Nayla segera masuk kembali ke dalam selimutnya dengan patuh.
Zavier menatap Nayla dengan penuh determinasi, tetapi ekspresinya sedikit melunak. “Aku tahu ini sulit untukmu, Nayla. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuk Joen. Jika kamu benar-benar mencintainya, kamu akan mengerti bahwa ini adalah keputusan terbaik.”
Nayla merasa kemarahan dan kesedihan bercampur aduk dalam dirinya. “Bagaimana bisa kamu mengatakan itu? Aku tidak akan membiarkan masa depan Joen ternoda hanya karena berita buruk tentangku. Aku lebih memilih berjuang untuk hak asuhnya di pengadilan daripada menerima uang dan kehilangan kesempatan untuk membesarkannya sendiri.”
"A-aku benar-benar tidak pernah melakukan apa pun dengan Michael, aku-"
Zavier menghela napas dan duduk kembali di kursinya, tampaknya kelelahan dengan perdebatan ini. “Kalau begitu, kalau kamu benar-benar bersikeras, kita akan menyelesaikannya di pengadilan. Tapi aku harus bilang, ini
Perkataan kasar itu membuat Nayla merasa bahwa Zavier jijik kepada dirinya. Nayla mengepalkan tangannya kembali dan membiarkan tubuhnya dengan pasrah, tertindih oleh tubuh Zavier.Zavier sedang memastikan dirinya, apakah masih menginginkan wanita ini sebagai istrinya atau tidak.Ternyata, perasaannya sudah membeku. Dia sama sekali tidak merasakan hasrat untuk meniduri Nayla sama sekali. Dia hanya menghirup aroma yang dia rindukan sampai dia tertidur.Suara dengkuran halus dari Zavier, membuat Nayla merasa terhina. Dia sempat membayangkan adegan mesra yang mungkin membuatnya kembali khilaf atau bayangan bahwa mereka akan kembali berhubungan, menjadi sebuah keluarga yang bahagia.Namun, semua itu pupus.Tidak lama kemudian, Nayla menggeser pelan tubuh Zavier yang cukup berat baginya ke samping ranjang.Pria itu masih tetap mempersona dirinya dan dia merasa sangat bodoh karena mencintai pria yang sama berkali-kali.Nayla mengelus pipi Za
Joen tampak bahagia dan sehat, tidak menunjukkan tanda-tanda gejala autis yang pernah menghantuinya. Fernando tampak seperti saudara laki-laki yang penuh perhatian, dan Nayla bisa merasakan betapa pentingnya hubungan mereka bagi Joen.Zavier berdiri di samping Nayla, memperhatikan reaksi mantan istrinya. “Lihatlah bagaimana mereka berdua bermain bersama. Joen tampaknya sangat bahagia di sini. Aku percaya bahwa dia mendapatkan apa yang dia butuhkan dari lingkungan ini. Aku ingin dia memiliki stabilitas dan kedekatan yang mungkin sulit didapatkan dalam keadaan yang penuh konflik.”Nayla menelan ludah, merasakan beratnya kenyataan yang harus dia hadapi. Air mata mengalir di pipinya saat dia menatap Joen dengan penuh rasa sakit.“Dia tampak bahagia, Zavier. Aku tidak bisa menolak bahwa dia memiliki lingkungan yang baik di sini. Tapi ini tidak membuatku merasa lebih baik.”Zavier menatap Nayla dengan lembut, matanya melihat Nayla dengan
Zavier berdiri di samping meja, memperhatikan para pelayan yang sedang mengatur piring-piring dengan teliti sambil sesekali melirik jam dinding. Pria itu terlihat sangat tampan walau memegang tongkat penyangga di sebelah kanannya.Ketika melihat Nayla keluar dari kamar, wajahnya membaur dengan senyuman. "Selamat datang. Kami sudah siap untuk makan siang," katanya dengan nada ramah."Terima kasih, Zavier. Makanan ini terlihat luar biasa," jawab Nayla sambil mendekati meja. Dia melihat Joen duduk di kursi, matanya berbinar dengan antusiasme yang tidak bisa disembunyikan."Mama," panggil Joen lalu memeluk Nayla dengan penuh kerinduan."Mengapa lama sekali Mama baru datang?""Hum, Mama ada urusan.""Mari duduk, kita semua sudah lapar, bukan?" Zavier segera menggandeng Joen dan menuntunya untuk duduk di kursi sebelah Fernando.Joen tampak sedikit gugup, mungkin karena kehadiran Nayla dan kenyataan bahwa dia akan makan bersama mereka. Namun
Dia tahu, pria ini menyelenggarakan acara makan siang bersama ini hanya untuk menunjukkan bahwa Joen sudah sangat nyaman berada di rumah pantai ini.Zavier ingin agar Nayla mundur tanpa melanjutkan ke pengadilan, mengenai hak asuh yang akan mereka perdebatkan.Semua adalah untuk kebahagiaan Joen!Usai makan siang yang hangat, pelayan mengantar Joen kembali ke kamarnya karena sudah waktunya beristirahat.Saat matahari mulai merendah di cakrawala, langit berubah menjadi palet warna oranye dan merah muda yang memukau. Nayla masih berada di rumah pantai Zavier, meresapi keindahan tempat yang kini terasa seperti oasis ketenangan. Setelah makan siang yang hangat dan penuh makna, Zavier mengundangnya untuk menikmati malam yang lebih istimewa."Bagaimana bila kamu pulang setelah makan malam? Kita belum pernah makan malam bersama di tepi pantai," ucap Zavier dengan perlahan berjalan di samping Nayla, mengiringi langkah Nayla menyusuri pantai dengan pemandan
Nayla memejamkan matanya sejenak, menikmati momen tersebut. "Terima kasih, Zavier. Aku merasa sangat bahagia malam ini."Nayla berharap, semua ini bukan halusinasinya dan dia tidak sedang bermimpi. Lebih parahnya, dia akan kembali mengalami kenangan yang menyakitkan setelah tujuan Zavier tercapai.Nayla harus membentengi dirinya sendiri, namun pada saat ini, dia ingin sebuah dansa. Sesuatu yang dia impikan dari diri Zavier sejak dulu.Ketika lagu selesai, mereka tetap berdansa dalam keheningan yang penuh makna. Zavier menatap Nayla dengan penuh cinta dan penghargaan, sementara Nayla merasakan kedekatan yang tulus dan mendalam walau hatinya masih memiliki kecurigaan yang sama banyaknya.Akhirnya, mereka berhenti berdansa dan duduk di tepi pantai, memandang bintang-bintang di langit malam. Zavier mengeluarkan sebotol anggur sampanye dan membuka tutupnya dengan lembut, menuangkan minuman ke dalam gelas-gelas kristal. Mereka bersulang sekali lagi, merayakan m
Di luar dugaan, Nayla membalas dengan reaksi yang sama, sebuah pelukan yang penuh kerinduan dan sebuah ciuman tanpa batas.Mereka mulai bergulat di atas ranjang dengan kondisi kesadaran yang tipis.Walau Zavier masih sadar dan berulang kali berusaha menahan dirinya untuk tidak menelan Nayla, tetapi dia kehilangan daya kontrol terhadap pesona yang ditawarkan Nayla.Tubuh mulus dengan kecantikan alami yang hanya pernah disentuh olehnya dan mereka belum pernah selesai dalam urusan perceraian.Desahan demi desahan yang melelahkan mereka alami penuh gelora yang menyala. Sesekali Nayla yang menjadi nahkoda dan sesekali Zavier mengambil alih.Hujan yang turun dengan deras memperpanjang ritme permainan mereka sampai Nayla tidak mampu bertahan lagi. Beberapa kali dia mengigit Zavier karena marah juga cinta. Antara sadar atau juga sedang mabuk."Kamu nakal!" serunya sambil memacukan dirinya di atas Zavier yang kelelahan karena mereka sudah melakukan p
"Joen juga sudah bahagia di sini.""Aku kalah!"Tidak hentinya Nayla merutuk dirinya sendiri.Dia tahu bahwa perjalanannya ke depan tidak akan mudah, tetapi dia merasa sedikit lebih ringan setelah membuat keputusan untuk melepaskan. Sementara Zavier kembali ke kamar untuk bergabung dengan Joen dan Fernando, Nayla meninggalkan rumah dengan langkah yang penuh dengan kehancuran.Dengan hujan yang masih turun di luar, Nayla menutup pintu rumah Zavier di belakangnya, membiarkan dia pergi dengan hati yang penuh perasaan.Keputusan ini mungkin sulit, tetapi dia tahu bahwa ia harus menghadapi masa depan dengan harapan baru dan terus berjuang untuk kebahagiaan Joen, meskipun dia tidak bisa bersamanya setiap hari.Nayla melangkah keluar dari rumah Zavier, merasakan dinginnya hujan di pagi hari yang meresap ke tulang.Hujan masih turun deras, tetapi ia tidak memperdulikan basah kuyubnya. Zavier bahkan tidak menawarkan sarapan untuknya.Ha
“Ini serius, Nayla,” kata dokter dengan nada khawatir. “Kamu harus benar-benar beristirahat jika tidak ingin kondisimu semakin memburuk. Stres dan kelelahan telah memperburuk infeksi ini. Jika kamu terus memaksakan diri, kamu bisa mengalami komplikasi yang lebih serius.”Nayla merasa frustrasi. Konser yang tinggal satu bulan lagi terasa semakin jauh dari jangkauannya. “Aku tidak bisa berhenti berlatih, dokter. Ini adalah kesempatan besar, dan aku tidak bisa mengecewakan semua orang.”Dokter menatap Nayla dengan penuh pengertian. “Aku mengerti betapa pentingnya konser ini bagi kamu, tetapi kamu juga harus ingat bahwa kesehatanmu adalah prioritas utama. Jika kamu terus memaksakan diri, kamu mungkin tidak hanya merusak kesehatanmu, tetapi juga bisa menghambat penampilanmu dalam konser.”Setelah mendengar nasihat dokter, Nayla merasa semakin tertekan. Kesehatannya memburuk, dan dia merasa terjepit antara keinginan untu
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu