Kaira menatap dalam ke arah Harun. Menelan ludah dan mengatur napas yang sedikit tersengal. Mencoba untuk tenang agar sang kakak tidak khawatir."Kaira," panggil Harun lembut."Kak, Mas Kaivan sudah mengetahui prihal keluarga kandungku. Ternyata, dia sudah tahu jauh sebelum aku menikah dengannya. Namun, ia sengaja merahasiakannya dariku karena tidak ingin menambah beban pikiranku. Pantas saja, selama ini Mas Kaivan tidak pernah bertanya sedikitpun soal pribadiku, ternyata sudah mengetahuinya tanpa aku menjelaskannya semua," jelas Kaira melepaskan tangkupan Harun.Kaira melangkah ke arah sofa dan duduk, Harun mengekor di belakang. Kaira kembali menghela napas. Harun terdiam dan mendengarkan semua cerita adiknya."Bukan hanya itu, aku sudah menemui dan bicara dengan Kak Kevin. Namun, aku masih belum bisa menerima dan memaafkan mereka. Semakin aku dekat dengan mereka, hatiku semakin sakit. Apa aku salah jika lebih memilih menjauh dari keluarga kandungku? Aku belum siap menerima mereka, K
"Nanti kau juga akan tahu," jawab Kaira singkat dengan tatapan tajam dan senyum menyeringai."Kaira ....""Permisi, Dok. Ini berkas yang Anda minta mengenai pasien Tuan Kamran."Perawat Sari tiba-tiba datang dan menghentikan kalimat Kevin. Kemudian, membawa map biru berisi berkas pasien dan memberikannya pada Kaira."Baik, terima kasih. Kau boleh pergi, Sari."Baik, Dok."Sari pun amit undur diri setelah menjalankan tugasnya. Sementara Kevin dan Karin tampak bingung dan bertanya-tanya akan apa yang akan Kaira lakukan pada mereka.Kaira membuka berkas tersebut kemudian membacanya. Lalu, menutupnya kembali. Wanita itu kembali menatap ke arah Karin dan Kevin yang tengah terdiam."Ini adalah berkas catatan riwayat kesehatan papa Anda beserta biaya yang harus dibayar. Jika kalian ingin orang tua itu tetap mendapatkan perawatan hingga sembuh. Lunasi semua biaya secepatnya sekarang juga. Jika tidak bisa, dengan terpaksa kami akan menghentikannya dan kalian harus menandatangani surat pernyata
Kevin dan Kaivan menatap ke arah Kaira bersamaan. Keduanya terkejut dengan apa yang di katakan Kaira. Kevin berpikir jika Kaira tidak akan mengingatkannya lagi. Sementara Kaivan, tidak mengerti ucapan sang istri.Kevin semakin mendekat ke arah Kaira dan menghela napas. Kemudian, menelan ludah. Pemuda itu semakin memperdalam tatapannya pada sang adik."Kaira, bisakah kita membicarakannya kembali? Aku mohon, jangan seperti ini," ucap Kevin dengan mengiba. Berharap Kaira luluh."Jadi kau belum memutuskannya? Atau, ingin aku yang melakukannya?" Bukannya menjawab permohonan Kevin, Kaira malah balik bertanya. Sikapnya sangat dingin dan acuh. Kaivan masih mencoba mencerna pembicaraan kedua kakak beradik itu."Kaira ....""Kau masih punya waktu sampai besok. Pikirkan kembali dengan baik. Aku ....""Apakah hatimu sudah benar-benar beku dan mati hingga tidak ada sedikitpun rasa iba dan perduli pada papa?" Kevin mulai kesal dengan sikap keras kepala Kaira. Meski ia masih bisa menahan nada bica
Kaivan menghela napas kasar. Memejamkan mata sejenak. Kemudian, kembali menatap Kevin."Perlahan trauma Kaira berkurang. Namun, kembali datang ketika bertemu denganku. Aku adalah orang di masa lalu Kaira yang pernah menorehkan luka dan membuat Kaira harus menghadapi semua ini sendiri," ucap Kaivan pelan."Jadi kau adalah ....""Iya, aku ayah kandung Kiara, putri dari Kaira. Aku lah orangnya yang telah menghancurkan hidup Kaira dan membuatnya diusir oleh kalian dan menjalani hari-hari beratnya sendiri. Jika kau ingin menyalahkan, salahkan aku, jangan Kaira. Dia hanyalah korban dari dosa di masa laluku. Aku datang karena ingin menebus semua dosa dan kesalahanku pada Kaira," ucap Kaivan dengan pelan."Kau ....""Kak, aku terus mencari Kaira sejak kejadian itu. Hingga akhirnya, aku menemukannya setelah delapan tahun mencari. Lalu, aku berusaha untuk meyakinkan Kaira. Mencoba mencari cara agar Kaira bisa sembuh dari traumanya. Alhasil, Kaira sudah jauh lebih baik dan bisa menerimaku. Sehin
"Kenapa? Kau terkejut?" tanya Harun curiga."Kak, jangan lakukan itu aku harus ....""Kesehatanmu jauh lebih penting. Jangan keras kepala. Apa kau ingin aku beri tahu ayah soal ini? Kau tahu, bukan apa yang akan ayah lakukan?"Harun berkata dengan tenang, meski tiap bait kata yang terucap penuh penekanan. Kaira kesal dan membuang muka. Tidak ingin menatap Harun. Pria berkumis tipis itu mendekati sang adik."Tidak usah cemberut seperti itu. Hanya seminggu saja. Atau, mau aku tambah dua minggu, tiga inggu, mungkin sebulan dan ....""Kak Harun, ihh. Kau juga, kenapa tidak membelaku?" "Ehh, aduh, sakit, Sayang."Kaira semakin kesal dengan perkataan Harun. Apalagi, Kaivan hanya menurut saja sambil senyum-senyum. Kaira mencubit pinggang Kaivan hingga pemuda itu meringis kesakitan. Sementara Kevin, terus memperhatikan keakraban mereka.'Kaira tampak bahagia dengan keluarga barunya. Bahkan bisa semanja itu dengan Harun. Mereka juga begitu menyayangi Kaira dan memperlakukannya dengan sangat b
Setelah satu minggu mendapatkan perawatan, Kaira sudah diizinkan pulang. Namun, Harun masih melarangnya bekerja. Kaira kesal dengan keputusan sang kakak. Akan tetapi, itu yang terbaik untuk Kaira.Wanita itu harus benar-benar pulih dan kondisinya stabil. Bisa mengontrol emosi dengan baik, barulah Harun mengizinkan Kaira kembali bekerja."Lama-lama aku bisa gila jika terus begini," ucap Kaira dengan kesal sambil meremas rambutnya.Kaivan sedari tadi berdiri di ambang pintu memperhatikan gerak-gerik sang istri. Sebenarnya, ia gemas dengan tingkah Kaira. Namun, masih di tahan dan menunggu waktu yang tepat untuk bisa berbicara dengan istrinya dari hati ke hati."Kak Harun keterlaluan! Selalu saja begini. Mas Kaivan juga, kenapa setuju dengan perkataan Kak Harun. Mereka itu benar-benar menjengkelkan. Dasar rusuh!" Kaira bermonolog, ia mengumpat dengan hati jengkel dengan sikap Harun dan sang suami. Namun, enggan bicara langsung karena pasti akan berdebat. Wanita itu terus menggerutu samb
Kaira kembali bekerja setelah hampir satu bulan beristirahat untuk memulihkan kondisinya, pasca trauma yang dialaminya beberapa waktu lalu. Kamran sang papa juga sudah mulai pulih, meski masih harus menjalani perawatan.Wanita cantik itu melangkah dengan anggun memasuki ruangan perawatan, tempat Kamran berada. Ya, pria tua itu telah di pindahkan karena kondisinya sudah mulai membaik. Kevin menjaganya setiap hari. Sementara Karin, wanita itu tidak pernah menampakkan wajahnya lagi di rumah sakit atas permintaan Kaira.Kamran dan Kevin menatap ke arah Kaira ketika pintu ruangan di buka. Wajah keduanya berbinar senang melihat kedatangan putri dan adik yang di rindukan, setelah cukup lama menghilang. Namun, berbeda dengan Kaira. Wanita itu tampak biasa saja dan bersikap dingin saat berhadapan dengan kedua orang tersebut."Kaira," ucap Kamran sambil terbelalak karena terkejut."Kaira, kau sudah kembali," ucap Kevin sambil berusaha tersenyum."Bagaimana kondisi Anda hari ini, Tuan," ucap Kai
Kayana datang ke rumah sakit menemui Kamran. Wanita tua itu memaksakan diri untuk bertemu suaminya. Bukan hanya itu, Kayana juga ingin bertemu dengan Kaira, setelah mendengar cerita Kevin tentang putri bungsu yang telah di temukannya tersebut.Wanita tua itu sudah tidak sabar bertemu Kaira dan melepas kerinduannya pada putri bungsu yang lama menghilang tanpa ada kabar sama sekali.Seperti biasa, Kaira datang ke ruangan Kamran untuk memeriksa kondisinya. Wanita berparas cantik dengan bulu mata lentik itu begitu memesona dengan balutan jas putih dan rambut yang di kuncir tinggi. Stetoskop melingkar di leher dan kedua tangan dalam saku jas tersebut.Kamran, Kevin, dan Kayana menatap ke arah Kaira dengan terkejut. Terutama Kayana yang tidak menyangka bertemu dengan Kaira, setelah hampir sepuluh tahun tidak melihatnya.Kaira tampak dingin dan acuh meski ia mengetahui ada ibu, ayah, dan kakak kandungnya di dalam ruangan itu. Kaira memperlakukan Kamran seperti pasien yang lainnya, bukan sepe
Kaivan menelan ludah. Menghela napas, mencoba menahan amarahnya. Bukan tidak berani mendekat ke arah Tasya dan Karin. Namun, ia tidak ingin gegabah dan membuat putrinya terluka. Karin tampak tersenyum melihat wajah menyedihkan Kaira."Lihatlah, Kaira. Kau akan kehilangan putrimu. Itu semua hukuman yang setimpal dari semua yang sudah kau lakukan padaku dan Tasya. Terutama, Kau, Kaivan! Kau sudah buat hidup kami menderita cukup lama di pulau terpencil. Kalian harus membayar mahal untuk itu," ucap Karin dengan tatapan menyeringai."Apa yang kalian inginkan? Lepaskan putriku! Jangan sakiti dia. Urusan kalian denganku, bukan dengannya," ucap Kaira berusaha untuk berbicara baik-baik."Aku ingin kau hancur, Kaira. Tanda tangani surat ini," ucap Karin sambil melemparkan map cokelat ke arah Kaira.'Rupanya mereka sudah menyiapkan dan merencanakan semuanya. Aku harus cari cara membuat Karin dan Tasya lengah hingga bisa menyelamatkan Kiara,' monolog Kaivan dalam hati.Kaivan mengambil map cokela
Setelah satu minggu berada di rumah sakit melakukan perawatan, pasca insiden yang terjadi beberapa waktu lalu, Kaira pun diizinkan pulang ke rumah. Namun, belum diperbolehkan bekerja. Kaivan pun menjadi sangat posesif menjaga Kaira, demi keselamatan istri dan calon anak keduanya.Kaira yang masih lemas berbaring di ranjang. Sementara Kaivan, berada di ruang tamu bersama dengan Ferdinan yang ikut menjemput Kaira di rumah sakit. Mereka tampak berbincang serius di sana."Bagaimana kondisi Dokter Kaira? Apa sudah membaik?" tanya Ferdinan membuka pembicaraan."Sudah. Dokter bilang, Kaira tidak boleh emosi dan terlalu stres. Itu bisa berbahaya bagi diri dan calon bayinya," jelas Kaivan dengan pelan."Kau harus ekstra hati-hati dalam menjaganya. Apa dia tahu mengenai pengintaian kita terhadap Karin dan Tasya?" tanya Ferdinan sembari menasihati Kaivan."Dia belum tahu kalau kita kemarin pergi mengintai dan ingin menangkap Karin dan Tasya. Dia ....""Apa? Jadi kalian kemarin pergi tanpa kabar
Kaivan masih menunggu di depan ruang pemeriksaan. Pemuda itu masih mencemaskan Kaira yang belum juga selesai diperiksa oleh dokter. Setengah jam berlalu, dokter keluar dari tempat itu dan langsung di hadang oleh Kaivan."Dokter, bagaimana kondisi istri saya?" tanyanya dengan cemas sambil menatap ke arah dokter.Dokter itu menghela napas dan menyeka dahinya dengan lengan jasnya. Kemudian, menatap Kaivan dengan wajah serius."Kondisi istri Anda baik-baik saja. Janinnya pun sama. Untung saja cepat dibawa ke sini. Hanya saja, pasien harus istirahat total karena mengalami sedikit pendarahan," jelas dokter itu dengan wajah serius."Apa? Pendarahan? Apa berbahaya, Dok?" tanya Kaivan kembali dengan terkejut."Berbahaya jika tidak lekas di atasi. Saya harap, Anda mengikuti saran saya demi keselamatan istri dan calon bayi Anda," jelas dokter itu kembali."Baik, Dok. Emm, kira-kira, kenapa istri saya bisa seperti itu, Dok? Apa karena kelelahan?" "Iya, bisa karena kelelahan, atau emosi berlebih
Kaivan dan Ferdinan, beserta anak buahnya kembali ke kota J setelah pengintaian dan usaha penangkapan atas Karin dan Tasya gagal. Kini, Kaivan mengkhawatirkan Kaira yang tidak mengangkat panggilan telepon dan membalas pesannya.Kaivan terus gelisah, takut hal buruk terjadi pada Kaira. Harun pun tidak dapat dihubungi. Semakin membuat pemuda itu bertambah khawatir."Bagaimana ini? Kak Harun pun tidak bisa dihubungi. Ke mana sebenarnya mereka?" monolog Kaivan sambil meremas kasar rambutnya."Tetaplah tenang. Mungkin mereka sedang ada tugas dan tidak ada sinyal sehingga sulit dihubungi," jelas Ferdinan berusaha menenangkan Kaivan."Bagaimana aku bisa tenang. Karin dan Tasya berhasil lolos. Kaira tidak bisa dihubungi. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Kau tahu bagaimana ular berbisa itu memperlakukan Kaira. Aku khawatir mereka menemui Kaira dan melakukan hal buruk pada istriku," omel Kaivan yang masih saja terus gelisah."Aku mengerti kekhawatiranmu. Namun, berpikirlah positif. Semoga tid
Kaira tampak mondar-mandir di kamar. Wanita cantik itu merasa khawatir karena Kaivan belum juga kembali. Berkali-kali mencoba menghubungi ponselnya. Namun, tidak ada jawaban. Pesan pun tidak di balas. Tidak bisanya Kaivan seperti itu. Bahkan, pria tersebut biasanya begitu posesif dan selalu cepat menjawab panggilan dari Kaira."Mas Kaivan ke mana, ya? Kenapa tidak mengangkat panggilanku? Pesan aku pun tidak di jawab," monolog Kaira yang mengkhawatirkan suaminya."Ferdinan juga ke mana lagi? Dia juga tidak bisa di hubungi," lanjut Kaira semakin khawatir.Wanita berparas cantik itu melangkah keluar kamar menuju dapur. Menemui asisten rumah tangganya yang tengah merapikan tempat tersebut."Bi, apa Tuan Kaivan belum kembali, atau sudah kembali, tapi pergi lagi?" tanya Kaira kepada Bi Asih, asisten rumah tangganya."Belum Nyonya. Tuan belum kembali dari bekerja," jelas Bi Asih sambil sedikit menunduk."Kau di mana, Mas? Kenapa tidak ada kabar?" tanya Kaira dengan raut wajah semakin cemas.
Kaira kembali beraktifitas, meski hatinya masih dirundung pilu pasca kejadian beberapa hari lalu yang menyebabkan Kaira kehilangan dua pasiennya di meja operasi. Harun terus memperhatikan adiknya yang tampak murung, ketika memasuki ruang IGD.Kaira terus melangkah dengan pikiran kosong. Sapaan dari para perawat dan dokter yang berada di ruangan itu pun tak dihiraukannya. Kaira tiba di ruang pengecekan data pasien dan duduk di depan meja komputer. Wanita cantik itu menghela napas berat. Kemudian, mengambil satu map dari tumpukan map yang berada di hadapannya. Membuka perlahan berkas tersebut dan membacanya sebelum ia masukan ke dalam laporan.Tangannya bergetar, kedua mata Kaira berkaca saat membaca riwayat pasien yang ternyata itu adalah laporan tentang pasien korban reruntuhan bangunan yang meninggal dunia beberapa hari yang lalu.Harun yang sejak tadi memperhatikan Kaira pun segera masuk ke ruangan itu. Takut terjadi sesuatu kepada adiknya. Sebab, kondisi Kaira memang labil belakan
Hari berganti waktu pun berganti. Sudah empat bulan sejak kejadian penculikan terhadap Kaira yang dilakukan oleh Karin dan Tasya. Kedua orang itu masih dalam buruan. Belum tampak jelas jejak keberadaannya.Kaira tetap menjalankan aktifitas seperti biasanya, meski ada Kekhawatiran dan kegelisahan pasca kejadian itu. Kaivan pun selalu waspada dan siaga menjaga Kaira agar tetap aman.~~~Kaira kembali disibukan dengan pekerjaannya. Telah terjadi gempa di daerah kota 'S' cukup besar hingga banyak korban yang dilarikan ke rumah sakit terdekat di daerah tersebut. Bala bantuan pun di datangkan dari tim medis beberapa rumah sakit, termasuk rumah sakit Kaira.Awalnya, Harun melarang Kaira ikut karena kondisi Kaira yang tengah hamil. Kaivan pun mencemaskannya. Namun, Kaira merupakan tim inti karena merupakan salah satu tenaga profesional yang diminta untuk datang. Kurangnya tenaga medis yang mengharuskan hal itu. Akhirnya, dua pemuda tampan yang selalu melindunginya itu pun mengizinkannya. Ten
Kaivan melepaskan ciumannya karena Kaira merasa sedikit sesak. Kemudian, pemuda tampan itu menangkupkan wajah Kaira dan menatapnya lamat-lamat."Wajahmu pucat, apa kau sakit, Sayang?" tanya Kaivan sambil terus mengamati wajah istrinya. Kaira menggeleng.Kaivan mengerutkan alisnya. Menatap curiga ke arah Kaira. Menelisik kebenaran di sana. Kaira tersenyum."Kenapa tersenyum? Apa kau terpesona dengan ketampananku?" goda Kaivan tanpa melepaskan tatapannya."Mas, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ucap Kaira sambil menurunkan kedua tangan Kaivan dari pipinya dan menggenggam erat."Apa?" tanya Kaivan penasaran."Mas, aku ....""Kenapa, Sayang?" tanya Kaivan semakin penasaran.Kaira bangkit dari kursi dan mengambil tasnya yang bergelayut di gagang lemari. Kemudian, mengambil amplop putih dan menyerahkan kepada Kaivan."Ini.""Apa ini?""Buka saja dan kau akan mengetahuinya."Kaivan pun membuka amplop itu dan melihat isinya. Kedua matanya terbelalak mana kala membaca isinya. Senyum meng
Kaira kembali beraktivitas. Sementara waktu, ia hanya diperbolehkan bertugas di IGD dan ICU sampai kondisinya pulih pasca trauma yang di alami ketika diculik oleh Karin dan Tasya. Harun dan Hanung khawatir, jika dipaksakan melakukan operasi, akan mengganggu prosesnya. Tentu, berbahaya pula bagi pasien. Kaira menyadari itu dan tidak melakukan protes. Wanita cantik tersebut tetap melakukan tugasnya dengan baik, meski di bawah kontrol Harun dan Hanung. Kaira begitu ramah menyapa pasien yang terbaring di ruang IGD, melakukan proses pemeriksaan dengan sabar dan telaten. Ya, terkadang memang butuh kesabaran ekstra dalam menghadapi pasien dengan berbagai karakter. Ada yang menuruti perkataan dokter, ada pula yang menentangnya. Harun selalu memperhatikan gerak-gerik Kaira. Takut-takut trauma itu datang dan mengganggu konsentrasi bekerjanya. Pemuda itu tampak tersenyum melihat Kaira yang begitu semangat. Helaan napas terdengar cukup kasar. Harun tiba-tiba mengerutkan alisnya, ketika me