“Tunggu Emery!” cegah profesor Rudiana. Dia melihat Emery hendak pergi meninggalkan rumahnya.
“Ayah ….” desis Emery pelan.
“Apa benar, kamu punya berita terbaru dari Ruben?” Profesor Rudiana antusias sekali.
Emery mengangguk mantap sambil tersenyum ke arah ayah mertuanya. Ternyata cara itu ampuh juga dilakukannya supaya profesor Rudiana mau membukakan pintu untuknya.
“Duduklah! Ceritakan padaku tentang putraku!” kata profesor Rudiana mempersilakan Emery.
Emery pun duduk di samping ayah mertuanya. Kemudian, dia berbicara banyak hal tentang komunikasinya selama ini dengan Ruben. Profesor Rudiana berkaca-kaca. Dia begitu merindukan putranya pulang ke rumah.
Emery tahu betul bagaimana perasaan profesor Rudiana saat ini. Seorang ayah yang sangat merindukan dan mengkhawatirkan keadaan putranya yang sedang bertugas di negara perang.
Emery begitu khawatir menantikan keputusan dari markas militer perdamaian negara yang akan memulangkan Ruben dari Suriah. Dia mondar-mandir tidak jelas menunggu persetujuan tersebut.“Emery, bisakah kamu duduk dengan tenang?” tegur Adrian. Dia pusing sekali melihat Emery seperti setrikaan panas.“Kamu pikir aku bisa duduk tenang? Tidak, Adrian,” sahut Emery agak sewot.“Aku tahu kamu cemas. Namun, bisakah kamu tidak membuatku pusing saat ini?”“Oke, baiklah! Aku akan duduk di sampingmu dengan tenang. Puas?” Emery akhirnya duduk didekat Adrian sambil menggerutu kesal.Emery masih terlihat gelisah. Kakinya dihentak-hentakkan, jari jemarinya dimainkan agak canggung, keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Adrian yang melihatnya agak sinis spontan memalingkan wajah.“Wanita ini benar-benar sudah gila,” gerutu Adrian.Emery hanya menoleh ke arahnya. Namun, dia tidak banyak bicara. Dia masih menunggu petinggi dari kemiliteran untuk mendapatkan keputusan akhir kepulangan Ruben.“Nyon
Emery belum bisa menerima kenyataan bahwa ayah mertuanya, profesor Rudiana sudah meninggal dunia. Dia sedih sekali karena tidak bisa menghubungi Ruben yang masih dalam perjalanan pulang dari Suriah.Setelah satu jam pingsan kemudian sadarkan diri kembali, Emery belum bisa ditanyai apa-apa. Dia hanya menangis dan kebingungan. Dia merasa sendirian saat ini. Sean tidak bisa menemaninya. Karena dia harus mewakili keluarga Ruben untuk mengurus keperluan pemakaman.Hati Emery hancur, kacau balau semuanya. Di saat dia sedang sendirian, Sienna diam-diam menghampirinya.“Aku … turut berduka cita atas meninggalnya profesor Rudiana, ayah mertuamu,” ucap Sienna.Emery hanya menoleh sekilas sambil berurai air mata di hadapan Sienna. “Pergilah! Jangan mencari masalah lagi denganku!” usirnya.Sienna tersenyum sinis menerima penolakan Emery. “Dengar Emery! Aku datang menemuimu bukan sebagai musuhmu. Aku hanya datang secara formalitas karena masih menghargaimu sebagai menantu dari profesor Rudiana.”“
Sejak profesor Rudiana meninggal dunia, sikap Ruben langsung berubah drastis. Dia jadi pendiam dan lebih sering murung sendirian. Emery bisa memakluminya. Itu karena suaminya masih berduka sepeninggal sang ayah.Emery memberikan Ruben waktu untuk sendirian terlebih dahulu. Dia tidak ingin mengganggu atau menyinggung apa pun selama Ruben melakukan perjalanan dinas di negara perang itu, Suriah. Setelah Ruben merasa lebih baik dan sudah merelakan kepergian ayahnya, saat itulah dia sebagai istrinya akan bertanya lebih banyak lagi. Terutama keadaannya selama di sana.“Bagaimana Ruben sekarang?” tanya Sean saat dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Dia tidak bicara sedikit pun padaku. Mungkin dia masih sedih ditinggal ayahnya,” sahut Emery.“Bicaralah dengannya! Walau nanti kalian mungkin akan sedikit bertengkar. Sebaiknya kamu lebih perhatian kepadanya lagi, Emery,” saran Sean.“Ya, aku pikir begitu. Aku akan le
“Kapan kamu akan masuk kerja?” tanya Emery, saat dia makan malam bersama suaminya.“Entahlah. Mungkin besok,” sahut Ruben.“Apa kamu sudah merasa baik-baik saja jika memulai pekerjaanmu besok?” Emery agak khawatir dengan psikologis Ruben.“Hmm,” gumam Ruben. Dia menyantap makanannya dengan asal-asalan. Seperti mau tak mau makan dengan Emery.“Ada apa? Apa makanannya tidak enak?” Emery memastikan.Ruben diam saja. Dia hanya makan sedikit. Kemudian dia mengunyahnya dengan cepat. Setelah itu dia bangkit dari tempat duduknya dan pergi begitu saja meninggalkan Emery.Emery terdiam cukup lama. Setelah Ruben meninggalkan meja makan. Baru kali ini Ruben mengabaikannya dalam jangka waktu yang cukup lama. Air matanya menetes di pipi. Namun, Emery terus melanjutkan makan malamnya. Meski dia hanya sendirian di meja makan.***“Selamat datang, Dokter Ruben,” sapa Sienna
Sejak Sienna mengatakan sesuatu tentang kedekatan Emery dan Sean, Ruben jadi tidak bisa tenang selama bekerja. Dia terus diliputi perasaan gelisah, buruk sangka, dan tidak fokus mengerjakan pekerjaannya.“Sialan!” Ruben hampir saja membanting penanya ke lantai. Ingatannya selalu saja tertuju pada Emery, istrinya.Diteruskan pun percuma saja, hanya akan menambah beban pikiran Ruben. Dia bangkit dari tempat duduknya, kemudian beranjak meninggalkan ruang kerjanya. Untuk menyegarkan pikirannya lagi, setelah penat bekerja, dia berkeliling melihat-lihat sekitarnya.“Dokter Emery! Tolong pasien ini segera!” Seorang perawat datang tergesa-gesa memberitahu Emery.“Baik. Ayo kita ke IGD sekarang juga!” Emery pun bergegas pergi bersama perawat itu. Mereka berlarian di koridor rumah sakit.Ruben memerhatikan Emery dari jauh. Istrinya begitu sigap menerima pasien gawat darurat. Meskipun Emery diremehkan, digunjing semua orang
“Emery ….” panggil Ruben sembari menyusul langkah istrinya.Ketika Emery menoleh ke sumber suara yang telah memanggilnya itu, tiba-tiba Ruben mencium bibirnya dengan lembut dan mesra. Tidak hanya itu, napas Ruben juga memburu seperti menginginkan sesuatu pada Emery.“Ah, Sayang ….” desis Ruben pelan.Gelagat Ruben sudah menunjukkan bahwa dia ingin bercinta dengan Emery. Ruben menarik pinggang Emery hingga menempel dengan tubuhnya. Kedua bibir mereka masih berpagutan dan semakin liar mereka memainkan lidahnya.Ruben sudah bergairah sekali. Malam ini, dia ingin tidur dengan istrinya. Sudah lama dia mendambakan sentuhan dari Emery. Akhirnya, setelah sekian lama dia bisa memuaskan hasrat terpendamnya pada sang istri.“Sayang, pelan-pelan,” tegur Emery.“Maaf. Apa aku menyakitimu?”Emery menggeleng. “Tidak, bukan itu maksudku. Kamu terlalu buru-buru.”“B
“Apa yang Anda bicarakan Dokter Ruben? Saya tidak mengerti maksud pembicaraan Anda,” sangkal Sienna. Sudah ketahuan tapi dia tidak mau mengakuinya.“Jangan bohong! Aku tahu hubunganmu dengan Emery sudah tidak seperti dulu lagi. Sekarang, kalian tidak akrab dan malah kelihatan seperti sedang bermusuhan,” kata Ruben berpendapat. “Koreksi aku jika aku salah.”Ruben agak kesal dengan sikap yang ditunjukkan Sienna. Nada bicaranya pun kini mulai berubah, tak seformal seperti layaknya pembicaraan senior dan junior, atau atasan pada bawahannya.Sienna terdiam beberapa saat. Ruben benar-benar telah berhasil memojokkannya. Dari awal dia sudah curiga pada Sienna. Karena akhir-akhir ini Sienna sering memprovokasinya. Bahkan, Sienna juga menggiring opini Ruben supaya berprasangka buruk pada Emery.“Maaf, Dokter Ruben. Saya harus segera pergi,” kata Sienna undur diri.“Lain kali, jika kamu mau menjelek-jelekkan istriku, kamu jangan melakukannya setengah-setengah. Cari faktanya dulu bukan memutarbal
“Apa yang kamu bicarakan?" Emery tidak terima ketika Sienna menyalahkannya."Kamu tahu apa yang sedang kubahas." Sienna menekankan sekali lagi. Intonasi bicaranya meninggi saat berhadap-hadapan dengan Emery.Sienna tidak peduli, dia bicara dengan Emery langsung di depan Ruben dan Sean. Dia terlanjur kecewa dan marah sekali. Akibat hubungannya dengan Sean tidak berjalan seperti yang diharapkannya."Dengarkan aku! Aku tahu kamu memiliki segalanya, kamu bisa mendapatkan perhatian dari siapa pun yang kamu mau. Tapi, tolong untuk yang satu ini. Jangan kamu rebut kebahagiaanku," cerocos Sienna."Sienna, apa-apaan kamu ini, hah?" Sean melerainya. Dia menarik lengan Sienna dan hendak membawanya pergi. Namun, Sienna menepis lengannya agak kasar."Jaga bicaramu, Sienna! Kamu sedang bicara dengan siapa," Ruben memperingatkannya.Sienna menoleh ke arah Ruben. "Saya tahu dia istri dari direktur rumah sakit ini. Tapi, bukan berarti dia bisa seenaknya saja menggoda pacar saya.""SIENNA! Kamu sudah k
“Ruben, hentikan!” tegas Emery. “Aku tidak mau berdebat soal ini.”“Kenapa? Jadi, sekarang kamu lebih mementingkan jabatan di rumah sakit itu dibandingkan kebahagiaan kita berdua dan anak kita?” Ruben sewot.“Aku belum memutuskan apa-apa,” gumam Emery.“Lalu, kenapa kamu mengangguk? Itu sama artinya kamu menyetujui tawaran dari Adrian.”“Itu hanya gerakan refleks saja,” sangkal Emery.“Kamu tidak bisa dipercaya.” Ruben melangkah pergi karena tidak puas mendengar jawaban dari Emery.Ruben pergi sambil mendengkus kesal. Dia meninggalkan rumah dan lekas menyalakan mesin mobil. Tak lama waktu berselang, mobilnya melaju kencang meninggalkan kediaman Emery.“Dia masih sama seperti dulu. Pemarah dan emosinya sangat labil. Dia tidak pernah bisa mendengarkan penjelasanku,” keluh Emery sembari mengelus dada.Terkadang keragu-raguan itu yang me
Pagi tiba. Ruben terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa, di ruang tamu rumah Emery.“Apa semalam aku ketiduran di sini, ya?” Ruben lupa-lupa ingat. Yang dia ingat semalam … hanya kecupan dan bisa mencuri-curi waktu bermesraan dengan Emery dikala putranya tertidur pulas.Ruben senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Tanpa disadarinya, Emery keluar dari kamarnya dan hendak membawa putranya meninggalkan rumah.“Emery, kamu mau ke mana dengan Ben Joshua?” tanya Ruben. Dia bangkit dari sofa.“Aku mau ke klinik dokter anak. Hari ini jadwal imunisasi anakku,” sahut Emery.“Pagi ini?” Ruben memastikannya. Emery mengangguk.“Tunggu sebentar! Beri aku waktu lima menit untuk mandi. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke klinik.” Ruben segera beranjak dari sofa dan lekas ke kamar mandi.Emery dibuatnya melongo dengan sikap Ruben yang m
“Aku … tadi sedang menyusui putraku. Jadi, aku tidak memegang ponsel,” kata Emery beralasan.“Tapi, setidaknya kamu bisa memberitahuku terlebih dahulu, kan? Jangan membuatku cemas!” Emosi Ruben meledak-ledak saking khawatir dengan keadaan Emery.“Sejak kapan kamu peduli padaku?” sindir Emery.“Aku selalu peduli sama kamu, kamunya saja yang tidak peka terhadap perasaanku,” ketus Ruben seraya memalingkan wajah. Sesekali dia melirik Emery karena mantan istrinya itu tidak memberi respon apa pun.“Masuklah! Udara di luar sangat dingin,” kata Emery mempersilakan Ruben masuk. “Lagian hujan-hujan begini dan sudah larut malam malah datang bertamu, memangnya nggak bisa besok pagi saja?” gerutunya sambil menutup pintu setelah Ruben masuk ke ruang tamu.Tiba-tiba, kedua tangan Ruben melingkar di pinggang Emery. Pria itu memeluk Emery dari belakang dengan sangat erat.“A
Keesokan paginya, Ruben terbangun dari tidurnya. Ketika dokter akan kembali memeriksa bayi Ben Joshua. Ajaibnya, demam Ben Joshua langsung menurun drastis. Emery makin terharu dengan apa yang telah dilakukan Ruben pada Ben Joshua.“Demamnya sudah turun. Terima kasih banyak, Dokter Ruben. Anda sudah melakukannya dengan baik. Hanya seorang ayahlah yang mampu melakukannya,” puji dokter itu dengan bangga.“Terima kasih. Anda juga sudah melakukan yang terbaik untuk putra saya,” balas Ruben. Secara tidak langsung dia mengakuinya di hadapan semua orang. Termasuk Emery.“Hari ini bayi Ben Joshua boleh pulang. Tapi, perhatikan perkembangannya lagi. Jangan sampai dia demam kembali,” saran dokter.Emery dan Ruben mengangguk bersamaan. Mereka terlihat kompak sekali saat ini. Setelah itu, dokter pergi meninggalkan ruang inap Ben Joshua. Bayi tampan itu masih tertidur pulas saat Emery memindahkannya ke ranjang pasien.Sementara itu, Ruben mengambil kemejanya. Lalu, dia memakainya kembali sambil mem
Emery masih menggendong bayi Ben Joshua ketika Ruben menghampirinya di kamar. Dia memeluknya sangat erat. Seolah-olah dia sedang mempertahankan Ben Joshua dari Ruben.“Aku ingin melihatnya,” pinta Ruben.Emery mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. “Apa kamu yakin?”“Tentu. Sean bilang, dia mirip sekali denganku. Jadi, aku ingin memastikannya lagi,” kata Ruben dengan sungguh-sungguh.“Lupakan saja! Kamu masih meragukannya kalau begitu.” Emery nampak kesal sekali. Karena Ruben masih tidak percaya kalau Ben Joshua adalah putranya.“Aku akan memberikan Ben Joshua kalau kamu sudah merasa yakin bahwa dia adalah putramu. Jika hatimu masih setengah-setengah, sebaiknya kamu pergi saja. Tidak ada gunanya kamu berada di sini,” ketus Emery. Dia terlanjur kecewa dengan sikap Ruben.“Kenapa kamu seperti itu padaku, Emery?” Ruben heran.“Kamu yang memulainya, Ruben. Aku tida
“Apa kamu masih meragukan bayi itu?” Sean memastikan lagi.Ruben terdiam cukup lama. Bagaimana tidak, perasaannya yang mudah goyah dan terhasut oleh Sienna dulu menyebabkan dia kehilangan anak dan istrinya. Tidak hanya itu, perasaannya yang terus meragu pada Emery membuatnya merasa menyesal teramat dalam hingga saat ini.Ruben malu bertemu dengan Emery dan bayinya. Dia terus saja beralasan pada Sean. Padahal dia masih sangat gengsi mengakui bayi itu sebagai putranya.“Kamu bodoh sekali dalam cinta, Ruben. Kamu tidak bisa membedakan mana wanita tulus dan mana wanita yang sudah menghasutmu,” kata Sean sambil berlalu pergi.Sean segera bersiap-siap pergi. Lebih baik dia pergi dari pada harus mendengar ocehan sepupunya yang tidak berfaedah. Dia menegaskan kalau Ruben tidak akan ikut dengannya menemui Emery, sebaiknya Ruben pergi saja.Ruben pun pergi meninggalkan rumah Sean tanpa sepengetahuannya. Sepanjang perjalanan pulang, di
Sean lekas menemui Emery. Dia diberitahu oleh perawat di sana bahwa Emery sudah melahirkan putranya. Dia terlihat senang sekali mendengar kabar itu. Tanpa pertimbangan lagi, dia langsung pergi menjenguk Emery.Sesampainya di rumah sakit tempat Emery melahirkan, Sean membawakan banyak hadiah untuk menyambut kelahiran putra Emery. Tadi dia sempat membeli beberapa potong pakaian bayi dan semua perlengkapannya. Khawatir Emery tidak sempat membawanya dari rumah.Benar saja firasat Sean. Perawat yang memberitahunya itu mengatakan kalau proses melahirkannya sangat mendadak. Tidak sesuai dengan prediksi dokter. Jadi, Emery tidak membawa persiapan apa pun saat proses persalinan berlangsung.Sean inisiatif sendiri membawakannya. Dia membelinya secara acak, dibantu oleh pelayan toko perlengkapan bayi itu. Dia tidak tahu apa saja kebutuhannya. Jadi, dia mencari orang yang mengetahuinya.“Emery, bagaimana keadaanmu?” tanya Sean saat menemui Emery di kamar
Adrian segera menemui Emery di ruang persalinan. Dengan raut wajahnya yang panik itu dia berlarian sekuat tenaga sebelum Emery melahirkan bayinya.“Emery!” panggil Adrian.Beruntung, Adrian masih bisa menemui Emery sebelum perawat menutup ruang persalinan. Dia was-was sekali.“Emery, bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Adrian.“Sakit sekali,” sahut Emery.“Benarkah? Apa perlu aku mendampingimu?” tawar Adrian.Emery menggeleng, “Tidak usah. Aku akan baik-baik saja nanti.”“Aku mohon … tetaplah bertahan. Aku ingin kamu dan bayimu selamat. Aku akan menunggumu.”“Terima kasih, Adrian,” ucap Emery sambil menahan nyeri akibat kontraksi di perutnya.Perawat akan segera menutup ruang persalinan. Adrian diminta untuk segera meninggalkan ruangan tersebut. Mau tidak mau, akhirnya Adrian pun mengalah. Dia keluar dari ruangan itu dalam keadaan
Dua bulan kemudian. Sejak Ruben dipecat dari rumah sakit, dokter jenius itu menghilang tanpa jejak. Tidak ada kabar lagi tentangnya. Dia menutup semua komunikasi dan tidak ada seorang pun yang tahu keberadaannya.Emery makin gelisah karena tidak menemukan mantan suaminya di mana pun. Sean sudah ikut membantu dan mencari keberadaan Ruben. Namun, mereka tidak berhasil menemukannya.“Di mana dia berada sekarang?” Emery frustrasi sekali.Usia kandungan Emery kini sudah memasuki trimester terakhir. Dokter sudah menyarankannya untuk segera mengambil cuti. Karena kemungkinan hari kelahiran bayinya diperhitungkan bisa lebih cepat dari prediksi dokter Adelina.“Emery, jangan pikirkan apa pun! Kesehatan bayimu lebih penting,” kata dokter Adelina menasihatinya.“Aku masih kepikiran tentang ….” Kalimat Emery terhenti beberapa saat.“Ayahnya, kan?” terka dokter Adelina. Emery mengangguk pelan sambil