Beranda / CEO / Cinta Setelah Luka / Bab 5 Sepertinya Bukan Dia?

Share

Bab 5 Sepertinya Bukan Dia?

Satu bulan berlalu, kondisi Kaivan semakin membaik. Pria itu sudah mulai bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Meskipun masih harus menggunakan kursi roda sebagi alat bantu berjalannya. Ferdinan menjaga Kaivan dengan baik, walau ia harus mondar-mandir ke kantor, rumah, dan rumah sakit. Namun, tidak sedikitpun mengeluh.

Bahkan, ia rela kehilangan waktu banyak bersama kekasih hatinya, demi merawat Kaivan. Ferdinan sebagai pengganti kedua orang tua Kaivan yang tinggal jauh di negeri sakura mengurus bisnis mereka di sana.

Kaivan tampak duduk di balkon ruangan kamar rumah sakit. Menikmati udara pagi hari yang sudah cukup lama tidak di rasakan, semenjak dirinya masuk rumah sakit. Ferdinan sedang berada di kafe membeli kopi dan kudapan. Begitu damai Kaivan merasakannya.

Namun, kesenangannya terusik karena kehadiran seorang wanita seksi dengan menggunakan kaos putih lengan pendek ketat berkerah dan rok tutu selutut. Rambut panjang sebahunya ia ikat tinggi, anting panjang yang akan bergoyang ketika perempuan itu berjalan.

Sepatu hells setinggi lima centi meter membuatnya terlihat jenjang, menghampiri Kaivan di balkon setelah mengetuk pintu kamar, tetapi tidak ada jawabannya. Wanita itu menutup kedua mata Kaivan dengan kedua tangan yang kukunya dicat berwarna merah menyala.

"Tebak, siapa aku?" tanya wanita seksi itu sambil menempelkan sebelah pipinya ke wajah Kaivan.

"Tasya!" seru Kaivan dengan terkejut.

"Aku pikir kau tidak akan mengenali aku lagi," ucap Tasya melepaskan kedua tangannya dari mata Kaivan dan berdiri di samping pria tersebut.

"Kapan kau tiba? Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" tanya Kaivan dengan penasaran.

"Tadi pagi. Aku ke rumahmu, tapi Mbok Ijah bilang kau masuk rumah sakit karena kecelakaan. Aku mencoba meneleponmu. Namun, ponselmu mati," jelas Tasya sambil menatap Kaivan dalam.

"Oh," jawab Kaivan dengan malas.

"Kau sepertinya tidak suka aku datang. Padahal, aku datang jauh-jauh khusus untukmu. Kenapa reaksimu seperti itu?" omel Tasya yang kesal dengan sikap datar Kaivan.

"Lalu, aku harus bagaimana? Aku sedang sakit, tidak bisa menyambutmu dengan baik," ucap Kaivan datar. Sebenarnya, Kaivan memang malas berbicara dengan Tasya.

"Kai, tidak bisakah kau lembut padaku sedikit saja?" tanya Tasya dengan manja sambil menyandarkan sebelah tangannya ke pundak kanan Kaivan.

"Sebaiknya kau pulang dan istirahatlah. Kau pasti lelah seharian dalam perjalanan."

Kaivan menepis tangan Tasya dari pundaknya dan mengusir secara halus wanita manja dan seksi itu. Kaivan terlalu lelah menghadapi Tasya.

"Aku masih ingin bersamamu. Aku ...."

"Pulanglah," pinta Kaivan lembut.

"Tapi ...."

"Aku akan mengantarmu," sela Ferdinan yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka.

"Kau ...."

"Tidak usah banyak bicara. Kau tidak ingin scurity yang mengusirmu, bukan?" ucap Ferdinan yang kembali menyela kalimat Tasya.

"Aku bisa pulang sendiri!" seru Tasya sambil menghentakkan kakinya dan melangkah keluar ruangan dengan kesal.

Ferdinan dan Kaivan hanya mengulas senyum tipis melihat tingkah Tasya. Sepertinya mereka senang sekali melihat Tasya seperti itu.

~~~~~~

"Karin, apa kau masih belum menemukannya?" tanya Kayana menatap dalam ke arah putri keduanya.

"Masih belum, Ma. Karin bingung harus mencarinya ke mana lagi. Sudah hampir semua tempat di sini di kelilingi untuk mencari, tapi sama sekali tidak menemukannya. Bahkan, jejaknya saja tidak ada," jelas Karin dengan sedikit kesal.

"Ke mana anak itu pergi? Kenapa tidak ada kabar sama sekali?" tanya wanita tua itu dengan sedih.

"Sudahlah, Ma. Tidak perlu mencari anak itu lagi. Bukankah kita sudah mengusirnya? Jika dia kembali, rumah ini akan menjadi sial kembali," tukas Karin semakin kesal. Tiap kali papa atau mamanya membahas anak tersebut, pasti Karin sangat kesal dan ingin marah.

"Bagaimana Mama tidak memikirkannya? Mama ini ibu kandung yang melahirkannya dan kau adalah kakak kandungnya. Apa kau tidak peduli sama sekali dengan adikmu itu?" ucap Mama Kayana dengan nada pelan. Namun, cukup menohok.

"Kalau Karin tidak peduli dengannya, untuk apa ke sana ke mari mencarinya?" ucap Karin semakin kesal dengan perkataan mamanya.

Wanita tua itu menekan tombol di kursi rodanya dan meninggalkan Karin, ia tidak ingin berdebat dengan anak keduanya tersebut.

"Kenapa mama selalu memikirkannya? Bukankah lebih baik jika dia tidak kembali ke rumah ini lagi? Kalau sampai dia kembali, bagaimana nasib rumah tanggaku dengan Erlan?" monolog Karin dengan perasaan khawatir.

~~~~~~

Dua bulan kemudian. Karin dan Erlan ke Rumah Sakit Kusuma Pratama Hospital untuk menemui Dokter Sintya. Dokter spesialis kandungan. Melanjutkan diskusi tentang program hamil.

Karin dan Erlan menikah sudah hampir sembilan tahun. Namun, belum juga diberi momongan. Mereka berencana untuk program hamil dengan berbagai pemeriksaan, sebagai upaya memastikan bahwa rahim Karin sehat dan bisa memiliki keturunan. Begitu pun dengan tubuh Erlan.

Mereka sudah melakukan berbagai cara untuk bisa memiliki anak. Namun, belum satu pun membuahkan hasil. Bahkan tes kesuburan keduanya pun bagus. Akan tetapi, tetap saja nihil.

Karin dan Erlan melangkah menuju ruangan Dokter Sintya. Namun, langkah mereka sempat terhenti ketika mata mereka melihat seseorang yang mirip sekali dengan adik yang sedang keluarga Karin cari.

"Ada apa? Kenapa kau berhenti?" tanya Karin dengan penasaran.

"Karin, coba lihat ke sana. I--itu, itu, Kaira, bukan?" ucap Erlan sambil menunjuk ke arah wanita cantik dengan rambut sepinggang yang terikat rapi dan poni tipis, melangkah anggun sedang tersenyum berbincang dengan Dokter Harun.

"Iya, itu Kaira. Ayo kita ke sana untuk memastikan," ajak Karin dengan yakin.

"Tapi, apa mungkin? Barangkali hanya mirip saja," ucap Erlan ragu.

"Kita ke sana untuk memastikannya," ucap Karin yang begitu penasaran sekali dengan sosok wanita cantik tersebut.

"Nyonya Karin, Tuan Erlan. Kalian sudah datang?" tanya Dokter Sintya yang baru saja datang hendak ke ruangannya.

"Do--Dokter Sintya," jawab Karin dengan gugup. Kedua matanya masih memperhatikan ke arah wanita cantik di sebrang sana.

"Mari ke ruangan saya," ajak Dokter Sintya sambil melangkah terlebih dahulu.

"I--iya, Dok."

'Sial, aku jadi gagal mengetahui siapa wanita itu sebenarnya. Apa benar dia Kaira? Aku sudah sering ke sini, tapi baru melihatnya. Apa dia baru di rumah sakit ini?' monolog Karin dalam hati penuh rasa penasaran.

Setelah selesai melakukan pemeriksaan, Karin dan Erlan berkeliling rumah sakit sebelum pulang. Mereka menyusuri setiap lorong dan ruangan di sana. Mencari keberadaan wanita yang keduanya sempat lihat sebelum bertemu Dokter Sintya.

Cukup lama mereka berkeliling. Namun, tak menemukan wanita itu. Mereka sangat kecewa karena berharap itu adalah Kaira, orang yang tengah keduanya cari. Akan tetapi, tidak ada bukti untuk itu. Sebab sama sekali tidak berhasil menemukannya.

"Ke mana perginya perempuan itu? Tadi bukankah kita melihatnya? Cepat sekali menghilangnya," monolog Erlan sambil terus mengedarkan pandangan mencari.

"Mungkin salah lihat. Kenapa kau begitu semangat sekali? Apa kau masih mengharapkannya?" ucap Karin dengan tatapan penuh selidik.

"A--apa maksudmu, Karin?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status