Michael tertegun mendengar pengakuan itu. Ia melihat Nadira dengan mata penuh perasaan, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk merespons. "Nadira, aku..."
Nadira menggelengkan kepala dengan cepat, menginterupsi Michael. "Tidak, biarkan aku selesai. Aku mencintaimu, Michael, tapi aku tahu perasaanku ini tidak seharusnya ada. Aku tidak ingin mengganggu hubunganmu dengan Nayla. Kalian berdua sudah melalui begitu banyak hal bersama, dan aku hanya ingin kalian bahagia."
Michael merasakan campuran rasa sedih dan empati. "Nadira, perasaanmu sangat berarti bagiku, dan aku sangat menghargai keberanianmu untuk mengatakannya. Kamu adalah bagian penting dari hidup kami, dan aku tidak ingin melihatmu terluka."
"A-aku, menyayangimu sebagai adikku," lanjut Michael dengan suara tertahan dan dengan lembut membelai rambut Nadira.
Nadira tersenyum lemah, menghapus air mata yang masih mengalir di pipinya. "Aku tahu, Michael. Aku hanya perlu waktu untuk menerima semuanya.
Zavier bahkan tidak dapat menemukan petunjuk mengenai keberadaan sang adik Nayla, Nadira. Kedua orang itu benar-benar seperti sudah sepakat dalam pelariannya."Apakah aku harus mencari sampai ke Luar negeri?" desis Zavier dengan marah.Sefia, yang baru saja datang untuk membawakan bekal makan siang kepada Zavier, duduk di sofa dengan cemas sambil menggendong bayi mereka yang sudah berusia enam bulan.Dia bisa merasakan ketegangan dan kemarahan yang memancar dari suaminya. "Zavier, kamu sudah lama mencari wanita itu, mengapa kamu tidak menganggapnya sudah meninggal saja?"Zavier berbalik, menatap Sefia dengan mata penuh amarah. "Meninggal? Kalau pun meninggal, aku tidak akan memakamkan tubuhnya! Aku akan membekukannya dan meletakkannya di kamarku karena dia sudah begitu kejam dalam meninggalkanku!"Sefia menghela napas, mencoba menenangkan suaminya. "Aku tahu kamu marah, tapi kita perlu tenang dan berpikir jernih. Apakah kamu tidak ingin menggendong
Pikirannya dipenuhi dengan kebersamaan Nayla, tetapi setiap kenangan indah berubah menjadi bayangan hitam yang penuh dengan kemarahan.Dia merasa terjebak dalam lingkaran setan antara mencintai dan membenci Nayla. Setiap kali dia merasa kehilangan dan merindukannya, kebencian itu muncul, mengingatkannya pada semua upaya yang gagal untuk menemukannya.Zavier menghempaskan diri ke kursinya, memijat pelipisnya dengan frustrasi. "Aku tidak akan menyerah," bisiknya pada dirinya sendiri."Aku, tidak akan menyerah, Nayla!""Aku akan menemukanmu, Nayla. Aku akan mendapatkan jawaban atas semua ini.""Aku akan mengikatmu kembali ke ranjangku!"Dengan tekad yang semakin keras, Zavier kembali fokus pada peta di depannya, mencari petunjuk baru, mencari celah yang mungkin terlewatkan. Dia tahu bahwa perasaannya yang campur aduk ini hanya akan berakhir ketika dia menemukan Nayla dan mendapatkan penjelasan yang dia butuhkan."Sepertinya sudah saatnya
"Katakan di mana letak kesalahan perkataanku, Ayah!" Suara Fernando terdengar bergetar, membuat Zavier terdiam. Kata-kata Fernando menusuk hatinya seperti belati. Dia tahu bahwa putranya benar, tetapi dia juga merasa tak berdaya untuk mengubah keadaan.Sefia mendekati mereka, mencoba menengahi. "Zavier, Fernando butuh dukunganmu. Dia butuh Ayahnya, terutama di momen-momen seperti ini.""Mengapa kamu memilih untuk mempermalukannya? Bukannya memberi dukungan? Ini hanya sebuah pesta makan bersama!" lanjutnya sambil menarik Fernando ke dalam pelukannya.Zavier mengalihkan pandangannya, merasa malu dan marah pada dirinya sendiri. "Aku... aku hanya ingin yang terbaik untuknya," katanya pelan, hampir seperti bisikan.Fernando tidak bisa menahan emosinya lagi. "Kalau begitu, tunjukkan dengan berada di sini. Bukan dengan mengusir tamu dan merusak hari pentingku!""Kecuali semua hal ini adalah tentang wanita yang sudah meninggalkan Papa tanpa mengatakan apa
Zavier memegang bahu Fernando dan berusaha menghiburnya, namun sifat Zavier yang canggung malah membuat semuanya semakin sulit.Malam itu, di bawah cahaya lampu kamar yang redup, mereka berdua mulai berbicara dari hati ke hati. Zavier menceritakan tentang perasaannya, tentang Nayla, dan tentang penyesalan yang selama ini menghantuinya. Fernando mendengarkan dengan seksama, meskipun hatinya masih terluka.Sebagian sisi dalam dirinya tidak ingin mendengar tentang wanita lain yang ada di dalam hati sang Ayah, tetapi dia tahuy, Zavier ingin agar dia mengerti tentang masalah yang Zavier hadapi sehingga perhatiannya lebih ke pencarian Nayla.Fernando mendengarkan dengan cermat, menyimak dan sesekali berkomentar, "ternyata Papa yang sudah melakukan kesalahan kepada Nayla."Zavier mengangguk, "itulah kenapa, Papa merasa hidup dalam sebuah perasaan bersalah yang sangat menyiksa."Zavier menutup wajahnya yang terasa panas dengan kedua tangan. Melihat reaksi
Sefia hanya bisa menangis dalam pilu. Air matanya mengalir deras, mengungkapkan rasa sakit yang selama ini dia pendam.Dia mencintai Zavier, tetapi dia merasa tidak lagi mengenali pria yang kini berdiri di hadapannya. Dia merindukan sosok Zavier yang dulu penuh perhatian dan kasih sayang, bukan pria dingin yang selalu mencari alasan untuk menjauh.Sefia duduk di tepi tempat tidur, memeluk lututnya, berusaha menahan isak tangis. Dia tahu bahwa Zavier sedang menghadapi banyak tekanan, tetapi dia juga butuh dukungan dan kehadiran suaminya. Malam itu terasa begitu panjang dan penuh kesepian, dengan hanya isak tangis lembut yang menemani kesunyian.Sefia memeluk dirinya sendiri dan terus menangis di ranjang mewah yang dingin dan sepi dalam keheningan nan abadi.Zavier melajukan mobilnya dengan kecepatan stabil menuju kembali ke kantor yang sudah menjadi rumah kedua baginya selama ini.Apa yang dia lihat pada saat Sefia membuka kemeja tidurnya berhasil m
"Iya, Tuan. Bagaimana bila besok kita akan berangkat ke Australia?" tanya Mando dengan was-was."Pesan tiket! Kita ambil penerbangan pertama besok pagi!" seru Zavier dengan gembira dan bersemangat.Tetapi kali ini, Zavier merasakan perasaan berbeda. Alih-alih rasa gembira dan antusiasme, dia merasakan kebingungan dan keraguan. Dia tahu bahwa mengejar petunjuk ini berarti mengabaikan keluarganya sekali lagi. Dan kali ini, dia tidak yakin apakah dia sanggup melakukannya.Zavier kembali berjalan mondar-mandir dan mengelilingi ruang kerjanya sambil berpikir.Setelah berpikir panjang, Zavier memutuskan untuk memanggil Sefia dan Fernando. Dia tahu bahwa dia harus berbicara dengan kedua orang itu, harus jujur tentang perasaannya dan tentang petunjuk baru ini.Di ruang tamu, Sefia dan Fernando sedang duduk bersama, berbicara pelan. Ketika mereka melihat Zavier masuk, suasana menjadi tegang. Zavier tahu bahwa ini adalah momen penting. Dia menarik napas dala
Perjalanan ke Bandara terasa seperti mimpi buruk yang panjang bagi Zavier. Setiap kilometer yang dia tempuh, dia merasa semakin jauh dari keluarganya, tetapi semakin dekat dengan jawaban yang selama ini dia cari. Pemandangan indah di luar kaca jendela mobil tidak bisa menghilangkan rasa bersalah yang terus menghantui pikirannya.Sementara di rumah, Sefia berusaha menangis dengan kuat di dalam kamar mewah yang terasa sepi, dia harus kembali menjalani hari-harinya tanpa Zavier. Rasa sakit dan kecewa semakin membebani hatinya.Fernando, yang melihat ibunya menangis saat dia masuk ke dalam kamar, merasa semakin marah pada ayahnya. Fernando segera mendekati Sefia."Mama, kenapa istri pertama Ayah belum meninggal juga? Kenapa dia masih ada dalam hidup kita?" tanyanya dengan suara penuh kebingungan dan kemarahan.Sefia tidak mampu menjawabnya. Pertanyaan itu terlalu menyakitkan dan rumit untuk dijawab karena dia juga memiliki pertanyaan yang sama.Dia han
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, mereka akhirnya bisa menyelesaikan masalah dan kembali ke mobil. Namun, waktu yang terbuang membuat Zavier semakin khawatir.Ketika mereka akhirnya tiba di bandara, suara pengumuman terakhir untuk penerbangan Zavier sudah terdengar."Dengan sangat menyesal, kami harus memberitahukan bahwa pintu keberangkatan untuk penerbangan ke Bunbury telah ditutup. Penumpang yang tertinggal diminta untuk menghubungi konter tiket."Suara dari mesin penerjemah bergaung di telinga mereka, membuat Zavier merasa putus asa. Dia berlari menuju konter tiket, berharap masih ada kesempatan untuk naik ke pesawat. "Tolong, saya harus naik penerbangan itu. Ini sangat penting," pintanya kepada petugas di konter tiket.Petugas tersebut menatap Zavier dengan ragu, tetapi menggelengkan kepala. "Maaf, Tuan. Pintu keberangkatan sudah ditutup. Anda bisa mengatur penerbangan berikutnya."Zavier marah kepada Cahyo dan Mando. "S
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu