Acara amal itu berakhir dengan sukses, dan Sefia pulang dengan perasaan yang jauh lebih baik. Walau Zavier hanya diam dan tatapannya tetap dingin, dia tidak peduli. Dia tahu bahwa masih ada banyak tantangan di depan, tetapi dia siap untuk menghadapi semuanya demi bayinya.
Hari-hari berikutnya, Zavier tidak mengunjungi Nayla sama sekali, dia membiarkan bagaimana keputusan Nayla. Memberikan kebahagiaan yang dia inginkan.
Zavier kembali sibuk dengan pekerjaannya sebagai sebuah pelarian atas kehidupan dan kerumitan masalah dalam hubungan pribadinya.
Namun, lain halnya dengan Nayla, wanita itu masih juga tidak dapat melepas dirinya dari kedua wanita licik yang membencinya, yaitu Kayla dan Nayla.
Minggu ini, kedua wanita itu berhasil mendapatkan kesempatan selama dua jam untuk berbelanja bersama setelah Sefia merenggek beberapa kali. Zavier luluh setelah menyaksikan sendiri keakraban yang kedua wanita itu tunjukkan pada saat acara amal kemarin.
&nb
Setelah beberapa menit, Nayla kembali ke meja dengan pesanan mereka. Dia meletakkan piring-piring dan gelas-gelas dengan hati-hati, berusaha untuk tidak menunjukkan betapa terluka hatinya oleh perlakuan Kayla dan Sefia.Kayla dan Sefia saling bertukar pandang, mereka berusaha mencari kesalahan dalam makanan yang sudah disajikan."Gila, ini enak," seru Magareta secara tiba-tiba. Dia tidak mengenal Nayla sama sekali dan berseru hanya setelah menikmati makanan yang masih terasa hangat di lidah dan rasanya pas.Mendengar pujian itu, Kayla menatap Nayla dengan pandangan merendahkan dan segera mencoba makanan yang sudah disajikan. Kedua wanita licik itu kehilangan kata-kata pada saat lidah mereka mengecap makanan yang disajikan dan ternyata sangat pas rasanya di lidah.Tanpa mau mengaku rasa yang ada di lidahnya, Sefia berkata dengan suara datar, “pastikan minuman kami datang dengan cepat, dan jangan membuat kami menunggu terlalu lama.”Nayla
Sefia memegang perutnya dan merasa heran, "ya, memangnya kenapa?""Aahhh, gawat. Cepat panggil tim medis!" perintah kepala koki kepada pelayan kecil yang ikut menyaksikan keributan.Baru saja pelayan kecil itu mengangkat ponselnya, Sefia sudah memegang perutnya yang terasa panas."A-apa yang kamu masukkan dalam makanan kami?" tanyanya dengan suara bergetar, disusul oleh Kayla dan Magareta yang memegang perutnya sesaat kemudian."Aaahhh, ini sakit sekali. K-kamu meracuni kami, Nayla!" seru Kayla sambil mengarahkan telunjuknya yang bergetar karena menahan rasa panas di dalam perutnya.Nayla menatap mereka dengan aneh dan tidak mengerti. Sementara kepala koki segera berseru, "bukan dia. Nyonya kami tidak bersalah. Aku yang memasukkan gluten dengan susu dalam jumlah berlebihan untuk perut kalian, kalian hanya akan mengalami diare, bukan masalah besar ... kecuali dia."Kepala koki mengarahkan telunjuknya ke arah Sefia. "Kamu mungkin mengalami sed
"Mohon maaf, apakah Anda sedang tidak sehat?" Mando mencoba menciptakan suasana yang tidak canggung di dalam mobil.Nayla menggelengkan kepalanya, "tidak apa-apa, hanya sedikit flu."Seusai mengatakan demikian, Nayla memilih diam dan menutup matanya. Dia berusaha membuat dirinya nyaman dengan posisinya yang sedang duduk di kursi di bagian belakang.***Di dalam rumah mewah milik Zavier, Sefia sudah ditempatkan kembali ke kamarnya di sisi Barat Rumah. Zavier ingin memastikan kelahiran Sefia tidak mengalami masalah apa pun sehingga dia membawa istrinya keluar dari Rumah Sakit. Bahkan dia mempersiapkan semua yang dibutuhkan.Saat Zavier sampai di rumah, pelayan buru-buru menghampiri dan menyatakan bahwa Sefia sudah memasuki fase kelahiran. "Mungkin dalam minggu ini akan melahirkan," katanya dengan nada cemas.Zavier segera melepaskan jas kerjanya, menatap pelayan dengan wajah tegang. "Apakah semuanya sudah dipersiapkan?" tanyanya cepat.
Zavier memilih tidak menjawab dan menatap ke lantai yang dingin.Dengan langkah berat, Nayla berdiri lalu melangkah keluar dari rumah mewah itu, awalnya dia berharap bahwa Zavier bisa segera memproses perceraian yang sudah cukup lama ini.Dia ingin agar dengan perceraian ini bisa segera berakhir dan dia bisa menemukan kedamaian dalam hidupnya."Sebegitu besarkah kebencian dalam dirimu?" tanya Zavier tiba-tiba.Zavier berdiri dan melangkah menuju ke sebuah meja lalu membuka laci pertama. Dia mengeluarkan sebuah dokumen kemudian menghempaskannya dengan kasar ke atas meja.Bruk!Langkah Nayla terhenti. Kedua mata Nayla basah menghadapi pertanyaan yang dilontarkan Zavier. Dia berbalik dan menatap dokumen yang berada di atas meja Zavier, tidak jauh dari tempatnya berdiri."Inikah yang kamu inginkan sehingga tega mencelakai Anakku?"Nayla terkejut mendengar suara kasar Zavier yang memecah keheningan. Dia melihat ke arah meja, di mana
Cahyo dan Mando segera melaksanakan perintah Zavier, dan dalam beberapa menit, mereka semua berada di dalam mobil, melaju menembus hujan deras. Zavier berusaha keras untuk melihat jalanan yang hampir tertutup oleh curahan air hujan.Saat mereka mendekati halte bus, Zavier melihat sosok Nayla yang tampak lemah di bawah naungan kecil halte. Hatinya semakin gelisah ketika menyadari betapa rapuhnya Nayla terlihat. Dia segera memberhentikan mobil dan berlari keluar tanpa memedulikan hujan yang membasahi dirinya."Nayla!" panggilnya dengan cemas saat mendekati wanita itu. Namun, Nayla tidak memberikan respons. Zavier mendekat dan melihat Nayla terbaring di bangku halte, ternyata wanita hamil itu sudah tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, dan tubuhnya menggigil kedinginan."Cahyo, Mando! Cepat bantu aku!" Zavier berteriak panik. Keduanya segera berlari mendekat dan bersama-sama mengangkat Nayla dengan hati-hati ke dalam mobil.Zavier duduk di samping Nayla, mencob
"Baik, Tuan." Mando dan Cahyo menjawab secara serempak.Tidak lama kemudian, seorang petugas medis datang untuk mengambil sampel DNA bayi mereka. Zavier berdiri di sudut ruangan, menyaksikan dengan wajah tanpa ekspresi. Sefia menggenggam erat tangan bayi mereka, mencoba menenangkan diri dan meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.Proses pengambilan sampel berlangsung cepat dan tanpa banyak kata. Petugas medis itu meninggalkan ruangan dengan janji bahwa hasilnya akan segera keluar. Sefia menatap Zavier, mencari penghiburan di dalam tatapan suaminya, namun hanya menemukan dinginnya ketidakpastian.Tidak lama kemudian, Sefia dan bayinya sudah dibawa kembali dengan bankar menuju ke sisi Barat di dalam rumah mewah tersebut, sementara Nayla tertinggal di dalam kamar Zavier.Zavier kembali ke ruang tamu, Zavier bergerak menuju ke meja kerja dan membuka laci pertama. Ditangannya sedang menggenggam surat perceraian yang sedikit basah milik Nayla. Dengan kas
Usai mengetik pesan, Nayla segera mematikan ponselnya tanpa menunggu jawaban pesan balasan dari Gibril. Nayla segera berjalan perlahan dan menuju kembali ke ranjang, merebahkan diri di samping Zavier dan membiarkan pria itu kembali memeluknya.Mereka tertidur sampai pagi hari.Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan keheningan yang menyakitkan. Sefia merawat bayi mereka dengan penuh kasih sayang, berusaha melupakan rasa sakit di hatinya. Zavier, meskipun tetap berada di rumah, tampak lebih sering menghindari kontak mata dengan Sefia. Pria itu lebih sering berada di kamarnya dan menghabiskan waktu hanya untuk menatap Nayla sedang makan siang ataupun makan malam.Hingga akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Petugas medis kembali dengan amplop di tangannya. Dengan tangan yang bergetar, Zavier membuka amplop itu, membaca hasilnya dengan seksama.Sefia menunggu dengan jantung berdebar, berharap agar semua keraguan akan segera sirna, sementara Nayla tidak meng
Zavier segera menenggelamkan bibirnya ke ceruk leher Nayla dan menyesapnya dengan keras, tangannya mulai meraba dengan liar, membuat Nayla merasa kesakitan karena dia baru melahirkan dan buah dad*nya sedang berisi susu tanpa bisa mengeluarkannya apalagi memberikannya kepada bayi yang tidak pernah dia lihat sama sekali."S-sakit," rintih Nayla dengan suara tertahan, "Zav, aku baru melahirkan. Ini sakit!"Mendengar itu, Zavier tersadar lalu melepaskan Nayla. Zavier mengatur napasnya yang menderu-deru lalu menarik bantalnya.Berdiri dan melangkah keluar dari kamar.Bam!Pintu kamar dibanting dengan keras oleh pria itu. Zavier memilih tidur di kamar sebelah karena kesal dengan kecemburuan yang dia tidak mengerti sama sekali.Hari-hari berikutnya, Zavier sama sekali tidak singgah di kamarnya sendiri. Apalagi bertutur sapa dengan Nayla. Pria itu bahkan mengutus pelayan untuk mengambil pakaian dan kebutuhannya karena merasa enggan dan tidak perlu m
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu