Sebelumnya, suaminya memang pernah mengeluh kepada Almira tentang sakitnya itu. Dan pernah juga Almira menemani sang suami berobat ke rumah sakit. Namun karena dirasa sudah sembuh, maka Putra tidak terlalu rutin untuk memeriksa kondisi kesehatannya lagi. Penyebabnya adalah, kesibukkan pekerjaan di kantor yang menyita waktu suaminya untuk memeriksakan penyakitnya itu.
Kejadiannya begitu cepat. Pagi itu seperti biasanya sang istri sedang mempersiapkan sarapan pagi untuk mereka. Bilal kebetulan belum bangun dari tidurnya karena tadi malam sang bayi agak rewel dan menangis terus menerus.
Entah kenapa sang suami belum juga bangun. Hal ini membuat Almira bertanya - tanya kenapa, tak seperti biasanya ayah dari anaknya itu belum terlihat batang hidungnya.
"Papanya Bilal kok belum bangun ya? Biasanya pagi - pagi sudah bangun dan sudah siap untuk berangkat kerja." ucap Almira tampak cemas.
Almira bergegas menuju ke kamar tidur, bermaksud untuk membangunkan sang suami supaya tidak terlambat berangkat kerja ke kantor.
Namun setibanya di kamar, dia melihat Putra sedang merintih - rintih menahan sakit sambil memegang perutnya.
"Kamu kenapa sayang? Tanya istrinya dengan nada cemas.
Sementara yang ditanya hanya bisa menggeleng sambil menahan sakit di perutnya itu.
Almira yang cemas segera menghubungi kantor tempat suaminya bekerja untuk meminta pertolongan. Sambil memeluk suaminya itu Almira mencoba untuk memberikan obat dari dokter dan air hangat untuk memberikan pertolongan pertama.
Tak lama kemudian, rekan kerja Putra dari kantor pun datang.
"Kenapa dengan pak Putra bu?"
"Saya nggak tahu pak, pagi ini saya lihat dia merintih sambil memegang perutnya. Tampaknya penyakit maag yang dia derita kambuh lagi pak!" jawabnya lagi.
"Kita bawa langsung saja bu ke rumah sakit. Takut penyakitnya tambah parah!" katanya pada Almira.
Mereka pun segera berangkat ke rumah sakit pagi itu, Bilal pun hanya diangkat dan digendong tanpa sempat dimandikan lagi oleh Almira.
Setibanya di rumah sakit Putra langsung dibawa ke ruang UGD rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensiv.
Namun malang tak dapat ditolak, sang suami tercinta itu tidak dapat tertolong lagi. Putra suami Almira, papanya dari Muhammad Bilal Syahputra, harus meninggal dunia begitu cepat tanpa ada pesan apa pun untuk istri dan anaknya.
Semula perempuan itu tidak mempercayai kabar duka itu, namun itulah yang terjadi. Putra memang benar - benar telah pergi untuk selamanya, meninggalkan dirinya dan buah cinta mereka yang belum mengerti akan artinya kehilangan.
Almira menjerit dan menangis sejadi - jadinya. Dia menyesali mengapa dia terlambat membawa suaminya ke rumah sakit. Sehingga jiwa suaminya dapat tertolong. Namun penyesalan itu tiada berguna lagi, sekarang dia dan anaknya harus rela kehilangan sosok penyayang dan merupakan tulang punggung keluarga itu.
"Sayang, bangun! Kamu harus kerja, aku sudah menyiapkan sarapan pagi seperti biasanya!" rintihnya pilu.
Dia memeluk dan mengoyang - goyangkan badan suaminya yang telah terbujur kaku. Tangisnya semakin menjadi, sehingga Bilal sang putra akhirnya ikut menangis tanpa mengerti apa yang terjadi.
"Dokter, suami saya kenapa dok? Dia tidak menderita sakit sebelumnya, tapi kenapa dia mendadak begini dokter?" sambil terisak - isak dia bertanya kepada dokter yang bertugas memeriksa suaminya itu.
"Maaf ibu, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Allah berkehendak lain. Suami ibu telah menderita penyakit maag yang cukup kronis, sehingga fungsi organ pencernaannya baik usus, lambung, dan lainnya sudah rusak dan tidak berfungsi" dokter berusaha memberi penjelasan pada Almira.
"Hu, hu, hu, sayang, mana janjimu untuk selalu bersamaku? Ini Bilal putra kita masih belum lama merasakan kasih sayangmu. Kamu bohong sayang, engkau meninggalkanku tanpa ada kata pamitmu!" jerit dan tangis Almira semakin histeris.
Almira masih tetap tak percaya dengan apa yang terjadi, namun dia harus menerima kenyataan yang ada. Karena Rasa sedih dan pilu yang berlebihan membuat dia akhirnya jatuh pingsan.
**********
Setelah tersadar dari pingsannya, ternyata Almira sudah berada di rumahnya kembali. Rupanya teman - teman kantor suaminyalah yang mengurus semuanya. Ketika Almira pingsan, mereka yang mengurus jenazah Putra, menggendong Bilal, dan membawa perempuan itu pulang ke rumah.
Segera kepengurusan jenazah pun diambil alih oleh mereka. Sehingga Almira hanya duduk tenang sambil bersimpuh di samping Putra yang telah tertutup kain putih. Sementara Bilal digendong secara bergantian oleh teman - teman papanya.
Suasana di rumah duka tampak ramai, para tetangga berdatangan untuk melayat ke rumah duka. Ibu - ibu sibuk mempersiapkan bunga - bunga rampai untuk acara penguburan nanti. Dan yang lainnya pun ikut membantu sebisa mungkin apa yang kiranya dapat mereka bantu.
Kabar duka tersebut disampaikan pula kepada keluarga di kampung halamannya, yaitu kedua orang tua Putra, serta ayah dan ibu Almira. Mereka tidak percaya dan tak menyangka Putra harus pergi begitu cepat meninggalkan istri dan anaknya yang masih balita. Kala itu usia Bilal hampir menginjak satu tahun.
Seorang anak yang masih haus kasih sayang ayahnya, seorang anak yang masih perlu biaya, dan seorang anak yang masih butuh perhatian dari ayahnya itu, kini harus menjadi anak Yatim. Predikat yang tak pernah diinginkan oleh siapa pun. Tidak juga oleh Almira dan putranya.
Akhirnya keluarga dari kampung halamannya datang ke rumah Almira. Kedua orang tua Putra, ayah dan ibu juga adiknya, serta kedua kakak kandung Almira dan keluarga kecil mereka tampak terlihat di rombongan keluarga.
Mereka menangis melihat kondisi ibu dan anak itu sepeninggal suami dan ayah dari anaknya.
Almira menangis tersedu - seri di pelukan kedua orang tuanya.
"Ikhlaskan Almira, ini sudah takdir Tuhan. Mungkin Tuhan punya rencana yang lebih baik di balik semua ini!"
"Tapi mengapa harus Putra, yang diambil, kenapa bukan Mira saja yah yang diambil duluan. Kasihan Bilal harus sudah menjadi anak Yatim sekarang."
"Tidak baik bicara seperti itu Mira! Allah akan marah pada kita. Kita harus berlapang dada, ini cobaan dari Allah sampai dimana batas kesabaran kita!" ibunya menegaskan.
Sementara acara penguburan jenazah putra dilakukan selepas sholat ashar. Karena tadi menunggu keluarga dari kampung halaman yang belum datang, yang jarak tempuhnya lebih kurang dua jam dari rumah Almira dan karena dirasa sudah tidak ada lagi yang ditunggu maka berangkatlah para pelayat untuk melakukan acara penguburan itu.
Di atas kuburan yang masih basah, yang masih bertaburan bunga - bunga, Almira bersimpuh sambil menggendong buah hatinya dan berkata," Selamat jalan sayang, aku dan Bilal akan selalu merindukanmu. Aku rela dan ikhlas melepasmu pergi, semoga kelak kita akan berjumpa lagi di syurganya Allah nanti."
Semua pelayat yang hadir, tak terkecuali keluarga dari almarhum Putra serta keluarga Almira sendiri tak kuasa menahan tangis melihat kesedihan perempuan itu. Mereka merasa iba dan kasihan atas apa yang dialami oleh sang ibu dan anak.
Satu persatu rombongan pelayat itu meninggalkan tanah makam yang baru saja digali, tinggalah keduanya dan beberapa sanak saudara yang masih setia menemani Almira.
Rasa tak kuasa untuk meninggalkan sang suami yang terbaring di dalam tanah yang masih basah. Namun hidup harus terus berjalan. Masih ada satu jiwa yang harus diutamakan. Bilal bin Putra, harus tumbuh tanpa kehadiran sang ayah. Dan Almira harus menjadi ibu sekalian ayah bagi si kecil.
Acara Tahlilan malam pertama atas meninggalnya almarhum suami Almira itu digelar sesudah sholat Maghrib.Tamu - tamu berdatangan ke rumah Almira untuk ikut serta mendoakan agar almarhum Putra diterima di sisinya dan diberi ampunan atas segala dosa - dosanya.Semasa hidupnya, almarhum dikenal sebagai orang yang baik dan ramah pada tetangga dan para sahabatnya. Maka tak heran para petakziah itu pun rela datang dan duduk berdesak - desakkan di ruang tamu.Almira dan Bilal duduk bersama dengan para petakziah itu. Wajah ibu dari Bilal itu pucat dan terlihat tidak bersemangat. Sedang Bilal yang bingung dan belum mengerti apa yang sedang terjadi digendong dan dijaga oleh neneknya, yaitu ibu Almira.Setelah acara selesai, dan tamu - tamu sudah berpamitan untuk pulang ke rumah masing - masing, keluarga besar pun berkumpul dan menanyakan pada Almira mengenai rencana selanjutnya. Apakah dia akan ikut pulang kembali ke kamp
Almira bangun di waktu Subuh yang terasa begitu dingin, akibat hujan yang mengguyur deras sekali tadi malam. Ditariknya selimut penutup tubuhnya, dan dipandangnya wajah buah hatinya yang masih tertidur dengan nyenyak. Wajah tanpa dosa, wajah yang akan menemaninya untuk berjuang di tengah kerasnya kehidupan.Bilal bin Putra, hari ini akan pulang bersama ibunya untuk kembali meneruskan hidup. Disini sepertinya tak ada lagi tempat bagi mereka berdua. Semua orang gelisah, resah, akan keberadaannya."Mengapa hanya karena aku cantik?" Sehingga semua orang takut akan kehadiranku. Bukankah itu sesuatu yang tidak harus dihindari. Namun hatinya telah bertekad bulat untuk kembali pulang ke kampung halamannya."Mama akan merawat dan membesarkanmu sayang, kamu akan menjadi kebanggaan mama kelak. Mama akan melakukan apapun demi kamu. Tidurlah yang nyenyak sayang?" Mama tidak akan membangunkanmu!" ucap perempuan itu penuh rasa sayang.Pagi itu
Hari demi hari pun berlalu. Tak terasa sudah tiga bulan lebih ia berada di kampung halamannya sejak kepulangannya waktu itu.Bilal telah tumbuh menjadi anak yang pintar dan tentunya berwajah tampan. Ia mewarisi ketampanan dari ayahnya dan juga kepintaran dari ibunya. Dan dia sudah pandai berjalan sekarang, hingga Mamanya selalu kerepotan menjaga anak itu.Bilal menjadi hiburan dan kesayangan seisi rumah, karena ocehan dan celotehannya yang selalu mengundang tawa dan menghibur mereka.Sementara Almira yang selalu menyibukkan diri dengan mengasuh dan merawat anaknya itu belum terfikir untuk mencari seorang pengganti dari almarhum suaminya yaitu Putra. Ia merasa masih terlalu cepat untuk memikirkan hal itu.Hingga suatu hari perempuan itu secara tidak sengaja berjumpa dengan Firman yang kala itu bermaksud untuk sarapan pagi di warung milik orang tuanya itu."Selamat pagi, saya mau sarap
Suasana di pagi hari itu sangat cerah sekali, angin berhembus sepoi - sepoi. Burung - burung berkicau riang seakan menyambut pagi yang indah. Mentari yang merah lembut menyapa kulit seorang perempuan muda nan cantik.Dialah Almira. Saat ini ia sedang berjalan - jalan pagi bersama anak laki - laki satu - satunya yaitu Bilal. Ia memang sengaja menuruti perkataan ayahnya kemarin, agar tidak berdiam diri di rumah saja. Karenanya pagi ini ia dan anaknya mencoba menikmati pagi itu dengan perasaan yang riang gembira serts ceria. Sesekali ia mengibaskan rambutnya yang panjang terurai itu sambil mendorong kereta roda dua yang dinaiki oleh Bilal. Sementara bocah itu tertawa gembira sambil berceloteh ala balita yang riang gembira."Sudah yuk sayang mainnya, saatnya kita pulang sekarang. Bilal kan mau sarapan pagi dulu, iya kan sayang?" ucap perempuan itu pada jagoan kecilnya.Yang disapa hanya tertawa berderai sambil memamerka
"Aku tidak pantas mas untuk menjadi pilihanmu, karena masih banyak gadis - gadis di luar sana yang lebih pantas untukmu!" Almira menahan tangisnya yang tersendat di tenggorokan, sedangkan Firman memandang wajah perempuan yang telah mengisi hatinya itu dengan tatapan penuh harap. "Aku hanya ingin dirimu lah yang akan mendampingi hidupku kelak Almira! Entah, aku juga tidak mengerti akan perasaanku ini. Yang aku tahu, hanya dirimu yang telah memberi arti dan semangat hidup bagi jiwaku yang kosong selama ini!" Semua berawal dari suatu sore, ketika Almira sedang mengajak Bilal berjalan - jalan di taman bermain anak - anak yang ada di dekat rumah kedua orang tuanya. Taman yang asri dan cantik, yang memang sengaja dibuat oleh Pemerintah Kota setempat untuk warga yang ingin berekreasi dan sekedar menghilangkan beban karena rutinitas pekerjaan. Di pintu gerbang nampak tertulis "Taman Rekreasi Keluarga
"Aku berangkat dulu Almira, jaga diri kamu baik - baik. Jaga Bilal, dia sudah banyak kemajuan dan kepintaran. Aku pergi hanya dua bulan saja. Aku mohon setelah itu akan mendapat kabar yang baik darimu!"ucap lelaki itu pagi harinya pada Almira. Ia sengaja menemui perempuan itu di warung sambil sekalian pamit untuk berangkat menjalankan tugas di Halmahera. "Insya Allah akan aku pikirkan lagi mas, semoga kabar dariku nanti merupakan kabar baik untuk kita semua. Mas Firman hati - hati juga disana ya mas?" ucap perempuan itu sambil menahan isaknya yang hampir terlepas. Entah mengapa ia merasa sedih sekali melepas kepergian lelaki itu. Mungkinkah lelaki itu telah mendapat tempat tersendiri di hatinya. Sedangkan Bilal yang baru selesai disuapin makan itu hanya tersenyum sambil tangannya hendak meraih jemari tangan Firman. Dengan lembut lelaki itu meraih Bilal dari pelukan mamanya. Dan se
"Aku harus yakin dengan pilihanku, kalau tidak aku akan menyesal. Putra adalah masa lalu, sedangkan Firman adalah masa depan. Ya Allah berilah hamba jalan keluar tuk memilih dan menjawab iya atau tidak!" batin perempuan itu. Malam itu tak seperti biasanya. Almira gelisah sekali, bukan karena suhu udara yang memang panas sekali, namun ia,gelisah memikirkan waktu kepulangan Firman yang tinggal lima hari lagi. Itu artinya siap atau tidak, ia harus segera memberi jawaban kepada Firman atas permintaan lelaki itu untuk menjadi istrinya. Secara sadar dan tidak ia sepertinya melihat Putra suaminya itu. Laki - laki itu berdiri di tepi tempat tidurnya mengenakan baju berwarna putih sambil tersenyum kepadanya dan menganggukkan kepalanya. Entah apa maksudnya. "Putra...!" Almira menyebut nama suaminya itu. "Kaukah itu sayang? Aku kangen sekali padamu sayang?"
"Ayo, abang Bilal mandi dulu yuk. Nanti kita jalan - jalan lagi keliling komplek bang!" ucap suami Almira pada jagoan kecilnya itu. Bilal pun berlari menghambur ke pelukan papa Firman sambil tertawa sumringah. Yah sudah dua bulan sejak pernikahan Almira dan Firman. Mereka telah tinggal di rumah kontrakkan Firman untuk sementara waktu. Alhamdulilah, Almira sedang mengandung buah cintanya dengan Firman. Sepertinya Allah mendengar doa - doa dari keduanya agar mereka segera mendapatkan adik untuk Bilal. Dimulai suatu pagi, ketika Firman hendak berangkat bekerja. Istrinya mendekat padanya sambil merapikan kerah baju suaminya yang agak sedikit terlipat. "Mas, sepertinya Bilal mau segera mendapat adik nih mas!" ucap istri cantiknya itu sambil tersenyum bahagia "Hah ...! Kamu hamil sayang ...!" "Iya mas! Aku juga nggak tau kalau kita akan secepat ini diberi momongan mas!" "Alhamdulilah!" "Ternyata apa yang menjadi k
Deghhh!Jantung Almira berdetak lebih cepat. Ia hanya tak menyangka ada lelaki yang berani menggodanya dan membuat ia salah tingkah."Almira..." ucapnya menyambut jabatan tangan lelaki itu dan menyebutkan namanya."Hmmmm... Nama yang cantik secantik orangnya.""Ehem, ehem, Robi ini Almira sahabatku!"Windi pun memperkenalkan sahabatnya itu kepada Robi teman sang suami. Sementara tatapan mata Robi tak lepas dari Almira. Seolah hendak menelanjanginya. Perempuan itu merasa jengah, pipinya bersemu merah. Untunglah Windi memperkenalkan ia dengan temannya yang lain. Sehingga rasa malunya dapat segera hilang.Mereka terlibat pembicaraan yang hangat disertai dengan canda dan tawa. Suara pembawa acara mengumumkan bahwa acara akan segera dimulai. Windi mengajak Almira menuju panggung dimana telah berkumpul Ryuga beserta tamu undangan lainnyaAcara resmi ulang tahun Ryuga dimulai. Acara dibuka dengan kata sambutan dari tuan rumah. Suami dari Windi itu pun mulai menyampaikan kata sambutannya. D
Hari itu Almira disibukkan dengan berbelanja barang- barang yang dibutuhkan untuk memulai bisnis onlinenya. Semula ia menghubungi teman lamanya yang sudah lama membuka bisnis onlinenya. Terutama yang menyangkut dengan fashion. Ia adalah teman sewaktu Almira sekolah dulu. Dan kini sukses merambah bisnis pakaian. Mulai dari dewasa, remaja, anak-anak, bahkan balita dan bayi. Namanya Windi. Ia mempunyai toko sendiri. Nama tokonya adalah Istana Fashion. Dari Windi Almira banyak belajar mengenai bisnis toko online dan bagaimana bisa menarik pelanggan. Alhamdulilah! Setelah beberapa bulan kemudian, toko onlinenya semakin maju dan berkembang pesat. Orderan onlinenya semakin banyak. Ia semakin disibukkan oleh permintaan pelanggan. Terutama jenis pakaian wanita dewasa dan remaja. Almira bekerja dari rumah, selain bisa mengurus rumah, ia juga bisa mengurus ketiga buah hatinya. "Wind, makasih ya...berkat bantuan kamu toko online yang aku kelola lumayan maju." 'Oh iya Mira sama-sama aku senang
Suara adzan Subuh berkumandang, membangunkan Almira dari mimpi indahnya. Namun cuaca yang begitu dingin di pagi ini serta merta membuat dirinya menarik kembali selimut yang menutupi tubuhnya. "Wah sudah pagi, aku harus segera bangun karena aku tidak mau terlambat untuk mengurus pencairan asuransi nanti." Lalu ia segera bangkit dan berdiri, meletakkan selimut dan berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Brrrrrrr! Dinginnya sampai menusuk ke tulang. Samar-samar ia mendengar suara air hujan yang jatuh di atap rumah. Tik...! Tik...! Tik...! Ternyata sedari semalam hujan turun deras sekali. Namun karena merasa capek dan lelah sekali ia pun tidur nyenyak. Sehingga tak mendengat suara hujan yang turun tadi malam. Perlahan ia mengambil mukena dan langsung memakainya. Kemudian mengerjakan sholat Subuh dengan khusy
Suasana sibuk sekali malam itu. Para tetangga berinisiatif dan bahu membahu mempersiapkan segala keperluan untuk acara Tahlilan nanti. Ada yang menggelar tikar, menyapu rumah, mempersiapkan sound system, dan membentuk petugas-petugas yang akan bertugas nanti. Mulai dari MC, Qori, petugas peribadatan, dan doa. Sementara itu ibu-ibu warga komplek pun tak ketinggalan mempersiapkan snack atau konsumsi yang akan dihidangkan untuk para petakziah nanti. Hmmmmm! "Alhamdulilah ya Allah aku dikaruniai dan dikelilingi oleh tetangga dan teman-teman yang dengan rela mau menolong dan membantuku"gumam perempuan itu. Matanya sibuk mencari-cari keberadaan ibunya. Oh itu dia! Ibunya sedang menggendong Siska sambil mengobrol dengan tetangga lain. Ia pun berjalan dan mendekati ibunya dan berkata, "Almira, sudah sana nggak usah sibuk-sibuk! Kamu duduk saja di ruang tamu sambil menerima tamu yang d
Ketika ia tersadar dari pingsannya, Ia pun melihat rumahnya ramai sekali. Dan terdengar para tamu yang datang membaca surah Yasin, Almira bingung dan bertanya pada ibu - ibu yang berada di dekatnya. "Ada apa ini bu, kok ramai sekali?" "Mbak Mira yang sabar ya, ini musibah mbak." "Musibah? Musibah apa bu?" Ia hampir saja berteriak. "Ia suami mbak Almira meninggal dalam kecelakaan tadi sore." "Ya Allah Ya Tuhanku!" "Mas Firman...!" "Huuu...! Huuu...! Huuu!" Almira pun menangis sesunggukkan ia tak menyangka harus kehilangan lagi suami tercinta. Terulang kembali luka lama sama seperti ia kehilangan suami pertama yaitu Putra. " Anak - anak saya kemana bu, kok nggak ada?" "Oh anak - anak mbak Mira ada tuh diasuh dan diungsikan ke rumah sebelah, kasihan nggak bisa tidur yang kecil mbak " Perlahan Almira mencoba bangkit dari tidurnya ia ingin melihat suaminya itu untuk yang terakhir kalinya. Dan ke
Almira mencoba melangkah masuk ke dalam rumah, sambil meringis menahan sakit ia pun berbicara sendiri. " Aduh! Mas Firman kemana sih? Kok lama amat. Perutku sakit mas, kamu kemana mas?" Sambil berjalan masuk ke rumah ia mencoba berpegangan dengan benda - benda apa saja yang di pegangnya. Dan akhirnya ia duduk di sofa ruang tamu sambil mengelus - elus perutnya yang terasa sakit itu. Ia pun membaca doa - doa yang ia bisa sambil terus berharap suaminya segera datang. Tak lama kemudian terdengar deruman mesin mobil masuk ke halaman rumah. Firman datangdengan tergopoh - gopoh, kemudian ia langsung mencari - cari dan memanggil nama istri tercintanya itu. "Sayang ...! Kamu dimana ini aku sayang?" Tak terdengar jawaban. Ia pun mulai merasa khawatir dan cemas. "Almira ...!" "Aku disini mas!" Firma
"Ayo, abang Bilal mandi dulu yuk. Nanti kita jalan - jalan lagi keliling komplek bang!" ucap suami Almira pada jagoan kecilnya itu. Bilal pun berlari menghambur ke pelukan papa Firman sambil tertawa sumringah. Yah sudah dua bulan sejak pernikahan Almira dan Firman. Mereka telah tinggal di rumah kontrakkan Firman untuk sementara waktu. Alhamdulilah, Almira sedang mengandung buah cintanya dengan Firman. Sepertinya Allah mendengar doa - doa dari keduanya agar mereka segera mendapatkan adik untuk Bilal. Dimulai suatu pagi, ketika Firman hendak berangkat bekerja. Istrinya mendekat padanya sambil merapikan kerah baju suaminya yang agak sedikit terlipat. "Mas, sepertinya Bilal mau segera mendapat adik nih mas!" ucap istri cantiknya itu sambil tersenyum bahagia "Hah ...! Kamu hamil sayang ...!" "Iya mas! Aku juga nggak tau kalau kita akan secepat ini diberi momongan mas!" "Alhamdulilah!" "Ternyata apa yang menjadi k
"Aku harus yakin dengan pilihanku, kalau tidak aku akan menyesal. Putra adalah masa lalu, sedangkan Firman adalah masa depan. Ya Allah berilah hamba jalan keluar tuk memilih dan menjawab iya atau tidak!" batin perempuan itu. Malam itu tak seperti biasanya. Almira gelisah sekali, bukan karena suhu udara yang memang panas sekali, namun ia,gelisah memikirkan waktu kepulangan Firman yang tinggal lima hari lagi. Itu artinya siap atau tidak, ia harus segera memberi jawaban kepada Firman atas permintaan lelaki itu untuk menjadi istrinya. Secara sadar dan tidak ia sepertinya melihat Putra suaminya itu. Laki - laki itu berdiri di tepi tempat tidurnya mengenakan baju berwarna putih sambil tersenyum kepadanya dan menganggukkan kepalanya. Entah apa maksudnya. "Putra...!" Almira menyebut nama suaminya itu. "Kaukah itu sayang? Aku kangen sekali padamu sayang?"
"Aku berangkat dulu Almira, jaga diri kamu baik - baik. Jaga Bilal, dia sudah banyak kemajuan dan kepintaran. Aku pergi hanya dua bulan saja. Aku mohon setelah itu akan mendapat kabar yang baik darimu!"ucap lelaki itu pagi harinya pada Almira. Ia sengaja menemui perempuan itu di warung sambil sekalian pamit untuk berangkat menjalankan tugas di Halmahera. "Insya Allah akan aku pikirkan lagi mas, semoga kabar dariku nanti merupakan kabar baik untuk kita semua. Mas Firman hati - hati juga disana ya mas?" ucap perempuan itu sambil menahan isaknya yang hampir terlepas. Entah mengapa ia merasa sedih sekali melepas kepergian lelaki itu. Mungkinkah lelaki itu telah mendapat tempat tersendiri di hatinya. Sedangkan Bilal yang baru selesai disuapin makan itu hanya tersenyum sambil tangannya hendak meraih jemari tangan Firman. Dengan lembut lelaki itu meraih Bilal dari pelukan mamanya. Dan se