Zavier menyimpan kembali tangannya dan menatap kepergian kedua orang itu dengan senyum penuh misteri.
"Dia milikku," gumam Zavier dengan tatapan dingin.
***
Acara malam itu berlangsung dengan megah, di sebuah ballroom mewah yang dipenuhi oleh cahaya lampu kristal dan dekorasi elegan. Para tamu berdansa di lantai dansa yang luas, sementara para pelayan berlalu-lalang membawa nampan-nampan berisi minuman dan cemilan yang disajikan dengan mewah. Musik jazz yang lembut mengalun, menciptakan suasana yang hangat dan nyaman.
Nayla dan Michael tiba bersama, tampak serasi dengan pakaian pesta mereka. Nayla terlihat elegan dengan gaun tipis berwarna biru muda yang menunjukkan kemolekan lekuk tubuhnya. Tangan Michael tidak hentinya menempel di punggung Nayla yang terlihat terbuka sampai ke pinggangnya.
Zavier meneguk minumannya dengan kasar melihat itu dan merasa cemburu.
Michael tak pernah jauh dari sisi Nayla, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Set
Nayla terdiam, wajahnya memucat saat rasa bersalah menyerang dirinya. "Michael, aku bisa menjelaskan..." dia mencoba berbicara, namun suaranya terputus-putus.Zavier tetap tenang meskipun situasi semakin memanas. Dia menatap Michael dengan senyum tipis di wajahnya, seolah tidak merasa bersalah sedikitpun. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Michael. Kami hanya berbicara."Michael mendekat lebih jauh, kini berdiri di antara Zavier dan Nayla. "Jauhi istriku," katanya dengan nada rendah yang mengancam, "Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya, Zavier."Zavier mengangkat alis, seolah merasa tertantang. "Tentu, Michael. Tapi ingat, Nayla punya hak untuk memilih apa yang diinginkannya."Sebelum Michael bisa bereaksi, Nayla menarik tangannya, mencoba menghentikan konfrontasi yang semakin panas. "Michael, ayo kita pergi," bisiknya, matanya memohon agar pria itu tidak memperpanjang masalah.Dengan tatapan yang masih marah, Michael akhirnya mengalah dan mengg
Setelah berendam di kamar mandi, mencoba meredakan ketegangan dan menenangkan dirinya, Nayla keluar dengan tubuh yang terasa lebih segar, namun pikirannya masih berkecamuk. Saat dia meraih ponselnya yang tergeletak di meja rias, layar ponsel itu menyala, menampilkan sebuah pesan yang baru saja masuk.Pesan itu berasal dari Zavier."Kapan kamu akan mempertemukan aku dengan Joen?"Nayla terdiam, menatap layar ponsel itu dengan perasaan campur aduk. Pesan dari Zavier membuat hatinya semakin tak menentu.Dia memang sudah berjanji akan mempertemukan Joen dengan ayah kandungnya, tetapi dia tahu, sebuah hal lain akan terjadi pada saat Zavier mulai melakukan test DNA."Apa yang harus kulakukan pada saat Zavier mengetahui tentang anaknya itu? Akankah dia merebutnya dariku?" monolog Nayla dengan wajah termenung di depan meja rias.Bip bip.Sebuah pesan masuk lagi dan itu dari Zavier."Kapan?"Nayla mendengkus lalu mengetik balasan
Zavier memberikan tepuk tangan kecil. "Luar biasa, Joen! Kamu sangat hebat!"Joen tersenyum malu-malu dan kemudian mendekati Zavier, meraih tangannya dengan lembut. Zavier merasa hatinya meleleh melihat sikap manis gadis kecil itu.Nayla tersenyum bahagia melihat interaksi mereka. Dalam hati, Nayla mengakui bahwa Joen jarang begitu dekat dengan orang baru. "Kamu benar-benar punya sentuhan ajaib, Zavier," gumam Nayla sambil menatap Zavier dan gerakannya dalam bermain bersama Joen.Zavier merasa bangga dan bahagia. "Aku senang bisa membuatnya nyaman. Joen adalah gadis yang luar biasa."Nayla mengangguk. "Dia memang luar biasa. Joen memiliki caranya sendiri untuk menunjukkan kasih sayang dan rasa nyaman. Aku sangat berterima kasih kamu bisa menerima dan menghargainya.""Mengapa kamu ingin bertemu dengannya? Dia adalah anak Michael. Bukan anakmu, hentikan kecurigaanmu yang tidak beralasan itu," tegas Nayla sambil tersenyum penuh percaya diri.Za
Malam itu, Zavier pulang dengan perasaan hangat di hatinya. Pertemuan dengan Joen memberikan harapan baru dan rasa kasih yang mendalam. Dia tahu bahwa hanya dengan alasan bertemu gadis kecil itu, dia memiliki kesempatan merebut hati Nayla kembali.Zavier mengeluarkan sebuah tissue yang terlipat rapi dari kantongnya sambil menghubungi Mando."Ya, Tuan?""Kemarilah sekarang juga dan rahasiakan tentang panggilan ini dari Cahyo. Aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku!""Baik!"Saat panggilan ditutup, Zavier tersenyum penuh misteri sambil membuka tissue yang terlipat rapi.Beberapa helai rambut milik Joen kecil.Hanya setengah jam dan Mando sudah hadir di hadapan Zavier, "Tuan.""Lakukan test DNA atas rambut ini dan berikan sampel kepada tiga laboratorium yang berbeda. Aku tidak mau ada kesalahan lagi.""Baik, Tuan.""Ada satu hal lagi," lanjut Zavier."Ya, Tuan?""Lakukan test DNA Fernando," ucap Zavie
Nayla terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Michael. "Michael, aku tidak meminta kamu untuk melupakan atau memaafkan Zavier. Aku hanya ingin memberikan kesempatan bagi Joen untuk mengenal Ayahnya. Aku akan selalu melindungi Joen dan diriku sendiri, tetapi aku juga tidak bisa mengabaikan kebahagiaan Joen.""Ini bukan tentang diriku atau pun perasaanku, Michael. Tapi ini tentang Joen.""Dia terlihat seperti gadis normal pada saat bermain dengan Zavier. Dia berinteraksi dengan Ayahnya. A-aku merasa terharu dengan pemandangan itu."Michael menghela napas, memegang pipinya yang nyeri lalu duduk di sebelah Nayla. "Nayla, aku hanya ingin kamu bahagia dan aman. Aku tidak ingin melihat kamu terluka lagi."Michael menyadari kekurangannya sendiri karena pada saat dia bermain dengan Joen, gadis itu tetap melirik ke arah lain dan bermain dengan dunianya sendiri.Nayla menatap Michael dengan penuh pengertian. "Aku tahu, Michael. Aku sangat menghargai perhatian
Nayla terperanjat dan mematung seketika. Belum sempat dia mengatakan apa pun. Michael sudah merapatkan tubuhnya.Dengan dorongan batin yang kuat, Michael akhirnya memaksa ciuman ke bibir Nayla. Ciuman itu penuh dengan emosi dan keputusasaan. Nayla, yang merasa tertekan dan bingung, tidak melawan; dia membiarkan Michael menciuminya dengan hati yang hancur.Namun, saat ciuman itu berlangsung, Nayla merasa ketidakberdayaan di dalam dirinya. Suara napas yang beradu pelan tanpa gelora juga dapat dirasakan oleh Michael.Michael menyadari bahwa ciuman tersebut tidak mendapatkan respon yang dia harapkan. Ada sesuatu dalam cara Nayla membalas yang menunjukkan betapa dia masih terikat pada Zavier.Michael menarik diri, melepaskan Nayla dengan penuh rasa sakit. Dia menatap Nayla dengan mata yang penuh kesedihan. "Aku tidak bisa melanjutkan ini, Nayla. Aku tahu bahwa dalam hatimu hanya ada Zavier."Nayla menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Michael, aku sa
Nayla memperhatikan dari dapur dengan campuran perasaan. Dia melihat bagaimana Zavier dengan sabar dan penuh perhatian menjelaskan mainan itu kepada Joen. Meskipun dia masih meragukan niat Zavier, dia tidak bisa mengabaikan kebahagiaan yang tampak di wajah Joen.Joen mulai bermain dengan puzzle itu, mencoba menyusun potongan-potongan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh perangkat lunak. Zavier duduk di sampingnya, memberikan dukungan dan bimbingan saat dibutuhkan."Bagus sekali, Joen! Kamu sangat pintar," puji Zavier ketika Joen berhasil menyelesaikan salah satu bagian puzzle lagi.Joen tersenyum lebar. "Ini menyenangkan. Terima kasih, Paman Zavier."Joen memeluk Zavier dengan erat sampai Zavier hampir tertimpa dan mereka rebahan di lantai. Suara tawa Ayah dan Anak itu terdengar nyaring.Nayla, yang sedang memasak di dapur, mendengar percakapan mereka dan merasa hatinya melunak sedikit. Dia masih meragukan niat Zavier, tetapi tidak bisa menga
Zavier menghela napas, mencoba meredakan amarahnya. "Aku hanya ingin melindungi kamu dan Joen. Aku tidak ingin ada orang lain yang menyakiti kamu lagi. Michael itu hanya pengecut, dia akan menyakitimu."Nayla tertawa mendengar semua perkataan Zavier, "justru Michael melindungiku dari kamu. Kamu lupa atas apa yang pernah kamu lakukan padaku?"Zavier menelan salivanya. "Nayla. Aku hanya takut kehilangan kamu lagi."Nayla mendekat, menyentuh lengan Zavier dengan lembut agar pria itu melepaskan daun pintu. "Zavier, aku tidak ingin ada konflik antara kamu dan Michael. Aku ingin kita bisa bekerja sama demi kebahagiaan Joen."Nayla mengerti bahwa keputusan untuk mengizinkan Zavier kembali ke dalam hidup mereka bukanlah hal yang mudah, tetapi dia bertekad untuk memberikan yang terbaik bagi Joen.Dengan hati yang penuh harapan dan keyakinan, Nayla siap menghadapi apapun yang akan datang, demi kebahagiaan anaknya.Setelah percakapan yang mendalam, Nay
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu