Kondisi Amira berangsur-angsur membaik setelah lima hari dirawat di rumah sakit. Selama itu pula Bellia tidak pernah absen menjaga wanita itu. Dia hanya pulang sebentar untuk mengantar Marvell ke sekolah, setelah itu kembali ke rumah sakit dan meminta tolong Dita untuk menjemput Marvell di sekolah.Awalnya Marvell sempat protes karena selama lima hari ini waktunya lebih banyak tersita di rumah sakit. Sebagai seorang ibu Bellia sangat paham dengan apa yang Marvell rasakan. Anak itu pasti merindukan dirinya.Sejak kecil Marvell tidak pernah lepas darinya. Anak itu selalu ikut ke mana pun dia pergi. Dia bahkan membawa Marvell ke toko bunga sepulang sekolah karena dia tidak ingin merepotkan suster yang merawat neneknya di rumah. Mungkin karena alasan itu Marvell menjadi sangat bergantung pada dirinya.Jujur saja Bellia sebenarnya juga merindukan Marvell. Dia ingin mengantar jemput Marvell di sekolah seperti biasa, menemani anak itu mengerjakan tugas sekolah, menyiapkan sarapan, dan mem
Kaki Daniel bergerak gelisah, decakan kesal berulang kali lolos dari bibirnya. Daniel berusaha fokus memeriksa berkas yang ada di tangannya. Akan tetapi, dia tidak bisa fokus karena memikirkan hasil tes DNA-nya dan Marvell yang akan keluar hari ini.Waktu satu minggu terlalu lama bagi Daniel. Setiap hari dia terus mendesak rumah sakit yang dipilih Khaisar agar cepat memproses tes DNA-nya dan Marvell. Akan tetapi, ternyata banyak sekali prosedur yang harus mereka lakukan dan pihak rumah sakit memintanya untuk menunggu paling lama satu minggu.Daniel refleks mengangkat kepalanya ketika mendengar pintu ruangannya terbuka. Dia cepat-cepat beranjak dari tempat duduknya lalu menghampiri Khaisar yang baru masuk ke ruangannya dengan tidak sabar.“Bagaimana?”Khaisar tersenyum lalu mengambil sebuah amplop berlogo rumah sakit dari dalam tas yang dibawanya, setelah itu dia menyerahkannya ke Daniel.“Ini.”Daniel menatap amplop di tangan Khaisar dengan jantung berdetak hebat. Debarannya bahkan ja
Bellia menatap kertas yang Daniel tunjukkan pada dirinya dengan perasaan tidak karuan, antara takut dan cemas. Terlebih setelah melihat logo sebuah rumah sakit yang tertulis di sana. Tanpa sadar dia menggelengkan kepala, menolak permintaan Daniel.“Kamu baca sendiri atau perlu aku yang membacanya?” tanya Daniel, suaranya terdengar rendah tetapi tegas. Menuntut Bellia agar segera membaca surat tersebut.Jantung Bellia berdetak tidak nyaman, setitik keringat dingin keluar membasahi pelipisnya, wajahnya pun berubah pucat. Bellia terlihat seperti anak kucing yang berhadapan dengan seekor serigala.Tatapan tajam Daniel membuat Bellia tidak berdaya. Dia tunduk, takluk di hadapan lelaki itu.Dengan tangan gemetar dia meraih kertas tersebut lalu membacanya. Sepasang iris hezel miliknya memperhatikan dengan lekat setiap kata yang tertulis di sana. Semakin ke bawah, jantung Bellia berdetak semakin tidak karuan. Apa lagi setelah menemukan hasil tes DNA Marvell dan Daniel.“99,99 persen cocok,”
Bellia sedang sibuk memotong sayur untuk dijadikan sup di dapur. Samar-samar telinganya mendengar Marvell yang sedang asyik menyusun lego dengan Daniel di ruang tengah. Terkadang Marvell tertawa kecil, bertanya tentang hal yang tidak dia ketahui, dan menceritakan banyak hal pada Daniel.Bellia tidak pernah menyangka jika hari ini akan tiba. Hari di mana Marvell akhirnya mengetahui siapa ayah kandungnya.Bellia pikir Marvell sudah bahagia hidup berdua dengannya. Sebagai seorang ibu pun dia sudah berusaha memberi yang terbaik untuk anak itu.Namun, dia ternyata salah. Marvell tetap membutuhkan sosok ayah untuk mendampingi hidupnya, lalu Daniel tiba-tiba saja datang dan menawarkan diri untuk merawat Marvell bersama-sama.Awalnya Bellia merasa ragu, apa lagi Daniel selama ini selalu bersikap dingin pada siapa pun. Akan tetapi, sosok Daniel yang dia lihat tadi benar-benar berbeda.Lelaki itu berbicara dengan sangat lembut pada Marvell. Tidak ada nada dingin dan intimidasi yang keluar dari
Bellia terkejut mendengarnya, tetapi Daniel malah tertawa.“Aku hanya bercanda,” ucap Daniel sambil mengusap puncak kepala Bellia dengan gemas. Dia buru-buru menurunkan tangannya setelah sadar dengan apa yang baru saja dirinya lakukan.“Sorry ...,” ucapnya pelan.Bellia hanya mengangguk sambil berusaha menormalkan kembali detak jantungnya.Keesokan harinya Daniel menepati ucapannya untuk datang menemui mereka. Seperti biasa dia menemani Marvell bermain sebentar setelah itu makan siang bersama Marvell dan Bellia.Obrolan mereka di meja makan mengalir begitu saja, tetapi lebih didominasi oleh Marvell yang menceritakan aktivitasnya di sekolah.“Kalian nanti malam ada acara?”Bellia seketika berhenti mengunyah makanannya lantas menatap Daniel dengan penuh tanda tanya.“Aku ingin mengajak kalian makan malam bersama.”Bellia tidak mampu menyembuyikan keterkejutannya, berbagai kemungkinan buruk seketika melintas di pikirannya.Bagaimana kalau ada orang yang melihatnya makan malam bersama Mar
Daniel langsung mengantar Marvell dan Bellia pulang setelah selesai makan malam. Daniel sebenarnya ingin mengajak Marvell pergi ke toko mainan sebelum pulang, tetapi Marvell mengantuk. Akhirnya dia terpaksa mengantar mereka kembali ke rumah.Suasana di dalam mobil begitu hening. Tidak ada yang membuka suara di antara keduanya. Daniel terlihat fokus mengendarai mobilnya sambil sesekali melirik Bellia yang duduk di sampingnya. Wanita itu sejak tadi hanya diam, memperhatikan jalanan lewat kaca mobil yang ada di sampingnya.Daniel tanpa sadar mendengkus kesal. Apa jalanan itu lebih menarik daripada dirinya?“Bell ...,” panggil Daniel pelan tetapi sukses membuat Bellia tersentak.“Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu.”Bellia hanya mengangguk. Jujur saja dia tidak tahan terjebak di situasi yang sangat canggung bersama Daniel dan ingin cepat-cepat keluar dari mobil lelaki itu.“Bagaimana keadaan nenekmu?” Daniel akhirnya bertanya, mencoba menghilangkan rasa canggung yang sempat melingku
"Papa ada urusan penting di kantor dan harus berangkat pagi-pagi sekali, Sayang. Jadi Papa tidak sempat pamit sama Marvell." Marvell menatap Bellia dengan sayu. "Jadi, Papa gak ninggalin Marvell lagi?" Bellia menggeleng pelan lalu mengusap air mata yang membasahi pipi Marvell. "Tidak, Sayang. Papa tidak mungkin meninggalkan Marvell lagi," ucapnya terdengar menenangkan meski di dalam hatinya dia merasa sangat bersalah sudah membohongi Marvell. "Marvell mandi dulu, ya? Setelah itu sarapan lalu berangkat sekolah." Marvell mengangguk lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sedangkan Bellia kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakannya yang sempat tertunda. Selama memasak Bellia tidak berhenti memikirkan Marvell. Semakin besar, Marvell sepertinya mulai sadar jika hubungan mama dan papanya tidak sama seperti orang tua pada umumnya. Apa lagi Daniel tidak tinggal satu rumah bersama mereka. Lelaki itu hanya datang saat jam makan siang, setelah itu kembali ke kota untuk men
Suasana di sekolah Marvell yang biasanya sepi tiba-tiba berubah ramai. Truk-truk makanan berjejer rapi di halaman sekolah, masing-masing dihiasi logo perusahaan milik Daniel. Para siswa, guru, bahkan staf sekolah berkerumun dengan penuh rasa ingin tahu. Kepala sekolah sendiri tampak tergopoh-gopoh keluar dari ruangannya, tersenyum lebar menyambut Daniel, lelaki yang menjadi pusat perhatian siang itu. Daniel berdiri tegap di samping salah satu truk, mengenakan jas kasual yang tetap memancarkan wibawanya. Dia berbicara singkat dengan kepala sekolah, menjelaskan bahwa ini adalah bentuk perhatian untuk anak-anak di sekolah, terutama untuk Marvell. Kepala sekolah yang merasa tersanjung terus mengucapkan terima kasih, bahkan mengundang Daniel masuk ke dalam ruangan. Namun, Daniel menolak dengan sopan, lebih memilih menunggu di halaman agar bisa melihat Marvell. Senyum tipis menghiasi bibir Daniel ketika Marvell yang berjalan keluar dari kelas bersama teman-temannya dengan lesu. Anak itu
Bellia cepat-cepat menghampiri Marvell dan Daniel. Raut cemas tergambar jelas di wajah cantiknya. Bellia merasa panik sekali melihat Marvell menangis hingga lupa kalau dia ingin memarahi Daniel yang mengirim truk makanan ke sekolah tanpa meminta izin pada dirinya. “Marvell kenapa? Kenapa kamu menangis? Apa kamu jatuh?” Marvell mengangkat wajahnya perlahan lalu mengulurkan kedua tangannya ke atas. Bellia langsung meraih tubuh Marvell ke dalam dekapan, lalu meriksa tubuh anak itu dari atas sampai bawah untuk memastikan jika tidak ada yang terluka. Bellia akhirnya bisa bernapas sedikit lega setelah memastikan kalau Marvell baik-baik saja. Dia pun menepuk-nepuk punggung Marvell dengan pelan agar perasaan anak itu menjadi lebih tenang. “Marvell, jangan menangis lagi, ya? Mama di sini ....” Hati Bellia begitu terisis mendengar tangisan Marvell. Dalam hati dia bertanya-tanya apa yang terjadi pada Marvell hingga membuat anak itu menangis sehebat ini. Apa Marvell baru saja dimarahi guru
Suasana di sekolah Marvell yang biasanya sepi tiba-tiba berubah ramai. Truk-truk makanan berjejer rapi di halaman sekolah, masing-masing dihiasi logo perusahaan milik Daniel. Para siswa, guru, bahkan staf sekolah berkerumun dengan penuh rasa ingin tahu. Kepala sekolah sendiri tampak tergopoh-gopoh keluar dari ruangannya, tersenyum lebar menyambut Daniel, lelaki yang menjadi pusat perhatian siang itu. Daniel berdiri tegap di samping salah satu truk, mengenakan jas kasual yang tetap memancarkan wibawanya. Dia berbicara singkat dengan kepala sekolah, menjelaskan bahwa ini adalah bentuk perhatian untuk anak-anak di sekolah, terutama untuk Marvell. Kepala sekolah yang merasa tersanjung terus mengucapkan terima kasih, bahkan mengundang Daniel masuk ke dalam ruangan. Namun, Daniel menolak dengan sopan, lebih memilih menunggu di halaman agar bisa melihat Marvell. Senyum tipis menghiasi bibir Daniel ketika Marvell yang berjalan keluar dari kelas bersama teman-temannya dengan lesu. Anak itu
"Papa ada urusan penting di kantor dan harus berangkat pagi-pagi sekali, Sayang. Jadi Papa tidak sempat pamit sama Marvell." Marvell menatap Bellia dengan sayu. "Jadi, Papa gak ninggalin Marvell lagi?" Bellia menggeleng pelan lalu mengusap air mata yang membasahi pipi Marvell. "Tidak, Sayang. Papa tidak mungkin meninggalkan Marvell lagi," ucapnya terdengar menenangkan meski di dalam hatinya dia merasa sangat bersalah sudah membohongi Marvell. "Marvell mandi dulu, ya? Setelah itu sarapan lalu berangkat sekolah." Marvell mengangguk lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sedangkan Bellia kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakannya yang sempat tertunda. Selama memasak Bellia tidak berhenti memikirkan Marvell. Semakin besar, Marvell sepertinya mulai sadar jika hubungan mama dan papanya tidak sama seperti orang tua pada umumnya. Apa lagi Daniel tidak tinggal satu rumah bersama mereka. Lelaki itu hanya datang saat jam makan siang, setelah itu kembali ke kota untuk men
Daniel langsung mengantar Marvell dan Bellia pulang setelah selesai makan malam. Daniel sebenarnya ingin mengajak Marvell pergi ke toko mainan sebelum pulang, tetapi Marvell mengantuk. Akhirnya dia terpaksa mengantar mereka kembali ke rumah.Suasana di dalam mobil begitu hening. Tidak ada yang membuka suara di antara keduanya. Daniel terlihat fokus mengendarai mobilnya sambil sesekali melirik Bellia yang duduk di sampingnya. Wanita itu sejak tadi hanya diam, memperhatikan jalanan lewat kaca mobil yang ada di sampingnya.Daniel tanpa sadar mendengkus kesal. Apa jalanan itu lebih menarik daripada dirinya?“Bell ...,” panggil Daniel pelan tetapi sukses membuat Bellia tersentak.“Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu.”Bellia hanya mengangguk. Jujur saja dia tidak tahan terjebak di situasi yang sangat canggung bersama Daniel dan ingin cepat-cepat keluar dari mobil lelaki itu.“Bagaimana keadaan nenekmu?” Daniel akhirnya bertanya, mencoba menghilangkan rasa canggung yang sempat melingku
Bellia terkejut mendengarnya, tetapi Daniel malah tertawa.“Aku hanya bercanda,” ucap Daniel sambil mengusap puncak kepala Bellia dengan gemas. Dia buru-buru menurunkan tangannya setelah sadar dengan apa yang baru saja dirinya lakukan.“Sorry ...,” ucapnya pelan.Bellia hanya mengangguk sambil berusaha menormalkan kembali detak jantungnya.Keesokan harinya Daniel menepati ucapannya untuk datang menemui mereka. Seperti biasa dia menemani Marvell bermain sebentar setelah itu makan siang bersama Marvell dan Bellia.Obrolan mereka di meja makan mengalir begitu saja, tetapi lebih didominasi oleh Marvell yang menceritakan aktivitasnya di sekolah.“Kalian nanti malam ada acara?”Bellia seketika berhenti mengunyah makanannya lantas menatap Daniel dengan penuh tanda tanya.“Aku ingin mengajak kalian makan malam bersama.”Bellia tidak mampu menyembuyikan keterkejutannya, berbagai kemungkinan buruk seketika melintas di pikirannya.Bagaimana kalau ada orang yang melihatnya makan malam bersama Mar
Bellia sedang sibuk memotong sayur untuk dijadikan sup di dapur. Samar-samar telinganya mendengar Marvell yang sedang asyik menyusun lego dengan Daniel di ruang tengah. Terkadang Marvell tertawa kecil, bertanya tentang hal yang tidak dia ketahui, dan menceritakan banyak hal pada Daniel.Bellia tidak pernah menyangka jika hari ini akan tiba. Hari di mana Marvell akhirnya mengetahui siapa ayah kandungnya.Bellia pikir Marvell sudah bahagia hidup berdua dengannya. Sebagai seorang ibu pun dia sudah berusaha memberi yang terbaik untuk anak itu.Namun, dia ternyata salah. Marvell tetap membutuhkan sosok ayah untuk mendampingi hidupnya, lalu Daniel tiba-tiba saja datang dan menawarkan diri untuk merawat Marvell bersama-sama.Awalnya Bellia merasa ragu, apa lagi Daniel selama ini selalu bersikap dingin pada siapa pun. Akan tetapi, sosok Daniel yang dia lihat tadi benar-benar berbeda.Lelaki itu berbicara dengan sangat lembut pada Marvell. Tidak ada nada dingin dan intimidasi yang keluar dari
Bellia menatap kertas yang Daniel tunjukkan pada dirinya dengan perasaan tidak karuan, antara takut dan cemas. Terlebih setelah melihat logo sebuah rumah sakit yang tertulis di sana. Tanpa sadar dia menggelengkan kepala, menolak permintaan Daniel.“Kamu baca sendiri atau perlu aku yang membacanya?” tanya Daniel, suaranya terdengar rendah tetapi tegas. Menuntut Bellia agar segera membaca surat tersebut.Jantung Bellia berdetak tidak nyaman, setitik keringat dingin keluar membasahi pelipisnya, wajahnya pun berubah pucat. Bellia terlihat seperti anak kucing yang berhadapan dengan seekor serigala.Tatapan tajam Daniel membuat Bellia tidak berdaya. Dia tunduk, takluk di hadapan lelaki itu.Dengan tangan gemetar dia meraih kertas tersebut lalu membacanya. Sepasang iris hezel miliknya memperhatikan dengan lekat setiap kata yang tertulis di sana. Semakin ke bawah, jantung Bellia berdetak semakin tidak karuan. Apa lagi setelah menemukan hasil tes DNA Marvell dan Daniel.“99,99 persen cocok,”
Kaki Daniel bergerak gelisah, decakan kesal berulang kali lolos dari bibirnya. Daniel berusaha fokus memeriksa berkas yang ada di tangannya. Akan tetapi, dia tidak bisa fokus karena memikirkan hasil tes DNA-nya dan Marvell yang akan keluar hari ini.Waktu satu minggu terlalu lama bagi Daniel. Setiap hari dia terus mendesak rumah sakit yang dipilih Khaisar agar cepat memproses tes DNA-nya dan Marvell. Akan tetapi, ternyata banyak sekali prosedur yang harus mereka lakukan dan pihak rumah sakit memintanya untuk menunggu paling lama satu minggu.Daniel refleks mengangkat kepalanya ketika mendengar pintu ruangannya terbuka. Dia cepat-cepat beranjak dari tempat duduknya lalu menghampiri Khaisar yang baru masuk ke ruangannya dengan tidak sabar.“Bagaimana?”Khaisar tersenyum lalu mengambil sebuah amplop berlogo rumah sakit dari dalam tas yang dibawanya, setelah itu dia menyerahkannya ke Daniel.“Ini.”Daniel menatap amplop di tangan Khaisar dengan jantung berdetak hebat. Debarannya bahkan ja
Kondisi Amira berangsur-angsur membaik setelah lima hari dirawat di rumah sakit. Selama itu pula Bellia tidak pernah absen menjaga wanita itu. Dia hanya pulang sebentar untuk mengantar Marvell ke sekolah, setelah itu kembali ke rumah sakit dan meminta tolong Dita untuk menjemput Marvell di sekolah.Awalnya Marvell sempat protes karena selama lima hari ini waktunya lebih banyak tersita di rumah sakit. Sebagai seorang ibu Bellia sangat paham dengan apa yang Marvell rasakan. Anak itu pasti merindukan dirinya.Sejak kecil Marvell tidak pernah lepas darinya. Anak itu selalu ikut ke mana pun dia pergi. Dia bahkan membawa Marvell ke toko bunga sepulang sekolah karena dia tidak ingin merepotkan suster yang merawat neneknya di rumah. Mungkin karena alasan itu Marvell menjadi sangat bergantung pada dirinya.Jujur saja Bellia sebenarnya juga merindukan Marvell. Dia ingin mengantar jemput Marvell di sekolah seperti biasa, menemani anak itu mengerjakan tugas sekolah, menyiapkan sarapan, dan mem