Amanda duduk di sofa panjang. Mereka baru saja kembali setelah berkunjung ke rumah orang tua Arvan. Amanda sedang membuka wedges yang digunakannya. Rasanya cukup melelahkan menggunakan sepatu itu sepanjang hari. Sedangkan Arvan sedang memainkan remote mencari saluran bola. Ada pertandingan yang di tunggunya. Untung saja kunjungan kerumah orang tuanya tidak sampai membuat Arvan melewatkan pertandingan klub bola kesayangannya.Amanda menatap Arvan yang masih sibuk mengutak-atik saluran televisi. Ada sebuah pertanyaan yang mengganggunya sejak di perjalanan pulang tadi. Namun dia masih ragu haruskan dia menanyakan hal itu atau tidak. "Ada apa?" Ucap Arvan yang ternyata juga menatapnya. Amanda memalingkan wajahnya. Malu karena tertangkap basah menatap suaminya."Tidak ada, mas," ucap Amanda."Aku tahu kamu berbohong. Apa yang kamu pikirkan," ucap Arvan bersikeras."Bukan hal penting," ucap Amanda."Kita akan tahu nanti setelah kamu mengatakannya, ada apa?" Ucap Arvan sambil berkacak pingg
"apa kabar calon keponakanku?" Tanya Arvan saat dia dan Johan tengah istirahat makan siang."Dia semakin aktif, aku dan Tasya baru menemuinya semalam," ucap Johan dengan mata berbinar."Syukurlah. Sepertinya kamu akan semakin sibuk nantinya," ucap Arvan."Tidak masalah. Aku senang melakukannya untuk putriku," ucap Johan masih dengan wajah bahagianyaPembicaraan mengenai calon anaknya selalu bisa membuat mata sahabatnya itu berbinar. Setiap membicarakan kehamilan Tasya maka Johan akan menanggapinya dengan semangat seakan momen itu adalah sesuatu yang berharga bagi Johan. Bahkan beberapa permintaan Tasya yang menurut Arvan sedikit tidak masuk akal tidak membuat binar di mata Johan menghilang. Hal itu membuat Arvan penasaran sekaligus iri. Apa menjadi ayah akan semenyenangkan itu?Arvan yang merupakan anak tunggal tidak terlalu mengerti apa itu berbagi kasih sayang. Dia juga tidak terlalu suka berkumpul dengan sepupunya yang sudah memiliki anak. Menurutnya anak kecil sangat merepotkan. Ti
Malam itu cuaca cukup dingin. Amanda sendirian di dalam rumah. Sambil menunggu kepulangan Arvan dia memilih berada di depan televisi. Sesuatu yang sudah menjadi rutinitasnya saat menunggu suaminya pulang. Amanda memperhatikan jam sudah lewat pukul sebelas malam, tetapi Arvan belum juga pulang. Amanda khawatir terjadi sesuatu. Arvan bahkan tidak mengabarinya akan pulang terlambat. Bel apartemen berbunyi dan Amanda segera beranjak untuk membukakan pintu. Dia dibuat terkejut melihat Arvan berdiri dengan wajah memerah dan terlihat sempoyongan. Amanda mendekat dan segera menutup hidungnya. dari tubuh suaminya tercium bau alkohol yang cukup menyengat. Amanda segera membopong dan membawa Arvan ke dalam apartemen. dengan susah payah dia berhasil menyeret Arvan untuk duduk di sofa panjang di depan televisi. penampilan Arvan sungguh kacau saat ini. Amanda yang melihatnya mulai memungut jas dan dasi yang dilempar Arvan dengan asal. “Oohh,,, Istriku sayang,” ucap Arvan sambil meraih wajah Amanda
"Kamu terasa nyata malam ini"? Ucap arvan sambil mengelus lembut pipi amanda. Amanda menatap arvan yang terlihat berbeda. Entahlah. tidak ada tatapan kebencian yang biasa dilihat amanda setiap hari.Arvan mendekatkan wajahnya dengan wajah amanda dan menyatukan kening mereka. "Aku mencintaimu, Amanda", ucap arvan lalu mencium bibir amanda dengan lembut.Awalnya ciuman Arvan terasa halus dan lembut. Saat Amanda berusaha melepaskan diri ciuman itu perlahan berubah sedikit menggebu. Amanda masih berusaha melepaskan diri dari tubuh besar Arvan tapi sulit karena Arvan sudah menindihnya. Selain itu, Arvan juga menahan kedua tangan Amanda dan meletakkannya di atas kepala Amanda tanpa melepaskan ciumannya dari bibir Amanda.Tidak bisa dipungkiri oleh Amanda, walaupun bau Alkohol tercium sangat kental saat Arvan menciumnya namun ciuman itu terasa begitu mendamba dan membiuskan. Bagaimana Arvan mencumbunya dengan lembut seolah dirinya sesuatu yang berharga. Sesuatu yang tidak akan dilakukan pria
Arvan berdiri dibawah guyuran air yang berasal dari shower kamar mandinya. Dia menghadap tembok dengan kepala tertunduk. Dia sedang berusaha mengingat kejadian semalam namun otaknya terasa buntu.Arvan tentu saja terkejut saat bangun dan melihat Amanda di sebelahnya. Dia berpikir bahwa semalam dia tidur di kamar Amanda namun saat melihat sekeliling dia berada di dalam kamarnya sendiri yang berarti Amanda yang masuk ke kamarnya.Arvan berusaha mengumpulkan kepingan memori dari kejadian semalam. Namun percuma otaknya benar-benar tidak mengingat apapun. Brengsek. Apa semalam dia melakukan hal yang menyakitkan. Apa semalam dia mengatakan sesuatu. Apa semalam dia tanpa sadar memperlihatkan diri dalam kondisi kacau di depan Amanda. Gadis itu pasti bahagia melihatnya terlihat menyedihkan.Saat Arvan berkutat dengan pikirannya sendiri Amanda baru terbangun dengan tubuh terasa sedikit remuk. Dia sempat kebingungan karena merasa asing di tempatnya saat ini. perlahan dia beranjak bangun. Ingatan
Amanda dan Arvan berdiri sambil menunduk di antara gundukan nisan. Mereka berdiri di dekat salah satu nisan. Seperti janji Arvan sebelumnya untuk menemani Amanda menemui makam ayahnya. Amanda membawa karangan bunga ukuran sedang dan bunga tabur untuk diletakkan di atas makam ayahnya. Amanda tidak dapat menahan air matanya. Yang mengalir perlahan tanpa bisa dikendalikan. Rasa rindunya pada sosok ayahnya begitu terasa hingga membuat dadanya sesak.Betapa banyak yang ingin Amanda ceritakan selama tiga tahun terakhir ini. Bagaimana berat dan sulitnya kehidupan yang harus dialaminya. Betapa rindunya dia pada sosok ayahnya meskipun ayahnya sudah meninggal cukup lama. Namun kenangan masa remaja Amanda saat masih bersama ayahnya dan kepingan kenangan saat dia masih mengunjungi makam ayahnya terlintas begitu cepat. Seakan semuanya baru terjadi kemarin.Perasaan bersalah Amanda semakin besar saat dilihatnya kondisi makam ayahnya yang nampak sedikit tidak terurus. Rumput liar terlihat cukup ting
“cari mati lo,” teriak pria pengendara mobil sambil menyundulkan kepalanya.Amanda membungkukkan tubuhnya meminta maaf lalu segera menepi dari jalan. Amanda memilih duduk di halte pemberhentian sebentar. Dia menangkupkan kedua tangannya diwajah. memikirkan bisa saja nyawanya terhenti tadi.“kamu baik-baik saja,” ucap seseorang membuat Amanda mendongakkan kepalanya.Seorang pria menatapnya. tampak tidak asing walaupun dia tidak mengingat siapa.“kamu baik-baik saja, tidak ada yang terluka,” ucap pria itu lagi.“yah,, aku baik-baik saja,” ucap Amanda cepat.“kamu sendirian? dimana Arvan?” ucap pria itu sambil memperhatikan sekitar.Amanda memicingkan matanya. Pria ini mengenal suaminya. Pria ini memang terlihat tidak asing. Dia pernah melihatnya sebelumnya walaupun dia lupa. Mungkin salah satu tamu undangan di pernikahan mereka."Mas Arvan sudah pergi. Kami punya kesibukan masing-masing," ucap Amanda akhirnya.Pria itu tampak mengangguk mengerti."Pak Harris, sebaiknya kita berangkat se
"Yah,,, hari ini jadi temani aku belanjakan?" Ucap Tasya di telepon dengan nada manja.Perutnya sudah terlihat sedikit membuncit. Usia kandungannya sudah berjalan sekitar enam bulan. Nafasnya juga sudah terasa sesak setiap kali berjalan jauh, namun karena keinginan Tasya untuk membeli peralatan dan perlengkapan untuk bayinya membuatnya melupakan rasa lelah dan sesaknya."Pokoknya Ayah harus pulang cepat hari ini," lanjut Tasya sedikit memaksa.Wajahnya sedikit cemberut saat Johan berbicara. Sepertinya keinginannya untuk belanja lebih dini mendapat penolakan dari suaminya."Memangnya kenapa? Apa salahnya mempersiapkan semuanya? Dengan begitu anak kita lebih terjamin," ucap Tasya kesal."Sudahlah. Ayah bekerja saja. Biar aku yang mempersiapkan semuanya," potong Tasya saat Johan berbicara lalu dengan segera mematikan panggilan teleponnya.'Baiklah. Bila suaminya tidak bisa menemaninya. Dia juga bisa pergi sendiri', batin Tasya.Entah mengapa akhir-akhir ini dirinya selalu berselisih pah