""Aaargh!"Terdengar teriakan histeris dari para penonton.Nayla yang berhasil ditarik oleh Zavier ke tepi panggung, dia hanya bisa menjerit saat melihat tubuh Zavier terjatuh di atas panggung. Lampu itu menghantam punggung Zavier dengan keras, membuat tubuhnya terjerembab ke bawah. Suara jeritan penonton bergema di seluruh ruangan, membuat sebuah kekacauan yang
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu