Pak Eko tidak menjawab. Dia hanya menggenggam lengan Dinda dan menariknya keluar dari dapur, meninggalkan Nayla dan para pelayan lainnya dalam keheningan yang penuh dengan tanda tanya.
Nayla merasa cemas dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia menatap pelayan lain yang juga terlihat khawatir.
"Ada apa ya dengan Pak Eko dan Mbak Dinda?" bisik Nayla.
Pelayan lain mengangkat bahu. "Aku tidak tahu, tapi sepertinya ada sesuatu yang serius. Biasanya Pak Eko tidak bersikap seperti itu."
"Yang jelas, bukan urusanmu," gumam pelayan lain kemudian berlalu dari sana.
Mereka semua kembali bekerja, meskipun rasa ingin tahu dan kecemasan tetap menghantui pikiran mereka. Nayla terus melanjutkan tugasnya, tetapi pikirannya masih terpaku pada Dinda dan Pak Eko.
Di luar dapur, Pak Eko membawa Dinda ke ruang kantornya dan menutup pintu dengan tegas. Dia berbalik menghadap Dinda dengan wajah yang penuh kekhawatiran.
"Dinda, apa yang sebenarnya ter
Dinda menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Dek Mira, aku tahu ini sulit. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku akan mencari jalan keluar, apapun yang terjadi. Kamu tidak perlu khawatir tentang aku. Fokus saja pada kesehatanmu dan bayimu.""Biarkan Mbak yang akan menyelesaikan semua ini," lanjut Dinda sambil menepuk-nepuk dadanya.Nayla merasa terharu oleh kekuatan dan keteguhan hati Dinda walau wanita itu salah paham mengenai kandungannya. "Aku mengerti, Mbak Dinda. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu. Kita bisa saling mendukung."Dinda tersenyum tipis, meskipun air mata masih mengalir di pipinya. "Terima kasih, Dek. Dukunganmu sangat berarti bagiku. Kita akan melalui ini bersama."Dinda mengenggam kedua tangan Nayla dengan erat, sementara Nayla hanya memberikan senyuman hangat walau kata-kata penjelasan tersangkut dalam kerongkongannya.Dengan suasana hati yang sedikit lebih lega, mereka kembali ke pekerjaan masing
Dinda berusaha menjelaskan sambil menahan rasa sakit. "Eko, saya benar-benar merasa sakit. Perut saya ... sakit sekali."Pak Eko menggelengkan kepala dengan kesal. "Ini tidak bisa diterima, Dinda. Kamu harus profesional. Kami punya tamu yang menunggu untuk mendengarmu bernyanyi. Jangan suka membuat alasan!""Saya akan memecatmu, Dinda!Nayla merasa marah mendengar Pak Eko yang tidak peduli dengan kondisi Dinda. "Maaf, Pak Eko, tapi mbak Dinda benar-benar sakit. Dia butuh perawatan, bukan amarah Anda," katanya dengan tegas.Pak Eko berbalik menatap Nayla. "Dan kamu pikir siapa yang akan menggantikannya? Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja."Nayla menarik napas dalam-dalam, merasa terpanggil untuk membantu. "Saya ... akan menggantikan Dinda menyanyi di panggung."Eko berdesis meremehkan perkataan Nayla dan tertawa kecil."Hanya menyanyi, bukan? Saya bisa melakukannya, tidak usah memecat orang hanya karena sakit. Ini hanya sebuah hari y
Eko, yang awalnya meragukan kemampuan Nayla, berdiri di belakang ruangan dengan wajah terkesan. Dia tidak menyangka Nayla memiliki bakat menyanyi yang begitu luar biasa.Namun, Nayla tahu bahwa penampilan ini hanya permulaan dari hari yang panjang. Dia masih harus menghadapi berbagai tugas lain yang menantinya di kafe itu, semuanya tanpa sarapan dan dengan perut yang terus merintih kelaparan.Pelanggan semakin banyak dan waktu sudah menunjukkan jam dua sore. Kafe yang tadinya sepi kini dipenuhi oleh suara obrolan dan tawa. Meja-meja terisi penuh, dan beberapa pelanggan bahkan harus berdiri karena kekurangan tempat duduk. Di tengah keramaian itu, Nayla masih berdiri di atas panggung kecil, melantunkan lagu demi lagu tanpa henti.Rasa lelah semakin mendera tubuhnya, dan perutnya yang kosong mulai terasa semakin menyakitkan. Dia melirik ke arah Eko yang sibuk melayani pelanggan di meja kasir. Dengan isyarat tangan, Nayla memberi kode kepada Eko untuk meminta waktu
"Tapi dia masih lemah," ujar salah seorang pelayan, berusaha mencegah agar Nayla tidak terlalu memaksakan diri."Kalau kamu tidak kembali ke panggung, saya ... uh, saya terpaksa pergi mencari Dinda," ancam Eko lalu memaksa agar Nayla memegang microphone tersebut.Dengan helaan napas berat, Nayla mengangguk, "baiklah. Mungkin saya masih bisa menyanyi satu atau dua jam lagi, tapi setelah itu, pastikan saya bisa beristirahat?"Eko mengangguk dengan yakin dan gigi putihnya nampak jelas di bawah kacamatanya yang tebal.Dengan langkah kecil, Nayla keluar dari dapur dan menuju ke panggung. Jumlah tamu yang datang untuk makan malam memang cukup banyak. Tetapi mereka mengharapkan kehadiran Dinda yang mereka kenal, bukan Nayla."Eh, siapa itu? Penyanyi baru? Ke mana Dinda kita?" ujar salah seorang pelanggan dengan wajah tidak senang."Uh, maaf, para tamu terhormat saya. Izinkan saya memperkenalkan penyanyi baru kita, Almira. Saya pastikan Anda akan te
Eko segera mengambil sebuah kursi dan duduk di samping Nayla. Dia menatap Nayla dengan tatapan serius dan menghela napas berat.Kedua matanya sudah memberikan jawaban yang jelas."Mm-maksudmu di atas ranjang?" Nayla membulatkan kedua matanya dan terkejut.Eko segera menganggukkan kepala dan kembali menatap Nayla dengan penuh harap.Nayla menggelengkan kepalanya. "Saya akan menyanyi saja. Di luar itu saya tidak dapat melakukannya. Maaf."Eko menelan salivanya, kedua matanya melirik belahan depan gaun yang dipakai Nayla, wanita itu memang terlihat padat dan seksi, "mungkin karena dia sedang mengandung," gumam Eko dalam hati.Nayla merasa risih karena tatapan Eko. Dia segera membenahi letak pakaiannya dengan menariknya."Uhum, pakaian ini tidak nyaman bagiku. Aku akan menggantinya.""Jngan ganti dulu, kamu masih harus menyanyikan lagu terakhir nanti malam, kamu terlihat sangat cantik dengan gaun itu," ucap Eko.Nayla mengan
"Dia ... sudah lama tidak pernah menyentuhku," ucap Sefia dengan suara bergetar. Sefia tidak berani memberitahukan sebuah fakta bahwa Zavier bahkan tidak pernah menyentuhnya sekali pun, bahwa dalam rahimnya bukan anak Zavier.Malam pertama mereka pun tidak dilewati dengan gairah layaknya pasangan kekasih yang baru menikah.Kayla mengelus pipi Sefia. "Jangan berpikir yang tidak-tidak dulu. Mungkin Zav benar-benar sibuk. Tapi, Mama punya saran untukmu. Kadang-kadang, perempuan perlu sedikit usaha ekstra untuk mengingatkan suaminya betapa berharganya dirimu."Sefia mengernyit, tidak yakin. "Apa maksud Mama?"Kayla tersenyum lembut. "Mama ingin kamu mencoba mempercantik diri. Bukan hanya dari luar, tapi juga dari dalam. Mama akan membantumu. Kita bisa pergi ke salon bersama, mencoba perawatan yang membuatmu merasa lebih baik tentang dirimu sendiri.""Tapi, Mama, Zav seharusnya mencintaiku apa adanya. Mengapa aku harus berubah hanya untuk menarik perhat
Dia sengaja mengenakan topi hitam dengan celana putih supaya tidak tampak seperti seorang Tuan Muda yang berkuasa. Penampilannya tidak seharusnya mencolok, itulah kenapa dia menyuruh Cahyo untuk mengusir semua bawahan yang mengikutinya."Ini kota yang aman, tidak usah melindungiku seperti ada pejabat yang datang! Kita juga hanya pergi makan malam," perintahnya kepada Cahyo dan Mando yang diizinkan untuk mengikutinya.Kedua pria itu juga berpakaian casual santai dengan celana jeans, sehingga ketiga pria itu malah tampak seperti anak muda.Mereka menaiki sebuah mobil hitam dengan Mando yang membawa mobil dan Cahyo duduk di samping. Sementara Zavier duduk di belakang. Tangannya memegang ponsel dan dalam layar ponsel ada sebuah foto. Foto Nayla dalam posisi tidur.Dia sendiri tidak dapat menjelaskan perasaannya, antara rindu, cinta atau keinginan agar wanita itu tetap menjadi miliknya saja.Zavier mengepalkan sebelah tangannya saat terlintas bagaimana
"You're still the one I run to, the one that I belong to. You're still the one I want for life. You're still the one, the only one I dream of. You're still the one I kiss goodnight"Nayla menyanyikan lagu itu dengan penuh perasaan, suaranya mengalun indah memenuhi ruangan kafe. Zavier terhipnotis oleh suara dan penampilan Nayla. Dia merasa ada sesuatu yang menyentuh hatinya, sesuatu yang membuatnya merenung.Cahyo dan Mando yang duduk tidak jauh dari sana juga terpesona oleh suara Nayla. Mereka saling berpandangan, seolah setuju bahwa malam ini ada sesuatu yang istimewa.Nayla menyelesaikan lagu pertamanya dengan tepuk tangan meriah dari para pengunjung. Dia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Suasana kafe menjadi semakin hidup, dan Zavier merasa sedikit beban di pundaknya terangkat.Setelah lagu selesai, Nayla turun dari panggung dan menuju meja di mana seorang pria gemuk memandangnya tanpa berkedip. Sesuai perintah Eko, dia membawa mi
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu