"Baik, Tuan." Mando dan Cahyo menjawab secara serempak.
Tidak lama kemudian, seorang petugas medis datang untuk mengambil sampel DNA bayi mereka. Zavier berdiri di sudut ruangan, menyaksikan dengan wajah tanpa ekspresi. Sefia menggenggam erat tangan bayi mereka, mencoba menenangkan diri dan meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Proses pengambilan sampel berlangsung cepat dan tanpa banyak kata. Petugas medis itu meninggalkan ruangan dengan janji bahwa hasilnya akan segera keluar. Sefia menatap Zavier, mencari penghiburan di dalam tatapan suaminya, namun hanya menemukan dinginnya ketidakpastian.
Tidak lama kemudian, Sefia dan bayinya sudah dibawa kembali dengan bankar menuju ke sisi Barat di dalam rumah mewah tersebut, sementara Nayla tertinggal di dalam kamar Zavier.
Zavier kembali ke ruang tamu, Zavier bergerak menuju ke meja kerja dan membuka laci pertama. Ditangannya sedang menggenggam surat perceraian yang sedikit basah milik Nayla. Dengan kas
Usai mengetik pesan, Nayla segera mematikan ponselnya tanpa menunggu jawaban pesan balasan dari Gibril. Nayla segera berjalan perlahan dan menuju kembali ke ranjang, merebahkan diri di samping Zavier dan membiarkan pria itu kembali memeluknya.Mereka tertidur sampai pagi hari.Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan keheningan yang menyakitkan. Sefia merawat bayi mereka dengan penuh kasih sayang, berusaha melupakan rasa sakit di hatinya. Zavier, meskipun tetap berada di rumah, tampak lebih sering menghindari kontak mata dengan Sefia. Pria itu lebih sering berada di kamarnya dan menghabiskan waktu hanya untuk menatap Nayla sedang makan siang ataupun makan malam.Hingga akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Petugas medis kembali dengan amplop di tangannya. Dengan tangan yang bergetar, Zavier membuka amplop itu, membaca hasilnya dengan seksama.Sefia menunggu dengan jantung berdebar, berharap agar semua keraguan akan segera sirna, sementara Nayla tidak meng
Zavier segera menenggelamkan bibirnya ke ceruk leher Nayla dan menyesapnya dengan keras, tangannya mulai meraba dengan liar, membuat Nayla merasa kesakitan karena dia baru melahirkan dan buah dad*nya sedang berisi susu tanpa bisa mengeluarkannya apalagi memberikannya kepada bayi yang tidak pernah dia lihat sama sekali."S-sakit," rintih Nayla dengan suara tertahan, "Zav, aku baru melahirkan. Ini sakit!"Mendengar itu, Zavier tersadar lalu melepaskan Nayla. Zavier mengatur napasnya yang menderu-deru lalu menarik bantalnya.Berdiri dan melangkah keluar dari kamar.Bam!Pintu kamar dibanting dengan keras oleh pria itu. Zavier memilih tidur di kamar sebelah karena kesal dengan kecemburuan yang dia tidak mengerti sama sekali.Hari-hari berikutnya, Zavier sama sekali tidak singgah di kamarnya sendiri. Apalagi bertutur sapa dengan Nayla. Pria itu bahkan mengutus pelayan untuk mengambil pakaian dan kebutuhannya karena merasa enggan dan tidak perlu m
"Kami juga tidak tahu," ucap Cahyo dan Mando mulai merasa ketakutan."R-rahimnya rusak?" tanya Zavier sambil memegang kerah kemeja sang dokter dengan ekspresi marah."Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin.""Tidak berguna!" seru Zavier lalu melepaskan sang dokter.Dengan putus asa, Zavier masuk ke dalam ruangan ICU di mana Nayla dirawat. Melihat Nayla yang terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya membuat hatinya pilu. Dia duduk di samping tempat tidur dan memegang tangan Nayla dengan lembut."Nayla, aku di sini. Tolong bertahanlah," bisiknya.Sementara itu, di rumah, Sefia merasa gelisah. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres, dan kekhawatiran akan keadaan Zavier dan Nayla membuatnya sulit tidur. Sefia bangkit dari tempat tidurnya dan menuju ke kamar bayi mereka. Dia menatap bayinya yang tidur dengan tenang, merasa sedikit lega melihat wajah mungil itu. Namun, pikiran tentang Nayla dan Zavier terus m
Hari demi hari berlalu, dengan Nayla yang tetap tidak sadarkan diri. Waktu terasa seperti berhenti bagi Nayla yang terpisah dengan dunia nyata.Selama tiga bulan penuh, Nayla tetap dalam keadaan koma. Dia bisa merasakan keberadaan seorang pria di sampingnya, tetapi dia yakin, itu bukan Zavier. Pria itu memastikan Nayla mendapatkan perawatan terbaik, meskipun tidak ada yang tahu alasannya melakukan semua ini. Nayla bisa merasakan bahwa pria itu terus berusaha mencari cara untuk membuat Nayla sadar kembali."Siapa?"Namun, Nayla tetap tidak mampu membuka matanya apa lagi menggerakkan anggota tubuhnya yang mati rasa.Sementara itu, di kantor, Zavier dilanda kecemasan yang tak berujung. Ketika mendapatkan kabar mengenai kehilangan Nayla dan peristiwa kebakaran yang menipu penjagaan Mando, hatinya merasa hancur dan marah karena ada yang sudah berani sekali melawannya.Setiap hari yang berlalu tanpa mengetahui keberadaan Nayla menjadi beban yang tak tert
"Gibril yang membawa aku ke sini?" Nayla bertanya, matanya mencari jawaban di wajah Michael."Ya, aku akan menceritakan semuanya padamu pelan-pelan," Michael menjawab, sedikit ragu. "Tapi yang pasti, kamu aman sekarang. Kamu jangan terkejut dulu. Yang terpenting sekarang adalah pemulihanmu."Nayla menatap Michael dengan campuran emosi yang berkecamuk di dalam hatinya. "Aku harus bicara dengan Zavier. Dia pasti sangat khawatir."Michael tersenyum lembut dan menepuk tangan Nayla. "Nayla, Zavier sudah tidak layak untukmu, dia yang menyebabkan semua ini. Untuk sekarang, kamu perlu istirahat dan memulihkan diri.""Dia yang menyebabkan? A-apa maksudmu?""Tidurlah dulu, aku akan menceritakan semuanya nanti."Nayla mengangguk pelan, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan pertanyaan dan kecemasan. Dia menutup matanya, mencoba mengumpulkan kekuatan karena tubuhya terasa lemah tidak bertenaga.Keesokkan paginya, ketika Michael duduk di samping t
Dalam hati, Nayla terkejut karena seolah-olah melihat sosok kecil Zavier yang ada pada bayi perempuan tersebut."Dia memang mirip Zavier, entah kenapa, aku sungguh berharap dia adalah anakku," ucap Michael di samping mereka seolah-olah mengerti arti pandangan Nayla.Nayla mengangguk sedikit, memeluk bayinya dengan lembut, merasakan ikatan yang begitu kuat meskipun kondisi fisiknya masih lemah. Bayinya merespons dengan senyuman kecil yang membuat hati Nayla terasa lebih ringan. Dia merasa kekuatan dan semangatnya kembali sedikit demi sedikit.Rambutnya yang hitam dan tebal serta beningnya kedua mata bayi itu membuat Nayla merasa terharu.Michael dan Nadira berdiri di dekatnya, memberikan ruang bagi momen berharga itu. Michael kemudian berkata, "Nayla, kita akan memastikan kamu mendapatkan perawatan terbaik agar kamu bisa pulih dan menggendong bayimu sendiri. Kami semua ada di sini untukmu."Nayla menatap Michael dan Nadira dengan penuh rasa syukur.
Nayla mengerutkan kening, rasa penasaran bercampur kekhawatiran menguasai dirinya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Michael?"Michael menarik napas dalam-dalam sebelum mulai menceritakan. "Zavier menjebakku, Nayla. Dia membuat situasi yang memaksa kami semua harus meninggalkan Indonesia saat itu juga. Zavier telah memanipulasi beberapa pihak, membuatnya tampak seolah-olah aku terlibat dalam kejahatan yang tidak pernah kulakukan. Ini semua adalah bagian dari rencananya untuk menguasai lebih banyak aset dan memperlemah posisiku."Nayla terkejut mendengar ini. "Tapi kenapa? Apa yang dia inginkan darimu?""Kamu!"Nayla menatap Michael tanpa berkedip."Zavier selalu ingin lebih, selalu mencari cara untuk mendapatkan kekuasaan dan uang juga dirimu. Dia melihatku sebagai ancaman dan berpikir dengan menyingkirkanku, dia bisa lebih mudah mencapai tujuannya," jelas Michael."Aku tahu, jika kita mengikuti rencana Zavier dan pergi ke Amerika, kita hanya ak
Michael tertegun mendengar pengakuan itu. Ia melihat Nadira dengan mata penuh perasaan, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk merespons. "Nadira, aku..."Nadira menggelengkan kepala dengan cepat, menginterupsi Michael. "Tidak, biarkan aku selesai. Aku mencintaimu, Michael, tapi aku tahu perasaanku ini tidak seharusnya ada. Aku tidak ingin mengganggu hubunganmu dengan Nayla. Kalian berdua sudah melalui begitu banyak hal bersama, dan aku hanya ingin kalian bahagia."Michael merasakan campuran rasa sedih dan empati. "Nadira, perasaanmu sangat berarti bagiku, dan aku sangat menghargai keberanianmu untuk mengatakannya. Kamu adalah bagian penting dari hidup kami, dan aku tidak ingin melihatmu terluka.""A-aku, menyayangimu sebagai adikku," lanjut Michael dengan suara tertahan dan dengan lembut membelai rambut Nadira.Nadira tersenyum lemah, menghapus air mata yang masih mengalir di pipinya. "Aku tahu, Michael. Aku hanya perlu waktu untuk menerima semuanya.
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu