Dengan semangat baru, Zavier kembali ke sesi fisioterapi keesokan harinya. Dia berusaha keras untuk memperbaiki setiap langkah, menjaga agar setiap gerakan tetap akurat dan kuat. Dia mulai melihat beberapa kemajuan kecil, seperti peningkatan jarak tempuh dan penurunan rasa sakit, yang memberinya harapan baru.
Petugas keamanan yang telah menjadi saksi perjuangan Zavier, memberikan pujian dan dorongan. “Kamu melakukan pekerjaan yang sangat baik, Zavier. Setiap hari kamu menunjukkan kemajuan, meskipun lambat. Tetaplah berfokus dan teruslah berusaha.”
Zavier merespons dengan senyuman tipis, merasa lebih termotivasi. “Terima kasih. Aku akan terus berusaha keras. Aku tidak bisa menyerah sekarang.”
Selama beberapa minggu ke depan, Zavier terus melanjutkan latihan dengan dedikasi yang tak tergoyahkan. Dia menghadapi kesulitan dan kemajuan dengan sikap yang sama. Setiap hari adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, dan Zavier memanfaatkan setiap
Zavier berdiri dari kursinya dan berjalan perlahan mendekati layar dengan penuh perhatian. Hujan deras dan kegelapan malam membuat gambar sedikit kabur, tetapi dia bisa mengenali Nayla. Dia tampak sangat tidak nyaman, berdiri dengan tubuh basah kuyub, menggigil karena dingin. Melihat kondisi Nayla, Zavier merasa campur aduk antara kekhawatiran dan kebingungan.“Ini benar-benar tidak mungkin,” Zavier bergumam pada dirinya sendiri. “Kenapa dia masih berada di sini dalam keadaan seperti ini?”Tanpa berpikir panjang, Zavier memutuskan untuk membuka pintu. Dia melangkah keluar, dan hujan yang deras menyambutnya. Dengan cepat, dia mendekati Nayla, yang tampaknya tidak menyadari kedatangan Zavier karena kondisinya yang sangat tidak nyaman.“Nayla!” Zavier memanggilnya dengan nada khawatir, membuat Nayla menoleh dengan susah payah.Nayla menatap Zavier dengan mata penuh keputusasaan. Tubuhnya menggigil, dan air hujan mengalir d
Zavier merasa marah karena wanita yang duduk di hadapannya saat ini, tidak seperti wanita miliknya di masa lalu."Kamu harus menganti pakaianmu yang basah!" seru Zavier, berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menariknya ke kamar."Di lemari ada pakaianmu, gantilah!" seru Zavier dengan ketus.Nayla mengikuti langkah suaminya yang tidak berjalan dengan cepat dan masih pincang."Zavier, kakimu-""Kakiku tidak masalah, kamu urus dirimu sendiri atau nanti kamu sakit, lalu merepotkanku!"Zavier mengambil satu stel pakaian tidur lalu melemparkannya kepada Nayla dan mendorongnya masuk ke dalam kamar mandi."Zav, aku mau pulang-""Ganti dulu pakaiannya!""Tapi ini pakaian tidur-"Bam!Pintu kamar mandi ditutup oleh Zavier.Sesaat kemudian, Nayla keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidur miliknya di masa lalu. Sebuah kemeja tidur dari kain sutera halus yang pernah dia pakai selama menjadi istri Zavier.
Nayla segera masuk kembali ke dalam selimutnya dengan patuh.Zavier menatap Nayla dengan penuh determinasi, tetapi ekspresinya sedikit melunak. “Aku tahu ini sulit untukmu, Nayla. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuk Joen. Jika kamu benar-benar mencintainya, kamu akan mengerti bahwa ini adalah keputusan terbaik.”Nayla merasa kemarahan dan kesedihan bercampur aduk dalam dirinya. “Bagaimana bisa kamu mengatakan itu? Aku tidak akan membiarkan masa depan Joen ternoda hanya karena berita buruk tentangku. Aku lebih memilih berjuang untuk hak asuhnya di pengadilan daripada menerima uang dan kehilangan kesempatan untuk membesarkannya sendiri.”"A-aku benar-benar tidak pernah melakukan apa pun dengan Michael, aku-"Zavier menghela napas dan duduk kembali di kursinya, tampaknya kelelahan dengan perdebatan ini. “Kalau begitu, kalau kamu benar-benar bersikeras, kita akan menyelesaikannya di pengadilan. Tapi aku harus bilang, ini
Perkataan kasar itu membuat Nayla merasa bahwa Zavier jijik kepada dirinya. Nayla mengepalkan tangannya kembali dan membiarkan tubuhnya dengan pasrah, tertindih oleh tubuh Zavier.Zavier sedang memastikan dirinya, apakah masih menginginkan wanita ini sebagai istrinya atau tidak.Ternyata, perasaannya sudah membeku. Dia sama sekali tidak merasakan hasrat untuk meniduri Nayla sama sekali. Dia hanya menghirup aroma yang dia rindukan sampai dia tertidur.Suara dengkuran halus dari Zavier, membuat Nayla merasa terhina. Dia sempat membayangkan adegan mesra yang mungkin membuatnya kembali khilaf atau bayangan bahwa mereka akan kembali berhubungan, menjadi sebuah keluarga yang bahagia.Namun, semua itu pupus.Tidak lama kemudian, Nayla menggeser pelan tubuh Zavier yang cukup berat baginya ke samping ranjang.Pria itu masih tetap mempersona dirinya dan dia merasa sangat bodoh karena mencintai pria yang sama berkali-kali.Nayla mengelus pipi Za
Joen tampak bahagia dan sehat, tidak menunjukkan tanda-tanda gejala autis yang pernah menghantuinya. Fernando tampak seperti saudara laki-laki yang penuh perhatian, dan Nayla bisa merasakan betapa pentingnya hubungan mereka bagi Joen.Zavier berdiri di samping Nayla, memperhatikan reaksi mantan istrinya. “Lihatlah bagaimana mereka berdua bermain bersama. Joen tampaknya sangat bahagia di sini. Aku percaya bahwa dia mendapatkan apa yang dia butuhkan dari lingkungan ini. Aku ingin dia memiliki stabilitas dan kedekatan yang mungkin sulit didapatkan dalam keadaan yang penuh konflik.”Nayla menelan ludah, merasakan beratnya kenyataan yang harus dia hadapi. Air mata mengalir di pipinya saat dia menatap Joen dengan penuh rasa sakit.“Dia tampak bahagia, Zavier. Aku tidak bisa menolak bahwa dia memiliki lingkungan yang baik di sini. Tapi ini tidak membuatku merasa lebih baik.”Zavier menatap Nayla dengan lembut, matanya melihat Nayla dengan
Zavier berdiri di samping meja, memperhatikan para pelayan yang sedang mengatur piring-piring dengan teliti sambil sesekali melirik jam dinding. Pria itu terlihat sangat tampan walau memegang tongkat penyangga di sebelah kanannya.Ketika melihat Nayla keluar dari kamar, wajahnya membaur dengan senyuman. "Selamat datang. Kami sudah siap untuk makan siang," katanya dengan nada ramah."Terima kasih, Zavier. Makanan ini terlihat luar biasa," jawab Nayla sambil mendekati meja. Dia melihat Joen duduk di kursi, matanya berbinar dengan antusiasme yang tidak bisa disembunyikan."Mama," panggil Joen lalu memeluk Nayla dengan penuh kerinduan."Mengapa lama sekali Mama baru datang?""Hum, Mama ada urusan.""Mari duduk, kita semua sudah lapar, bukan?" Zavier segera menggandeng Joen dan menuntunya untuk duduk di kursi sebelah Fernando.Joen tampak sedikit gugup, mungkin karena kehadiran Nayla dan kenyataan bahwa dia akan makan bersama mereka. Namun
Dia tahu, pria ini menyelenggarakan acara makan siang bersama ini hanya untuk menunjukkan bahwa Joen sudah sangat nyaman berada di rumah pantai ini.Zavier ingin agar Nayla mundur tanpa melanjutkan ke pengadilan, mengenai hak asuh yang akan mereka perdebatkan.Semua adalah untuk kebahagiaan Joen!Usai makan siang yang hangat, pelayan mengantar Joen kembali ke kamarnya karena sudah waktunya beristirahat.Saat matahari mulai merendah di cakrawala, langit berubah menjadi palet warna oranye dan merah muda yang memukau. Nayla masih berada di rumah pantai Zavier, meresapi keindahan tempat yang kini terasa seperti oasis ketenangan. Setelah makan siang yang hangat dan penuh makna, Zavier mengundangnya untuk menikmati malam yang lebih istimewa."Bagaimana bila kamu pulang setelah makan malam? Kita belum pernah makan malam bersama di tepi pantai," ucap Zavier dengan perlahan berjalan di samping Nayla, mengiringi langkah Nayla menyusuri pantai dengan pemandan
Nayla memejamkan matanya sejenak, menikmati momen tersebut. "Terima kasih, Zavier. Aku merasa sangat bahagia malam ini."Nayla berharap, semua ini bukan halusinasinya dan dia tidak sedang bermimpi. Lebih parahnya, dia akan kembali mengalami kenangan yang menyakitkan setelah tujuan Zavier tercapai.Nayla harus membentengi dirinya sendiri, namun pada saat ini, dia ingin sebuah dansa. Sesuatu yang dia impikan dari diri Zavier sejak dulu.Ketika lagu selesai, mereka tetap berdansa dalam keheningan yang penuh makna. Zavier menatap Nayla dengan penuh cinta dan penghargaan, sementara Nayla merasakan kedekatan yang tulus dan mendalam walau hatinya masih memiliki kecurigaan yang sama banyaknya.Akhirnya, mereka berhenti berdansa dan duduk di tepi pantai, memandang bintang-bintang di langit malam. Zavier mengeluarkan sebotol anggur sampanye dan membuka tutupnya dengan lembut, menuangkan minuman ke dalam gelas-gelas kristal. Mereka bersulang sekali lagi, merayakan m
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu