Semakin dalam, semakin hangat, semakin Adimas jatuh dalam sensasi manis yang ditawarkan bibir Karina. Bibirnya seperti candu. Membuat Adimas enggan untuk berhenti. Malah, ia terus melumat dan melumatnya hingga tidak bisa menahan diri dan justru menghisapnya dengan cukup kuat. Adimas mengecup sudut bibir Karina dan menimbulkan suara kecupan basah yang cukup kencang sebelum menjauhkan wajahnya. Pipi Karina sudah memerah dan bibirnya basah mengkilat karena perbuatan Adimas. Pria itu tersenyum dengan napas memburu. Perlahan, tangannya terangkat untuk mengusap lembut pipi Karina. Sentuhan lembut itu seakan membuat sekujur tubuh Karina meremang. “Aku akan melakukannya hari ini.” Adimas memberitahu. Suaranya terdengar berbeda. Kali ini, terdengar serak sekaligus serius, tetapi juga lembut. “Tapi, aku tidak tahu caranya.” Karina mendongak untuk menatap Adimas. Dia sedikit terkejut mendapati iris Adimas benar-benar sudah tertutupi kabut gairah. Sebaliknya, Adimas tersenyum menatap waja
Masih ada sisa waktu satu hari sebelum keduanya kembali, dan Adimas memanfaatkannya untuk menikmati keindahan pantai bersama Karina. Keduanya baru saja kembali dari berjalan-jalan sore. Adimas tengah mengobrol dengan resepsionis untuk membicarakan kebutuhannya saat suara seorang pria terdengar. “Karina?” Karina dan Adimas kompak menoleh. Tenggorokan Karina seakan langsung tercekat saat melihat sosok David di hadapannya. Ya, David. Karina jelas masih mengingatnya. Dia adalah mantan Karina yang sempat membuat keadaannya menjadi lebih buruk. “D—David ….” “Adimas?” Seorang wanita berjalan dari belakang David dan ikut terkejut melihat mereka. Dia, tentu saja, adalah Kamala, mantan Adimas. “Kamala.” Suara Adimas terdengar kaku. “Apa yang kalian lakukan di sini?” Kamala yang pertama bertanya. Dia memindai pasangan itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kebetulan, Adimas sedang tidak mengenakan setelan kerjanya dan hanya mengenakan kaus biasa dan celana panjang yang nyaman dipakai
Keduanya hampir tiba di kamar hotel saat tiba-tiba Karina berhenti. “Ah, ada yang terlupa, Mas. Aku akan kembali ke meja resepsionis dahulu. Kita kekurangan tas untuk membawa barang-barang,” ucap gadis itu. Sejak awal, keduanya mendatangi resepsionis untuk meminta tas tenteng, tetapi Adimas menyebutkan kebutuhannya yang lain dan mereka justru sama-sama lupa akan tujuan utama mereka ke sana. Adimas mengangguk dan bersiap memutar tujuan utama mereka. “Biar aku temani,” katanya. Namun, Karina menggelengkan kepala. “Mas bukannya ada meeting lagi? Biar aku saja yang mengambilnya.” Adimas melirik arlojinya dan mengembuskan napas panjang. Ia memang ada meeting melalui daring bersama salah satu divisi di perusahaannya dan itu akan berlangsung dalam dua puluh menit lagi. Pria tampan itu melirik ke arah Karina dengan sorot tidak ikhlas. “Kau yakin akan baik-baik saja?” tanyanya. Mumpung pria itu tengah berlibur, Adimas ingin menemani Karina ke mana pun gadis itu pergi. Menempel erat se
Tiga minggu kemudian …. Meski telah melakukan ritual yang disebut dengan 'membuat anak', tetapi Karina tidak kunjung mendapati tanda-tanda yang menunjukkan bahwa wanita itu akan segera hamil. Dari hari ke hari, tidak ada perubahan pada dirinya. Karina tidak merasa mual atau sensitif. Dia bersikap biasa saja seolah tidak ada hal yang terjadi. “Jus ini bagus untuk kewanitaan. Rahimmu akan menjadi lebih kuat,” ujar Ilona pada suatu pagi. Ketiganya tengah duduk dan sarapan bersama. Dirga tidak ada, sebab pria itu belum kembali dari perjalanan bisnisnya di Kuala Lumpur. Ilona sempat mengikuti Dirga ke sana, tetapi kembali tadi malam, sementara Dirga baru akan pulang siang ini. Karina menatap pada ramuan yang berwarna seperti teh itu. Ia yakin Ilona mendapatkannya di sana. Wanita itu memang menjadi sosok yang sangat menantikan kehadiran janin di rahim Karina. Dia sering memberikan Karina ramuan ataupun makanan yang konon katanya bisa membuat Karina cepat mendapatkannya. Karina mengan
Enam bulan kemudian ….Rapat yang diadakan sejak pagi itu telah berlangsung selama hampir empat jam. Adimas yang menjadi pemimpin rapat perusahaan itu menyimak dengan saksama. Tanpa mengantuk, pria itu mengkritisi segala ide dan terobosan yang kelak akan mereka jadikan sebagai landasan kerja ke depan. Kini, Adimas tengah menyimak presentasi dari salah satu tim, akan tetapi perhatiannya langsung teralihkan oleh sebuah notifikasi dari Karina. Adimas bisa langsung mengetahuinya, sebab ia memodifikasi dering khusus untuk pesan dari istrinya itu. “Hari ini Ibu mengajak ke salon, jadi aku sekaligus potong rambut.” Begitu bunyi pesan yang dikirimkan oleh sang istri. …. sesaat, Adimas tidak bereaksi hingga tiba-tiba pria itu berseru. “Potong rambut?!” sergahnya. Adimas tanpa sadar mengeluarkan komentar itu hingga pria yang tengah presentasi berhenti. Bahkan, seluruh anggota rapat kini menoleh ke arah pimpinan mereka. “Ada apa, Tuan?” Jade yang berani bertanya. Adimas mengangkat pandan
Tiga bulan kemudian ….“Salah semuanya!” Adimas menghardik seraya menaruh berkas di tangannya dengan kasar.Lima orang yang menghadap ke arahnya seketika bergidik ngeri dan menundukkan kepalanya dengan segan. Beberapa saat lalu, mereka berlima dipanggil ke ruangan Adimas. Biasanya, Adimas hanya memanggil orang yang ia butuhkan. Hanya ada satu kemungkinan apabila mereka dipanggil bersama-sama. Ya, akan ada evaluasi besar-besaran. “Produk akan luncur dalam dua minggu, tetapi persiapan pemasaran dan iklan masih sangat mentah. Setidaknya, iklan harus mulai dibuat tiga minggu sebelum produk luncur. Sekarang, bagaimana kalian akan bertanggung jawab?!” sergah Adimas. Matanya menatap dengan nyalang dan rahangnya mengeras saat memandang ke arah mereka satu per satu. Jade yang berdiri di sisi kelimanya pun ikut memejamkan mata. Sebenarnya, Adimas adalah bos yang baik dan ramah. Namun, jika kesalahannya sudah fatal seperti ini, Adimas tidak akan tanggung-tanggung dalam memarahi mereka. Bahkan
Kata orang, memiliki anak hanya senang dan lucu pada masa awal-awal kelahiran. Setelah lewat dari itu, maka akan jauh lebih banyak repotnya. Awalnya, Adimas tidak memercayai hal itu. Namun, belakangan ini Mark menjadi lebih sering rewel dan hal itu benar-benar mengganggu konsentrasinya. Ia memang memiliki banyak pelayan di rumahnya. Namun, Adimas dan Karina telah sepakat bahwa mereka akan memberikan ASI eksklusif kepada Mark sehingga itu tetap lebih banyak melibatkan mereka daripada para pelayan. Hingga hari ini, wajah Adimas terlihat lebih gelap dan lesu setibanya pria itu di kantor. “Anda terlihat lelah, Tuan.” Jade berkomentar. Wajahnya terlihat bersih dan segar. Kontras dengan Adimas yang nyaris terlihat seperti zombie. Pria itu mengangguk. “Ya, Mark terbangun lagi pagi ini dan sedikit sulit untuk disusui,” jawabnya, kemudian langsung membuka berkas pertamanya hari ini. Tidak memedulikan staminanya yang terlihat kurang baik hari ini. “Apakah Anda ingin beristirahat sejenak?”
Satu tahun kemudian …. “Papa papa pa ….” Adimas sudah rapi dalam balutan setelan kerjanya dan tengah bersiap untuk menyantap sarapannya saat mendengar ocehan bayi itu. Karina datang dan menggendong Mark yang usianya sudah setahun lebih dua bulan. Kini, tubuhnya sudah berat dan sudah rajin mengocehkan nama mama papanya. Adimas langsung mengulas senyum hangat. “Mark sudah bangun?” Dia menyapa sang putra. “Aku tidak sengaja menjatuhkan barang dan dia ikut terbangun,” ucap Karina. Beberapa saat lalu, ia memang pergi ke kamar untuk mengambil sesuatu dan tahu-tahu justru membawa Mark saat kembali. “Sini sama Papa,” ucap Adimas. Dia mengulurkan tangannya dan menyambut tubuh putranya yang sudah jauh lebih berat itu. “Papa papa ….” Mark kembali mengocehkan nama panggilan pria itu. “Iya, Papa di sini,” jawab Adimas, kemudian melabuhkan satu kecupan pada pipi bayi itu. Alih-alih menjadi semakin stabil, Mark justru menjadi semakin rusuh seiring usianya bertambah. Bayi itu juga sudah bis
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki