Satu bulan berlalu, kondisi Kaivan semakin membaik. Pria itu sudah mulai bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Meskipun masih harus menggunakan kursi roda sebagi alat bantu berjalannya. Ferdinan menjaga Kaivan dengan baik, walau ia harus mondar-mandir ke kantor, rumah, dan rumah sakit. Namun, tidak sedikitpun mengeluh.
Bahkan, ia rela kehilangan waktu banyak bersama kekasih hatinya, demi merawat Kaivan. Ferdinan sebagai pengganti kedua orang tua Kaivan yang tinggal jauh di negeri sakura mengurus bisnis mereka di sana.Kaivan tampak duduk di balkon ruangan kamar rumah sakit. Menikmati udara pagi hari yang sudah cukup lama tidak di rasakan, semenjak dirinya masuk rumah sakit. Ferdinan sedang berada di kafe membeli kopi dan kudapan. Begitu damai Kaivan merasakannya.Namun, kesenangannya terusik karena kehadiran seorang wanita seksi dengan menggunakan kaos putih lengan pendek ketat berkerah dan rok tutu selutut. Rambut panjang sebahunya ia ikat tinggi, anting panjang yang akan bergoyang ketika perempuan itu berjalan.Sepatu hells setinggi lima centi meter membuatnya terlihat jenjang, menghampiri Kaivan di balkon setelah mengetuk pintu kamar, tetapi tidak ada jawabannya. Wanita itu menutup kedua mata Kaivan dengan kedua tangan yang kukunya dicat berwarna merah menyala."Tebak, siapa aku?" tanya wanita seksi itu sambil menempelkan sebelah pipinya ke wajah Kaivan."Tasya!" seru Kaivan dengan terkejut."Aku pikir kau tidak akan mengenali aku lagi," ucap Tasya melepaskan kedua tangannya dari mata Kaivan dan berdiri di samping pria tersebut."Kapan kau tiba? Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" tanya Kaivan dengan penasaran."Tadi pagi. Aku ke rumahmu, tapi Mbok Ijah bilang kau masuk rumah sakit karena kecelakaan. Aku mencoba meneleponmu. Namun, ponselmu mati," jelas Tasya sambil menatap Kaivan dalam."Oh," jawab Kaivan dengan malas."Kau sepertinya tidak suka aku datang. Padahal, aku datang jauh-jauh khusus untukmu. Kenapa reaksimu seperti itu?" omel Tasya yang kesal dengan sikap datar Kaivan."Lalu, aku harus bagaimana? Aku sedang sakit, tidak bisa menyambutmu dengan baik," ucap Kaivan datar. Sebenarnya, Kaivan memang malas berbicara dengan Tasya."Kai, tidak bisakah kau lembut padaku sedikit saja?" tanya Tasya dengan manja sambil menyandarkan sebelah tangannya ke pundak kanan Kaivan."Sebaiknya kau pulang dan istirahatlah. Kau pasti lelah seharian dalam perjalanan."Kaivan menepis tangan Tasya dari pundaknya dan mengusir secara halus wanita manja dan seksi itu. Kaivan terlalu lelah menghadapi Tasya."Aku masih ingin bersamamu. Aku ....""Pulanglah," pinta Kaivan lembut."Tapi ....""Aku akan mengantarmu," sela Ferdinan yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka."Kau ....""Tidak usah banyak bicara. Kau tidak ingin scurity yang mengusirmu, bukan?" ucap Ferdinan yang kembali menyela kalimat Tasya."Aku bisa pulang sendiri!" seru Tasya sambil menghentakkan kakinya dan melangkah keluar ruangan dengan kesal.Ferdinan dan Kaivan hanya mengulas senyum tipis melihat tingkah Tasya. Sepertinya mereka senang sekali melihat Tasya seperti itu.~~~~~~"Karin, apa kau masih belum menemukannya?" tanya Kayana menatap dalam ke arah putri keduanya."Masih belum, Ma. Karin bingung harus mencarinya ke mana lagi. Sudah hampir semua tempat di sini di kelilingi untuk mencari, tapi sama sekali tidak menemukannya. Bahkan, jejaknya saja tidak ada," jelas Karin dengan sedikit kesal."Ke mana anak itu pergi? Kenapa tidak ada kabar sama sekali?" tanya wanita tua itu dengan sedih."Sudahlah, Ma. Tidak perlu mencari anak itu lagi. Bukankah kita sudah mengusirnya? Jika dia kembali, rumah ini akan menjadi sial kembali," tukas Karin semakin kesal. Tiap kali papa atau mamanya membahas anak tersebut, pasti Karin sangat kesal dan ingin marah."Bagaimana Mama tidak memikirkannya? Mama ini ibu kandung yang melahirkannya dan kau adalah kakak kandungnya. Apa kau tidak peduli sama sekali dengan adikmu itu?" ucap Mama Kayana dengan nada pelan. Namun, cukup menohok."Kalau Karin tidak peduli dengannya, untuk apa ke sana ke mari mencarinya?" ucap Karin semakin kesal dengan perkataan mamanya.Wanita tua itu menekan tombol di kursi rodanya dan meninggalkan Karin, ia tidak ingin berdebat dengan anak keduanya tersebut."Kenapa mama selalu memikirkannya? Bukankah lebih baik jika dia tidak kembali ke rumah ini lagi? Kalau sampai dia kembali, bagaimana nasib rumah tanggaku dengan Erlan?" monolog Karin dengan perasaan khawatir.~~~~~~Dua bulan kemudian. Karin dan Erlan ke Rumah Sakit Kusuma Pratama Hospital untuk menemui Dokter Sintya. Dokter spesialis kandungan. Melanjutkan diskusi tentang program hamil.Karin dan Erlan menikah sudah hampir sembilan tahun. Namun, belum juga diberi momongan. Mereka berencana untuk program hamil dengan berbagai pemeriksaan, sebagai upaya memastikan bahwa rahim Karin sehat dan bisa memiliki keturunan. Begitu pun dengan tubuh Erlan.Mereka sudah melakukan berbagai cara untuk bisa memiliki anak. Namun, belum satu pun membuahkan hasil. Bahkan tes kesuburan keduanya pun bagus. Akan tetapi, tetap saja nihil.Karin dan Erlan melangkah menuju ruangan Dokter Sintya. Namun, langkah mereka sempat terhenti ketika mata mereka melihat seseorang yang mirip sekali dengan adik yang sedang keluarga Karin cari."Ada apa? Kenapa kau berhenti?" tanya Karin dengan penasaran."Karin, coba lihat ke sana. I--itu, itu, Kaira, bukan?" ucap Erlan sambil menunjuk ke arah wanita cantik dengan rambut sepinggang yang terikat rapi dan poni tipis, melangkah anggun sedang tersenyum berbincang dengan Dokter Harun."Iya, itu Kaira. Ayo kita ke sana untuk memastikan," ajak Karin dengan yakin."Tapi, apa mungkin? Barangkali hanya mirip saja," ucap Erlan ragu."Kita ke sana untuk memastikannya," ucap Karin yang begitu penasaran sekali dengan sosok wanita cantik tersebut."Nyonya Karin, Tuan Erlan. Kalian sudah datang?" tanya Dokter Sintya yang baru saja datang hendak ke ruangannya."Do--Dokter Sintya," jawab Karin dengan gugup. Kedua matanya masih memperhatikan ke arah wanita cantik di sebrang sana."Mari ke ruangan saya," ajak Dokter Sintya sambil melangkah terlebih dahulu."I--iya, Dok."'Sial, aku jadi gagal mengetahui siapa wanita itu sebenarnya. Apa benar dia Kaira? Aku sudah sering ke sini, tapi baru melihatnya. Apa dia baru di rumah sakit ini?' monolog Karin dalam hati penuh rasa penasaran.Setelah selesai melakukan pemeriksaan, Karin dan Erlan berkeliling rumah sakit sebelum pulang. Mereka menyusuri setiap lorong dan ruangan di sana. Mencari keberadaan wanita yang keduanya sempat lihat sebelum bertemu Dokter Sintya.Cukup lama mereka berkeliling. Namun, tak menemukan wanita itu. Mereka sangat kecewa karena berharap itu adalah Kaira, orang yang tengah keduanya cari. Akan tetapi, tidak ada bukti untuk itu. Sebab sama sekali tidak berhasil menemukannya."Ke mana perginya perempuan itu? Tadi bukankah kita melihatnya? Cepat sekali menghilangnya," monolog Erlan sambil terus mengedarkan pandangan mencari."Mungkin salah lihat. Kenapa kau begitu semangat sekali? Apa kau masih mengharapkannya?" ucap Karin dengan tatapan penuh selidik."A--apa maksudmu, Karin?"Karin mencurigai Erlan, ia khawatir jika suaminya masih menaruh hati dengan Kaira. Karin semakin kesal dan membenci sang adik. Erlan yang di perlakukan seperti itu oleh Karin pun ikut kesal serta tidak menerima perkataan istrinya tersebut."Apa perlu aku pertegas kembali ucapanku itu?" tanya Karin dengan wajah kesal."Kenapa kau selalu menyangkut pautkan hal itu tiap kali kita mencari Kaira? Apa itu yang membuatmu kesal dan tidak ingin Kaira kembali?" tanya Erlan yang tak kalah kesal dengan Karin."Iya. Aku tidak ingin anak itu kembali. Kenapa? Apa kau tidak suka dan keberatan?" ucap Karin semakin menjadi."Istigfar kau, Karin. Kaira itu adik kandungmu. Kau malah begitu tega padanya seperti itu. Bahkan, kau juga tega menuduhku yang tidak-tidak. Apa kau tidak cukup puas memperlakukan dia dengan tidak baik sewaktu kau masih tinggal bersamanya dulu?" ucap Erlan menjadi semakin kesal dengan Karin yang terus berkata tidak baik tentang Kaira."Kau, terus saja membelanya. Semakin kau membela
Lima belas menit kemudian, Kaivan melepaskan sebelah tangan Kaira dari dadanya. Namun, ia menggenggamnya tanpa memberikan kesempatan pada Kaira untuk menghindar."Dokter Kaira, bisakah aku berbicara empat mata denganmu sebentar saja?" tanya Kaivan di tengah keheningan.Kaira yang tertunduk mendongak. Kemudian menatap Kaivan sekilas dan mengalihkan pandangan. Kaira tidak ingin berlama-lama menatap pria yang sangat di bencinya."Dokter Kaira," panggil Kaivan lembut. Namun, berhasil membuat Kaira terperanjat."Tolong lepaskan tangan saya. Saya harus kembali bekerja," ucap Kaira beralasan."Aku tidak meminta banyak waktumu. Hanya sebentar saja. Satu jam sudah cukup," pinta Kaivan dengan sedikit mengiba. Kaira terdiam dan berusaha melepaskan genggaman Kaivan."Setengah jam," tawar Kaivan."Saya ....""Aku mohon," bujuk Kaivan sambil memasang wajah memelas."Apa yang ingin Anda bicarakan?" tanya Kaira lembut sambil menatap ke arah Kaivan."Duduklah, supaya lebih nyaman berbicara," ucap Kaiva
Kaira berusaha keras melepaskan cincin dari jari manisnya. Namun, tidak berhasil dan hanya membuat jarinya memerah serta bengkak. Terasa perih karena ada sedikit luka gores akibat paksaan."Kaivan brengsek! Beraninya dia lakukan ini padaku," umpat Kaira sambil terus menggosok-gosokkan tangan dengan sabun. Berharap cincin itu mau lepas dari jarinya."Aww! Perih sekali," ucap Kaira menghentikan aktivitasnya.Wanita itu mengambil handuk kecil dan mengelap tangannya. Tampak memerah dan ada goresan di jari manisnya. Kaira melangkah menuju loker untuk mengambil kotak P3K dan mengobati lukanya.Kaira memelester bagian jari manis yang terluka, usai memberikan obat. Wanita itu sedikit meringis menahan perih. Kaira meniup pelan jarinya yang terluka.~~~Kaira melangkah kesal ke arah ruangannya. Wajah wanita itu tampak kusut sekali meski ia sudah membasuh dengan air. Tetap saja tidak membuat segar di sana. Harun baru saja keluar dari toilet memperhatikan langkah Kaira yang terlihat gamang. Pria
Kaira lagi-lagi terkejut dengan ucapan Kaivan yang begitu terbuka tanpa berbasa-basi. Kaivan mendorong kursi rodanya ke hadapan Kaira dan mendekati wanita itu. Meraih cepat kedua tangan Kaira saat perempuan tersebut lengah."Apa aku harus mengulangi perkataanku? Aku rasa kau tidak tuli, bukan?" tanya Kaivan sambil menatap Kaira tajam."Kau pikir pernikahan itu sebuah permainan? Kau pikir aku ini kupon undian yang baru saja kau menangkan? Sehingga, dengan mudahnya mulutmu berkata seperti itu," ucap Kaira membalas tatapan Kaivan tajam."Apa kau pikir aku sedang bermain-main denganmu? Kau pikir penantian ku selama ini untukmu hanya sandiwara? Kaira, cincin yang melekat di jari manis kirimu itu adalah bukti, kalau aku serius padamu. Kau tahu kenapa aku ingin cepat sembuh? Itu karena aku tidak mau kehilanganmu. Apa kau mengerti?" jelas Kaivan tanpa melepaskan genggaman dan tatapannya pada Kaira."Terlalu dini untuk mengatakan itu. Kau pikir aku sudah menerima dan memaafkan-mu? Apa luka dal
Kaira menjalani hari-hari seperti biasa dengan tenang setelah Kaivan melanjutkan pengobatan ke Singapura. Setidaknya, ia tidak di ganggu terus-menerus oleh pria itu. Kaira pun jauh lebih baik dan fokus dalam bekerja. Meski, trauma dalam dirinya belum hilang. Namun, tetap saja ia memikirkan perkataan Kaivan soal pernikahan yang di janjikan pria itu pada Kaira.'Apa Kaivan bersungguh-sungguh dengan ucapannya? Atau, dia hanya ingin mengancamku saja?' batin Kaira sambil meremas rambutnya dan menunduk.Lamunannya membuyar saat ada yang masuk ke ruangannya dengan paksa dan tergesa. Membuat Kaira mendongak dan menatap curiga ke arah orang itu."Si--siapa kau? Kenapa masuk ruanganku tanpa izin?" tanya Kaira dengan sedikit gugup karena terkejut."Apa kau Dokter Kaira?" tanya orang itu sambil menatap tajam ke arah Kaira."Iya, Anda siapa?" tanya Kaira kembali semakin penasaran."Saya Tasya. Tunangan Kaivan. Saya minta sama Anda, jauhi Kaivan. Jangan merusak pertunanganku dengannya," ucap orang
Satu tahun kemudian.Kaira tampak sibuk memilih pakaian pada sebuah pusat perbelanjaan. Sementara, Kiara sang putri sedang asyik duduk di kursi menunggu bundanya memilih baju sambil menggoyang-goyangkan kedua kaki kecilnya dan bermain boneka juga bola kecil.Namun, ketika sedang asyik bermain, bola Kiara terjatuh dan menggelinding. Gadis kecil itu turun dari kursi meletakkan bonekanya di sana dan mengejar bola kecil itu. Cukup jauh bola itu bergelinding hingga tanpa sengaja mengenai kaki seorang pria yang tengah berjalan.Kiara berhenti di hadapan orang itu yang tengah memungut bolanya sambil meremas ujung pakaiannya. Kiara dan orang itu saling beradu tatap. Kedua mata Kiara berkaca menahan tangis dan takut. Terlihat memerah seperti tomat yang baru saja di petik.Kiara tertunduk sambil terus meremas ujung roknya. Poni tipis di kening menutupi kedua mata yang tak berani menatap pria itu.Pria itu mendekat dan sedikit berjongkok di hadapan Kiara. Mensejajarkan tubuhnya dengan gadis keci
Ruang IGD tampak sepi. Kaira duduk di depan layar komputer. Mengecek hasil pemeriksaan. Beberapa data pasien yang ia operasi. Mulai dari riwayat penyakit sampai operasi yang di jalani. Wanita itu begitu serius dan teliti sekali.Namun, fokusnya terganggu saat ia teringat akan pertemuannya dengan Kaivan di pusat perbelanjaan kemarin. Kaira khawatir Kaivan akan benar-benar mengejarnya. Apalagi, pria itu sudah tahu jika Kiara adalah putrinya yang ternyata masih hidup. Tentu, Kaivan tidak akan begitu saja melepaskan Kaira.'Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau Kaivan terus mengusikku? Apalagi dia sudah tahu tentang Kiara. Aku harus bagaimana menghadapinya?' monolog Kaira dalam hati sambil menopang sebelah wajahnya pada tangan yang bersandar di meja.'Kenapa dia harus hadir di hidupku?' batinnya dengan wajah kesal.Harun berdiri tidak jauh dari tempatnya berada. Memperhatikan Kaira yang tampak gelisah. Pria itu melangkah mendekati Kaira dan berdiri di sampingnya. Wanita itu sibuk de
Pria itu terus menatap Kaira tajam sambil memberi sedikit ancaman. Kaira yang sedang fokus bekerja merasa kesal dan ingin sekali mengusirnya dengan paksa. Namun, ia tahu itu tidak akan berhasil. Laki-laki keras kepala seperti orang tersebut tidak akan mudah menyerah.Kaira berusaha bertahan. Wanita itu kembali fokus pada pekerjaannya tanpa memedulikan pria yang sedang menatap dirinya tersebut."Baiklah, itu pilihanmu. Aku akan meminta perhatian mereka untuk mendengarkan apa yang ingin aku katakan padamu," ucap pria itu kembali sambil berdiri tegap dan menatap ke arah sekitar."Kaira, aku ...."Dengan cepat Kaira bangkit dari kursi dan menutup mulut pria itu dengan sebelah tangannya. Menghentikan kalimat lelaki tersebut yang berbicara cukup keras. Kaira tidak ingin ada keributan di sana."Hentikan kekonyolanmu! Oke, kita keluar sekarang," ucap Kaira dengan kesal sambil menghela napas, ia pun terpaksa mengikuti keinginan pria itu daripada membuat onar di rumah sakit dan mengganggu pasie