Hari-hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka, dan Nayla merasa hatinya mulai melunak. Setiap kali dia melihat Joen bermain dengan puzzle AI dari Zavier, dia merasakan kehangatan yang berbeda. Meskipun Zavier telah menyakiti hatinya di masa lalu, Nayla tak bisa mengabaikan fakta bahwa Zavier mencoba untuk menjadi bagian dari kehidupan Joen.
Suatu sore, Nayla menerima telepon dari Zavier. "Nayla, aku tahu ini tiba-tiba, tapi bisakah aku mengajak Joen ke taman? Aku ingin menghabiskan waktu bersamanya."
Nayla ragu sejenak sebelum akhirnya setuju. "Baiklah, Zavier. Tapi aku juga akan ikut. Aku ingin memastikan Joen baik-baik saja."
Zavier tersenyum di ujung telepon. "Tentu, Nayla. Aku akan menjemput kalian."
Di taman, Joen bermain dengan riang, berlari-lari di sekitar mereka. Nayla dan Zavier duduk di bangku, mengawasi Joen sambil berbicara. Percakapan mereka awalnya canggung, tetapi perlahan-lahan mereka mulai merasa lebih nyaman.
"Nayla," kata Za
Michael merasa hatinya hancur mendengar kata-kata Nayla. Dalam kebingungannya, dia mendekat dan mencoba mencium Nayla dengan paksa.Nayla yang pasrah hanya diam, membiarkan Michael menguasai tubuhnya seperti yang diharapkan oleh pria itu secara sepihak, tetapi Michael segera merasa tidak bergairah dan melepaskan ciumannya sekali lagi karena dia tidak menginginkan ciuman yang pasrah tanpa gairah.Michael duduk kembali di posisinya dan kembali mengancingkan kemeja Nayla yang sempat dibuka olehnya, lalu mengancingkan kemejanya sendiri."Ini salah, Nayla. Aku bukan menginginkan tubuhmu saja, tidak seperti Zavier. Kamu bukan tempat pelampiasan nafsu. Aku menghormatimu dan aku ingin status yang jelas di antara kita bila kita benar-benar ingin melakukannya, bukan penyerahan diri dan dirimu yang pasrah seperti patung, tidak membuatku bergairah," ucap Michael dengan tatapan dingin dan penuh kekecewaan.Nayla tidak mampu menahan air matanya saat mendengar semua per
Mando sendiri tidak percaya ketika pertama kali melihat hasil tes DNA tersebut. Namun, sebagai orang yang teliti, ia melakukan semua verifikasi yang diperlukan sebelum membawanya ke Zavier.Tiga laboratorium dan hasilnya 'sama'.Zavier berhenti berjalan dan menatap Mando, matanya penuh kemarahan dan kebingungan. "Mando, bagaimana ini bisa terjadi? Aku yakin Sefia tidak akan melakukan sesuatu seperti ini. Ada yang tidak beres!" suaranya bergetar dengan emosi yang sulit dikendalikan.Mando menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat."Tuan Zavier, aku tahu ini sulit dipercaya. Aku juga terkejut dengan hasil ini. Tapi kita sudah melakukan tes berulang kali, dan hasilnya tetap sama. Fernando bukan anak kandungmu, tapi Joen... Joen adalah anakmu."Ia menghela napas, "Aku paham, ini sangat rumit, tapi kita harus fokus pada kenyataan dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."Zavier membanting dokumen itu ke meja, suaranya b
Mando tersenyum tipis, meskipun ia sendiri juga merasa berat dengan situasi ini. "Tuan Zavier, saya sendiri sudah lama bersahabat dengan Cahyo. Aku akan menyelidiki motifnya apabila dia memang terlibat. Serahkan padaku."Sejenak, ruangan itu dipenuhi keheningan. Hanya suara napas berat Zavier yang terdengar, sebuah pergolakan besar sedang terjadi dalam dirinya. Keheningan itu akhirnya dipecahkan oleh suara dering telepon Mando. Mando melihat layar teleponnya dan wajahnya berubah serius."Aku harus menjawab ini, Tuan Zavier. Ini mungkin terkait dengan penyelidikan yang kita lakukan," kata Mando sambil menerima panggilan tersebut.Zavier hanya mengangguk, hatinya masih terombang-ambing oleh berbagai emosi. Ia mendengar Mando berbicara dengan nada serius di telepon, membahas sesuatu yang tampaknya sangat penting. Zavier mencoba memusatkan perhatiannya pada apa yang sedang dibicarakan, meskipun pikirannya terus berputar dengan berbagai kemungkinan mengerikan.
"Sepertinya Nyonya Kayla mulai mengalihkan beberapa aset perusahaan Abraham pada saat perhatian Anda teralihkan oleh masalah Nayla juga kematian Tuan Besar Xander."Zavier memejamkan matanya, berusaha menahan air mata yang menggenang. “Pantas Nayla sangat membenciku,” bisiknya, suara penuh dengan penyesalan dan rasa bersalah. “Dan semua ini karena Kayla dan Sefia!”Zavier tidak bisa menahan amarah yang semakin membuncah dalam dirinya. Dia berdiri, tubuhnya gemetar karena marah. “Kenapa kamu belum membawa Sefia? Panggil dia!” serunya dengan nada tinggi, suaranya bergetar dengan amarah yang mendalam."T-tadi, Nyonya Sefia sedang pergi bersama Nyonya Besar Kayla. Tapi, saya sudah menghubunginya. Mereka dalam perjalanan kembali ke rumah," sahut Mando dengan lutut gemetar, melihat reaksi Tuannya yang tidak pernah semarah ini.Zavier merasa dikhianati oleh orang-orang yang paling ia percayai, dan sekarang, ia tidak bisa membi
Sefia menggelengkan kepalanya dengan mata basah. "Yang lahir prematur itu? Kayla mengatakan dia sudah meninggal."Zavier mencibir, "dia lahir prematur dan anaknya hidup tetapi mengalami gejala autis. Dan dia adalah anakku! Anak kandungku!"Zavier menekankan kalimat terakhir dengan suara yang lebih keras."A-a,anakmu?"Sefia tidak mampu menjawab. Dia tahu bahwa apapun yang dia katakan tidak akan memperbaiki apa yang telah hancur. Dia hanya bisa menatap Zavier, air mata tak henti-hentinya mengalir, sementara hatinya terasa hancur seperti kaca yang pecah.Dengan panik, Sefia berlutut di hadapan Zavier, "maafkan aku, Zavier. Demi Fernando. Dia tidak tahu hal ini. D-dia menganggapmu sebagai Ayahnya."Zavier menggelengkan kepala, merasa seolah-olah dunia yang selama ini ia bangun perlahan runtuh di hadapannya. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, Sefia. Aku merasa seperti orang bodoh. Semua ini... karena cinta buta yang tidak m
Michael duduk di sofa, menghela napas panjang sebelum mulai bercerita. "Nayla... dia masih memikirkan Zavier. Aku mencoba menunjukkan betapa aku mencintainya, tapi hatinya masih terikat pada pria itu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi."Nadira mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah beberapa saat, dia berdiri dan berjalan menuju dapur dan membuka kulkas. Michael mengangkat alisnya dengan penasaran ketika melihat Nadira kembali dengan dua botol bir di tangannya."Nadira, kenapa kamu punya minuman seperti ini? Aku pikir kamu sedang dalam perawatan leukemia," tanya Michael dengan bingung."Ini bukan untukku."Nadira tersenyum tipis, memberikan satu botol kepada Michael. "Aku tahu kamu akan datang ke sini dengan hati yang terluka, Michael. Aku menyediakannya untukmu karena tahu kamu akan sakit hati karena kakakku yang selalu menolak cintamu.""Kamu tahu?"Nadira mengangguk, "minumlah, mungkin kamu bisa sedikit lega. Kakakku pasti tetap ak
"Aku tidak meminta kamu untuk membalas cintaku, Michael. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian. Aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi. Begitulah seharusnya arti cinta itu, bukan?"Michael merasakan air mata mulai menggenang di matanya. Dia merasa begitu dihargai dan dicintai oleh Nadira. Meskipun hatinya masih tertuju pada Nayla, dia merasa lega mengetahui bahwa ada seseorang yang begitu peduli padanya."Nadira, terima kasih. Kamu adalah orang yang sangat berarti bagiku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku berjanji akan selalu menghargai perasaanmu," kata Michael dengan suara bergetar dan kepala yang mulai terasa berat.Nadira tersenyum lembut, merasakan kehangatan dalam hatinya. "Itu sudah lebih dari cukup, Michael. Yang aku inginkan hanyalah melihat kamu bahagia."Malam itu, mereka duduk bersama, berbicara dan berbagi perasaan mereka. Michael merasa sedikit beban di hatinya terangkat, sementara Nadira m
"Inikah yang membuat Zavier selalu bertekuk lutut darimu, Nayla? Kamu ternyata sempit sekali. Kamu milikku sekarang dan selamanya," kata Michael dengan suara berapi-api di balik hentakan berirama dan membuat Nadira menjerit kesakitan tetapi merasa bahagia secara bersamaan.Hatinya terasa teriris saat mendengar Michael menyebut nama kakaknya berulang kali, di tengah-tengah penyatuan mereka, tetapi bagaimanapun dia sangat ingin mengalami sentuhan dari pria yang dirindukannya setiap hari.Ketika pagi datang, Michael terbangun dengan kepala yang berat dan perasaan bersalah yang mendalam."N-Nadira?"Dia melihat Nadira tidur di sampingnya, wajahnya yang pucat mengingatkan Michael akan kenyataan yang pahit. Tubuh polos di balik selimut putih yang tipis membuat raut wajah Michael menegang. Dengan cepat, dia menyadari kesalahan besar yang telah dia buat."Astaga..." pekik Michael dengan suara penuh penyesalan. "Apa yang telah aku lakukan?"Nadira te
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu