Sean tertegun cukup lama mencerna perkataan Sienna. Wanita itu nekad sekali dan terlalu memaksakan diri karena ingin dicintai oleh Sean.
“Kita makan dulu saja,” kata Sean mengalihkan pembicaraan. Dia mengambil banyak makanan yang dibawakan oleh Sienna.
Sean sengaja melakukannya karena ingin menghindar dari topik pembicaraan dengan Sienna. Sebisa mungkin dia juga menghindar kontak mata langsung dengan wanita itu. Dia jadi lebih sering menundukkan pandangannya dan segera menghabiskan makanannya.
“Aku mau ke dapur mengambil air minum dan beberapa mangkuk,” kata Sienna yang mulai bangkit dari tempat duduknya.
“Untuk apa mangkuk itu?” tanya Sean.
“Aku akan meninggalkan makanan-makanan ini di sini untukmu. Jadi, jika makanannya tidak habis kamu bisa menghangatnya besok pagi untuk sarapanmu,” sahut Sienna.
“Oh begitu rupanya. Ambil saja di dapur!” Sean mengerti. Dia pun mempersilakan Sienn
Emery mengangguk pelan. “Ya, itu benar Ayah.”“Kenapa dia bisa sampai ke sana? Jelaskan padaku, Emery!” desak profesor Rudiana.Sekarang Emery agak kebingungan. Dia harus menjelaskannya dari mana, tentang hukuman yang sedang dijalani Ruben saat ini. Jika dia mengatakan yang sebenarnya bahwa Ruben menggantikan hukumannya di negara perang itu, mungkin profesor Rudiana akan sangat membencinya.“Emery, katakan padaku yang sebenarnya!” Profesor Rudiana memaksanya.“Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu diam saja?” Profesor Rudiana makin tak sabaran. Setelah tahu bahwa putranya tidak pergi ke negara bagian Amerika Latin, melainkan ke Suriah.Profesor Rudiana hampir tumbang. Dia sudah ancang-ancang menahan nyeri di bagian dadanya. Dia harus bersikap lebih tenang. Beruntung, dia sudah minum obat sebelum bertemu dengan Emery.“Cepat beritahu aku! Apa kamu tuli?” desak profesor Rudiana lag
Seminggu berlalu. Masa skorsing pun sudah selesai. Emery kembali bekerja di rumah sakit. Di depan lobby Sean sudah menunggu kedatangan Emery. Sesampainya Emery di sana, Sean buru-buru menghampirinya.“Emery, tunggu! Kita harus bicara!” cegah Sean. Dia meraih tangan Emery. Namun, Emery menepisnya dengan kasar.Sean membelalak kaget melihat perlakuan Emery kepadanya. “Apa kamu marah padaku?” tanyanya heran.“Tidak. Kenapa aku harus marah sama kamu? Tidak Ada alasan untuk marah sama kamu, kan,” sahut Emery agak ketus.“Aku minta maaf sama kamu kalau aku belum membicarakan hal ini … denganmu,” mohon Sean. “Tolong mengertilah posisiku!” bujuknya.“Sean! Hentikan!” pekik Emery. Dia menoleh kanan-kirinya dan memastikan tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.“Aku benar-benar tidak apa-apa kalau kamu berhubungan dengan Sienna,” bisik Emery depan Sean.
“Tunggu Emery!” cegah profesor Rudiana. Dia melihat Emery hendak pergi meninggalkan rumahnya.“Ayah ….” desis Emery pelan.“Apa benar, kamu punya berita terbaru dari Ruben?” Profesor Rudiana antusias sekali.Emery mengangguk mantap sambil tersenyum ke arah ayah mertuanya. Ternyata cara itu ampuh juga dilakukannya supaya profesor Rudiana mau membukakan pintu untuknya.“Duduklah! Ceritakan padaku tentang putraku!” kata profesor Rudiana mempersilakan Emery.Emery pun duduk di samping ayah mertuanya. Kemudian, dia berbicara banyak hal tentang komunikasinya selama ini dengan Ruben. Profesor Rudiana berkaca-kaca. Dia begitu merindukan putranya pulang ke rumah.Emery tahu betul bagaimana perasaan profesor Rudiana saat ini. Seorang ayah yang sangat merindukan dan mengkhawatirkan keadaan putranya yang sedang bertugas di negara perang.
Emery begitu khawatir menantikan keputusan dari markas militer perdamaian negara yang akan memulangkan Ruben dari Suriah. Dia mondar-mandir tidak jelas menunggu persetujuan tersebut.“Emery, bisakah kamu duduk dengan tenang?” tegur Adrian. Dia pusing sekali melihat Emery seperti setrikaan panas.“Kamu pikir aku bisa duduk tenang? Tidak, Adrian,” sahut Emery agak sewot.“Aku tahu kamu cemas. Namun, bisakah kamu tidak membuatku pusing saat ini?”“Oke, baiklah! Aku akan duduk di sampingmu dengan tenang. Puas?” Emery akhirnya duduk didekat Adrian sambil menggerutu kesal.Emery masih terlihat gelisah. Kakinya dihentak-hentakkan, jari jemarinya dimainkan agak canggung, keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Adrian yang melihatnya agak sinis spontan memalingkan wajah.“Wanita ini benar-benar sudah gila,” gerutu Adrian.Emery hanya menoleh ke arahnya. Namun, dia tidak banyak bicara. Dia masih menunggu petinggi dari kemiliteran untuk mendapatkan keputusan akhir kepulangan Ruben.“Nyon
Emery belum bisa menerima kenyataan bahwa ayah mertuanya, profesor Rudiana sudah meninggal dunia. Dia sedih sekali karena tidak bisa menghubungi Ruben yang masih dalam perjalanan pulang dari Suriah.Setelah satu jam pingsan kemudian sadarkan diri kembali, Emery belum bisa ditanyai apa-apa. Dia hanya menangis dan kebingungan. Dia merasa sendirian saat ini. Sean tidak bisa menemaninya. Karena dia harus mewakili keluarga Ruben untuk mengurus keperluan pemakaman.Hati Emery hancur, kacau balau semuanya. Di saat dia sedang sendirian, Sienna diam-diam menghampirinya.“Aku … turut berduka cita atas meninggalnya profesor Rudiana, ayah mertuamu,” ucap Sienna.Emery hanya menoleh sekilas sambil berurai air mata di hadapan Sienna. “Pergilah! Jangan mencari masalah lagi denganku!” usirnya.Sienna tersenyum sinis menerima penolakan Emery. “Dengar Emery! Aku datang menemuimu bukan sebagai musuhmu. Aku hanya datang secara formalitas karena masih menghargaimu sebagai menantu dari profesor Rudiana.”“
Sejak profesor Rudiana meninggal dunia, sikap Ruben langsung berubah drastis. Dia jadi pendiam dan lebih sering murung sendirian. Emery bisa memakluminya. Itu karena suaminya masih berduka sepeninggal sang ayah.Emery memberikan Ruben waktu untuk sendirian terlebih dahulu. Dia tidak ingin mengganggu atau menyinggung apa pun selama Ruben melakukan perjalanan dinas di negara perang itu, Suriah. Setelah Ruben merasa lebih baik dan sudah merelakan kepergian ayahnya, saat itulah dia sebagai istrinya akan bertanya lebih banyak lagi. Terutama keadaannya selama di sana.“Bagaimana Ruben sekarang?” tanya Sean saat dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Dia tidak bicara sedikit pun padaku. Mungkin dia masih sedih ditinggal ayahnya,” sahut Emery.“Bicaralah dengannya! Walau nanti kalian mungkin akan sedikit bertengkar. Sebaiknya kamu lebih perhatian kepadanya lagi, Emery,” saran Sean.“Ya, aku pikir begitu. Aku akan le
“Kapan kamu akan masuk kerja?” tanya Emery, saat dia makan malam bersama suaminya.“Entahlah. Mungkin besok,” sahut Ruben.“Apa kamu sudah merasa baik-baik saja jika memulai pekerjaanmu besok?” Emery agak khawatir dengan psikologis Ruben.“Hmm,” gumam Ruben. Dia menyantap makanannya dengan asal-asalan. Seperti mau tak mau makan dengan Emery.“Ada apa? Apa makanannya tidak enak?” Emery memastikan.Ruben diam saja. Dia hanya makan sedikit. Kemudian dia mengunyahnya dengan cepat. Setelah itu dia bangkit dari tempat duduknya dan pergi begitu saja meninggalkan Emery.Emery terdiam cukup lama. Setelah Ruben meninggalkan meja makan. Baru kali ini Ruben mengabaikannya dalam jangka waktu yang cukup lama. Air matanya menetes di pipi. Namun, Emery terus melanjutkan makan malamnya. Meski dia hanya sendirian di meja makan.***“Selamat datang, Dokter Ruben,” sapa Sienna
Sejak Sienna mengatakan sesuatu tentang kedekatan Emery dan Sean, Ruben jadi tidak bisa tenang selama bekerja. Dia terus diliputi perasaan gelisah, buruk sangka, dan tidak fokus mengerjakan pekerjaannya.“Sialan!” Ruben hampir saja membanting penanya ke lantai. Ingatannya selalu saja tertuju pada Emery, istrinya.Diteruskan pun percuma saja, hanya akan menambah beban pikiran Ruben. Dia bangkit dari tempat duduknya, kemudian beranjak meninggalkan ruang kerjanya. Untuk menyegarkan pikirannya lagi, setelah penat bekerja, dia berkeliling melihat-lihat sekitarnya.“Dokter Emery! Tolong pasien ini segera!” Seorang perawat datang tergesa-gesa memberitahu Emery.“Baik. Ayo kita ke IGD sekarang juga!” Emery pun bergegas pergi bersama perawat itu. Mereka berlarian di koridor rumah sakit.Ruben memerhatikan Emery dari jauh. Istrinya begitu sigap menerima pasien gawat darurat. Meskipun Emery diremehkan, digunjing semua orang
“Anda tidak bisa menghalangi Emery untuk pindah. Kami berdua sudah sepakat dan saya bersedia membayar berapa pun dendanya jika itu diperlukan,” tegas Ruben.“Tidak semudah itu, Dokter Ruben. Emery adalah staf pegawai di sini dan sudah menandatangani kontrak dengan pihak rumah sakit. Mau tidak mau dia harus patuh dan tunduk pada peraturan di sini. Denda yang Anda sebutkan tadi, tidak berlaku di rumah sakit kami.” Adrian bersikeras mempertahankan posisi Emery. Dia tidak akan goyah meski Ruben memberinya banyak uang.Adrian tidak akan pernah terpengaruh dengan nominal angka yang ditawarkan Ruben kepadanya. Yang dia inginkan adalah Emery, bukan uang Ruben.‘Sial! Rupanya dia akan menjadi batu kerikil yang menghambat perjalananku,’ batin Ruben.“Maaf, saya akan menghadiri rapat sebentar lagi. Lain kali kita bicarakan lagi tentang hal ini. Permisi,” pamit Adrian. Dia pergi begitu saja meninggalkan Ruben di ruangan
Emery mengangguk mantap. “Iya, aku mau.”“Kamu serius mengatakannya, kan?” Ruben antusias sekali. Akhirnya, setelah sekian lama penantiannya membuahkan hasil.“Tentu, aku serius. Aku sudah memutuskan, bukan?” Emery meyakinkannya.Ruben tak bisa membendung lagi perasaan bahagianya malam ini. Refleks, dia memeluk Emery dengan erat. Tangis haru turut mewarnai suasana malam yang dingin saat ini.“Terima kasih, Sayang. Aku akan segera mengurus kepindahanmu,” ucap Ruben seraya mencium kedua tangan Emery dengan lembut.“Ehem!” Sean berdeham di depan pintu. Perhatian Emery dan Ruben pun teralihkan dengan kedatangan Sean.“Maaf, aku mengganggu kalian berdua malam ini. Aku harus memeriksa keadaan pasienku terlebih dahulu,” kata Sean beralasan.“Silakan,” kata Emery mempersilakan. Dia dan Ruben segera menyingkir dari tempat tidur bayi Ben.Sean memeriksa k
Emery bergegas menuju daycare, tempat penitipan balita yang dekat dengan rumah sakit. Saat itu, dia berlarian bersama Sean karena khawatir terjadi sesuatu pada bayi Ben Joshua.“Dokter Emery! Syukurlah Anda segera datang.” Salah seorang perawat lekas memberikan bayi Ben pada ibunya.“Apa yang terjadi pada anakku?” tanya Emery.“Seperti bayi Ben demam tinggi,” sahut perawat tersebut. Tangannya gemetaran saat dia menyerahkan bayi Ben pada Emery.“Biar aku memeriksanya sebentar,” kata Sean yang cepat mengambil alih. Dia memeriksa kondisi tubuh bayi Ben yang saat itu mengalami demam, suhu tubuhnya hampir mencapai empat puluh derajat.“Sean, bagaimana hasilnya?” Emery tidak sabaran.“Apa dia mengalami muntah-muntah?” tanya Sean pada perawat.“Ya, tadi dia muntah setelah minum susu ASI yang ada di dalam botol,” sahut perawat.“Apa ASI-ku basi? Padahal, aku menyimpannya dalam keadaan steril.” Emery tidak kepikiran ke sana. Dia merasa ASI perahnya dalam kondisi baik dan steril.“Kita harus se
“Maafkan aku,” sesal Sean. Dia tak sengaja mencium bibir Sienna.Sean sibuk menjelaskan bahwa insiden ciuman itu benar-benar di luar kendalinya. Tidak seharusnya dia melakukan hal itu pada Sienna. Tapi, keadaan memaksanya.Ketika Sean hendak membenarkan posisi sabuk pengaman, tiba-tiba tangannya tergelincir saking tidak fokus memerhatikan bibir Sienna yang ranum. Dia ingin menahan tubuhnya, namun sudah tidak bisa. Refleks, bibirnya malah menyentuh bibir Sienna.“Tidak perlu meminta maaf padaku.” Sienna agak kecewa mengetahuinya. Dia kira, Sean benar-benar ingin menciumnya. Ternyata tidak.“Aku tidak ingin kamu salah sangka padaku,” sangkal Sean.“Tidak. Aku tidak berkata begitu kok,” bantah Sienna.Keduanya kini dalam posisi canggung. Masing-masing menahan malu dan tidak tahu harus berkata apalagi. Sean lekas duduk di joknya. Lalu, dia melajukan mobilnya menuju rumah Sienna. Sementara itu, jari
“Mau ke mana?” tanya Sienna.“Pokoknya ikut aku dulu aja!” balas Sean agak memaksa.Mau tidak mau Sienna pun akhirnya menuruti perintah Sean. Dia mengikuti Sean, saat dokter spesialis anak itu menarik lengannya dan membawanya pergi menjauhi Emery.“Sean, hentikan!” kata Sienna. “Kamu menarik tanganku dan itu sakit sekali.”“Oh, maafkan aku,” sesal Sean. “Aku tidak sengaja.”“Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu menyeretku pergi?” protes Sienna.“Aku ingin bicara.”“Ya udah, ngomong aja. Apa yang ingin kamu bicarakan denganku? Aku buru-buru harus memeriksa pasien di bangsal VIP,” kata Sienna beralasan.“Apa Ruben menghubungimu?” Sean mencari tahu. Sienna menggeleng.“Tidak. Kenapa memangnya?” Sienna heran. “Dokter Ruben tidak pernah menghubungiku lagi sejak mereka bercerai.”&ld
“Iya, aku tahu itu. Kamu nggak usah ngegas gitu, Ruben,” balas Sean. “Tidak diberitahu pun aku sudah tahu.”“Aku hanya mengingatkanmu aja, Sean. Barangkali kamu sudah lupa. Kalau Emery hanya milikku seorang,” kata Ruben dengan bangga.“Cuih! Seenaknya saja ngaku-ngaku dia milikmu. Jika dia milikmu lantas kenapa kamu melepasnya pergi. Bodoh!” ejek Sean.“Aku tidak melepasnya. Dianya aja yang banyak pertimbangan,” Ruben membela diri.“Terang aja dia banyak pertimbangan. Sikapmu aja kayak bunglon, sering berubah-ubah nggak karuan.”“Sudah hentikan! Aku nggak mau kita bertengkar.”“Lalu, kamu menelponku hanya untuk menanyakan hal ini aja?”“Sean, aku mohon sama kamu. Bantu aku untuk mengawasinya. Cuma kamu satu-satunya keluargaku yang bisa kuandalkan di sana. Kamu mau, kan, membantuku?” pinta Ruben dengan nada memelas.&ldquo
“Sean?” Emery membuka kaca mobil dan berbincang sebentar dengan Sean.“Apa kamu sedang terburu-buru? Aku ingin mentraktirmu minum kopi. Gimana?” tawar Sean.“Aku minta maaf, Sean. Aku harus segera menjemput Ben di daycare. Lain kali saja, oke?” tolak Emery dengan ramah.“Oh, oke. Tidak apa-apa. Hati-hati saat berkendara!” Sean menasihati. Emery mengangguk mantap.Tak lama setelah berpamitan dengan Sean, Emery melajukan mobilnya meninggalkan gedung rumah sakit.***“Kamu yakin tidak ingin ikut denganku?” Ruben memastikannya kembali. Siapa tahu Emery berubah pikiran di saat-saat terakhir mereka berpisah di bandara.“Aku akan menunggumu,” kata Emery.“Kamu yakin bisa menungguku?” Ruben takut sekali. “Kamu tidak akan berpaling dan jalan sama pria lain, kan?”“Pria lain, siapa maksudmu?” Emery tersinggung dengan ucapan
Emery mulai menyadari perhatian dari kedua pria tersebut, yang masing-masing menunjukkan rasa cinta dengan cara yang berbeda. Ruben adalah sosok romantis yang penuh tekad. Meski terkadang, dia sangat menyebalkan dengan sikap plin-plannya yang seperti bunglon, sering berubah-ubah.Sementara, Adrian adalah pribadi yang tenang dan suportif. Seperti katanya, dia selalu ada setiap kali Emery membutuhkan pertolongan atau teman untuk bercerita. Kali ini, Emery benar-benar mengalami dilema. Dia berada diposisi sulit karena harus memilih antara dua pilihan. Impian masaa depan bersama Ruben atau kenyamanan emosional yang ditawarkan oleh Adrian.“Nak, kamu akan memilih yang mana seandainya kamu menjadi Ibu?” tanya Emery saat dia memerhatikan bayi Ben yang sedang menyusui.Bayi Ben hanya tersenyum menanggapi cerita Emery. Seolah-olah balita mungil itu mengerti bahwa yang bisa menjawab pertanyaan itu adalah ibunya sendiri.“Sekarang, kamu juga membua
“Beri aku waktu!” pinta Emery.“Apa? Waktu?” Ruben membelalak.Emery mengangguk mantap. “Aku masih mempertimbangkannya. Jika aku menikah sekarang, lalu bagaimana dengan Ben Joshua, anak kita?”“Memangnya kenapa dengan dia?” Ruben agak heran. “Bukankah itu bagus untuk perkembangan dia? Dia memiliki keluarga yang lengkap ada orang tua yang akan merawat dia.”“Maksudku, jika Ben dibawa ke luar negeri, aku khawatir dia belum bisa beradaptasi,” kata Emery beralasan.“Dia anak yang pintar. Aku tahu itu. Dia akan lebih cepat beradaptasi di sana. Aku yakin itu,” Ruben berpendapat.Emery kehabisan ide. Bagaimana caranya dia harus menjawab pertanyaan Ruben soal lamaran itu?“Emery ….” Ruben meraih tangan Emery dan coba membujuknya kembali.“Aku ingin melihatmu membuktikan lagi cintamu. Kamu tahu, kan, sejak kamu meragukan kehamilanku hatiku sangat sakit. Saat itu aku berpikir, aku tidak bisa lagi bersama orang yang selalu berprasangka buruk padaku. Apalagi menuduhku yang tidak-tidak,” jelas Eme