Kaivan mengejar Kaira yang melangkah cepat ke kamar dan langsung membanting pintu. Wanita itu menjatuhkan tubuhnya di ranjang sambil menangis. Air mata yang sejak tadi di bendung itu pun tumpah. Kaivan berusaha membuka pintu dan memanggil Kaira."Kaira, buka pintunya, Sayang. Aku mau masuk. Kaira, Kaira."Kaivan mengetuk-ngetuk pintu sambil memanggil Kaira. Berharap wanita itu membuka pintu. Namun, Kaira tidak menghiraukan, ia menutup kepalanya dengan bantal dan menangis terisak.Lelaki tampan itu tidak kehabisan akal, ia mencari kunci cadangan dan membuka pintu setelah berhasil menemukan. Kaivan masuk ke dalam dan mendapati sang istri yang tidur tengkurap sambil menutup wajahnya dengan bantal.Kaivan mendekat dan mengambil paksa bantal, membalikkan tubuh Kaira karena khawatir wanita itu akan sesak karena kehabisan napas. Kaira menutup mata dengan wajah basah penuh air mata. Tidak ada suara atau perlawanan. Hanya Isak tangis yang terdengar."Sayang," panggil Kaivan sambil membelai ram
Tiga bulan kemudian, kondisi Kaira sudah kembali pulih. Harun pun menepati janji untuk mempekerjakan Kaira kembali. Semua dokter dan perawat juga syaf dan direktur rumah sakit menyambut dengan sangat antusias dan gembira kehadiran Kaira kembali.Mereka rindu akan sosok Kiara yang tegas, berwibawa dan selalu cekatan dalam bekerja, meski Kiara jarang tersenyum. Namun, ia berhati baik dan mulia. Banyak para junior serta senior yang mengaguminya.Harun pun tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, melihat sang adik kini sudah pulih dan bisa bekerja kembali. Senyum mengembang di sudut bibir seksinya. Kaira sangat terkesan dan terkejut dengan apresiasi yang diberikan oleh rekan-rekan kerjanya."Terima kasih saya ucapkan atas apresiasi yang di berikan. Saya sangat terkesan dan ini benar-benar kejutan sekali. Saya bahagia bisa kembali bekerja dan melihat kalian. Semoga kita bisa kompak selalu seperti dulu," ucap Kaira di tengah-tengah sambutannya. "Selamat datang kembali Dokter Kaira," ucap
Kaivan tengah asyik berkutik dengan berkas-berkas di ruangannya. Jari-jemarinya begitu terampil dan cekatan mengetik huruf demi huruf sambil kedua matanya melirik ke arah berkas di tangannya dan layar laptop. Wajah Kaivan begitu serius. Namun, walau demikian, ia tetap terlihat tampan dan menawan.Sebuah ketukan pintu sedikit membuyarkan konsentrasinya. Pria itu pun menghentikan sejenak aktivitasnya dan menatap ke arah pintu."Masuk."Suara bariton yang terdengar seksi keluar dari mulut Kaivan. Pintu di buka perlahan. Tampaklah seorang pria berparas manis dengan tinggi yang tidak jauh dari dirinya. Sekitar seratus delapan puluh centimeter. Kaivan menghela napas kasar. Kemudian, kembali fokus pada pekerjaannya setelah tahu siapa yang mengetuk pintu."Sibuk sekali. Apa begitu banyak pekerjaanmu hingga tidak ada waktu luang untukku?" ucap pria itu yang ternyata Ferdinan. Asisten pribadi sekaligus sahabatnya tersebut."Aish, ini semua karena kau terlalu lama bercuti. Pekerjaan menjadi menu
Kaivan yang tengah tertunduk di kursi tunggu mendongak. Pria itu terkejut akan kehadiran Harun yang sudah berdiri di hadapannya dengan wajah penasaran."Ka--Kak Harun," ucap Kaivan dengan sedikit gugup."Apa yang terjadi?" tanya pria berkumis tipis dengan paras manis tersebut kembali semakin penasaran."Ka--Kaira. Kaira pingsan, Kak," ucap Kaivan dengan sedikit tersendat."Apa? Ke--kenapa bisa pingsan? Apa yang terjadi padanya?" Harun terkejut. Kedua matanya membulat sempurna. Rasa ke penasarannya semakin menjadi."Tadi aku ... emm--""Apa?""Tadi kami mau tidur. Lalu, aku ... mau itu--dengan Kaira. Namun, belum sempat terjadi, Kaira sudah tidak sadarkan diri setelah sempat sesak napas dan kejang," ucap Kaivan menjelaskan dengan sedikit tersendat. Pria itu sedikit malu untuk menceritakan hal pribadi, meski dengan Harun yang notabene-nya kakak Kaira."Aish, kau tahu Kaira punya trauma akan hal itu. Kenapa kau tidak bersabar menunggunya?" omel Harun yang memahami kondisi Kaira."Aku ta
Tiga hari berlalu, kondisi Kaira semakin membaik. Wajahnya pun tidak pucat lagi. Kaivan senang melihatnya. Pria itu begitu setia menemani dan merawat Kaira. Wanita tersebut pun mulai merasakan akan ketulusan Kaivan padanya.'Mas Kaivan begitu tulus menyayangiku. Meski ia pernah melakukan kesalahan yang sulit untuk aku maafkan. Namun, Mas Kaivan tidak sejahat seperti yang aku pikirkan. Apakah aku harus membuka pintu hati untuk bisa menerimanya sepenuh hati?' batin Kiara sambil memperhatikan gerak-gerik suaminya yang tengah duduk di sofa sembari memainkan ponsel.'Kenapa hatiku tidak bisa berdamai? Kenapa aku begitu membencinya meski sudah menikah dengannya? Apakah hatiku sudah benar-benar beku hingga sulit untuk menerimanya?' batin Kaira kembali tanpa melepaskan pandangannya pada Kaivan.Tidak sengaja mata Kaivan melirik ke arah Kaira. Pria itu menyadari jika sang istri sedang memperhatikannya sejak tadi. Kaivan menaruh ponselnya ke meja dan berjalan ke arah Kaira. Wanita tersebut berp
Kaivan meraih wajah Kaira dan menangkupkannya. Pria itu memandang istrinya lamat-lamat. Rasa sakit dan bersalah kembali menghantui. Ada kesedihan di balik wajah tampannya.Kaivan mengusap lembut wajah Kaira dengan kedua ibu jarinya. Tatapannya begitu tulus dan dalam. Pria itu tidak pernah menyangka dengan apa yang di lakukannya, bisa membuat Kaira menjadi seperti ini. Meski kejadian itu sudah cukup lama dan tanpa ia sadari. Namun, begitu menorehkan luka dalam, meninggalkan trauma yang sulit terobati.Entah sudah berapa banyak sayatan luka dalam hati Kaira. Sehingga, ia menutup rapat hatinya untuk laki-laki. Sudah cukup banyak pula Kaira masuk rumah sakit dan harus menderita selama bertahun-tahun."Aku yang seharusnya minta maaf padamu, Sayang. Meski ribuan kali aku ucapkan, belum bisa meluluhkan hatimu. Belum bisa menembus Sukma terdalam untuk mengobati luka hatimu. Aku jahat, telah banyak menggoreskan luka di hatimu," ucap Kaivan dengan penuh penyesalan.Kaira terdiam. Wanita itu men
Erlan tak kalah tajamnya menatap Karin. Tidak ada rasa cinta di balik kedua matanya. Lelaki itu sudah terbakar emosi yang besar."Iya, aku ingin pisah darimu. Bukan karena aku masih mencintai Kaira atau tidak. Akan tetapi, aku sudah sangat muak dengan tuduhan-mu yang tidak benar itu, Karin. Kau terus-menerus menuduhku dan selalu saja alasan yang sama untuk bisa menghakimiku."Erlan berkata dengan wajah serius, membuat Karin membulatkan kedua matanya, ia tidak menyangka jika Erlan akan berkata setajam itu padanya. Padahal, biasanya Erlan itu selalu sabar dan mengalah. Bahkan mampu menenangkan Karin."Kau ... keterlaluan kau, Mas. Tega sekali kau bicara seperti itu padaku. Aku ....""Maaf, Karin. Aku sudah tidak bisa lagi bersamamu. Aku akan pergi dari sini. Akan aku urus secepatnya perceraian kita," ucap Erlan sambil bangkit. Menjauh dari Karin dan mengambil koper di atas lemari. Kemudian, membukanya dan memasukan satu per satu pakaian dan barang-barang miliknya."Mas, tolong jangan ce
"Aku tidak membelanya, itu fakta dan kau harus menerimanya, Karin. Introspeksi dirimu sendiri. Jangan terus menyalahkan Kaira. Dia sudah cukup menderita selama ini," ucap Kevin yang tidak terima Kaira di salahkan terus-menerus oleh Karin.Kevin memang cukup lama menyimpan rasa sesal atas kepergian Kaira dari rumah, ia menyesal karena tidak bisa mencegahnya. Andai kala itu Kevin tidak ikut terbakar emosi, pasti Kaira masih berkumpul dengan keluarga saat ini.Apalagi dengan kedua orang tuanya yang sakit. Terutama sang mama, sejak kepergian Kaira dari rumah, wanita tua itu hanya bisa duduk di kursi roda karena struk yang dialami. Keluarga Kaira tidak lagi harmonis seperti dulu. Kepergian Kaira, meski menorehkan luka. Namun, ada segelumit penyesalan yang tidak akan pernah bisa hilang walau sudah bertahun-tahun lamanya."Kak, berhenti membela anak sialan itu. Bagiku, dia sumber kehancuran rumah tanggaku," ucap Karin yang terus menyalahkan Kaira."Kau yang menghancurkannya sendiri, Karin. S
Kaivan menelan ludah. Menghela napas, mencoba menahan amarahnya. Bukan tidak berani mendekat ke arah Tasya dan Karin. Namun, ia tidak ingin gegabah dan membuat putrinya terluka. Karin tampak tersenyum melihat wajah menyedihkan Kaira."Lihatlah, Kaira. Kau akan kehilangan putrimu. Itu semua hukuman yang setimpal dari semua yang sudah kau lakukan padaku dan Tasya. Terutama, Kau, Kaivan! Kau sudah buat hidup kami menderita cukup lama di pulau terpencil. Kalian harus membayar mahal untuk itu," ucap Karin dengan tatapan menyeringai."Apa yang kalian inginkan? Lepaskan putriku! Jangan sakiti dia. Urusan kalian denganku, bukan dengannya," ucap Kaira berusaha untuk berbicara baik-baik."Aku ingin kau hancur, Kaira. Tanda tangani surat ini," ucap Karin sambil melemparkan map cokelat ke arah Kaira.'Rupanya mereka sudah menyiapkan dan merencanakan semuanya. Aku harus cari cara membuat Karin dan Tasya lengah hingga bisa menyelamatkan Kiara,' monolog Kaivan dalam hati.Kaivan mengambil map cokela
Setelah satu minggu berada di rumah sakit melakukan perawatan, pasca insiden yang terjadi beberapa waktu lalu, Kaira pun diizinkan pulang ke rumah. Namun, belum diperbolehkan bekerja. Kaivan pun menjadi sangat posesif menjaga Kaira, demi keselamatan istri dan calon anak keduanya.Kaira yang masih lemas berbaring di ranjang. Sementara Kaivan, berada di ruang tamu bersama dengan Ferdinan yang ikut menjemput Kaira di rumah sakit. Mereka tampak berbincang serius di sana."Bagaimana kondisi Dokter Kaira? Apa sudah membaik?" tanya Ferdinan membuka pembicaraan."Sudah. Dokter bilang, Kaira tidak boleh emosi dan terlalu stres. Itu bisa berbahaya bagi diri dan calon bayinya," jelas Kaivan dengan pelan."Kau harus ekstra hati-hati dalam menjaganya. Apa dia tahu mengenai pengintaian kita terhadap Karin dan Tasya?" tanya Ferdinan sembari menasihati Kaivan."Dia belum tahu kalau kita kemarin pergi mengintai dan ingin menangkap Karin dan Tasya. Dia ....""Apa? Jadi kalian kemarin pergi tanpa kabar
Kaivan masih menunggu di depan ruang pemeriksaan. Pemuda itu masih mencemaskan Kaira yang belum juga selesai diperiksa oleh dokter. Setengah jam berlalu, dokter keluar dari tempat itu dan langsung di hadang oleh Kaivan."Dokter, bagaimana kondisi istri saya?" tanyanya dengan cemas sambil menatap ke arah dokter.Dokter itu menghela napas dan menyeka dahinya dengan lengan jasnya. Kemudian, menatap Kaivan dengan wajah serius."Kondisi istri Anda baik-baik saja. Janinnya pun sama. Untung saja cepat dibawa ke sini. Hanya saja, pasien harus istirahat total karena mengalami sedikit pendarahan," jelas dokter itu dengan wajah serius."Apa? Pendarahan? Apa berbahaya, Dok?" tanya Kaivan kembali dengan terkejut."Berbahaya jika tidak lekas di atasi. Saya harap, Anda mengikuti saran saya demi keselamatan istri dan calon bayi Anda," jelas dokter itu kembali."Baik, Dok. Emm, kira-kira, kenapa istri saya bisa seperti itu, Dok? Apa karena kelelahan?" "Iya, bisa karena kelelahan, atau emosi berlebih
Kaivan dan Ferdinan, beserta anak buahnya kembali ke kota J setelah pengintaian dan usaha penangkapan atas Karin dan Tasya gagal. Kini, Kaivan mengkhawatirkan Kaira yang tidak mengangkat panggilan telepon dan membalas pesannya.Kaivan terus gelisah, takut hal buruk terjadi pada Kaira. Harun pun tidak dapat dihubungi. Semakin membuat pemuda itu bertambah khawatir."Bagaimana ini? Kak Harun pun tidak bisa dihubungi. Ke mana sebenarnya mereka?" monolog Kaivan sambil meremas kasar rambutnya."Tetaplah tenang. Mungkin mereka sedang ada tugas dan tidak ada sinyal sehingga sulit dihubungi," jelas Ferdinan berusaha menenangkan Kaivan."Bagaimana aku bisa tenang. Karin dan Tasya berhasil lolos. Kaira tidak bisa dihubungi. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Kau tahu bagaimana ular berbisa itu memperlakukan Kaira. Aku khawatir mereka menemui Kaira dan melakukan hal buruk pada istriku," omel Kaivan yang masih saja terus gelisah."Aku mengerti kekhawatiranmu. Namun, berpikirlah positif. Semoga tid
Kaira tampak mondar-mandir di kamar. Wanita cantik itu merasa khawatir karena Kaivan belum juga kembali. Berkali-kali mencoba menghubungi ponselnya. Namun, tidak ada jawaban. Pesan pun tidak di balas. Tidak bisanya Kaivan seperti itu. Bahkan, pria tersebut biasanya begitu posesif dan selalu cepat menjawab panggilan dari Kaira."Mas Kaivan ke mana, ya? Kenapa tidak mengangkat panggilanku? Pesan aku pun tidak di jawab," monolog Kaira yang mengkhawatirkan suaminya."Ferdinan juga ke mana lagi? Dia juga tidak bisa di hubungi," lanjut Kaira semakin khawatir.Wanita berparas cantik itu melangkah keluar kamar menuju dapur. Menemui asisten rumah tangganya yang tengah merapikan tempat tersebut."Bi, apa Tuan Kaivan belum kembali, atau sudah kembali, tapi pergi lagi?" tanya Kaira kepada Bi Asih, asisten rumah tangganya."Belum Nyonya. Tuan belum kembali dari bekerja," jelas Bi Asih sambil sedikit menunduk."Kau di mana, Mas? Kenapa tidak ada kabar?" tanya Kaira dengan raut wajah semakin cemas.
Kaira kembali beraktifitas, meski hatinya masih dirundung pilu pasca kejadian beberapa hari lalu yang menyebabkan Kaira kehilangan dua pasiennya di meja operasi. Harun terus memperhatikan adiknya yang tampak murung, ketika memasuki ruang IGD.Kaira terus melangkah dengan pikiran kosong. Sapaan dari para perawat dan dokter yang berada di ruangan itu pun tak dihiraukannya. Kaira tiba di ruang pengecekan data pasien dan duduk di depan meja komputer. Wanita cantik itu menghela napas berat. Kemudian, mengambil satu map dari tumpukan map yang berada di hadapannya. Membuka perlahan berkas tersebut dan membacanya sebelum ia masukan ke dalam laporan.Tangannya bergetar, kedua mata Kaira berkaca saat membaca riwayat pasien yang ternyata itu adalah laporan tentang pasien korban reruntuhan bangunan yang meninggal dunia beberapa hari yang lalu.Harun yang sejak tadi memperhatikan Kaira pun segera masuk ke ruangan itu. Takut terjadi sesuatu kepada adiknya. Sebab, kondisi Kaira memang labil belakan
Hari berganti waktu pun berganti. Sudah empat bulan sejak kejadian penculikan terhadap Kaira yang dilakukan oleh Karin dan Tasya. Kedua orang itu masih dalam buruan. Belum tampak jelas jejak keberadaannya.Kaira tetap menjalankan aktifitas seperti biasanya, meski ada Kekhawatiran dan kegelisahan pasca kejadian itu. Kaivan pun selalu waspada dan siaga menjaga Kaira agar tetap aman.~~~Kaira kembali disibukan dengan pekerjaannya. Telah terjadi gempa di daerah kota 'S' cukup besar hingga banyak korban yang dilarikan ke rumah sakit terdekat di daerah tersebut. Bala bantuan pun di datangkan dari tim medis beberapa rumah sakit, termasuk rumah sakit Kaira.Awalnya, Harun melarang Kaira ikut karena kondisi Kaira yang tengah hamil. Kaivan pun mencemaskannya. Namun, Kaira merupakan tim inti karena merupakan salah satu tenaga profesional yang diminta untuk datang. Kurangnya tenaga medis yang mengharuskan hal itu. Akhirnya, dua pemuda tampan yang selalu melindunginya itu pun mengizinkannya. Ten
Kaivan melepaskan ciumannya karena Kaira merasa sedikit sesak. Kemudian, pemuda tampan itu menangkupkan wajah Kaira dan menatapnya lamat-lamat."Wajahmu pucat, apa kau sakit, Sayang?" tanya Kaivan sambil terus mengamati wajah istrinya. Kaira menggeleng.Kaivan mengerutkan alisnya. Menatap curiga ke arah Kaira. Menelisik kebenaran di sana. Kaira tersenyum."Kenapa tersenyum? Apa kau terpesona dengan ketampananku?" goda Kaivan tanpa melepaskan tatapannya."Mas, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ucap Kaira sambil menurunkan kedua tangan Kaivan dari pipinya dan menggenggam erat."Apa?" tanya Kaivan penasaran."Mas, aku ....""Kenapa, Sayang?" tanya Kaivan semakin penasaran.Kaira bangkit dari kursi dan mengambil tasnya yang bergelayut di gagang lemari. Kemudian, mengambil amplop putih dan menyerahkan kepada Kaivan."Ini.""Apa ini?""Buka saja dan kau akan mengetahuinya."Kaivan pun membuka amplop itu dan melihat isinya. Kedua matanya terbelalak mana kala membaca isinya. Senyum meng
Kaira kembali beraktivitas. Sementara waktu, ia hanya diperbolehkan bertugas di IGD dan ICU sampai kondisinya pulih pasca trauma yang di alami ketika diculik oleh Karin dan Tasya. Harun dan Hanung khawatir, jika dipaksakan melakukan operasi, akan mengganggu prosesnya. Tentu, berbahaya pula bagi pasien. Kaira menyadari itu dan tidak melakukan protes. Wanita cantik tersebut tetap melakukan tugasnya dengan baik, meski di bawah kontrol Harun dan Hanung. Kaira begitu ramah menyapa pasien yang terbaring di ruang IGD, melakukan proses pemeriksaan dengan sabar dan telaten. Ya, terkadang memang butuh kesabaran ekstra dalam menghadapi pasien dengan berbagai karakter. Ada yang menuruti perkataan dokter, ada pula yang menentangnya. Harun selalu memperhatikan gerak-gerik Kaira. Takut-takut trauma itu datang dan mengganggu konsentrasi bekerjanya. Pemuda itu tampak tersenyum melihat Kaira yang begitu semangat. Helaan napas terdengar cukup kasar. Harun tiba-tiba mengerutkan alisnya, ketika me