Dewi, Disa dan Kumala serempak mengangkat kepala mereka, melihat ke arah Valerie. Mereka sudah siap jika harus menganggung amarah Valerie lagi. Memang mereka yang salah, dan bahkan mereka belum selesai melaksanakan konsekuensi yang mereka terima.
“Ini ada makanan, enak, saya berani jamin. Masih anget juga karna baru dating dianter abang ojek online. Dimakan ya, saya enggak mau kalian sakit,” ujar Valerie sambil menaruh bungkusan KS burger, dan langsung masuk kembali ke ruangannya. Dewi, Disa dan Kumala saling berpandangan. Mereka sampai tidak percaya dengan apa yang mereka dengar dan lihat. Tidak ada yang berani menyentuh makanan yang Valerie berikan, karna mereka masih belum yakin dengan apa yang Valerie lakukan.Valerie sedang memakan burgernya lagi, ia tidak bosan-bosan memakan KS burger, karna benar-benar seenak itu. Ia keluar ruangannya untuk mengambil minum. Intan sedang makan burger juga, namun burger yang diberikan kepada ketiga staffnyValerie dan Intan sungguh tidak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka. Setelah sekian lama menghilang dan meninggalkan luka dan cerita yang amat sangat pahit bagi Valerie, kini orang itu muncul di hadapan mereka.Rahang kokoh itu, alis yang tebal itu, bibir tipis itu. Masih sama seperti ingatan Valerie terakhir kali mereka bertemu. Wajahnya yang teramat sangat tegas, membuat siapa saja yang melihatnya takut untuk memiliki urusan dengannya.“Ehm..”Faris berdehem untuk menyadarkan Valerie dan Intan dari “freeze” momen mereka. Sekarang bukan saatnya untuk membahas atau mengingat-ingat masalah pribadi mereka, sekarang saatnya mereka melakukan kerjasama untuk mencapai keuntungan Bersama.“Halo Ibu Valerie, halo Ibu Intan. Sudah lama ya kita enggak ketemu.”Faris menduduki kursinya yang persis di sebelah kursi Valerie. Harum parfum itu, harum parfum yang amat sangat Valerie benci, namun selalu menjadi candu tiap k
“Hai, apa kabar?” dengan sangat enteng, Faris menyapa Valerie. Ia tidak tahu, sejak pertama kali mereka bertemu di ruang meeting, jantung Valerie tidak bisa berhenti untuk berdetak jauh lebih cepat daripada biasanya. Untung saja dirinya terbiasa menghadapi klien, jadi tidak ada hambatan yang berarti ketika mereka harus tetap professional.“Saya baik.” Jawab Valerie dengan formal.“Udah di luar, enggak usah terlalu formal gitu.”“Tadi kamu buru-buru banget keluar dari ruangan, katanya mau ada banyak meeting lain, tapi masih sempet pesen kopi, berarti punya sedikit waktu untuk ngobrol sama aku?”Valerie geram mendengarnya.Faris yang di hadapannya saat ini sangat berbeda dengan Faris yang tadi di dalam ruang meeting. Faris yang sekarang adalah Faris-nya, Faris yang dulu selalu berhasil menghangatkan dadanya dengan tatapan intensnya, selalu bisa membuat mood Valerie balik dengan caranya memperlakukan V
Valerie menggelengkan kepalanya dengan keras.“Enggak. Enggak boleh!” ujarnya pada dirinya sendiri.Semakin Valerie berusaha untuk melupakannya, semakin bayang-bayang Faris tertanam di benaknya. Suara lembut dan beratnya, tangan kekarnya, bahu kokohnya, semuanya.“Inget Valerie, harus professional,” ujar Valerie menanamkan tekad pada dirinya sendiri. Besok ia harus bertemu Faris di kantornya, ia harus bisa bersikap professional. Ingat, pekerjaan ini penting dan project besar, Valerie tidak mau usahanya sia-sia hanya karna masalah pribadi.Valerie memutuskan untuk tidur. Ia berharap dengan tidur, bisa menghilangkan pikiran-pikiran jeleknya karna Faris. Namun ternyata ia salah.***Valerie berada di sebuah ruangan, ruangan besar berwarna putih. Tidak ada jendela, tidak ada pintu, hanya sebuah ruangan berwarna putih sejauh mata memandang.“Hai Val,” entah dari mana datangnya, muncul seorang wanita dengan perawakan p
Jam kerja sudah selesai, Intan langsung mengemasi semua barang-barangnya. Ia harus cepat pulang, Valerie berhutang cerita kepadanya. Ada apa sebenarnya yang di alami oleh Valerie hingga ia menjadi seperti itu.Sampai di rumah, ia melihat Valerie dalam balutan kausnya, sedang menonton acara televisi di Kasur. Valerie sudah mengirimkan chatnya, meminta izin untuk mengenakan pakaiannya.“Hai Val,” sapa Intan.“Hai Tan, udah puas lo ngurung gue di sini?” tanya Valerie.“Hahaha, ya abis kalo ga dikurung nanti lo kabur lagi. Gue mandi dulu ya Val,” kata Intan.“Iya.”Intan berjalan melewati Valerie menuju kamar mandinya. Sekilas Intan melirik Valerie. Tubuhnya memang di sini, tapi jiwanya tidak. Bahkan matanya kosong, televisi yang di setel hanya untuk menemaninya agar ada suara dan tidak terlalu sepi.Intan selesai mandi, mengenakan pakaian santai dan langsung duduk di Kasur, menemani Valerie.
Valerie menggoreskan silet yang daritadi di genggamnya di pergelangan tangannya. Satu goresan, dua goresan, lama kelamaan goresan yang dihasilkan semakin banyak.“Emang gue ga usah ada di dunia sih harusnya. Kayaknya kalo gue pergi, enggak akan ada juga yang kehilangan gue. Mama sama Papa udah biasa hidup tanpa gue. Karyawan gue? Dengan senang hati kalo gue pergi, palingan nanti di gantiin sama orang lain. Intan? Yah temen dia banyak.”Valerie terus-terusan berkata bahwa dirinya tidak layak untuk ada di sini.Valerie keluar dari kamar mandi. Ia tidak jadi menghabisi hidupnya, berpuluh-puluh luka di pergelangan tangannya sudah cukup membuatnya kehilangan banyak darah, dan itu membuat kepalanya sakit.Hari itu, Valerie bekerja dengan lengan panjang, sepanjang hari ia hanya bekerja, tanpa sekalipun berbicara baik dengan Intan maupun dengan staffnya. Hal seperti itu berlangsung beberapa hari, hingga akhirnya hari dimana Valerie menceritakan kisahnya kepada Intan.Intan masih dengan seksam
Dengan reflek, Valerie menarik tangan yang disentuh oleh Faris. Ia melihat Faris dengan tatapan sinis.“Pak Faris, berkas ini sudah selesai saya tandatangani, saya sudah memisahkan juga mana berkas untuk bapak, mana berkas untuk saya. Jika tidak ada lagi yang mau dibicarakan, saya mau permisi Pak,” ujar Valerie tegas.“Sebentar,” kata Faris. Ia keluar dari ruangannya, memanggil Anita, sekertarisnya.“Anita, ini ada berkas perjanjian perusahaan kita dengan perusahaan Bu Valerie. Tolong kamu segera tindak lanjuti dan beritahu kepada divisi-divisi terkait agar Kerjasama kita bisa segera kita mulai. Saya mau pergi sebentar, nanti saya balik lagi ke kantor ya,” ujar Faris.Faris kembali ke dalam ruang tunggu, dimana Valerie masih ada di dalam.“Yuk,” kata Faris.“Yuk apa?” tanya Valerie.“Kita ngopi dulu yuk di bawah,” ajak Faris.“Enggak usah. Saya udah ngopi tadi pagi.&
Valerie tidak menggubris panggilan dari Faris. Ia terlalu sibuk menikmati momen. Momen yang ia sangat rindukan. Momen dimana ia bisa Bersama Faris dan menjadi dirinya sendiri, tidak perlu menggunakan topeng, ia dicintai sebagaimana adanya dirinya.“Kita udah sampe Val..” ujar Faris.Valerie menoleh ke arah luar mobil. Sebuah tempat makan burger ternyata. Sebuah pilihan yang tepat, mereka bisa puas mengobrol sambil ngemil, tanpa repot harus focus ke makanan utama.Valerie mengikuti Faris masuk ke dalam kedai burger. Valerie langsung duduk di sebuah meja, sedangkan Faris ke meja kasir untuk memesan makanan untuk mereka berdua. Sebuah kebiasaan ketika mereka makan Bersama. Valerie akan menyerahkan kepada Faris mengenai makanan apa yang akan mereka pesan, ia tinggal duduk dan menikmati datangnya makanan.Faris sudah selesai memesan makanan. Ia menghampiri Valerie yang sudah standby di meja. Faris duduk di hadapan Valerie. Suasana seperti ini persis sepert
“Kamu tahu, siapa calon istri aku itu?” tanya Faris kepada Valerie.“Siapa?” tanya Valerie.“Rania.”“Rania yang temen aku?” tanya Valerie.“Yap bener banget. Aku lanjutin lagi ya..”-Faris terbelalak, dia kaget bukan main karna yang menjadi calon istrinya adalah Rania, teman SMA Valerie. Mereka kenal sebelumnya karena mereka pernah jalan bareng. Rania Bersama pacarnya, Valerie dan Faris.Rania, yang juga kaget karna orang yang dijodohkan dengannya adalah Faris. Faris pacar dari sahabatnya sewaktu SMA, Valerie. Faris dan Rania saling terbelalak untuk beberapa saat, kaget. Tidak karuan rasanya.Ijab Kabul akhirnya tetap dilaksanakan sesuai dengan jadwal, Faris tidak mau mempermalukan keluarganya di depan banyak orang jika ia mundur sekarang. Sepanjang acara, Rania dan Faris tidak berbicara satu sama lain, mereka masih kaget dan tidak tahu harus merespon seperti apa.“Akhirn
“Jadi gini Bu Valerie..”Faris mendengarkan di depan pintu dengan Valerie yang ada di tempat tidur.“Ibu pernah punya histori radang tenggorokan ya?” tanya Dokter Ali.“Iya dok,” jawab Valerie.“Nah radang tenggorokannya itu kumat bu, jadi demam, enggak enak badan. Lidah juga pahit. Ini enggak apa-apa kok. Cuma butuh istirahat aja, makan juga jangan sembarangan dulu ya bu. Trus banyakin minum air putih.”Valerie mengangguk-angguk. Sudah bukan hal baru dirinya terkena radang tenggorokan. Biasanya jika ia banyak pikiran, atau tubuhnya sedang lelah, radangnya bisa memerah dan membuatnya tidak enak badan.Namun kali ini, sakitnya luar biasa. Mungkin karena ia benar-benar tidak memperhatikan makanan atau minuman apa yang ia konsumsi belakangan, ditambah lagi dengan aktifitasnya yang tidak ada behentinya.“Ini saya buat resep untuk radang tenggorokannya ya, nanti bisa ditebus di apotik. Kalo 3 hari be
Pukul 4 pagi, Valerie dan Faris baru sampai di rumah. Tubuh mereka sudah lelah dan mengantuk.“Kamu apa aku yang mandi duluan?” tanya Valerie.“Kamu aja dulu, abis itu baru aku,” jawab Faris.Setelah Valerie dan Faris mandi, keduanya langsung tertidur. Namun, kali ini Valerie merasa dingin yang dirasakan berbeda dari dingin yang biasanya.“Pasti gara-gara mandi abis begadang nih,” pikirnya.Valerie merapatkan selimutnya dan menaikkan suhu AC nya agar tidak terlalu dingin. Tapi ternyata tidak membantu sama sekali, tubuhnya menggigil saking dinginnya. Faris yang merasakan ada getar disampingnya, membuka mata dan melihat Valerie dalam keadaan menggigil.“Val, kamu kenapa? Dingin ya?” tanya Faris. Valerie mengangguk.Faris buru-buru menuju lemari, ia mengambil 2 pasang kaus kaki dan memakaikannya di kaki Valerie bersamaan. Ia mematikan AC, dan menyalahkan Air cooler. Tidak sedingin AC, namun tetap m
“Enggak apa-apa. Aku selalu kabarin ibuku kok kalo belom pulang,” jawab Anita.“Oh ya?”“Iya, aku lagi sama siapa, aku lagi dimana, ngapain, aku pasti kabarin ibuku. Sebenernya dia enggak minta, tapi emang aku yang selalu ngabarin biar enggak kuatir,” jelas Anita.“Oke kalo gitu.”Risko menyandarkan punggungnya ke sandaran kursinya. Ia memejamkan mata, tanpa sadar ia sudah terlelap tidur. Tidak berbeda dengan Anita, setelah memastikan semua pintu terkunci dan AC tetap menyala, Anita jatuh tertidur.Tapi tidak lama kemudian, Anita bangun, ia tidak bisa tertidr jika kondisi mobil tidak berjalan. Lagi pula, tidak baik untuk pernafasan. Buru-buru Anita membuka semua jendela dalam mobil Risko.Angin malam langsung berebut masuk. Malam ini tidak terlalu dingin sebenarnya, tidak seperti malam-malam kemarin. Tapi sudah cukup membuat Anita mengencangkan jaketnya.Anita melihat ke layar, sudah nomor
Valerie yang tadinya sedang serius mengerjakan laporan langsung bangkit dari duduknya.“Serius??” tanya Valerie sambil menghampiri Anita.“Iya Val. Dia bilang mau jadi suamiku tadi,” jawab Anita.“And you said yes?” tanya Valerie, dia benar-benar exited mendengar kabar ini.“Iya Val,” jawab Anita malu-malu.“Wahhhhhh keren banget kalian berduaaa, jadi kapan nih?” tanya Valerie. Ia menarik tangan Anita untuk duduk di sofa bersama dirinya dan Faris.“Masih lama kok. Aku mau kenal Risko dan keluarganya lebih dalam lagi, juga mau kenal sama temen-temannya Risko dulu. Soalnya kan kita kenalnya baru, jadi enggak langsung cepet juga. Minimal 3 bulan aku minta waktu, ya Ris?” tanya Anita kepada Risko.“Iyaa, aku juga mau kenal dulu sama keluarga dan temen-temennya dia. Abis itu kita diskusi lagi, baru deh tentuin tanggal,” jawab Risko. Ia duduk di kursi yang tadi Vale
Anita terdiam. Ia tidak menyangka Risko secepat itu melamar dirinya.“Anita?” tanya Risko.“Eh eh maaf Risko. Aku kaget, enggak nyangka kamu secepat itu ngelamar aku,” ujar Anita.“Iya makanya. Aku juga mikir kamu pasti ngerasa ini cepet banget. Tapi aku udah ngerasa cocok sama kamu. Aku mau hidup aku sama kamu.”Anita menatap Risko, mencari kebohongan dalam mata Risko, tapi ia tidak melihatnya sama sekali. Risko terlihat tulus, ia tidak terlihat bohong sama sekali.“Risko, kamu yakin? Kita belum lama kenal loh..” ujar Anita.“Aku yakin. Aku bisa kenal kamu nanti setelah nikah. Enggak apa-apa kok. Aku beneran yakin mau nikah sama kamu, kamu adalah calon istri yang aku rasa terbaik buatku, buat Papaku, buat keluargaku.”Anita tersentak.“Aku bahkan belom sempet kenal sama keluarga kamu, kalo mereka enggak suka sama aku gimana?” tanya Anita.“Eng
Anita dan Risko sudah duduk di dalam rumah makan. Mereka duduk berhadapan dengan pemandangan langit yang cerah. Dengan lampu-lampu kecil cantik menghiasi interior rumah makan tersebut yang makin terlihat ketika sudah gelap.Angin malam menerbangkan rambut Anita yang dikuncir hanya setengah.“Dingin ya?” tanya Risko.“Lebih tepatnya adem, bukan dingin. Yang waktu di Villa nya Faris aja aku kuat kan,” ujar Anita.“Oh iya bener.”“Kamu tau tempat ini darimana sih? Bagus banget tau,” ujar Anita.“Dulu pernah makan di sini sama temen kantor rame-rame. Kita dari luar kota trus mampir kesini eh ternyata bagus banget.”Obrolan mereka terselak oleh pelayan yang mengantarkan makanan untuk Risko dan Anita. 2 piring nasi dengan ayam goreng dan sambal juga lalapan tersaji di depan mereka. 2 gelas jus buah naga pun tidak luput dari pesanan.“Makasih Mas,” ujar Anita.“Sama-sa
Hari-hari selanjutnya dijalani Valerie dan Faris dengan masih bekerja di KS burger. Selama satu minggu Faris bekerja di sana sebagai pelayan banyak sekali pelajaran yang bisa ia ambil. Faris mengerti kenapa Risko bisa sebijaksana itu.Faris juga belajar untuk selalu menempatkan kepentingan orang lain diatas kepanetingannya sendiri, bagaimana ia harus menghargai orang lain, dan sama sekali tidak merasa diatas yang lainnya.Faris menilai, ilmu-ilmu seperti ini benar-benar mahal untuk dipelajari. Ia bisa menerapkannya di dunia kerja setelah ia masuk kerja nanti.“Val, hari ini aku izin lagi yaa. Mumpung masih ada Faris, jadi kamu enggak sendirian. Sabtu Minggu aku di sini kok,” ujar Risko.“Kamu belakangan izin mulu deh perasaan,” selidik Valerie.“Pacaran dia tuhhh,” Faris langsung menyerbu Risko begitu masuk ke dalam ruangan.“Seriusss Risko? Wahhh kenalin kaliiiiii pacarnyaaa,” ujar Valer
“Weiiii yang abis cari pacar, udah dapet?” tanya Faris begitu melihat Risko sampai di toko.“Hahhaa, enggak ada yang buang,” ujar Risko.“Seneng banget roman-romannya,” goda Faris.“Hahahha iya, lumayan lah. Gimana toko hari ini?” tanya Risko.“Aman, tenang aja. Setidaknya enggak ada ibu-ibu yang godain gue hari ini,” Faris sedang mengelap-ngelap meja. Ia benar-benar menikmati perannya dari hari ke hari bekerja di sini. Sepertinya Faris mulai berfikir ingin pindah Haluan menjadi pengusaha kuliner daripada kantoran.“Hahahah, bisa aja lo. Gue liat-liat makin jago aja ngelap mejanya. Udah deh Ris, gue ngeri lo kegirangan kerja ginian, inget lo CEO.”“Ternyata enak ya Ko kerja kayak gini,” Faris duduk di atas sebuah meja yang baru saja ia bersihkan. Apron seragam dari KS burger terlihat begitu pas di tubuh Faris.“Enaknya?” tanya Risko. Ia ikut duduk di seb
Anita masih tersenyum lebar selesai dari menonton film yang berjudul Notebook.“Bagus filmnyaaaa,” ujar Anita.“Bagus filmnya apa suka endingnya?” tebak Risko.“Hahaha bener. Aku selalu jatuh cinta sama film yang happy ending.”“Typical perempuan sih. Rata-rata perempuan tuh suka banget film yang happy ending. Kayak enggak suka gitu tokoh utamanya tersakiti.”“Hahhaha iya bener tau.”“Makan dulu yuk,” ajak Risko.“Boleh.”Anita dan Risko memilih makan ayam goreng cepat saji yang ada di mall itu. Anita dan Risko memesan paket nasi dengan ayam super besar.“Kamu enggak mau pesen burger atau kentang?” tanya Anita.“Nope. Di toko banyak dan enak, ngapain aku pesen di sini,” ujar Risko.“Yeee bisa aja. Iya juga ya. Trus kenapa kita enggak makan di toko kamu aja sih,” ujar Anita.“Lah iya juga hahaha