Keesokan paginya, Nayla bangun dengan tekad baru. Dia meninggalkan penginapan dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Dia berjalan menuju pasar lokal yang mulai ramai dengan aktivitas pagi. Di sana, dia membeli beberapa pakaian baru dengan menjual ponsel yang dimilikinya.
Kemudian dia mencoba mencari informasi dan peluang yang bisa membantunya dalam pelarian ini. Dia tahu bahwa pasar seperti ini sering menjadi tempat bertemunya berbagai macam orang, termasuk mereka yang bisa menyediakan barang-barang yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.
Setelah berkeliling beberapa saat, Nayla mendekati seorang pedagang yang tampak ramah. "Permisi, apakah Anda tahu di mana saya bisa mendapatkan pekerjaan sementara atau mungkin seseorang yang bisa membantu saya mendapatkan identitas baru?" tanyanya dengan hati-hati.
Pedagang itu menatap Nayla sejenak sebelum tersenyum tipis. "Kamu sepertinya membutuhkan bantuan yang serius. Ada seseorang yang mungkin bisa m
Di tengah malam yang semakin larut, Zavier menghubungi beberapa orang yang bisa membantunya. Salah satunya adalah detektif swasta bernama Mando, yang sudah beberapa kali bekerja untuk Zavier dalam berbagai urusan penting."Mando, aku butuh bantuanmu. Istriku, Nayla baru saja melarikan diri dari rumah sakit tempat dia dirawat. Aku butuh kau untuk menemukannya secepat mungkin," kata Zavier dengan nada tegas."Berikan aku detailnya. Aku akan segera mulai mencari," jawab Mando tanpa ragu.Setelah memberikan semua informasi yang diperlukan kepada Mando, Zavier merasa sedikit lega. Namun, dia tahu bahwa ini hanyalah awal dari pengejaran yang panjang. Dia kembali ke ruang kerjanya di rumah sakit, duduk di kursi sambil memandang keluar jendela yang gelap. Pikiran-pikirannya berkecamuk, mencoba memahami motif Nayla dan merencanakan langkah selanjutnya.Sementara itu, Nayla telah mencapai stasiun bus yang terletak di pinggiran kota. Delapan jam dari kota Bogo
"Huek ... huek!"Tiba-tiba terdengar suara seperti orang sedang muntah di dalam kamar mandi. Nayla memegang kain lap dengan tangan kanannya dan menjulurkan kepalanya untuk melihat siapa yang masuk ke kamar mandi dengan buru-buru. Namun, dia hanya melihat bagian belakang dan rambut panjang yang indah terurai sebelum pintu kamar mandi tertutup.Hari sudah malam dan semua pelayan serta koki sudah pulang. Malam ini adalah tugasnya untuk membersihkan dapur."Siapa ya?" tanyanya dengan curiga.Tidak lama kemudian, seorang wanita cantik keluar dari kamar mandi dan melayangkan tatapan tajam kepada Nayla. "Apa lihat-lihat?""Kamu siapa?" tanya Nayla dengan bingung.Wanita itu mendesah pelan, menata rambutnya yang sedikit berantakan. "Aku Dinda," jawabnya singkat. "Kamu baru di sini, ya? Belum pernah melihatmu sebelumnya."Nayla mengangguk, masih mencoba memahami situasinya. "Iya, saya baru bekerja di sini seminggu. Kamu juga bekerja di sini?"
Dinda mengangguk, "Dia memang pria brengsek, kasihan kamu bahkan menjadi korbannya.""Eh, siapa?" Nayla menatap Dinda dengan raut wajah penuh kebingungan."Siapa lagi kalau bukan bos kita, si Eko. Awas, aku akan menuntut pernikahan dalam waktu dekat ini. Kamu akan menjadi istri ketiga! Kamu tidak terlihat jahat," lanjut Dinda dengan napas menderu-deru."Is ... istri ketiga? Eh, mbak ... ini ... ""Sudah, kamu diam aja. Aku yang akan mengurus semuanya! Terima saja dulu amplop ini!" sela Dinda lalu berdiri."Jaga rahasia ini!" lanjutnya sambil melangkah keluar dari kamar.Dengan perasaan campur aduk, Nayla akhirnya menerima amplop itu walau dengan sejumlah pertanyaan yang tidak terjawab. "Baik, saya akan menjaga rahasia ini. Semoga semuanya berjalan lancar untuk Mbak Dinda."Dinda tersenyum lemah. "Terima kasih, Dek Mira. Kamu tidak tahu betapa berartinya ini bagiku." Dinda memeluk Nayla seperti seorang kerabat yang akrab."Kita
Beberapa pelayan merasa iri karena Nayla tidak dipecat. Saat Nayla kembali ke dapur, beberapa dari mereka berkumpul dan mulai berbisik-bisik, tatapan mereka penuh dengan rasa tidak suka."Hei, kamu merayu Pak Bos, kah?" sindir salah seorang pelayan dengan nada tajam.Nayla berhenti sejenak, mencoba menahan diri untuk tidak terpancing. "Saya tidak merayu siapa pun," jawabnya dengan tenang. "Saya hanya menjelaskan situasi saya yang sebenarnya."Pelayan itu mengangkat alisnya, tidak puas dengan jawaban itu. "Oh, jadi karena kamu hamil, kamu dapat perlakuan istimewa, ya?"Nayla menghela napas, merasa lelah dengan sikap permusuhan ini. Merasa terkejut karena ternyata pelayan di sana juga mengetahui tentang kehamilannya. Nayla mendongkak, melihat ke arah perutnya yang tidak terlihat membuncit sama sekali untuk kehamilan ukuran dua bulan."Bagaimana kamu bisa tahu tentang kehamilanku?"Pelayan itu mencibir, menaikkan bibirnya yang tebal. "Semua jug
Pak Eko tidak menjawab. Dia hanya menggenggam lengan Dinda dan menariknya keluar dari dapur, meninggalkan Nayla dan para pelayan lainnya dalam keheningan yang penuh dengan tanda tanya.Nayla merasa cemas dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia menatap pelayan lain yang juga terlihat khawatir."Ada apa ya dengan Pak Eko dan Mbak Dinda?" bisik Nayla.Pelayan lain mengangkat bahu. "Aku tidak tahu, tapi sepertinya ada sesuatu yang serius. Biasanya Pak Eko tidak bersikap seperti itu.""Yang jelas, bukan urusanmu," gumam pelayan lain kemudian berlalu dari sana.Mereka semua kembali bekerja, meskipun rasa ingin tahu dan kecemasan tetap menghantui pikiran mereka. Nayla terus melanjutkan tugasnya, tetapi pikirannya masih terpaku pada Dinda dan Pak Eko.Di luar dapur, Pak Eko membawa Dinda ke ruang kantornya dan menutup pintu dengan tegas. Dia berbalik menghadap Dinda dengan wajah yang penuh kekhawatiran."Dinda, apa yang sebenarnya ter
Dinda menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Dek Mira, aku tahu ini sulit. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku akan mencari jalan keluar, apapun yang terjadi. Kamu tidak perlu khawatir tentang aku. Fokus saja pada kesehatanmu dan bayimu.""Biarkan Mbak yang akan menyelesaikan semua ini," lanjut Dinda sambil menepuk-nepuk dadanya.Nayla merasa terharu oleh kekuatan dan keteguhan hati Dinda walau wanita itu salah paham mengenai kandungannya. "Aku mengerti, Mbak Dinda. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu. Kita bisa saling mendukung."Dinda tersenyum tipis, meskipun air mata masih mengalir di pipinya. "Terima kasih, Dek. Dukunganmu sangat berarti bagiku. Kita akan melalui ini bersama."Dinda mengenggam kedua tangan Nayla dengan erat, sementara Nayla hanya memberikan senyuman hangat walau kata-kata penjelasan tersangkut dalam kerongkongannya.Dengan suasana hati yang sedikit lebih lega, mereka kembali ke pekerjaan masing
Dinda berusaha menjelaskan sambil menahan rasa sakit. "Eko, saya benar-benar merasa sakit. Perut saya ... sakit sekali."Pak Eko menggelengkan kepala dengan kesal. "Ini tidak bisa diterima, Dinda. Kamu harus profesional. Kami punya tamu yang menunggu untuk mendengarmu bernyanyi. Jangan suka membuat alasan!""Saya akan memecatmu, Dinda!Nayla merasa marah mendengar Pak Eko yang tidak peduli dengan kondisi Dinda. "Maaf, Pak Eko, tapi mbak Dinda benar-benar sakit. Dia butuh perawatan, bukan amarah Anda," katanya dengan tegas.Pak Eko berbalik menatap Nayla. "Dan kamu pikir siapa yang akan menggantikannya? Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja."Nayla menarik napas dalam-dalam, merasa terpanggil untuk membantu. "Saya ... akan menggantikan Dinda menyanyi di panggung."Eko berdesis meremehkan perkataan Nayla dan tertawa kecil."Hanya menyanyi, bukan? Saya bisa melakukannya, tidak usah memecat orang hanya karena sakit. Ini hanya sebuah hari y
Eko, yang awalnya meragukan kemampuan Nayla, berdiri di belakang ruangan dengan wajah terkesan. Dia tidak menyangka Nayla memiliki bakat menyanyi yang begitu luar biasa.Namun, Nayla tahu bahwa penampilan ini hanya permulaan dari hari yang panjang. Dia masih harus menghadapi berbagai tugas lain yang menantinya di kafe itu, semuanya tanpa sarapan dan dengan perut yang terus merintih kelaparan.Pelanggan semakin banyak dan waktu sudah menunjukkan jam dua sore. Kafe yang tadinya sepi kini dipenuhi oleh suara obrolan dan tawa. Meja-meja terisi penuh, dan beberapa pelanggan bahkan harus berdiri karena kekurangan tempat duduk. Di tengah keramaian itu, Nayla masih berdiri di atas panggung kecil, melantunkan lagu demi lagu tanpa henti.Rasa lelah semakin mendera tubuhnya, dan perutnya yang kosong mulai terasa semakin menyakitkan. Dia melirik ke arah Eko yang sibuk melayani pelanggan di meja kasir. Dengan isyarat tangan, Nayla memberi kode kepada Eko untuk meminta waktu
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu